“Setiap habis Ramadhan, hamba cemas kalau tak sampai, umur hamba di tahun depan, berilah hamba kesempatan. Setiap habis Ramadhan, rindu hamba tak pernah menghilang, mohon tambah umur setahun lagi, berilah hamba kesempatan…”

Penggalan bait puisi Taufik Ismail yang di populerkan Bimbo ini benar-benar sangat menggugah. Rasa yang terbangun setelah membaca dan mendengar lagu ini begitu menyeruak dalam jiwa. Hingga akhirnya kita tersadar, bahwa kita sudah melewati suatu moment yang teramat agung. Suatu waktu yang baru disesali ketika telah beranjak pergi, suatu peluang yang terkadang hanya dibiarkan melaju tanpa makna. Yah, Ramadhan hanya menyisakkan para hamba yang diterpa hamparan uji sebulan penuh. Akankah terwujud insan muttakin, atau hanya terlahir kembali menjadi manusia biasa –yang- tak pernah ubah usai ramadhan. Semoga puluhan kali ramadhan menyapa hidup, puluhan kali bahkan lipatan juga kebaikan yang merubah sikap takwa kita.

Nampaknya para penjual kartu lebaran dewasa ini, harus berpikir lebih keras tuk bertahan hidup. Ide creative tuk membendung kemajuan teknologi adalah sebuah tuntunan guna menghindari usaha yang tergulung. Yah, beberapa tahun lalu, setiap lebaran tiba, bisnis kartu lebaran begitu meledak. Semuanya mendesain dan merangkai kata selamat lebaran di kartu itu. Tetapi kini, “nasib kartu lebaran” serasa di penghujung tanduk. Seakan tak mampu tuk mengejar dahsyatnya perkembangan teknologi. Hanya melalui pesan SMS telefon genggam, semua silaturahmi terwakili oleh rangkaian kata. Pun pada jejaring sosial, semisal facebook misalnya. Ketika diposting ucapan selamat hari raya, maka pesan itu telah sampai pada puluhan, ratusan bahkan ribuan teman yang tergabung dalam facebook dengan waktu beberapa detik saja. Mudah rasanya mengutarakan maaf dengan sekali “send”, rangkaian maaf terus menjelajah pada jutaan tempat. Sehingga wajar, setiap mendekati lebaran, operator kartu telepon begitu keras tuk bersaing mendapatkan pasar.

Jauh sebelum datangnya musim haji, saya selalu melihat bagaimana gelora rasa yang hinggap pada sosok Bapak ini. Pikirnya selalu melompat kala menemukan ide segar, -mungkin- tiada kata yang mengalir setiap hari dalam darahnya, terkecuali untaian kata “Bagaimana melayani Tamu Allah dengan sempurna.” Kadang hari-harinya hanya dihabiskan dalam ruang berukuran 5 x 1.5 Meter. Bukan tanpa cipta, justru berkarya mencipta rangkaian karya. Sinar mata dan gerak langkahnya tertuju pada suatu cita yang sulit terabaikan. Antusias dalam mengawal niatan suci para calon haji, selalu tampak dalam raut wajahnya. Kadang cemas, kadang marah, kadang bahagia membalut emosi yang meletup, yah semua itu berlandas pada tujuan suci. Sungguh sulit saya membayangkan ketika Allah memberi kelembutan hati pada hambaNya, tanpa perhitungan duniawi, ia rela menaruh jaminan hidup-nya tuk niatan suci itu. Hingga suatu waktu, saya membaca testimoni yang begitu menggugah dari sosok Bapak itu, kata-katanya begitu bermakna, kalimatnya begitu renyah, namun saya yakin jiwanya sedang gundah. Ingin rasanya bermadu rasa, tuk menadah sedikit resah-nya. Dan merekat sedikit lubang dengan keyakinan yang menggebu.

Sudah hampir sepekan Ramadhan berlaju tanpa rehat, tiada henti keagungannya bersinar pada jiwa setiap hamba. Cahayanya tak pernah padam walau banyak manusia yang menyiakan-nya. Ia kan terus berpacu dengan keberkahan yang menyelimuti seantero bumi. Bulan yang sesungguhnya memberikan multi education pada setiap muslim yang menghirupnya. Kedamaian, kehangatan dan ragam kemulian lainnya, hanya akan diraih pada bulan ini. “Cuci gudang dosa” tahunan ini, sejatinya memberikan spirit tuk membenahi segala tindak yang terpatri. Melakukan ekplorasi kebaikan tuk merayakan selebrasi fitri dikemudian hari. Terkhusus bagi calon tamu Allah yang berapa saat lagi kan menunaikan ibadah haji, Ramadhan menjadi satu-satunya opportunity yang layak tuk dikemas menuju jalan kemabruran. Tentunya bukan ‘kebetulan’ atau tak sengaja Allah menciptakan Ramadhan berada dalam urutan sebelum waktu haji. Mungkin, Allah memberikan Ramadhan sebagai space waktu menjelang peribadatan paripurna 9 Dzulhijjah kelak. Sebab, semua dimensi ketaatan manusia pada Sang Khalik berada pada bulan suci ini.

