Seri Nubuwah: 01

Suatu ketika Rasulullah SAW sedang asyik bertawaf di Ka’bah, tiba-tiba beliau mendengar seorang di hadapannya bertawaf, sambil berzikir: ‘Ya Karim! Ya Karim!’ Rasulullah SAW menirunya membaca ‘Ya Karim! Ya Karim!’ Orang itu lalu berhenti di salah satu sudut Ka’bah, dan berzikir lagi: ‘Ya Karim! Ya Karim!’ Rasulullah SAW yang berada dibelakangnya mengikuti kembali zikirnya ‘Ya Karim! Ya Karim!’ Merasa seperti di olok-olokan, orang itu menoleh kebelakang dan terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah, tampan dan bersih. Orang itu belum pernah mengenalnya. Lalu ia berkata dengan keras: ‘Wahai orang tampan! Apakah engkau memang sengaja memperolok-olokan ku, karena aku ini adalah orang Arab badui (?) Jikalah bukan karena parasmu yang bersih, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.’ Mendengar ucapan orang badui itu, Rasulullah SAW tersenyum, lalu bertanya: ‘Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab (?) ”Belum,’ jawab orang itu. ‘Jadi bagaimana kau beriman kepadanya (?)’ ‘Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan saya membenarkan putusannya sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya,’ kata orang arab badui itu pula.

Banyak tafsiran makna kata dari penggalan tema di atas, yah kata ‘Menyapa’ bisa melahirkan beberapa definisi berkaitan dengan kehidupan manusia di muka bumi. Laiknya menyapa, tentu yang dirasa adalah gerakan yang sangat halus, bahkan sesekali nyaris tak terasa. Setiap mata memandang, dan jiwa merasa –sesungguhnya- sarat dengan sapaan Allah kepada manusia, aneka peristiwa dalam panggung dunia adalah skenario yang tiada henti dari bentuk sapaan-Nya. Terkadang saya, -mungkin juga- Anda dan kebanyakan manusia merasakan sapaan Allah SWT ketika terjadi persitiwa besar di muka Bumi, baik berupa bencana alam, maupun kematian yang melanda orang di sekitar kita. Saat itulah kebanyakan manusia merasa bahwa terdapat kekuatan besar yang menggerakkan alam ini dengan musibah yang tiada henti. Bencana dan fenomena Alam adalah bentuk sapaan dan kehadiran-Nya yang lebih tegas dan jelas, karena sapaan yang lembut dan halus kini sudah sering terabaikan. Seringkali manusia terjebak dengan pola pikir yang mengutamakan logika, tanpa sedikitpun diimbangi dengan aspek spritual terhadap segala ‘Sapaan’ Dzat yang Maha Menggerakkan, Maha Pengatur alam, dan Maha dari segalanya.

Cordova-K-Link; Never Ending Journey

Hanya ada satu meja dan kursi besi diantara batasan pagar besi, seorang petugas paruh baya berjaga dengan ramah, kadang berjalan ke arah pos penitipan bagasi, kadang bercengkrama dengan pegawai jasa transportasi, yang ‘menjajakan’ produknya melalui booth disepanjang pintu keluar bea cukai Bandara Soekarno Hatta. Dengan sangat ramah, ia menawarkan meja jaganya untuk digunakan penyambutan jemaah Cordova. Padahal jelas, lantai yang bercat hitam tebal dengan garis kuning itu adalah area bebas dari penjemput, atau orang yang tak memiliki Id Pass Bandara. Mungkin kasihan melihat kami berdiri tegak menyusun blocking menunggu jemaah keluar. Atau –memang- penjaga ‘kekar’ itu ingin berbaik hati kepada crew perempuan kami yang sudah lama ‘mematung’. Dua hari lalu, saat hari masih pagi, ‘The Choosen’ peserta smartUMRAH K-Link tiba dari Tanah Suci. Hampir dari setengah pesawat terisi oleh mereka. Berbekal syal hitam kuning Cordova dengan baliknya tulisan K-Link, sangat mencolok untuk dikenal oleh setiap orang yang melihatnya. Pun demikian ketika, jemaah pertama keluar sangat mudah dikenal bahwa mereka “The Choosen” yang kami tunggu. Sekejap mereka pun mengenal kami dengan jelas, karena Cordova sign yang dibentangkan oleh salah seorang staff mengarahkan jalur menuju Shapire d’Consulate untuk sekedar istirahat menunggu bagasi yang dihandle team Cordova beserta bagian jemaah yang membantu.

Belajar dari komunitas Preman

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata ‘Preman’ adalah kata dasar dari premanisme. Yang berarti sebutan untuk orang jahat (penodong, perampok dan sejenisnya). Kata ini juga –nampaknya- merupakan bantuan dari bahasa Belanda dan Ingris. Dalam bahasa Belanda berasal dari dua suku kata, yakni ‘Vrije Man’ dengan kata dasar Vrije yang berarti bebas, merdeka (bukan budak) sedangkan Man diartikan sebagai orang. Orang yang bebas melakukan kejahatan disebut sebagai preman. Premanisme (aktivitas kejahatan) adalah sesuatu yang –sebenarnya- menjadi watak manusia sebagai Khalifah, ingat bagaimana ketika Para Malaikat bertanya kepada Allah tentang penciptaan manusia yang akan membuat kehancuran di muka bumi. Tetapi dengan hak prerogatif Allah berfirman “Aku lebih tahu dari apa yang kau tidak ketahui”. Jelas bahwa dalam penciptaan manusia, ada watak-watak dalam jiwa manusia yang berpotensi menjadi ‘preman’, tetapi dengan Anugrah-Nya, manusia diberikan segumpal hati yang akan mengontrol daya ledak ‘Premanisme’ dalam diri setiap manusia. Ia yang akan menjadi barometer perbedaan antara manusia sebagai khalifah dengan makhluk lainnya di muka bumi.

Berikut ini adalah dokumentasi foto realisasi kegiatan Connecting Care yang dipersembahkan oleh jamaah smartHAJJ 1431 H untuk korban erupsi Merapi 2010. Connecting Care merupakan bagaian dari kegiatan Wukuf Live smartHAJJ 1431 H yang diselenggarakan pada tanggal 15 November tahun 2010 lalu di Balai Kartini Jakarta. Connecting Care menghubungkan jamaah haji yang sedang melaksanakan wukuf di Arafah dengan keluarganya di Jakarta serta saudara-saudara muslim yang sedang dilanda bencana akibat letusan Gunung Merapi di Yogyakarta.

no images were found

Bagi sebagian kita mungkin terlalu usang membahas masalah kekuatan mimpi dalam kehidupan nyata. Terlalu banyak media yang mengulas bagaimana mimpi dapat merubah langkah setiap manusia, terlalu sering kita mendengar motivasi tentang mimpi yang mampu menggenggam dunia. Namun, sebagian kita juga masih setengah hati untuk meyakinkan bahwa dalam mimpi terdapat energi besar yang merubah kehidupan. Sehingga efek dari mimpi hanyalah menjadi suatu pelengkap tidur nyenyak. Padahal jika kita telusuri, hampir semua kesuksesan berawal dari sebuah ‘Mimpi’. Lihat saja bagaimana dahsyatnya mimpi seorang Khalilullah Ibrahim As. ketika bermimpi akan menyembelih anaknya, yang berujung pada pelaksanaan syariat ibadah haji hingga saat ini, bagaimana juga mimpi Khatamul Anbiya Rasulullah SAW tentang penaklukan negeri Persia oleh kekuatan Islam, sehingga terealisasi bahkan menyebar hampir di semua pelosok bumi. Semua bermula dari mimpi, namun –tentunya- mimpi yang bersifat suatu harapan, bukan nightmare yang memutuskan impian indah dalam sebuah cita.

Case Analysis

Awalnya saya sedikit ragu untuk mempostingkan artikel ini, karena jelas opini dalam artikel sebelumnya mengenai Abu Nawas Vs Joker akan sangat termentahkan oleh analisis ini yang mungkin saja salah total. Jika pada artikel sebelumnya, saya terkesan menempatkan kedua pihak itu berada pada pos yang saling bertentangan (menghujat Joker dan Abu Nawas), tetapi pada kolom ini saya menempatkan mereka justru pada satu poros yang saling menguntungkan antara keduanya. Dalam artian sandiwara berdarah ini di rekayasa oleh kedua belah pihak yang saling ‘menguntungkan’ yakni Khadafi dan pasukan ‘Joker’ beserta sekutunya. Yah, saya namakan strategi ini dengan ‘Double Impact’, dampak ganda. Dampak yang membuat dua keuntungan bagi Agresor maupun Khadafi Sang Pemimpin negeri. Tidak menutup mata, tentunya analisis ini terkesan kontroversi juga bisa termentahkan oleh fakta dan analisis lainnya. Saya hanya berfikir ada semacam kontradiksi atau keganjilan dalam peristiwa berdarah ini. Garis merah yang sedikit saja dirasakan tampak pada apa yang terjadi saat ini di Libya. Tentunya, -sekali lagi- ini hanya sebatas analisis yang boleh jadi benar juga bisa saja salah.

