Barangsiapa melaksanakan haji di rumah ini (Baitullah Al Haram), tidak rafats dan tidak berbuat fasik, maka dia kembali seperti pada hari dilahirkan ibunya. (HR. Bukhari)

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia.

Jakarta-. Pemerintah mempersiapkan langkah tegas untuk menyikapi penolakan penggunaan vaksin meningitis bagi calon jamaah haji (CJH). Menurut Menag Suryadharma Ali, semua CJH diimbau agar bersedia diberi vaksin meningitis. Sebab, pemerintah Arab Saudi mewajibkannya. Bila CJH tidak mau divaksin, Kemenag sebagai operator tunggal haji tidak akan memberangkatkan ke tanah suci. “Alasannya demi perlindungan kesehatan yang bersangkutan. Jamaah yang menolak harus menanggung risiko. Bisa saja pemerintah Arab Saudi menolak kedatangan peserta ibadah haji yang belum divaksin meningitis,” katanya hari Jumat, 25 Juni lalu.

Tulisan ini bukan kisah tentang penghakiman pada kesalahan orang, atau penghukuman atas apa yang terjadi. Tanpa mencari kambing hitam tuk disalahkan, saya benar merasa telah banyak masyarakat kita -termasuk saya tentunya- terperangkap pada rutinitas hidup yang serba ‘cuek’ guna sukses tuk mengoptimalkan eksistensi diri. Terjebak pada budaya cuek, akhirnya lahir pribadi-pribadi yang hidup lebih mementingkan diri sendiri. Memperton-tonkan ke-Aku-annya, agar penilaian orang lebih terfokus pada ‘make up’ penampilannya. Merasa super ketika mendapat award, merasa bangga saat mencipta karya, tetapi lupa bagaimana award dan karya itu tercipta. Hidup dengan dunianya sendiri, tak pernah gundah saat kawan dirundung masalah, tak pernah peduli dengan lingkungan sekitar. Dalam pikirannya hanya satu “Bagaimana aku bisa mengerjakan tugasku”, lebih spesifik “Bagaimana aku mendapatkan hasil dari kerjaanku” titik. Flat, dan tak fleksibel. Semuanya hanya dipandang pada kapasitas diri, bahkan cenderung mengurung dari kemampuan diluar track-nya.

Ora Bakal Misah…!

Ada satu moment yang sangat special bagi keluarga besar Cordova akhir pekan lalu. Terlebih untuk dua staf Cordova yang akan mengakhiri masa lajangnya. Yah, siapa yang tidak mengenal Brahma alias Bram dan Febiyanti Erly alias Erly di kalangan keluarga besar Cordova. Kiprahnya dalam berkarya menjadikan Cordova semakin berwarna. Bangunan kokoh yang dikaitkan oleh pilar-pilar Cordova itu menjadi ikatan yang sulit dipisahkan dari persaudaraan yang telah menyatu. Persaudaraan adalah segalanya dalam berbagai hal, ia tak terkukung oleh waktu dan tempat. Begitulah Islam mengajarkan umatnya untuk saling memberi sesama muslim, laiknya seperti kesatuan anggota tubuh yang memiliki rasa sama ketika sakit dan senang. Pun demikian bagi Cordova, atmosfir persaudaraan dalam kesatuan team sangat kental terasa. Meski –tentunya- kadang rasa marah, sebel, bete, senang, bangga, haru, sedih kerap bercampur dalam wadah persaudaraan.

Oleh: Agung Handoyo Sumitro (Airport TV Reporter)

Bersiap-siap kami team Srikandi kesehatan memulai perjalanan Rohani ini. Dipimpin oleh team Cordova yang professional dan rendah hati, dipandulah kami para pemula yang ingin menjajakkan kaki di negeri yang selama ini ada dibatas angan yang diam-diam kami pendam dilubuk hati. Dengan prosesi pelepasan yang elegan di Jakarta airport hotel, Turkey airlines akhirnya benar-benar take off mendarat di Istambul.