Tak dipungkuri, sedari rembulan suci tampak di ufuk sana, cakrawala merubah segala peristiwa yang kan terjadi selama 720 jam menuju kefitrahan hakiki. Setiap insan beriman, bahu membahu menyongsong bulan penuh kehangatan, menyibak balutan lentera hitam-nya, menuju sebuah tingkatan ketakwaan yang tiada tara. Yah, Ramadhan menjadi magnet luar biasa bagi setiap muslim dimana pun berada. Semua bergerak mengarah keshalihan massif, semua berjalan menuju buih kecintaan-Nya. Karena memang Ramadhan tercipta sebagai “Mesin” pencuci segala kepongahan manusia. Berbeda dengan semua ibadah yang dilakoni, shaum Ramadhan adalah titik dasar yang mengikat sebenar-benarnya ketakwaan manusia pada Rabb-nya. Jika semua ibadah yang dilakukan dapat terukur oleh kacamata manusia, maka shaum hanya terukur oleh kekuatan Azza Wa Jalla.

Bagi Anda yang pernah merasakan ibadah umrah di Bulan Suci Ramadhan, maka –saya- jamin secara naluri Anda akan memiliki hasrat tuk terus mengulang ditahun-tahun selanjutnya. Tidak berlebihan, mengingat suasana dan aura yang bertebar begitu dahsyat pada bulan itu. Spesial moment yang tak pernah lenyap dalam ingatan, terlebih dalam lembaran hidup keagamaan kita, rasa-rasanya ketenangan jiwa tidak bisa tergantikan ketika shaum dan ibadah Ramadhan lainnya, dapat kita kerjakan di tengah kesucian bumi. Rumah Allah yang menjanjikan makbulnya berjuta doa, harap dan asa. Bahkan jauh dari bentuk nominal manusia sekalipun. Manusia adalah makhluk yang gemar berhitung. Terlebih secara manusiawi, hitungan matematis berupa pahala yang berlipat saat melaksanakan umrah di Bulan Suci adalah salah satu target, guna mencapai kesucian jiwa dan raga. Rasulullah SAW, menganjurkan umatnya untuk melaksanakan umrah di bulan Ramadhan. Selain nilai ibadahnya sama dengan haji, beritikaf di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, pahalanya juga akan dilipatgandakan.

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Dan barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Sekai wo tsukutta kami wa (Tuhan yang menciptakan dunia)
Subete no mono mo (Juga seluruh macam benda)
Dare ka tsukutta ka (Siapakah yang menciptakan?)
Dare demo dekinai keredo (Siapapun mungkin tak akan bisa)
Allah shika tsukurenai to wa (Selain hanya Allah-lah yang bisa)
Hakkiri to wakatta (dengan jelas dimengerti)
………..

Penggalan lagu nasyid yang dipopulerkan oleh Snada tersebut diatas, lagunya begitu rancak dan penuh semangat. Layaknya semangat samurai Jepang yang pantang menyerah. Begitulah jika dalam hati kita telah tertanam jati diri Islam. Sebuah kebanggaan yang juga diiringi dengan ke-tawadu-an, bangga sebagai muslim dan tawadhu sebagai hamba Allah. Islam rahmatan lil’alamin, tidak berbatas suku bangsa. Semangat ini pulalah yang coba ditebarkan oleh Cordova dengan menapaki bumi Negeri Sakura untuk pertama kalinya. Japan Holiday Journey, adalah paket perjalanan non-Umrah, yang mulai Cordova kembangkan sebagai paket perjalanan baru. Dimana nilai-nilai Islam tetap dipertahankan, seperti menjaga waktu sholat, menjaga ‘halal food’, dan mengunjungi masjid-masjid setempat.

Ketika kembali dari Bandung menuju Jakarta tuk bekerja. Kereta Argo Parahyangan yang saya tumpangi dari Stasiun Cimahi perlahan-lahan memasuki stasiun Jatinegara. Para penumpang yang akan turun di Jatinegara saya lihat sudah bersiap-siap di depan pintu, suasana Jatinegara penuh sesak seperti biasa. Sementara itu, dari jendela, saya lihat beberapa orang porter/buruh angkut berlomba lebih dulu masuk ke kereta yang masih melaju. Mereka berpacu dengan kereta, persis dengan kehidupan mereka yang terus berpacu dengan tekanan kehidupan kota Jakarta. Saat kereta benar-benar berhenti, kesibukan penumpang yang turun dan porter yang berebut menawarkan jasa kian kental terasa. Sementara di luar kereta saya lihat kesibukan kaum urban yang akan menggunakan kereta. Mereka kebanyakan berdiri, karena fasilitas tempat duduk kurang memadai. Sebuah lagu lama PT. KAI yang selalu dan selalu diputar dengan setia.