Manusia hidup dalam lingkaran sejarah, setiap aspek kehidupannya tak lepas dari ruang sejarah yang akan terus berkelanjutan. Sadar atau tidak, manusia adalah makhluk sejarah. Ia bisa dibesarkan dan juga ditenggelamkan oleh sejarah. Sejarah adalah ‘tonggak’ suatu peradaban, bisa memihak yang menang, tetapi tidak selamanya membunuh yang kalah. Setiap kita akan menjadi sejarah, bagi keluarga, handai taulan bahkan untuk sebuah peradaban yang kelak terbangun dari sikap dan buah karya kita, baik maupun jelek. Di setiap langkah kaki terdapat pijakan yang menjadi buncahan history. Terekam dalam suara alam yang –mungkin- tak pernah kita sadari. We Will Be History, yah kita akan menjadi sejarah. Sejarah bagi siapapun, sejarah yang tak kan pernah luput dari pembelajaran, bahkan –kelak- kujur kaku tubuh kita pun akan menjadi sejarah bagi mereka yang berfikir. Merubah sejarah menjadi pelajaran penting harus disertai dengan kejujuran dan nurani, sebab jika tidak, sejarah kelam bukan malah ditinggalkan, tetapi menjadi pengulangan yang kelam.

Ada banyak tafsiran tentang tema diatas. Anda bisa mengartikannya secara tekstual maupun kontekstual, namun esensi maknanya diyakini akan tetap sama, yakni sebuah perjalanan pada hari pertama. Baik tentang hari dimana perjalanan akan dimulai, ataupun cerita tentang persiapan menghadapi suatu perjalanan. Kemana pun, baik perjalanan pertama sang bayi saat pertama menghirup udara, pertualangan hiking, ataupun perjalanan religi semacam umrah maupun haji. Namun, kali ini penulis akan mencoba mem-break down makna yang tersirat dari ‘Day ONE Journey’. Yakni perjalanan spritual manusia saat pertama menghadap the only ONE God. Perjalanan yang mengisahkan etape hidup sesungguhnya, perjalanan awal dari akhir kehidupan yang fana. Day ONE Journey juga adalah buah dari perjalanan manusia di muka bumi. Terkadang perjalanan ini terlupakan, atau sengaja dilupakan. Karena sifatnya masih abstrak bin ghaib, maka perjalanan yang terpampang di depan mata lah yang selalu di prioritaskan. Padahal ia juga tak kan pernah tahu kapan nafas itu berhenti. Hingga tibalah Day ONE Journey itu dihadapannya. Hari dimana kehidupan sebenarnya telah datang, hari dimana perhitungan akan dimulai, hari dimana akan dilupakan sanak family, dan hari dimana akan terlihatnya suatu kebenaran yang hakiki. Hari Masyhar yang menjadikan saksi.

Sejatinya, jika masing-masing pihak atau stakeholder dalam menangani para tamu agung ke Tanah Suci mengedepankan kepentingan jemaah, maka permasalahan yang timbul belakangan ini akan sedikit diminimalisir. Meski -tentunya- tidak dinafikan bahwa mengais rezeki dari usaha tersebut tak bisa dielakkan. Tetapi sedikit disayangkan, jika hanya terlalu money orientied dengan seribu kepentingan meraup pangsa pasar yang menjanjikan, ternyata berakibat kisruh dan kekecewaan dari setiap calon jemaah umroh, lebih parah lagi visa umroh terlambat keluar dari schedule dan perencanaan setiap orang yang merindu Baitullah. Re-schedule bukan hal mudah bagi mereka yang telah memetakan agenda kesehariannya. Untuk masalah ini -baik batalnya ribuan orang berangkat ke Tanah Suci atau yang harus menunggu keluarnya visa- kita tidak lagi memiliki stock apologi bahwa Allah belum saatnya mengundang kita ke Tanah Suci. Sebab semua itu adalah perangkat yang bisa dilakukan oleh para pemegang kebijakan baik di Indonesia maupun di Arab Saudi. Hakikatnya panggilan Allah untuk mengundang hamba-Nya sudah dijawab dengan hati dan perbekalan yang mantap. Hanya birokrasi duniawi yang memuluskan rencana suci tersebut, karena terlaksana dengan mulus dan tidaknya permasalahan itu terdapat pada kebijakan diatas. Terlebih jika ada proses ‘jegal menjegal’ hanya demi meraup kepentingan bisnis, maka sungguh hal tersebutlah yang sebenar-benarnya pendzoliman pada Tetamu Allah SWT (baca edisi Cordova Turut Berduka).