Rasanya jika kita tanya ke separuh muslim Indonesia secara random tentang nama-nama bulan hijriyyah, atau menanyakan tanggal berapa hari ini dalam kalender Hijriyyah, pastinya masih banyak yang kurang paham. Kalau pun tahu, -mungkin- akan berpikir sejenak sebelum menjawabnya. Mengapa demikian (?) karena memang kalender Hijriyyah masih terasa asing dalam penentuan tanggal di negeri ini. Selain itu, gebyar dari peralihan tahun Masehi begitu membahana di langit bumi. Kemeriahannya menyulut semua generasi dari generasi mengenang setiap peralihan tahun Masehi. Sebelum mengupas tentang dominasi Masehi atas Hijriyyah, baiknya kita bahas dulu tentang tahun Hijriyyah dan Masehi. Penanggalan Bulan Hijriyyah adalah mengikuti perputaran bulan, bukannya matahari seperti penanggalan Masehi. Oleh karena itu, jumlah harinya pun berbeda. Hijriyyah memiliki 11 hari lebih pendek dari Masehi, karena dalam perhitungan matahari dalam satu tahun terdapat 365 hari, sedangkan pergerakkan bulan hanya terdapat 354 hari.

Ada dua sisi jika kita perhatikan mengenai dua tahun ini, pertama ditelaah secara history, kedua dengan pendekatan adat dan tradisi. Baiklah pertama kita kupas sedikit tentang Masehi. Tahun baru Masehi pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (Sebelum Masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai Kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari, dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Adapun Bulan Hijriyyah, seperti namanya, ia ditetapkan setelah Rasulullah SAW Hijrah dari Makkah ke Madinah. Hijrah ini bukan sekedar secara fisik tapi juga hijrah secara drastis dari sisi mental. Seperti yang diungkapkan oleh sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab tentang hijrahnya Nabi Muhammad Saw, bahwa “Hijrah itu membedakan antara yang hak dan bathil”.

Secara tradisi, peringatan Tahun Baru Masehi merupakan budaya asli Eropa yang di impor ke Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Sebelum masa penjajahan Belanda, rakyat Indonesia mengenal kalender Hijriyyah dan kalender Saka. Budaya peringatan Tahun Baru Masehi tak lepas dari peringatan kelahiran Isa Al Masih as. dalam kepercayaan orang Kristen. Nama Masehi diambil dari kata Al Masih -gelar untuk Nabi Isa AS-. yang dianggap Tuhan oleh Umat Kristen. Secara bahasa, kata Masehi juga sering digunakan untuk menyebut nama lain dari agama Kristen. Tahun Masehi dalam bahasa Latin disebut Anno Domini (Tahun Tuhan), disingkat AD.

Kendati demikian, apapun alasan yang terlontar dengan pendekatan histori atau pun tradisi, kita masih harus mengakui, bahwa tahun Masehi masih sangat melekat dikalangan masyarakat kita. Entahlah, apakah itu konspirasi Yahudi agar umat Islam terhindar dari pengetahuan tentang penanggalan Islam, yang nota bene sebagai acuan dari penjadwalan ibadah, atau memang karena kitanya sendiri (muslim) yang tidak ingin di ribet kan dengan dua penanggalan Hijriyyah maupun Masehi. Syiar tentang pentingnya penanggalan Hijriyyah, masih kalah dengan geliat mereka yang ‘memiliki’ tahun Masehi. So, kita masih sadar, bahwa Masehi (masih) Juara.

Panggung politik Timur Tengah dua hari ini –setidaknya- mereda dari gejolak ambisius zionis. Darah dan airmata bangsa Palestina, terutama para syuhada di Jalur Gaza mendapatkan hasil positif dalam mempertahankan tanah lahirnya. Meski hanya berstatus sebagai ‘Anggota Negara Pengawas’ PBB (seperti halnya Vatikan), namun nafas perjuangan perlu dinikmati sejenak untuk kembali menatap, dan meraih sebagai negara utuh yang mendapatkan hak sepenuhnya sebagai negara yang berdaulat penuh. Meski masih lunak dalam posisi hukum internasional, akan tetapi Palestina akan menjadi barometer kekuatan Bangsa Arab di mata dunia internasional. Terlebih peran Turki dan Mesir yang tampak menjadi kekuatan baru dalam pengokohan peradaban Timur.

Amerika, Israel dan Kanada menjadi negara yang teramat getol menentang ‘Kemerdekaan’ Palestina dalam peningkatan status Palestina. Bukan hanya ingin menghindar dari tuntutan hukum atas Israel dengan dakwaan melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Mereka (Zionis dan sekutunya) harus menghadapi pula kekuatan baru dunia Arab yang diprakarsai Mesir dan Turki.

