Meretas Asa Dalam Luka

“Siapapun kita. apapun yang kita punya. Apapun yang kita lakukan, muara kita sama. Tanah itu. Persegi didalam bumi itu”.

Boleh jadi suatu hal yang paling dihindari atau ditakuti manusia sepanjang masa adalah kematian. Baik itu kita yang meninggalkan atau sebaliknya kita yang ditinggalkan. Rasa pilu dan sedih adalah manusiawi yang sulit terelakkan ketika dua hal tersebut terjadi. Baik dialami oleh diri sendiri, maupun orang-orang yang kita cintai. Takdir ajal atau kematian adalah hal yang pasti, tapi bagaimana kita mati adalah sebuah pilihan. Tentunya pilihan antara Khusnul Khatimah (happy ending), atau Su’ul Khatimah (akhir yang buruk). Jika manusia tidak tahu kapan hidupnya berakhir, maka untuk menuju Khusnul Khatimah, berlajulah dalam setiap gerak pada ‘zona kebaikan’. Kemana dan dimana kaki melangkah adalah jejak pilihan untuk menghadapi pilihan itu. Saya, Anda dan juga –mungkin- banyak orang kadang sering terlupa pada sebuah kematian. Betapa dekatnya, betapa misterinya, sehingga sulit diduga bagaimana kita mati. Akankah ruh meninggalkan jasad saat orang-orang dicintai disekeliling kita, atau malah disaat kita berada dipenghujung luka tanpa orang yang dicinta berada dihadapan kita. Semuanya membayangi detak nafas kita. Berlaju tanpa lelah tuk menghentikan gerak kita, tuk menghantarkan kita kembali selamanya pada muasal manusia tercipta.

Dari paparan diatas, kita bisa menilai bahwa hidup itu adalah sesuatu yang terlalu berharga dalam konteks kehidupan. Maka melanjutkan hidup melalui persiapan bekal sebaik-baiknya adalah kunci utama untuk menghargai dan mensyukuri hidup ini. Karena tiada yang tahu, apakah kita menjadi sosok yang pertama meninggalkan, atau seseorang yang ditinggalkan oleh sosok-sosok yang teramat kita cintai di muka bumi. Menyemikan rasa setiap saat pada mereka, karena perjalanan kita bersamanya tidak dapat diulang dalam perjalanan yang penuh batas ini.

Meski ada luka dalam kematian, namun Islam mengajarkan untuk menatapnya dengan penuh asa. Tidak takut menghadapinya, karena memang mati bukan akhir dari segalanya, tetapi justru menjadi awal dari segalanya dalam menghadapi hidup yang tak kan pernah mati. Keyakinan itu tidak mudah terpatri dalam jiwa, kecuali dengan keimanan yang kokoh dalam hati.

Nyanyian kematian kerap menusuk relung hati tuk sejenak berpikir, seberapa siapkah kita meninggalkan dunia beserta isinya, seberapa kokohkah jiwa meninggalkan segala rasa yang terbenam, seberapa deraskah airmata meninggalkan aliran darah yang terdapat pada jiwa-jiwa yang dicinta. Semua berharap akan ada cinta yang kembali hadir di‘sana’ kelak. Di tempat yang tidak ada kematian sepanjang masa, di tempat yang kekal dengan suka cita. Aminn

So, kematian akan mendatangi kita sesuai dengan selera kita dalam mengakhirinya. Apakah berada dalam lingkaran ‘nestapa’, atau tengah merajut cinta bersama Dzat Sang Pencipta. Apakah berada dalam niatan tuk menghambur dana, atau tengah berada dalam niatan menuju Baitullah setiap saat. Semuanya terserah Anda, karena bagaimana kita mati, ada dalam pilihan kita!

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *