Selain dari buah pikir dan panggilan jiwa, biasanya sebagian orang kerap melakukan sesuatu hanya karena menerima bisikan. Baik berbentuk riil maupun bisikan yang diterima dari halusinasi atau mimpi yang diyakini sebagai bisikan ghaib. Bisikan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat, mempengaruhi setiap keputusan besar yang akan diambil. Ia juga bisa menjadi kekuatan yang merubah paradigma massif, bahkan mengguncang dunia. Baik bisikan yang penuh makna ataupun mengundang kontroversi manusia. Bisikan dapat mempengaruhi seorang tokoh untuk berbuat tidak atas kehendaknya. Dengan bisikan pula kita bisa melihat permasalahan menjadi komplek atau sebaliknya menjadi energi postif yang maslahat. Bisikan bak senjata, ia terkendali oleh orang dibelakangnya. Bisik-bisik tetangga, akan menjadi muara gosip liar diantara kehidupan masyarakat. Memandang permasalahan melalui ‘bisikan’ akan menjadi sangat subjektif, karena ia terhembus oleh bisikan yang tidak selamanya benar. Dalam ranah politik, bisikan adalah bahasa lain dari lobby, atau negosiasi. Bisikan dapat membulatkan sikap yang pada awalnya terpecah. Betapa hebatnya efek dan buah dari bisikan, ia bisa menciptakan letupan-letupan yang tak terduga sebelumnya.

Well, lima tahun sudah Cordova berada dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Dari segi umur, memang masih tampak ‘hijau’, namun spirit membangun peradaban Andalusia-nya tak pernah hanyut dalam setiap langkah. Tak banyak mengira kalau Cordova tampil bukan hanya di dunia traveling suci haji dan umrah, karena memang sejak awal bangunannya di-setting bukan hanya sebagai jembatan menuju Baitullah, tetapi lebih integral merangkai cita mulia peradaban Islam di Cordoba, Andalusia. Kemajuan sains dan budayanya telah banyak menelurkan inspirasi untuk merubah dan mengembalikan paradigma Islam sebagai agama kuat yang elegan dengan balutan seni Islam yang menawan dan berkarakter. Menyerap kelebihan budaya lain, lalu memodifikasi dan membuat inovasi dengan beragam ide adalah ciri sains yang juga menjadi salahsatu ciri agama Islam. Karena sejak awal Rasulullah SAW telah menegaskan, bahwa Islam bukanlah agama baru, dan Al-Quran bukanlah satu-satunya kitab, tetapi kitab terakhir yang menyempurnakan semua kitab yang telah ada. Ciri khas Islam adalah menjadi penghubung ke masa lalu dan masa depan.

“Siapapun kita. apapun yang kita punya. Apapun yang kita lakukan, muara kita sama. Tanah itu. Persegi didalam bumi itu”.

Boleh jadi suatu hal yang paling dihindari atau ditakuti manusia sepanjang masa adalah kematian. Baik itu kita yang meninggalkan atau sebaliknya kita yang ditinggalkan. Rasa pilu dan sedih adalah manusiawi yang sulit terelakkan ketika dua hal tersebut terjadi. Baik dialami oleh diri sendiri, maupun orang-orang yang kita cintai. Takdir ajal atau kematian adalah hal yang pasti, tapi bagaimana kita mati adalah sebuah pilihan. Tentunya pilihan antara Khusnul Khatimah (happy ending), atau Su’ul Khatimah (akhir yang buruk). Jika manusia tidak tahu kapan hidupnya berakhir, maka untuk menuju Khusnul Khatimah, berlajulah dalam setiap gerak pada ‘zona kebaikan’. Kemana dan dimana kaki melangkah adalah jejak pilihan untuk menghadapi pilihan itu. Saya, Anda dan juga –mungkin- banyak orang kadang sering terlupa pada sebuah kematian. Betapa dekatnya, betapa misterinya, sehingga sulit diduga bagaimana kita mati. Akankah ruh meninggalkan jasad saat orang-orang dicintai disekeliling kita, atau malah disaat kita berada dipenghujung luka tanpa orang yang dicinta berada dihadapan kita. Semuanya membayangi detak nafas kita. Berlaju tanpa lelah tuk menghentikan gerak kita, tuk menghantarkan kita kembali selamanya pada muasal manusia tercipta.