Baiklah kita tinggalkan sejenak percaturan politik Timur Tengah yang –sejatinya- boleh percaya atau tidak, Israel akan lenyap dalam peta dunia karena ulahnya sendiri. Bangsa ‘culas’ yang tidak tahu malu itu, terlalu menganggap remeh perjuangan intifadah yang dikobarkan rakyat Palestina sejak beberapa tahun kebelakang. Kecanggihan alat perangnya, tak mampu menggoyahkan kekuatan jihad bangsa Palestina. Keberaniannya hanya berada dibelakang senjata canggih, yah senjata canggih yang mereka acungkan kepada kaum hawa dan anak-anak.

Kemenangan ini adalah kemenangan umat Islam, kemenangan ini adalah kemenangan rakyat Palestina, suatu kemenangan yang berharap gerakan fatah dan Hamas masuk dan bergandeng tangan dalam gerbang rekonsiliasi nasional. Tentunya menyongsong masadepan Negara Palestina, negara yang berwibawa dan mampu melakukan perlawanan hukum terhadap bangsa yang menjajahnya.

Selamat, BARAKALLAH! Darah dan airmata para syuhada menjadikan bangsa ini mampu berbicara diatas mimbar Majlis Umum PBB, yang dikenal dengan ‘Hak Nurani Dunia”

Tiada yang tersia dalam perjuangan mu, MERDEKA Palestina!

Rasanya kita pernah mendengar istilah ‘Harakiri’, baik melalui artikel atau berita-berita di layar kaca. Atau bahkan melalui aksi laga film-film Jepang. Adegan ‘Harakiri’ selalu menggambarkan sebuah patriotisme para pelakunya. Harakiri atau bunuh diri ala jepang menjadi salah satu tradisi negeri Sakura. Harakiri dilakukan dengan cara menusukkan samurai ke perut sang pelaku hingga tewas. Akan tetapi dewasa ini, tradisi Harakiri berkembang dengan beragam cara, mulai dari menusukkan samurai, menenggak racun, gantung diri, menabrakkan diri di kereta, hingga loncat dari ketinggian tertentu yang mematikan. Harakiri, suatu aksi yang dilakukan oleh masyarakat Jepang karena mereka tahu malu. Semangat Harakiri ini –tentunya- memiliki nilai filosopis yang mencerminkan sebuah budaya pekerja keras, yang sarat dengan rasa malu ketika mereka gagal mengemban amanah kerja, atau failed dalam mengemban tugas. Mungkin kita masih ingat bagaimana Menteri Kesehatan Jepang yang mengundurkan diri karena melakukan kesalahan. Atau pejabat yang akhirnya bunuh diri karena telah melakukan korupsi. Atau pelajar yang bunuh diri karena nilainya jelek. Dan semua peristiwa itu menjadikan orang Jepang menjadi nomor wahid dalam kasus bunuh diri.

Fenomena Harakiri –menurut saya- menarik untuk dikaji, yah terlepas dari tindakan yang “Tidak normal” dengan bunuh dirinya, atau keluar dari batasan norma agama. Bagi –saya- banyak values yang terkandung dalam Harakiri, mengingat peristiwa bunuh diri acap kali muncul di berbagai negeri, pun demikian di negeri kita, Indonesia. Namun aksi ‘Harakiri’ masih sangat menarik untuk dibahas. Tentunya, kita menyadari bahwa ada motif dan spirit yang ‘berbeda’ dalam aksi Harakiri, berbeda dengan kasus-kasus bunuh diri yang kerap terjadi di negeri kita.

Selain motif rasa malu, dalam Harakiri ada juga motif harga diri. Tindakan kamikaze (yang berarti; angin besar. Sebuah gerakan para pilot yang menabrakkan dirinya ke kapal-kapal sekutu untuk menghambat pergerakan musuh yang mendekati Jepang) ini tiada lain adalah bentuk super heroik. Mereka menunjukkan heroismenya tentara Jepang yang melakukan pertempuran hingga titik tenaga dan titik darah terakhir.

Jika boleh disamakan tindakan para Kamikaze ini dengan gerakan Bom mati syahid di Palestina (Al-‘Amalatu Istishadiyyah), bom bunuh diri, menghancurkan musuh dengan menghantamkan dirinya yang telah dililitkan dengan bahan peledak. Tentu substansinya berbeda, namun motifnya sama. Mempertahankan harga diri tanah dan Bangsanya.

Bunuh diri yang teramat unik ini. Memiliki spirit yang –sepatutnya- menjadi pelajaran untuk kita semua. Pesan dari Harakiri ini –tentunya- bukan mengajarkan kita untuk bunuh diri, namun lebih kepada pesan moral “Tahu Malu-lah”, yang kemudian menjadi semangat untuk berintropeksi agar berbuat lebih baik lagi.

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya kisaran bulan April – Mei tahun ini, media massa banyak mengangkat tentang spanduk-spanduk yang bertuliskan ‘Negeri Auto Pilot’ yang dipasang di beberapa titik keramaian Ibukota. Karena pesannya begitu ‘dalam’ dan –mungkin juga- banyak membuat ‘panik’ beberapa pihak, maka spanduk-spanduk itu tak bertahan lama. Dalam pandangan kami, kalimat Auto Pilot itu sendiri memiliki dua pemahaman yang teramat dalam, dan menarik untuk dibahas, hingga ruang lingkup dunia bisnis sekalipun. Yah, ada dua sisi positif dan negatif jika kita melihat penggalan kata ‘Auto Pilot’ itu sendiri. Kita tidak akan membahas tentang persoalan spanduk-spanduk bertuliskan ‘Auto Pilot’ di titik ramai Ibukota seperti bahasan diatas. Namun lebih mengangkat tentang persoalan baik dan buruknya sebuah Perusahaan Auto Pilot. Seperti dua mata sisi yang terdapat dalam uang logam, keduanya akan membentuk sebuah perspektif ketika gambar mana yang akan digunakan.

Jika ‘gaya’ perusahaan menggunakan ‘Auto pilot’ tanpa goal, atau tanpa sebuah tujuan, maka inilah yang akan membawa ‘Auto pilot’ itu akan hancur berkeping. Tiada arah tanpa landasan, tiada tujuan tanpa arah. Semua terombang dalam kebingungan. Entah kemana langkah itu kan tertuju. Tiada kebersamaan dalam komando, bersatu dalam kepentingan individu, beratap dalam skill individu yang tak bersinergi. Ia terbang kemana arah angin meniupnya, tanpa landasan yang akan menyelamatkan dalam kubangan besar bernama company. Tidak jelasnya arah itulah yang membuat sistem ‘Auto Pilot’ menjadi tidak berguna sedikit pun.

Berbeda jika sistem ‘Auto Pilot’ itu memiliki visi yang jelas dalam melangkah, mungkin perjalanan itu akan sangat berbeda, bahkan menghasilkan suatu wish coming true. Dengan balutan visi yang jelas dalam menggunakan systemAuto Pilot’ maka bangunan perusahaan itu akan terhindar dari siklus negatif yang kerap melanda dunia bisnis; Generasi pertama membangun, generasi kedua menikmati, sedangkan generasi ketiga menghabiskan.

Awalnya, auto pilot berarti sistem mekanikal, elektrikal, termasuk hidraulik yang memandu sebuah pesawat atau kapal tanpa campur manusia. Namun karena terlihat efisien dan efektif, lama-kelamaan, ini digunakan juga dalam dunia bisnis. Salahsatunya menuangkan visi-visi suatu company, baik dalam bentuk road map dalam jangka waktu panjang ataupun pemaparan kerja selama beberapa waktu ke depan (visi-Misi).

Dengan sistem auto pilot yang dilengkapi dengan arah yang jelas, maka semua perangkat yang memfasilitasi ‘penerbangan’ company itu, dapat melintasi antariksa sekalipun, -tentunya- dengan sangat mudah terjangkau. Semua skill ‘awak’ penerbangan itu bersinergi dalam mengawal dan mensukseskan perjalanan bisnis perusahaan tersebut.

Karenanya, apapun yang terlontar dari ungkapan Cordova Founding Father beberapa waktu lalu senantiasa mengandung arti dalam mensukseskan pijakan Cordova selanjutnya.

So’ Auto Pilot adalah dua perspektif yang akan mengubah pandangan kita tentang kinerja dan loyalitas kerja.

Hidup adalah berpikir. Karena segala perjuangan hidup tak lepas dari aktivitas pikir. Dengan pikiran, Islam pun tegak dalam peradaban yang penuh adab, pikiran juga mampu menciptakan segala sesuatu berjalan sesuai dengan buah pikirnya. Islam datang bermula dari kata verbal yang connecting jua dengan aktivitas berpikir. Setelah Islam menyebar ke-seantero Bumi, intisari pelajarannya banyak diserap dan digunakan justru oleh pihak yang ingin merebut peradaban Islam yang sudah sangat terkenal dengan kekuatan pikir serta spirit ke-islamannya. Pikiran adalah anugerah ALLAH yang paling besar dan terindah. Dengan memahami cara bekerja dan mengetahui bagaimana cara mendayagunakan kekuatan pikiran, kita dapat menciptakan hal-hal terbaik bagi kehidupan. Dengan melatih dan mengembangkan kekuatan pikiran, selain kecerdasan intelektual dan kecerdasan kreatif kita meningkat, juga secara bertahap kecerdasan emosional, bahkan kecerdasan spiritual kita akan bertumbuh dan berkembang ke tataran yang lebih tinggi.

Pikiran adalah sebuah kerajaan terkadang tanpa tuan. Dikatakan kerajaan tanpa tuan karena mahkota tampuk kerajaan berpindah-pindah dari kekuasaan satu ke kekuasaan lain dalam tempo sesingkat-singkatnya, atau bahkan bercokol agak lumayan lama bertahan tergantung dari mood. Suasana kerajaan ini sering terjadi hingar-bingar, sunyi, sepi, silih berganti.

