Untuk Apa Manusia Bertawaf (?)

Menurut makna asalnya, thawaf berarti mengelilingi sesuatu. Sedangkan menurut istilah syar’i, thawaf adalah salahsatu bentuk ibadah dengan cara mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali. Dalam rangkaian ibadah haji, kedudukan thawaf sangat penting sekali. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa Allah SWT menurunkan 120 Rahmat kepada orang yang berhaji/berumrah di rumah Allah yang suci: 60 untuk yang bertawaf, 40 untuk yang shalat, dan 20 untuk yang menyaksikan atau melihat Ka’bah. (Hadist riwayat Al-Baihaqi). Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an dan hadist tidak dijelaskan secara mendetail makna berkeliling di sekitar ka’bah itu, tetapi ayat-ayat Allah di alam semesta dapat membantu menjelaskan maknanya. Jika diperhatikan secara mendalam tentang alam semesta, maka mereka pun melakukan thawaf sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya. Thawaf bisa juga diartikan sebagai simbolisasi dari perjalanan hidup manusia yang terus mengalami perputaran, tentunya berputar harus sesuai dengan orbit yang tepat, yakni berputar dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jika manusia telah keluar dari orbit penciptaannya, maka ia telah keluar dari orbit yang sama artinya dengan kehancuran. Karena tidak ada keseimbangan dalam berputar.

Move to Life, bergerak untuk hidup, demikian manusia dalam menggapai kehidupannya tidak terlepas dari pergerakan. Perputaran dan perubahan adalah sebuah keniscayaan, sebuah sunat alam yang tak bisa dipungkiri. Jika tidak berubah, berarti tidak bergerak. Dan jika tak bergerak, berarti tak hidup alias kaku dan mati. Meski jasadnya hidup, tetapi ruhnya mati. Karena untuk bisa bergerak dan berputar, bukan hanya jasad yang melakukannya, namun kekuatan itu justru tumbuh dari ruh yang menopang kemampuan jasad tuk bergerak.

Secara jasmani, manusia merupakan bagian dari alam yang pada awal penciptaannya, telah berjanji akan taat kepada-Nya. Maka manusia pun turut dalam proses alam. Termasuk berthawaf bersama tumbuhan dan binatang mengitari poros bumi, dan kita benar-benar tidak menyadarinya. Secara ruhani, manusia telah berjanji di alam rahim untuk taat dan mengakui Allah sebagai Rabb, Tuhan pencipta dan pemeliharanya. “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (Q.S. 7:172).

Di hari perhitungan kelak, yang mesti dipertanggung-jawabkan manusia bukanlah dimensi jasmaninya, tetapi dimensi ruhaninya. Karena jasmani manusia sesungguhnya telah taat kepada ketentuan Allah. Ketika kita terpeleset, jasmani manusia akan jatuh tertarik gravitasi bumi. Ketika terkena wabah suatu penyakit, jasmani manusia bisa rusak, ketika mati, jasmani manusia pun akan hancur dalam proses pembusukan. Demikianlah contoh bahwa jasmani manusia telah taat pada ketentuan Allah SWT.

Sedangkan ruhani manusia, berpotensi untuk ingkar janji, tiada lain penyebabnya adalah manusia diberikan nafsu. Ketaatan sesuai dengan janji atas pengakuan bahwa Allah dzat yang menciptakannya, serta akan taat kepada perintah-Nya sering terlupakan.

Haji sebagai puncak ibadah mengingatkan akan janji awal manusia untuk taat, sebagaimana alam semesta memenuhi janjinya untuk taat kepada-Nya. Dalam ibadah haji, thawaf bisa mengingatkan jiwa manusia untuk taat kepada Allah sebagaimana alam pun taat pada penciptanya.

Tujuh kali mengelilingi ka’bah bisa bermakna proses yang terus menerus tiada henti sebagaimana thawafnya alam semesta. Di dalam Alqur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah. Perumpamaan yang diberikan Allah seperti menanam sebutir benih menghasilkan tujuh tangkai berisi masing-masing seratus butir.

Demikian juga perumpamaan tak terbatasnya Kalimat Allah yang tak mungkin dapat dituliskan walaupun semua pohon jadi pena dan lautan jadi tintanya dan di tambah tujuh lautan lagi (Q.S. Luqman:27). Ungkapan tujuh langit pun bisa bermakna seluruh benda langit yang tak terhitung jumlahnya.

Bagi diri manusia, pelaksanaan thawaf tujuh kali merupakan simbol ketaatan dirinya seperti taatnya benda-benda langit berthawaf tiada henti. Tetapi, bila dilihat sebagai kelompok, manusia yang berthawaf silih berganti tiada henti akan tampak seperti miniatur anggota tata surya yang sedang mengitari matahari. Atau seperti bintang-bintang yang sedang mengitari pusat galaksi.

Related Post

Cinta Sederhana

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *