Menyaksikan tragedi berdarah dibeberapa sudut negeri belum lama ini, membuat setiap orang tersayat hatinya. Bagaimana dan kenapa peristiwa yang melanda Negeri ini seakan tak pernah usai. Ragam kepentingan membalut setiap insan yang penuh dengan ambisi. Meremukkan harmoni yang dibangun oleh pejuang negeri, meski harus tertatih mengembalikan jati diri. Tapi semuanya harus terberai dengan sangat keji. Karena memang pengendalian diri tak pernah terusik oleh nurani. Saya dan setiap orang tentu sangat menyayangkan setiap peristiwa berdarah itu terjadi. Entahlah kemana perginya sisi lembut manusia, kedamaian yang terasa kerap menjadi puing-puing kebencian. Tak ada lagi pandangan kasih yang terpancar, sebaliknya hanyalah sorot kecurigaan yang terus menerka. Damai telah terkeping menjadi suatu barang yang teramat mahal, sulit tuk dicari dan mudah tuk disulut.

Sungguh saya dan –mungkin- Anda yang pernah menyaksikan bangunan Ka’bah secara langsung, akan sangat takjub pada kekuatan Ka’bah, laiknya magnet raksasa yang menarik kekuatan positif pada gelombang manusia yang memutarinya. Saya banyak belajar dari “kebisuan” ka’bah. Yah, meski secara kasat mata saya memandang ka’bah sebuah bangunan ‘Bisu’ yang tak pernah berkata, namun jauh dalam jiwa manusia, bangunan kubus itu memiliki kekuatan super tuk menghempaskan sisi gelap manusia. Jauh sebelum Rasulullah membersihkan ka’bah dari praktik Jahiliyyah, mereka tetap menganggap Ka’bah adalah bangunan suci yang memiliki nilai historis yang dibangun leluhur mereka. Sesungguhnya, jika kita memandang Ka’bah dari sudut pandang bentuk, maka kita hanya melihat kubus sebagai kotak biasa yang terbalut kain hitam, titik. Tetapi jika kita melihat dari dimensi lain, kita akan melihat ka’bah yang berbentuk kubus sebagai bangunan ruang yang spesial.

Airmata di Samudra Cinta

Perjalanan ini, adalah perjalanan pertamaku ke Tanah Suci. Keindahan yang tak bertepi, kenikmatan yang tiada henti. Begitu luas energi cinta bersinergi, membuat pelangi rasa dalam hati. Sungguh sebuah anugrah terbesar dalam hidup, saat bersujud dan merintih di pelataran Haram nan agung. Kuyakin, sekeras apapun hati manusia, jika ada upaya tuk mengosongkan diri, ia kan bersimbuh lemas terbawa arus cinta yang bergelombang. Aura positif begitu terasa, sehingga hati siapapun tak kan pernah sanggup menahan letupan jiwa. Yaa Rabbi…aku benar-benar tak kuasa membendung semua ini. Begitu banyak dosa dan nista menjadi kebanggaan diri, sepatutnya aku tak berada disini bersama orang-orang suci. Aku malu Gusti…Namun atas karunia-Mu, jalan menuju Istana-Mu dapat terangkai dengan sangat mulia. Terimakasih Allah! Terimakasih Cordova!.

Jika Anda berkesempatan menjelajah negeri-negeri impian, dan menyaksikan bagaimana bangunan-bangunan indah menjulang tinggi, maka rasa takjub tiada tara menghampiri pandangan Anda tuk mengaguminya. Lihatlah bagaimana Pyramida dan Sphink berdiri kokoh, bagaimana pula tembok raksasa membentang sekian mil negeri China. Keindahan arsitektur Taj Mahal pun mampu menyihir batasan pandang manusia. Belum lagi dengan Borobudur yang nyaris tiada cacat, seolah goresan bangunan-bangunan itu mewakili nafas kuno yang masih bertengger diantara bangunan-bangunan modern masa kini. Masih banyak bangunan-bangunan indah yang menakjubkan hasil karya manusia dibelahan bumi lainnya. Tentu selain memiliki tujuan, pembangunan itu selalu diwarnai rasa kelam oleh masyarakat sekitar dalam proses pembangunannya. Saya teringat dengan tulisan seorang penulis wanita Mesir yang terkenal, Nawal Saadawi. Ia menuturkan, jika Anda hendak menuju sebuah bangunan yang menjadi simbol peradaban –seperti halnya Pyramida, tembok raksasa dll- maka pastikan sebelumnya Anda berputar mengelilingi terlebih dulu ke perkampungan masyarakat di sekitarnya.

Jika Anda sulit memahami tema diatas, ada baiknya Anda mengingat sebuah film Super Hero Batman. Disana jelas dikisahkan terdapat sinyal khusus untuk memanggil sang Super dalam memberantas kejahatan di kota Gotham. Sinyal itu sering dilukiskan dengan Bat – Signal. Setiap ada kejahatan dan kesemrawutan, maka sinyal itu kan terkoneksi pada manusia kelelawar si pembela kebenaran. Bat – Signal tentu hanya ada dalam dongeng dan kisah fantasi, tetapi berbeda dengan CAT – Signal, suatu sinyal khusus dari Cordova Abila Travel untuk mengkoneksikan Anda menuju Tanah Suci. Jika setiap penduduk Gotham memerlukan bantuan Batman, maka sinyal itu akan menyala tuk memanggilnya. Pun dengan CAT – Signal, setiap orang yang ingin menempuh perjalanan suci dengan pelayanan eksklusif, maka Anda hanya menyalakan sinyal ingatan Anda dengan CAT – Signal. Karena –memang- idealisme Cordova, adalah mengajak semua umat Islam Indonesia yang mapan untuk bersegera menuju Tanah Suci melalui CAT – Signal.

‘Sebagai makhluk hidup di dunia ini, kita juga merencanakan untuk sebuah perjalanan yang akan datang setelah kematian. Perjalanan itu benar-benar adalah untuk jangka waktu yang panjang. Dimulai dari kubur dan berakhir di Jannah.’

Kecerdasan orang beriman adalah ketika ia mampu mengolah hidupnya yang sesaat demi kehidupan yang lebih panjang nan abadi. Menurut syair Arab, hidup bukan untuk hidup, tetapi hidup untuk Yang Maha Hidup. Hidup bukan untuk mati, tapi mati itulah untuk hidup. Jika kita menghayati dalam bagaimana proses perjalanan hidup dan mati yang dialurkan oleh Al-Qur’an, maka seyogyanya sebagai manusia kita jangan pernah takut mati, tetapi jangan mencari mati dan melupakan kematian. Karena mati adalah gerbang menuju pertemuan dengan Allah SWT. Kematian bukanlah cerita dalam akhir hidup. Tetapi mati adalah awal cerita sebenarnya.

Menurut makna asalnya, thawaf berarti mengelilingi sesuatu. Sedangkan menurut istilah syar’i, thawaf adalah salahsatu bentuk ibadah dengan cara mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali. Dalam rangkaian ibadah haji, kedudukan thawaf sangat penting sekali. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa Allah SWT menurunkan 120 Rahmat kepada orang yang berhaji/berumrah di rumah Allah yang suci: 60 untuk yang bertawaf, 40 untuk yang shalat, dan 20 untuk yang menyaksikan atau melihat Ka’bah. (Hadist riwayat Al-Baihaqi). Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an dan hadist tidak dijelaskan secara mendetail makna berkeliling di sekitar ka’bah itu, tetapi ayat-ayat Allah di alam semesta dapat membantu menjelaskan maknanya. Jika diperhatikan secara mendalam tentang alam semesta, maka mereka pun melakukan thawaf sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya. Thawaf bisa juga diartikan sebagai simbolisasi dari perjalanan hidup manusia yang terus mengalami perputaran, tentunya berputar harus sesuai dengan orbit yang tepat, yakni berputar dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jika manusia telah keluar dari orbit penciptaannya, maka ia telah keluar dari orbit yang sama artinya dengan kehancuran. Karena tidak ada keseimbangan dalam berputar.

Jalan yang diperagakan dan diserukan Kekasih Allah SWT, Nabi Muhammad SAW adalah suatu jalan yang lurus dan tunggal. Ia menjanjikan track yang dilaluinya akan menjamin hidup manusia pada sebuah kenikmatan yang kekal, baik di dunia maupun di akherat. Perkara ia merasa hidup di dunianya susah dan serba berkurang setelah berada di jalan yang benar, adalah sebuah pandangan manusia yang tak lepas dari perhitungan material. Perjalanan yang dijejaki Rasul sesungguhnya adalah undangan surga yang terwejentahkan oleh proses dakwah menuju suatu yang hakiki. Tetapi, disepanjang jalan tersebut, banyak percabangan yang ditemukan. Setiap percabangan menawarkan beragam janji manis sebagai warna yang akan mengabutkan pandangan pada jalan yang telah terbentang. Sehingga undangan-undangan suci dari surga, kerap hanya sebagai “manuskrip” usang yang tidak begitu penting dari proses hidup yang lebih membutuhkan materi sebagai bekal di hari tua. Jalan cabang itu selalu memberikan jaminan untuk meyakinkan manusia agar menuju kenikmatan yang rasanya mustahil naluri nafsu manusia menolaknya. Karenanya Allah SWT berfirman “…dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah ta’aala kepadamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-An’am : 153).

Waktu Saya dan Anda Beda!

Sebelum kita meneruskan pembahasan tentang sinkronisasi ilmu pengetahuan modern dengan Al-Qur’an, ada baiknya saya menjelaskan kenapa situs ini menempatkan artikel “Science” diantara rutinitas ‘menu’ haji dan umrah. Selain karena kandungan dalam ibadah suci (haji dan umrah) diatas, sarat dengan unsur pengetahuan yang meliputi semua aspek kehidupan manusia, Cordova juga konsen menelusuri ilmu pengetahuan modern dalam mengungkap keajaiban Al-Qur’an yang jauh terlebih dulu mengkabarkan fenomena alam dari para scientist modern. Itu karenanya program smartUMRAH Scientist Edition yang diluncurkan dua tahun lalu, untuk memberikan ruang bagi jemaah umrah -selain melaksanakan ibadah- juga untuk sedikit banyak memahami fenomena alam yang terjadi sesuai dengan Al-Qur’an dan sintesis para scientist langsung ditempatnya. Baiklah, untuk kesempatan kali ini, kita akan membahas masalah waktu. Jika kita memperhatikan teori yang dikemukakan oleh Albert Einstein, tentang relativitas waktu, pada awal abad ke-20. Maka secara ilmiah telah terbukti bahwa waktu ditentukan oleh massa dan kecepatan, atau secara gamblang ia menjelaskan bahwa waktu untuk benda-benda yang bergerak dengan kecepatan berbeda, memiliki perbedaan waktu. Dalam sejarah manusia, tak seorang pun mampu mengungkapkan fakta ini dengan jelas sebelumnya. Namun Al-Qur’an telah mengabarkan jauh sebelumnya “Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu.” (QS. 22:47).

Umur Alam Semesta

Setelah mengupas, bagaimana sinkronisasi antara teks Al-Qur’an dengan fenomena alam yang terjadi di bumi pada Scientist Zone (SZ) part pertama, kita melangkah pada kajian yang tak kalah menariknya untuk dibahas. Persepktif manusia memandang bahwa Al-Qur’an mampu mengantisipasi kejadian masa depan dengan akurat, maka sesungguhnya itu hanyalah hipotesa manusia yang melihat dan merasakan suatu materi yang tampak. Padahal sesungguhnya, dalam pandangan Al-Qur’an, semua kejadian di bumi telah tercatat dengan baik di dalam Kitab Utama, Pusat Arsip atau Lauh Mahfuzh di Arsy-Nya Allah SWT sebelum kejadian tersebut berlangsung. Mohammed Asadi dalam bukunya The Grand Unifying Theory of Everything mengatakan bahwa umur alam semesta, berdasarkan penyelidikannya terhadap bintang-bintang tertua, adalah antara 17 sampai 20 miliar tahun. Sedangkan Profesor Jean Claude Batelere dari College de France menyatakan bahwa umur alam semesta kira-kira 18 miliar tahun. Dalam Al-Qur’an ada dua ayat yang mengindikasikan perhitungan alam semesta selain makna relativitas waktu, yaitu Surat as-Sajdah (32:5) dan Al-Ma’arij (70:4).