Bayangkan jika kita berada dalam situasi dimana tempat tinggal kita tanpa ada kekuasaan yang jelas. Tentu banyak saja sisi empuk untuk duduk di tempat tersebut. Maksudnya, karena kekosongan temporary, pikiran ini mudah berganti fokus perhatian seperti memutar pita kaset saat menekan fwd. Isi pikiran atau perhatian mudah berganti-ganti secara cepat dan random.

Imaginasikan sesuatu hal yang indah, menajubkan, dalam benak lalu bayangkan kita terlibat di dalamnya. Bagaimana kondisi perasaan saat itu (?) Boleh jadi kita dalam keadaan nyaman, kondusif, positif, dan PeDe. Boleh percaya boleh tidak. Sesungguhnya imajinasi adalah awal proses awal penciptaan di dunia maya. Semakin dan berulang imajinasi muncul dalam pikiran dan perasaan, maka dunia universal/alam semesta akan menerjemahkan imajinasi tersebut dalam dunia nyata.

Sisi paradigma orang-orang suci, bijak, leader memang agak berbeda dengan kebanyakan umumnya. Mereka melihat dunia bukan berarti aneh, tetapi penuh dengan daya kreatifitas, dan unik. Perpaduan selaras, harmoni antara pikiran, perasaan, alam semesta yang didukung dengan penuh kebahagian akan menarik daya khayal ke dunia realita secara cepat, terkadang sangat cepat dan tak terduga. Demikianlah orang-orang unik yang mungkin di Bumi ini hanya berjumlah hitungan jari.

Essai Palestina

Masih sulit untuk dibayangkan, ketika pijar api itu menggulung rumah yang bertahun-tahun mereka pertahankan. Dengan keringat, bangunan batu-bata itu tersusun, kini tinggalah ponggahan dan puing yang mengenaskan. Mereka memasang sebuah rumah dalam lekuk aliran darah di mana kepergian adalah juga kepulangan. Di sana, berlapis-lapis musim senantiasa menemuinya dalam hujan. Kisah-kisah tentang bangsa yang mencari rumahnya kembali di ujung tangisan. Barangkali, kepiluan adalah batu-batu yang dirawat oleh sejarah tempat kebanggaan menjadi masa lalu. Sebuah bangsa yang hilang dalam egoisme yang tak berujung. Di sana rumah mereka benar-benar berangkat dalam pengembaraan panjang di antara pekuburan tanpa jeda. Begitu panjang dan melirih.

Namun kami masih saja mempercayai sebuah rumah tetap mengalir dalam mimpi panjang sebuah bangsa yang terus terusir. Tanah-tanah yang memasang pijaran lampu di mana kanak-kanak menatapnya dalam gairah. Mereka berlari kesana-kemari memutari bangunan rumah yang luasnya hanya sepetak, bermain petak umpat dengan anak-anak tetangga. Tertawa lepas, terseyum manis dengan kepangan rambut yang membuat setiap orang gemas dan rindu. Kini rumah itu telah menjadi lubang jagal bagi mereka. Anak-anak harus petak umpat dengan martil dan peluru yang entah muncul dari mana. Rumah tempat merebahkan diri dan berlindung dari panas dan dingin itu, kini telah menjadi bangunan yang menghancurkan tubuh mungil itu. Mematahkan tulang-tulang kecil, meremukkan susunan tubuh cantik anak-anak Palestina. Balita cantik berkepang dua itu, kini telah di tandu kaku bersama puluhan bocah lainnya. Di rumah itu, rumah yang menjadi dunianya.

Rumah yang terus saja terbit setiap pagi menjatuhkan kabut itu tak menemukan tanahnya lagi. Hikayat-hikayat telah menerbangkannya dalam berlembar-lembar puisi yang tak pernah terbaca. Tangisan yang tak lagi ber-airmata, dan jeritan yang tak bersuara. Semuanya menyatu dengan rasa yang penuh duka. Wajar jika –saya- dan mungkin juga Anda masih bisa berjalan dengan tegak, karena masih dapat menyaksikan, memeluk dan menciumi buah hati tercinta di sebuah rumah yang nyaman. Rumah yang terhindar dari hiruk pikuk dan desingan suara rudal. Hallo (?) Ini Jakarta Bung, bukan Gaza! Hmm… yup, benar. Namun setidaknya simpati ini menjadi kepingan doa yang terbang bersama semangat mereka.

Mereka memasang sebuah rumah dalam lekukan aliran darah, di mana tangisan adalah juga ketakberdayaan. Pada kelokan di mana kehilangan bertemu dengan cahaya bulan yang penuh tumpahan darah itu rumah menjadi demikian jauh di pelupuk mata. Lalu mereka mungkin sedang berjalan ke pemakamannya sendiri. Menjadikannya kisah tertinggal disetiap jejak kematian antara luka dan dendam. Di sana, mereka mencari rumah. Senantiasa saling mencari di antara kabut dan peperangan. Diantara keserakahan dan kebuasan yang bernama manusia.

*Untuk (Syuhada) anak-anak Palestina, sambutlah rumah indah di Surga-Nya

Setiap akan tiba tahun baru, mindset kita sudah terfokus pada suasana yang meriah, aneka kembang api, pesta pora, dan sejumlah hiburan lainnya akan mengawali langkah di tahun baru. Yah, itulah fenomena pesta Tahun Baru Masehi, yang gebyar-nya selalu terasa bersamaan dengan hari natal sebelumnya. Berbeda dengan pergantian tahun baru Islam, -meski- gebyarnya dirasa kurang ‘merasuk’ pada setiap masyarakat muslim, namun –sesungguhnya- substansi hijrah itulah yang diharapkan mampu menjadikan kita memiliki harap yang lebih besar dibanding dengan perayaan Tahun baru Masehi. Harapan baru tentang bagaimana –sejatinya- seorang muslim melangkah, tentang bagaimana seorang Haji mempertahankan kemabrurannya. Dan tentang bangsa yang harus keluar dari jeratan sakit yang berkepanjangan. Harapan baru di awal berkahnya Hijriyyah.

Hampir disetiap peralihan tahun baru, setiap kita selalu memiliki harapan lebih baik dalam melangkah. Beralih dari hal tidak baik menuju yang lebih baik, dari kondisi menjenuhkan pada situasi yang penuh dengan inspiratif. Dan dari hal-hal yang berbau usang menuju kondisi serba anyar. Pola kerja, sistem kerja, dan hal-hal “kata kerja” inilah yang –sesungguhnya- terlampau usang untuk dibicarakan. Tetapi yang patut dijadikan inspirasi dalam mengawali tahun baru justru berada pada kata sifat ‘Semangat’ dan ‘Harapan’. Yah, bagaimana konteks semangat dan harapan itu dapat menguasai setiap jejak yang akan terpijaki.

Bukan hanya diawal tahun baru tentunya semangat dan harap itu harus tetap terjaga. Tetapi menjadikan tahun baru sebagai momentum Re-Charge Semangat Baru adalah sesuatu yang sejatinya berkobar di setiap mengawali tahun baru. Jika semangat telah terpatri, maka apapun yang dikerjakan akan sangat mudah dan penuh dedikasi. Itulah kenapa Umar bin Khattab mencetuskan ide pembuatan kalender Hijriyah, sepenuhnya karena dilandasi semangat keislaman yang sangat kuat.

Begitu pula dengan Sultan Shalahudin Al-Ayubi, ketika menjadi Panglima perang Islam saat menghadapi kaum salibis, ia membakar semangat umat Islam yang pada saat itu terkesan berada pada titik stagnan. Sultan Shalahudin menabuh perang dengan mencetuskan sebuah perayaan ‘Maulid Nabi’ yang tak pernah ada sebelumnya. Dengan perayaan itu, Sang Sultan berharap semangat Umat Islam kembali naik dengan mengenang sekaligus merefleksi bagaimana perjuangan Rasulullah dalam menegakkan agama Islam. Begitu juga dengan Panglima Thariq bin Ziyad yang mampu menguasai Spanyol dengan membakar satu-satunya kapal laut milik umat Islam setelah di kepung oleh tentara Nasrani di pesisir pantai. Ide pembakaran itu tiada lain mengobarkan semangat juang tentara Islam untuk menghadapi musuh yang sudah di depan mata. Walhasil Islam berhasil masuk dan menguasai Andalusia.

Sejarah dan pembelajaran di atas, tentunya mengandung hikmah yang sangat dalam di mata umat Islam. Betapa pentingnya mencipta dan memelihara semangat dan memiliki harap, karena tanpa semangat dan harapan, mustahil Islam akan berada di belahan bumi yang secara letak geografis sangat sulit tuk disinggahi.

Jika pada peralihan tahun baru hijriyyah ini, kita tidak memiliki harap dan semangat dalam melangkah, maka peristiwa besar dalam dunia Islam itu kita lewatkan seperti hari biasa saja, flat dan tak bergairah. Tidak menjadikan momentum Hijriyyah sebagai tolak ukur perubahan sikap. Setidaknya, -pada kesempatan itu- kita berharap bahwa tahun depan semua langkah kita masih tetap terjaga dan terberkahi.

Pahlawan adalah manusia misterius. Karya tanpa nama, keberadaanya tiada namun berasa. Terpuruk, terluka, demi bangsa dan agama –Cordova Founding Father-

Pagi itu, gerbang menuju pemakaman tua baru saja terbuka. Ratusan langkah mulai menapaki anak tangga di sebelah utara tempatku menginap. Ratusan bahkan ribuan pusara dan batu nisan berjejer rapi. Tidak ada yang unik, semuanya hampir sama bentuk dan panjang-nya makam-makam itu. Jarak antara satu makam ke makam lain hanya berapa kasta saja, antara blok satu dengan blok lain di batasi jalan untuk mereka yang berziarah. Meski tanpa pohon kemboja yang selalu menghiasi makam di Tanah Air, ratusan nisan itu tetap terlihat bersih dan terawat. Tidak pula berlapis semen, atau keramik mewah. apalagi berlapis emas atau replika helm diatas pusaranya. Nisan yang dijadikan sebagai petunjuk itupun hanya seponggah batu biasa. Hanya sebagai tanda, bahwa area itu adalah makam seseorang. Makam manusia mulia yang merupakan pahlawan sebenarnya.

Yah, di dalam sana jasad manusia-manusia mulia terkujur. Tanpa terukir sedikit pun nama dan jasa mereka. Tanpa hiruk pikuk pro dan kontra, layak atau tidak bergelar pahlawan. Kontribusinya sangat jelas dan terasa oleh jutaan manusia hingga kini. Saya tidak begitu paham tentang letak sahabat Rasul yang satu dengan yang lain, karena memang bentuknya sama rata. Tidak ada perbedaan antara raja dan budak, kaya dan miskin, semuanya sama bernisan batu. Hanya beberapa sahabat dekat Rasul saja yang –mungkin- di yakini letaknya dimana, itu pun kerap diakhiri oleh empu (penjaga) Makam Baqi itu dengan ungkapan Wallahu ‘alam.

Saya tidak akan memperpanjang tentang dimana letak makam sahabat Rasulullah SAW itu berada, saya hanya ingin mengkorelasikan makna pahlawan hakiki dengan pemahaman pahlawan yang banyak diperdebatkan di negara kita. Tentang bagaimana para pahlawan diberlakukan oleh kita sebagai penerima tongkat estafeta kehidupan beragama dan berbangsa. Siapa –sebenarnya- yang layak menerima gelar pahlawan (?)

Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan-nya. Tetapi apa cukup mereka hanya menjadi sebuah simbol yang akan ramai dikunjungi saat ritual penghormatan setiap 10 November (esok hari) di atas batu nisan (?) Hemat saya –justru- Bangsa ini akan besar ketika attitude dan action para pahlawan dapat menyemangati segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak lantas dengan segala ‘kepentingan’ berebut tuk mendapatkan empati sebagai pengusung ‘Sang Pahlawan’, tetapi sikap dan jasa sosok yang di usung melebur usai upacara ‘Penghormatan’ itu.

Menurut pandangan saya, siapapun memiliki kans sebagai Pahlawan, tidak terkecuali mereka yang melakukan perjalanan haji menuju Baitullah. Selain menyempurnakan bangunan keislamannya, rangkaian doa mustajabnya kerap memberikan sentuhan Ilahiyyah guna kemakmuran bangsa. Karena tanpa elemen itu, Indonesia tak kan pernah mampu bertahan menuju suatu kenikmatan berbangsa dan bernegara. Terlebih bagi mereka yang gugur dalam kesucian di tanah-Nya. Mereka bukan hanya sebagai haji yang mabrur, tetapi pahlawan dan duta Bangsa yang mengharumkan Bangsa di atas nisan yang penuh dengan keberkahan.

Saya kembali pada gambaran dihadapan saya pada makam Baqi, dihadapan nisan yang tak bertuan, makam yang penuh berkah, makam pahlawan sesungguhnya, pahlawan yang tak ingin namanya terukir diatas ukiran apapun, pahlawan sejati yang membela kebenaran seutuhnya. Mereka terpuruk, terluka dan terkoyak hanya demi kemuliaan anak-cucu dan bangsanya. Pun demikian, semoga para Pahlawan bangsa ini selalu diberikan tempat yang terindah di sisi-NYA. Juga memberikan semangat kepahlawanan bagi kita semua, seperti kata Cordova Founding Father di atas; Mereka adalah manusia misterius, berkarya tanpa nama.

Arafah adalah tempat di wilayah Makkah Al-Mukarramah yang menjadi berkumpulnya para jamaah haji dari seluruh dunia. Hadir Arafah merupakan salah satu rukun haji, sehingga tidak sah ibadah haji seseorang jika tidak hadir di Arafah. Abdurrahman bin Ya’mar meriwayatkan bahwasanya sekelompok manusia dari suku Najd mendatangi Rasulullah SAW pada saat beliau di Arafah. Kemudian mereka bertanya kepada beliau, sehingga Rasulullah SAW memerintah mereka seraya menyeru, “Haji adalah (hadir) di Arafah.” (HR. Tirmidzi). Arafah menjadi hari kesembilan di bulan Dzulhijjah. Arafah yang berarti mengetahui, memiliki pengertian bahwa mimpi yang terjadi pada Kholilullah Ibrahim AS adalah benar berasal dari ALLAH SWT. Sebelumnya, nabi Ibrahim mengalami fase keraguan (hari tarwiyah) apakah mimpinya berasal dari ALLAH atau tidak.

Setelah melalui proses verifikasi-kritisisme, Nabi Ibrahim mengetahui dan meyakini kebenaran mimpinya di hari Arafah. Tibalah keesokan harinya Yaum An-Nahr (hari penyembelihan) yang menjadi tonggak pelarangan pengorbanan manusia dalam mendekatkan diri kepada ALLAH SWT.

Arafah merupakan miniatur Alam Mahsyar, tempat seluruh manusia dibangkitkan dari alam kubur untuk dihitung amal kebaikan dan keburukannya (hisab). Maka pengertian Arafah memberikan kesadaran bagi manusia dalam hubungannya dengan Rabb-nya, sesamanya dan alam semesta, sehingga mereka mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk kehidupan abadinya di akhirat.

Peristiwa monumental yang terjadi di hari Arafah antara lain turunnya wahyu terakhir kepada Rasulullah SAW, penegasan tidak diperkenankannya kaum musyrikin melakukan ibadah di sekitar Ka’bah, dan penegasan deklarasi hak asasi manusia (HAM) pertama di dunia yang menjadi tonggak sejarah bagi berkembangnya penghormatan prinsip-prinsip HAM pada saat ini.

Latar belakang tersebut menjadikan hari Arafah memiliki keagungan dibandingkan dengan hari-hari lainnya, di antaranya: Pertama, menjadi hari pengampunan dosa dari ALLAH SWT karena banyaknya hamba yang beribadah semata-mata untuk diri-Nya.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika hari Arafah tiba, ALLAH SWT turun ke langit dunia dan berfirman kepada para malaikat, ‘Lihatkan kepada para hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dengan bersusah payah, mereka datang dari berbagai penjuru yang jauh. Saksikanlah! Bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka.’

Para Malaikat berkata, ‘Wahai RABB-ku, (diantara manusia itu) ada lelaki yang senantiasa mensucikan-Mu, mengagungkan-Mu dan lain sebagainya.’ ALLAH SWT berfirman, ‘Aku telah ampuni dosa-dosa mereka.’ Rasulullah SAW bersabda, “Maka sungguh tiada hari yang lebih besar pembebasannya dari api neraka dari pada hari Arafah.” (HR. Ibnu Huzaimah).

Kedua, dilipatgandakannya amal kebajikan yang dilakukan oleh para jamaah haji di Makkah dan disunahkannya bagi yang tidak haji untuk melakukan puasa Arafah. Dari Abu Qatadah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Puasa Arafah dapat menghapus dosa-dosa yang telah lalu dan dosa tahun depan.” (HR. Ibnu Huzaimah).

Ketiga, banyaknya rahmat yang dilimpahkan oleh ALLAH kepada manusia, sampai-sampai setan berkecil hati pada hari Arafah tersebut. Dari Talhah bin Abdullah bin Kariz RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setan tidak melihat bahwa suatu hari dirinya merasa kecil, hina, teraniaya dan teremehkan daripada hari Arafah. Hal itu tidak lain karena ia melihat banyaknya rahmat dan ampunan dosa besar yang diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana pada saat Perang Badar.”

Demikianlah keagungan hari Arafah, semoga ALLAH SWT memberikan keringanan kepada kita dalam mengagungkan hari mulia-Nya dengan memperbanyak kebajikan dan berpuasa, sehingga kita dijadikannya sebagai hamba agung nan mulia.

(Dari Berbagai sumber)

Sang waktu terus berlalu. Tak terasa musim haji kembali tiba. Tiga juta muslim dari segala penjuru kini tumpah-ruah di bumi bersejarah Makkah. Mereka bersimpuh di hadapan Ka’bah, kiblat seluruh muslim dunia. Nabi Ibrahim AS telah tiada, namun kedalaman tauhid Khalilullah beserta keluarganya selalu dikenang hingga kini. Pengabdian yang tulus kepada Rabb-nya, tidak pernah membuat mereka menawar perintah Allah Ta’ala. Meski kadang perintah itu tak masuk nalar manusia. Kini, mata seluruh muslim dunia tertuju ke sana. Mereka yang beragam suku dan budaya disatukan dengan satu syi’ar: “Labbaik, Allahumma labbaik… Labbaik laa syarikalaka labbaik…” Ka’bah yang menjadi sentral, selalu memunculkan kedengkian dari dulu kala. Raja Abrahah, pernah membangun tempat ibadah begitu besar dan indah di Yaman untuk menandingi keagungannya. Tapi, seorang Arab badui justru membuang hajat di sana. Abrahah marah dibuatnya. Dengan tentara gajah, ia menuju ke Makkah untuk menghancurkan Ka’bah. Niat itu tidak terwujud, karena seperti kata Abdul Muthallib, “Ka’bah itu milik Allah, Dia yang akan menjaganya.” Burung Ababil pun berpesta pora.