Hampir satu bulan sekali, saya selalu diajak melihat film-film terbaru di bioskop seantero Jakarta. Baik ditengah kota dengan venue theatre yang menakjubkan, hingga ruang-ruang bioskop yang nyaris tak ber-ac. Semuanya dicoba untuk sekedar melihat bagaimana sebuah ‘show’ disajikan dari setiap cinema building. Sungguh, ajakan voltage –rekan saya- itu bukan sebatas untuk menyaksikan film-film Hollywood. Karena sesungguhnya, untuk menikmati itu, kita bisa melihat secara privat di ruang sendiri, terlebih dengan kecanggihan Rapidshare dalam me-download beragam film mancanegara termasuk film-film Hollywood terbaru, bisa kita lakukan sesuai selera. Namun ada sesuatu yang selalu menjadi menu diskusi kecil tentang segala yang kita lihat, baik di sepanjang jalan menuju venue, maupun mengupas ringan tentang cerita dan teknologi dari film yang usai ditonton. Dari ide cerita, aktor, audio, sampai fasilitas kursi yang diduduki kadang menjadi bahan obrolan. Terlebih teman saya satu lagi, Dims. Dia sangat antusias dengan film-film animasi –terkecuali Ipin Upin mungkin-, kadang ia ‘berubah’ menjadi seorang petugas Lembaga Sensor Film Animasi, saking detailnya mengomentari segala yang kami lihat.

Kesan pertama selalu menjadi hentakan dahsyat dalam segala hal. Sesuatu yang bernilai utama kerap berawal dari awalan, atau starting yang penuh dengan sensasi. Baik itu bersifat keriangan ataupun kedukaan. Ledakannya akan menciptakan suatu efek domino yang mengarah pada kekuatan rasa. Banyak orang yang merasa bahwa kesan pertama akan merubah semua stigma secara radikal. Seperti halnya dalam Islam, niat menjadi sebuah komandan utama dalam beraktivitas. Ia menjadi kekuatan yang mengawali semua ibadah manusia. Bila awalnya hancur, maka semuanya menjadi sia-sia. Momentum ‘Awalan’ adalah momentum emosional, ia yang akan menjadi kekuatan yang teramat dahsyat dalam mengarungi perjalanan dan penilaian seseorang. Langkah pertama selalu diperlukan. Perjalanan 1000 KM selalu diawali dengan langkah pertama. Bisnis besar, karir yang cemerlang dan kehidupan sukses lainnya diawali dengan langkah pertama. Semuanya selalu melewati periode pertama, karena –memang- kekuatan sebuah permulaan adalah cerminan dari hampir keseluruhan episode kehidupan.

Satu bulan sudah saya menetap di Kemang, sebuah tempat yang kini menjadi ranah pencari nafkah. Ruang kreasi tuk berkarya, dan headquarter untuk melayani para tamu suci. Setiap pojok ruangnya memiliki ciri khas sang penggagas. Yah, Kemang menjadi jalan utama perjuangan kami, Kemang juga yang akan mengawali langkah kami selanjutnya. Tak salah jika kami harus mengenal juga bagaimana tanah yang kami berdiri diatasnya menjadi tonggak perjalanan kami kedepan. Kemang menjadi bagian sejarah pergerakan hidup kami bersama bangunan cinta yang tercipta. ‘Kemang’ diambil dari sebuah nama buah, mirip mangga yang memiliki rasa asam dan manis. Sebelum masa pembangunan, daerah ini merupakan sebuah desa ‘pinggiran’ rakyat Betawi. Rumah-rumah orang Betawi asli ini umumnya terbuat dari papan, sangat sederhana, namun memiliki luas halaman yang sangat asri. Jalanan di depan rumah mereka pun merupakan jalan yang masih berasal dari tanah biasa, tidak seperti di kawasan lain di Jakarta saat itu, kehidupan orang Betawi di Kemang tergantung dari hasil buah-buahan dari perkebunan dan juga susu yang dihasilkan oleh peternakan sapi.

opini

Hari ini Selasa 15 Februari 2011 bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1432 H. ditetapkan sebagai Hari Kelahiran Rasulullah SAW. Seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan Maulid berlangsung di beberapa tempat, ada yang berlangsung sangat meriah namun tidak jarang pula yang berlangsung sangat sederhana. Perayaan Maulid dibeberapa daerah sudah menjadi tradisi, bahkan ada yang mengarah ke praktik syirik. Mengadakan sesajian, berkurban untuk alam, laut, gunung misalkan, pemubadziran makanan atau harta, ikhtilath atau campur baur laki-laki dan perempuan, praktek yang mengancam jiwa dengan berdesak-desakan atau rebutan makanan, dan lainnya yang bertentangan dengan syari’at. Dibalik semua perayaan yang berlangsung tersebut, tentunya ada hal yang paling penting kita maknai, sehingga perayaan itu bukan sekedar seremonial belaka.

Lidah ini ingin terus kugetarkan ketika ucapan salam terpetik bagimu yaa Rasulullah. Izinkan aku berziarah ke pusaramu yang suci. Aku ingin menangis dan menyapamu di sudut makammu yang hening. Aku ingin menatap pandumu dalam kerinduan yang syahdu. Salam bagimu ya Rasulullah. Izinkan aku bertemu denganmu, walau sedetik saja. Tak puas rasanya mendengar bait indah dari syair terkenal Taufik Ismail dalam merindui-mu, meski sejujurnya tak kuasa pula hati ini bergetar ketika merenungkan syair itu. Terlebih menikmati kisahmu yang penuh dengan rasa cinta pada manusia. Tiada satu pun manusia yang mampu memberi cahaya surga selain keikhlasanmu pada cinta yang penuh sahaja. Hingga akhir hayat pun kau masih memikirkan umat-mu, masih menceritakan cinta-mu, masih menyisihkan setengah nafasmu untuk mengatakan “Ummatii…” “Ummatii…” (umatku…umatku). Duhai manusia agung, bagaimana rasanya jika kami bertemu denganmu.

Sebelum membahas tentang ‘Message’ from God, saya ingin sedikit mengutarakan beberapa hal yang –mungkin- sering kita rasakan, yakni ketika ditimpa derita atau suatu kesulitan, hati terkadang bertanya-tanya “Kenapa harus saya yang menderita (?)”, atau “Kenapa seh musibah ini selalu menimpa saya (?)”. Saat itu, partikel dalam otak tak sempat lagi berpikir sebaliknya, yaitu melontarkan pertanyaan dalam kondisi terbalik. Jika kebahagian melanda, tidak pernah kita bertanya, “Kenapa harus aku (?)”. “Kenapa kebahagian ini selalu terjadi padaku (?)”. Prolog ini sebetulnya terinspirasi dari suatu artikel fiksi tentang percakapan manusia dan Tuhannya.

Ketika Tuhan Bertanya: Kamu memanggil-Ku ?
Manusia : Memanggil-Mu (?) Tidak…
Tuhan : Aku mendengar doa-mu, jadi aku ingin sebentar berbincang denganmu
Manusia: Ya, saya memang sering berdoa, hanya agar saya merasa lebih baik. Tapi sekarang saya sedang sibuk, sangat sibuk.
Tuhan : Sibuk apa? Semut juga sibuk. Aktifitas memberimu kesibukan, tapi produktifitas memberimu hasil. Aktifitas memakan waktu, produktifitas membebaskan waktu.
Manusia : Tetapi kenapa kami sering merasakan tidak senang dalam mengarungi waktu? Tuhan : Hari ini adalah hari esok yang kamu khawatirkan kemarin. Kamu merasa khawatir karena kamu menganalisa. Merasa khawatir menjadi kebiasaanmu. Karena itulah kamu sering tidak pernah merasa senang.

Apa yang bisa kita dapatkan dari perjalanan Sang waktu (?) Awalnya, manusia hanya tahu bahwa Allah SWT membagi waktu menjadi siang dan malam. Seiring bertambahnya umur manusia, barulah mengenal pembagian-pembagian waktu yang lain. Menjadi tahun, bulan dan hari. Dari hitungan-hitungan tersebut, manusia mengembangkan sendiri pembagian waktu tersebut, baik itu hitungan yang lebih panjang, seperti abad, milenium, ataupun hitungan waktu yang lebih pendek; jam dan detik. Perubahan detik, jam, hari dan bulan sudah lama tidak menjadi perhatian serius manusia. Hitungan tersebut sudah menjadi sangat cepat bagi manusia, orang-orang mengenyampingkannya, dan menganggapnya biasa-biasa saja, semuanya sudah terbungkus dalam rutinitas yang melelahkan. Yah, waktu terus berjalan, bergerak dan memutar jutaan dekade manusia, tak peduli manusianya ikut bergerak atau tidak, ia kan terus menerjang hingga batas waktu berakhir. Ketika kita ‘sadar’ bahwa waktu bergerak, maka pergerakan jasad itulah yang membuat kehidupan lebih bermakna. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan mulia, bukan suatu cerminan komunitas nomaden, justru sebaliknya menyingkap sebuah definisi hijrah sesungguhnya, yakni Move to Live.