Japan Holiday Journey

Sekai wo tsukutta kami wa (Tuhan yang menciptakan dunia)
Subete no mono mo (Juga seluruh macam benda)
Dare ka tsukutta ka (Siapakah yang menciptakan?)
Dare demo dekinai keredo (Siapapun mungkin tak akan bisa)
Allah shika tsukurenai to wa (Selain hanya Allah-lah yang bisa)
Hakkiri to wakatta (dengan jelas dimengerti)
………..

Penggalan lagu nasyid yang dipopulerkan oleh Snada tersebut diatas, lagunya begitu rancak dan penuh semangat. Layaknya semangat samurai Jepang yang pantang menyerah. Begitulah jika dalam hati kita telah tertanam jati diri Islam. Sebuah kebanggaan yang juga diiringi dengan ke-tawadu-an, bangga sebagai muslim dan tawadhu sebagai hamba Allah. Islam rahmatan lil’alamin, tidak berbatas suku bangsa. Semangat ini pulalah yang coba ditebarkan oleh Cordova dengan menapaki bumi Negeri Sakura untuk pertama kalinya. Japan Holiday Journey, adalah paket perjalanan non-Umrah, yang mulai Cordova kembangkan sebagai paket perjalanan baru. Dimana nilai-nilai Islam tetap dipertahankan, seperti menjaga waktu sholat, menjaga ‘halal food’, dan mengunjungi masjid-masjid setempat.

Mari coba kita simak sedikit sejarah Islam di Negeri Matahri Terbit berikut ini.

Sejarah Islam di Jepang

Hanya terdapat sedikit sekali catatan sejarah yang merekam tentang hubungan antara Islam dengan Jepang sebelum mereka membuka negaranya pada tahun 1853, walaupun diyakini bahwa sudah banyak muslim yang datang ke Nagasaki berabad-abad sebelumnya.
Agama Islam pertama kali dikenal oleh masyarakat Jepang adalah sekitar tahun 1877 yang bersamaan waktunya dengan hadirnya agama Nasrani dari Barat ke negara tersebut. Seiring kemudian muncul buku terjemahan bahasa Jepang mengenai riwayat hidup Nabi Muhammad. Hal ini secara langsung membantu Islam menempatkan diri pada wacana intelektual warga setempat.

Kontak penting lainnya adalah tahun 1890 saat sebuah kapal laut milik Kerajaan Turki Ottoman bernama Ertu?rul singgah di Jepang dalam rangka menjalin hubungan diplomatik. Dari sinilah warga Jepang jadi lebih mengenal Islam serta kebudayaannya.

Adapun orang Jepang pertama yang memeluk Islam adalah Mitsutaro Takaoka tahun 1909. Dia lantas mengganti namanya menjadi Omar Yamaoka setelah melaksanakan ibadah haji. Namun, penelitian lain menyebutkan bahwa orang Jepang bernama Torajiro Yamada kemungkinan merupakan pemeluk Islam pertama di sana dan pernah berkunjung ke Turki. Komunitas muslim baru ada setelah kedatangan pengungsi dari Uzbek, Kirghiz, Kazakh, dan kaum Tatar Muslim yang lari akibat terjadi Revolusi Bolshevik di Rusia selama Perang Dunia I. Pemerintah kekaisaran Jepang kemudian bersedia menyediakan lahan bagi tempat tinggal mereka di beberapa kota hingga membentuk komunitas-komunitas kecil.

Dengan munculnya komunitas muslim ini, tak lama akhirnya didirikanlah sejumlah bangunan masjid. Salah satu yang dianggap penting adalah masjid Kobe yang dibangun tahun 1935 dan masjid Tokyo tahun 1938. Berkat kontak-kontak yang intens dengan pemeluk Islam, beberapa penduduk Jepang pun beralih ke Islam saat itu.

Islam justru mengalami perkembangan pesat selama berkecamuknya Perang Dunia II. Kekaisaran dan militer Jepang banyak menjalin hubungan dengan sejumlah organisasi dan pusat kajian Islam serta negara Islam. Pada masa ini sebanyak 100 buku dan jurnal mengenai Islam terbit di Jepang. Namun, tujuan utama pihak militer mendekati kalangan Islam adalah guna mendapat pengetahuan tentang Islam dalam kaitan rencana invasi ke negara-negera Asia Tenggara yang berpenduduk Muslim.

Tahun 1953 organisasi muslim pertama (Japan Muslim Association) berdiri di bawah pimpinan Sadiq Imaizumi. Jumlah anggotanya masih sebanyak 65 orang dan bertambah dua kali lipat dua tahun kemudian.

Pengganti Sadiq adalah Umar Mita. Dia mempelajari Islam ketika bekerja di Manshu Railway Company di Cina saat perang dunia II. Karena sering kali berhubungan dengan umat muslim Peking-Cina, lama kelamaan Umar percaya terhadap ajaran Islam dan memutuskan beralih menjadi Muslim. Sesudah kembali ke Jepang, dia pergi ke tanah suci Makkah dan tercatat sebagai orang Jepang pertama yang berhaji setelah masa perang. Tak hanya itu, Omar selanjutnya juga membuat terjemahan Alquran ke dalam bahasa Jepang.

Satu lagi masa kejayaan Islam di Jepang tatkala terjadi krisis minyak dunia tahun 1973. Negara-negara Timur Tengah mengembargo pasokan minyak mentahnya kepada negara yang mendukung Israel. Oleh karenanya, perhatian warga Jepang tercurah kepada perkembangan Islam khususnya di Timur Tengah. Mereka pun makin menyadari penting menjalin hubungan dengan negara-negara tersebut bagi pertumbuhan ekonomi Jepang. Akan tetapi sekali lagi usai krisis minyak reda, Islam pun kembali dilupakan oleh masyarakat Jepang.

Hingga kini Islam seolah sulit berkembang di Jepang. Salah satu sebabnya adalah ketaatan warga Jepang terhadap kepercayaan Sinto dan Budha. Statistik menyebutkan, sekitar 80 persen penduduk memeluk Sinto atau Budha. Hanya satu dari empat penduduk Jepang yang menganut agama lain. Adapun agama Islam dianut oleh sekitar satu setengah juta jiwa. Jumlah ini terbilang kecil dibandingkan populasi di Jepang sebanyak 120 juta jiwa.

Sebagian besar pemeluk Islam ini adalah para pelajar dan imigran dari negara Asia Tenggara dan Timur Tengah. Hanya sedikit yang warga asli Jepang. Umumnya terkonsentrasi di kota-kota besar semisal Hiroshima, Kyoto, Nagoya, Osaka, dan Tokyo. Secara rutin dakwah juga berjalan pada komunitas-komunitas Muslim ini.

Pada kenyataannya pula asosiasi pelajar muslim serta organisasi keagamaan kerap menyelenggarakan acara bersama dan diskusi untuk menambah pengetahuan ke-Islaman. Selain itu acara tersebut terbukti cukup efektif dalam membina persaudaraan sesama Muslim.
Beberapa tahun lalu, Dr Saleh Samarrai yang pernah belajar di negara Sakura itu dari tahun 1960, membentuk Japan Islamic Center dan menyusun metode dakwah efektif di Jepang. Sumbangsihnya ini akhirnya mampu mendorong upaya pengembangan Islam serta mengenalkan Islam secara luas pada masyarakat Jepang yang kosmopolitan.

Masjid Kobe juga dikenal sebagai Masjid Muslim Kobe, didirikan bulan Oktober 1935 di Kobe dan merupakan masjid pertama di Jepang Pembangunannya didanai oleh sumbangan dari Komite Islam Kobe sejak 1928 hingga pembukaannya tahun 1935 Masjid ditutup oleh Angkatan Laut Kekaisaran Jepang tahun 1943. Tetapi, masih aktif sebagai masjid hari ini. Terletak di distrik Kitano-cho di Kobe. Karena memiliki ruang bawah tanah dan strukturnya, masjid ini selamat dari gempa bumi besar Hanshin.

Masjid itu dibangun dalam gaya Turki tradisional oleh arsitek Ceko Jan Josef Svagr (1885–1969), perancang sejumlah tempat ibadah Barat di Jepang.

Related Post

Cinta Sederhana

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *