Suatu ketika di negeri ‘Samudra’, ada tiga tamu mendatangi satu keluarga. Ketika ditanya sang istri, siapa dan hendak bertemu dengan siapa, mereka hanya mengatakan sederhana “Nama kami CintaNa, dan ini saudara saya, HartaNa dan TahtaNa, Kami ingin bertemu dengan semua penghuni rumah”. Sang istri pun mengatakan bahwa suami dan anak-anaknya belum tiba di rumah. Tiga tamu itu hanya tersenyum, serta meminta izin untuk menunggu suami dan anaknya di serambi rumah. Tidak lama kemudian, anaknya tiba dan menanyakan kepada sang bunda perihal tamu asing yang berada di teras rumahnya. Ibunya hanya menjawab “Mereka tamu yang akan masuk ketika semua keluarga kita berkumpul, kali ini kita hanya menunggu ayahmu Nak,” ujarnya singkat. Setelah berapa lama menunggu, akhirnya si Ayah tiba di rumahnya seraya melihat ketiga tamu dengan senyuman di beranda rumah. Saat bertanya kepada istrinya, maka dijelaskan lah seperti jawaban kepada anaknya beserta nama-namanya. “Kalau begitu, persilahkan mereka masuk!” Perintah sang Bapak kepada anaknya.

Manusia hidup dalam lingkaran sejarah, setiap aspek kehidupannya tak lepas dari ruang sejarah yang akan terus berkelanjutan. Sadar atau tidak, manusia adalah makhluk sejarah. Ia bisa dibesarkan dan juga ditenggelamkan oleh sejarah. Sejarah adalah ‘tonggak’ suatu peradaban, bisa memihak yang menang, tetapi tidak selamanya membunuh yang kalah. Setiap kita akan menjadi sejarah, bagi keluarga, handai taulan bahkan untuk sebuah peradaban yang kelak terbangun dari sikap dan buah karya kita, baik maupun jelek. Di setiap langkah kaki terdapat pijakan yang menjadi buncahan history. Terekam dalam suara alam yang –mungkin- tak pernah kita sadari. We Will Be History, yah kita akan menjadi sejarah. Sejarah bagi siapapun, sejarah yang tak kan pernah luput dari pembelajaran, bahkan –kelak- kujur kaku tubuh kita pun akan menjadi sejarah bagi mereka yang berfikir. Merubah sejarah menjadi pelajaran penting harus disertai dengan kejujuran dan nurani, sebab jika tidak, sejarah kelam bukan malah ditinggalkan, tetapi menjadi pengulangan yang kelam.

Ada banyak tafsiran tentang tema diatas. Anda bisa mengartikannya secara tekstual maupun kontekstual, namun esensi maknanya diyakini akan tetap sama, yakni sebuah perjalanan pada hari pertama. Baik tentang hari dimana perjalanan akan dimulai, ataupun cerita tentang persiapan menghadapi suatu perjalanan. Kemana pun, baik perjalanan pertama sang bayi saat pertama menghirup udara, pertualangan hiking, ataupun perjalanan religi semacam umrah maupun haji. Namun, kali ini penulis akan mencoba mem-break down makna yang tersirat dari ‘Day ONE Journey’. Yakni perjalanan spritual manusia saat pertama menghadap the only ONE God. Perjalanan yang mengisahkan etape hidup sesungguhnya, perjalanan awal dari akhir kehidupan yang fana. Day ONE Journey juga adalah buah dari perjalanan manusia di muka bumi. Terkadang perjalanan ini terlupakan, atau sengaja dilupakan. Karena sifatnya masih abstrak bin ghaib, maka perjalanan yang terpampang di depan mata lah yang selalu di prioritaskan. Padahal ia juga tak kan pernah tahu kapan nafas itu berhenti. Hingga tibalah Day ONE Journey itu dihadapannya. Hari dimana kehidupan sebenarnya telah datang, hari dimana perhitungan akan dimulai, hari dimana akan dilupakan sanak family, dan hari dimana akan terlihatnya suatu kebenaran yang hakiki. Hari Masyhar yang menjadikan saksi.

“Siapapun kita. apapun yang kita punya. Apapun yang kita lakukan, muara kita sama. Tanah itu. Persegi didalam bumi itu”.