Bag. Kedua

Setelah selesai makan siang, rombongan segera menuju Blue Mosque (mesjid biru) untuk melaksanakan Shalat Dzuhur dan Ashar sekaligus (jamak takdim), sambil menikmati keindahan dan kemegahan Mesjid yang terkenal ini. Masjid Sultan Ahmed (Bahasa Turki: Sultanahmet Camii) adalah sebuah masjid di Istanbul, kota terbesar di Turki dan merupakan ibukota Kesultanan Utsmaniyah (dari 1453 sampai 1923). Masjid ini dikenal juga dengan nama Masjid Biru karena di masa lalu interiornya berwarna biru. Masjid ini dibangun antara tahun 1609 dan 1616 atas perintah Sultan Ahmed I, yang kemudian menjadi nama masjid tersebut. Ia dimakamkan di halaman masjid. Masjid ini terletak di kawasan tertua di Istanbul, dimana sebelum 1453 merupakan pusat Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Bizantin/Bizantium. Berada di dekat situs kuno Hippodrome, serta berdekatan juga dengan apa yang dulunya bernama Gereja Kristen Kebijaksanaan Suci (Hagia Sophia) yang sekarang dirubah fungsinya menjadi museum.

Bag. Pertama

Selasa, 18 Mei 2010

Lepas shalat subuh, saya menunggu pukul 6 pagi. Karena angkutan transportasi di Istanbul mulai beroperasi pukul 6 pagi. Tujuan di pagi yang masih tertutup kabut itu adalah Bandara Internasional At-Tatruk (bandara Internasional di Istanbul-Turki). Letak bandara yang lumayan jauh dari tempat tinggal, menyebabkan saya harus berangkat pagi sekali untuk menjemput rombongan Umroh plus Turki dari Cordova-Indonesia. Selang beberapa menit saya di halte bis, HP saya berbunyi dan tertulis panggilan dari Rudy-Cordova, segera saya angkat, dan ternyata Pak Ruddy (Project Manager) rombongan Srikandi, bidan Sari Husada yang pada gelombang pertama berjumlah 46 orang itu, memberitakan bahwa dia dan rombongan baru keluar dari pesawat.

Jika Anda IT mania, atau pecinta teknologi, tentu Anda tahu dua sosok fenomenal Steve Jobs dan Bill Gates yang hingga kini bagai seteru abadi dalam memperebutkan tahta dunia IT. Banyak gosip yang beredar diantara keduanya, Windows mencotek Mac, Mac dibeli Windows, dan lain sebagainya. Tetapi tahukah Anda, bahwa akar utama dari ‘Bratayudha’ ini adalah masalah dua orang luarbiasa yang sukses mengubah cara orang hidup di dunia modern. Mengubah cara pandang manusia untuk hidup lebih praktis, efesien dan mutakhir. Tentu dengan cinta teknologi, Anda satu langkah telah berhasil menyamakan daya pikir Anda seperti yang ada dalam benak kedua orang hebat itu, yakni menciptakan kemudahan pada manusia dalam beraktifitas dan membentuk sesuatu yang sulit menjadi sangat mudah dan simple. Rasulullah SAW pun memberikan isyarat beribu tahun silam, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan kemudahan pada saudaranya. Namun demikian, saya juga tidak mempungkiri bahwa teknologi memiliki dua mata; ia mengandung aspek manfaat, tetapi juga berbahaya bila tidak digunakan sebagaimana mestinya.

Umat Islam dimana pun berada, tentunya pernah dan –mungkin- sering mendengar ayat-ayat Al-Qur’an mengenai kematian, kehancuran dan kefana-an bumi yang kita pijak. Banyak buku dan artikel tentang kematian telah kita baca, banyak pula gambaran serta fenomena manusia yang berakhir ajalnya secara tiba-tiba. Namun, semua itu terkadang hanya sebatas intermezzo yang melintasi benak kita, jarang terpikir dan mudah terlupakan. Karena memang kita tak pernah merasakan sebuah kematian. Ketika nyawa dan jiwa telah tiada, maka manusia hanya sesosok jasad yang tak berarti. Manusia yang meninggal hanya dapat dikatakan jenazah atau –maaf- bangkai, dan tidak lagi disebut manusia seutuhnya. Jasad memang tidak memiliki kinerja, jasad akan berhenti ketika nyawa telah tiada di badan. Andai saja ada teori yang bisa menjelaskan semua tentang bagaimana cara kita mati, bagaimana rasanya mati, dan apa yang terjadi ketika kita mati. Tapi sampai saat ini tak ada satu logika dan pemikiran manusia yang dapat memastikan jawaban itu.