Boleh jadi suatu hal yang paling dihindari atau ditakuti manusia sepanjang masa adalah kematian. Baik itu kita yang meninggalkan atau sebaliknya kita yang ditinggalkan. Rasa pilu dan sedih adalah manusiawi yang sulit terelakkan ketika dua hal tersebut terjadi. Baik dialami oleh diri sendiri, maupun orang-orang yang kita cintai. Takdir ajal atau kematian adalah hal yang pasti, tapi bagaimana kita mati adalah sebuah pilihan. Tentunya pilihan antara Khusnul Khatimah (happy ending), atau Su’ul Khatimah (akhir yang buruk). Jika manusia tidak tahu kapan hidupnya berakhir, maka untuk menuju Khusnul Khatimah, berlajulah dalam setiap gerak pada ‘zona kebaikan’. Kemana dan dimana kaki melangkah adalah jejak pilihan untuk menghadapi pilihan itu. Saya, Anda dan juga –mungkin- banyak orang kadang sering terlupa pada sebuah kematian. Betapa dekatnya, betapa misterinya, sehingga sulit diduga bagaimana kita mati. Akankah ruh meninggalkan jasad saat orang-orang dicintai disekeliling kita, atau malah disaat kita berada dipenghujung luka tanpa orang yang dicinta berada dihadapan kita. Semuanya membayangi detak nafas kita. Berlaju tanpa lelah tuk menghentikan gerak kita, tuk menghantarkan kita kembali selamanya pada muasal manusia tercipta.

Prosperous to the Prophet

Nabi Muhammad SAW memiliki sifat yg sangat mulia. Beliau adalah pribadi yang sangat gemar menolong orang lain, banyak diceritakan bagaimana kekasih Allah itu menjadi cahaya bagi gelapnya kehidupan kala itu. Ada sebuah kisah menarik yang menggambarkan kemuliaan akhlak beliau. Kesantunan ketika ia berhadapan dengan seorang pengemis yahudi buta yang selalu menghinanya.

Al-kisah, hidup di sudut pasar Madinah Al-Munawarah, seorang pengemis Yahudi yang buta dan tak pernah henti memaki Rasulullah SAW. Setiap hari ia lalui dengan berkata: “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya”.

Satu bulan sudah saya menetap di Kemang, sebuah tempat yang kini menjadi ranah pencari nafkah. Ruang kreasi tuk berkarya, dan headquarter untuk melayani para tamu suci. Setiap pojok ruangnya memiliki ciri khas sang penggagas. Yah, Kemang menjadi jalan utama perjuangan kami, Kemang juga yang akan mengawali langkah kami selanjutnya. Tak salah jika kami harus mengenal juga bagaimana tanah yang kami berdiri diatasnya menjadi tonggak perjalanan kami kedepan. Kemang menjadi bagian sejarah pergerakan hidup kami bersama bangunan cinta yang tercipta. ‘Kemang’ diambil dari sebuah nama buah, mirip mangga yang memiliki rasa asam dan manis. Sebelum masa pembangunan, daerah ini merupakan sebuah desa ‘pinggiran’ rakyat Betawi. Rumah-rumah orang Betawi asli ini umumnya terbuat dari papan, sangat sederhana, namun memiliki luas halaman yang sangat asri. Jalanan di depan rumah mereka pun merupakan jalan yang masih berasal dari tanah biasa, tidak seperti di kawasan lain di Jakarta saat itu, kehidupan orang Betawi di Kemang tergantung dari hasil buah-buahan dari perkebunan dan juga susu yang dihasilkan oleh peternakan sapi.

Air jika dibiarkan terus menggenang tanpa aliran, lama-lama akan menjadi sarang penyakit. Demikian juga udara, jika dibiarkan berhenti, tak berhembus, akan menimbulkan kepengapan dan akhirnya merusak pernafasan. Semua harus bergerak, tidak boleh ada yang terdiam. Adalah kenyataan bahwa segala ciptaan Allah SWT selalu bergerak. Bumi, Matahari, Bulan, Bintang dan semua tata Surya berotasi tiada henti. Sekali berhenti akan terjadi kerusakan dan bencana yang luarbiasa. Bahkan makhluk-makhluk mikro sekalipun, seperti bakteri dan virus pun selalu bergerak. Hukum Allah yang terjadi pada alam raya itu sesungguhnya terjadi juga pada diri manusia. Secara fisik, jika manusia berhenti, diam dan tidak melakukan aktifitas, maka dalam kurun waktu tertentu kesehatannya akan terus menggerogoti dan mengganggu kesehatan. Selain mudah lelah, berbagai penyakit pun akan mudah berdatangan. Demikian pula dengan pikiran. Seseorang yang membiarkan otaknya berhenti berpikir, maka dalam jangka waktu tertentu pikirannya akan terganggu. Sulit berpikir logis dan sistematis. penelitian ilmiah, orang yang kurang terbiasa menggunakan pikirannya, pada usia tua akan mudah menjadi pikun.

Namanya Rina Sa’adah, Mojang tasik asal kawalu yang sedang studi S1 di Al-Azhar, Kairo ini sedang harap-harap cemas menunggu jadwal evakuasi ke Indonesia karena ketidakstabilan keamanan yang sedang terjadi di Mesir. Selama kurang lebih sepuluh hari, Bu Haji, panggilan akrabnya, harus rela bersabar dikarantina di Asrama Jam’iyyah Syar’iyyah (JS) di daerah Nasr City Cairo. Situasi keamanan memang memaksa para penghuni asrama untuk tetap berdiam diri disana. Walaupun dia sudah terbiasa dengan disiplin asrama yang mengharuskan anak asuhnya tidak sering keluar rumah, namun dengan situasi seperti ini Bu Haji merasa seperti mendapat tekanan batin ingin segera menghirup udara segar di luar asrama. Keadaan asrama JS sebenarnya terbilang sangat aman. Sangat beruntung bagi orang yang bisa masuk ke asrama JS. Bu haji dan rekan sekamarnya bisa tenang belajar, mengaji, menghafal al-Quran, dan selalu didampingi Mushrifah (pembimbing). Kebutuhan pangan pun terpenuhi secara cukup.

Apa yang bisa kita dapatkan dari perjalanan Sang waktu (?) Awalnya, manusia hanya tahu bahwa Allah SWT membagi waktu menjadi siang dan malam. Seiring bertambahnya umur manusia, barulah mengenal pembagian-pembagian waktu yang lain. Menjadi tahun, bulan dan hari. Dari hitungan-hitungan tersebut, manusia mengembangkan sendiri pembagian waktu tersebut, baik itu hitungan yang lebih panjang, seperti abad, milenium, ataupun hitungan waktu yang lebih pendek; jam dan detik. Perubahan detik, jam, hari dan bulan sudah lama tidak menjadi perhatian serius manusia. Hitungan tersebut sudah menjadi sangat cepat bagi manusia, orang-orang mengenyampingkannya, dan menganggapnya biasa-biasa saja, semuanya sudah terbungkus dalam rutinitas yang melelahkan. Yah, waktu terus berjalan, bergerak dan memutar jutaan dekade manusia, tak peduli manusianya ikut bergerak atau tidak, ia kan terus menerjang hingga batas waktu berakhir. Ketika kita ‘sadar’ bahwa waktu bergerak, maka pergerakan jasad itulah yang membuat kehidupan lebih bermakna. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan mulia, bukan suatu cerminan komunitas nomaden, justru sebaliknya menyingkap sebuah definisi hijrah sesungguhnya, yakni Move to Live.

Semua orang –mungkin- pernah merasakan bagaimana rasanya ketika dihinggap perasaan rindu, asa yang menggebu. Jiwa yang meronta karena ingin segera berjumpa. Siang malam gelisah, pasrah menunggu saat yang begitu dinanti. Terlebih jika penantian itu terhadap sosok mulia pembawa Risalah, jangan kan menatap dan menyentuh makamnya, mendengar nama mulia-nya saja, hati terasa bergetar, shalawat menggema dalam jiwa. Dan rasa melebur dalam raga. Semua partikel mengalir dalam tubuh. Begitulah yang dirasa oleh sahabat Uwais Al-Qorni. Seorang yang dinyatakan sebagai ahli surga, penghuni langit, dan sangat terkenal di seantero penduduk langit, namun kurang dikenal di bumi yang terpijak. Uwais Al-Qorni adalah seorang pemuda tampan bermata biru, rambutnya merah dan pundaknya tegap. Ia telah lama menjadi Yatim, tak punya saudara, kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai pengembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menampung kesehariannya bersama sang ibu.