Ka’bah juga memunculkan kecemburuan bangsa Yahudi. Saat di Madinah, mereka berdebat soal rumah ibadah pertama di dunia. Yahudi bersikeras bahwa di Baitul Maqdis rumah ibadah pertama dibangun. Sampailah hal ini ke telinga Nabi Saw. Allah kemudian menjawab melalui firman-Nya, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadat manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi …” (QS 3: 96).

Saat ditegaskan bahwa agama selain Islam tertolak, orang Yahudi berkata, ‘kalau begitu kami Islam’. Saat ditandaskan, ‘kalau kalian Islam, Allah mewajibkan haji untuk kaum muslimin ke Mekkah.’ Namun, gengsi yang begitu tinggi membuat mereka berujar, ‘yang demikian tidak pernah diwajibkan atas kami.’ Itu sebabnya, dalam ayat selanjutnya disebutkan, “Katakanlah, Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha menyaksikan apa yang kamu kerjakan?”. Demikian asbabun-nuzul menyebutkan.

Apa yang melatarbelakangi sikap Yahudi (?) Tak lain adalah klaim mereka sebagai ‘bangsa pilihan’ yang akan mendapat ‘tanah yang dijanjikan’. Meski pensifatan dalam kitab suci mereka mengarah bahwa hal itu sudah muncul; bahwa umat yang dipilih adalah Muhammad Saw; dan tanah yang dipilih adalah Makkah, namun mereka tak menerima kenyataan ini. Kedengkian membutakan mereka hingga selalu mencari dan mencari. Dan itu berlangsung hingga kini. Zionisme kemudian dibentuk untuk menyambut ilusi ‘jadwal Tuhan’.

Erzt Israel (negara Israel) kemudian menjadi missi yang ditetapkan. Yahudi bermimpi mendatangkan masa keemasan kerajaan Israel di era Nabi Daud dan Sulaiman dulu. Tiba-tiba, bangsa yang gemar membunuh Nabi utusan Allah ini, merasa sebagai ahli waris. Padahal sejarah mencatat, bagaimana ideologi paganisme Mesir kuno begitu mengakar dalam
bangsa ini dan bukan tauhid; ajaran para Nabi. Bukankah mereka pernah meminta dibuatkan patung sapi sesaat setelah diselamatkan Nabi Musa dari Fir’aun (?) Secara biologis mungkin mereka bisa mengklaim sebagai anak turun Nabi Israel, namun secara ideologis, terlalu jauh untuk menyebut mereka sebagai pewaris.

Negara Israel impian dideskripsikan lokasinya ‘dari sungai Nil sampai sungai Eufrat Tigris’. Dalam Konperensi Perdamaian di Versailles pada 1919, batas wilayah negara Israel selanjutnya ditetapkan: di Utara meliputi Shaida (Lebanon) dan Damsyiq (Suriah), di Timur mencakup Amman (Yordania) dan Aqaba, sedang di Barat sampai di El-Arish Mesir. Luas Erzt Israel dengan demikian sama dengan dua kali lipat luas wilyah Israel sekarang. Demikianlah, ekspansi perluasan wilayah Israel nampaknya tinggal soal waktu. Dan konflik di Timur Tengah, belum ada tanda-tanda akan padam.

Dan inilah sumber banyak konflik di dunia hari ini. Ambisi Israel yang didukung negara Barat memparadekan kedzhaliman secara kasat mata. Bangsa Barat seolah menafikan lolongan dan protes bangsa lain. Lembaga Internasional semacam PBB juga mandul, karena sejatinya merekalah yang menerbitkan akte notaris berdirinya Israel di Palestina. Dan inilah pemicu yang menggerakkan banyak pemuda untuk membela saudaranya… dengan segenap cara dan keyakinannya. Tak terkecuali, Usamah bin Laden. Ia harus meninggalkan kasur empuk, berpindah ke goa-goa Afghanistan demi membuat perhitungan.

Popularitas Israel sebagai bangsa cerdas, tidaklah diragukan. Ragam kekuatan yang mereka miliki dari ekonomi, militer dan lobi membuat seolah mereka bisa berbuat apa saja. Yahudi sadar, bahwa potensi ancaman atas missi Israel Raya adalah Islam. Karena selain lokasinya di negeri muslim, Islam juga memiliki ideologi jihad. Dan ideologi jihad disemai di pesantren-pesantren juga di komunitas-komunitas pengajian. Terbitlah sandi ‘war on terror’ yang membidik pusat persemaian ideologi jihad. Dan penguasa-penguasa negeri muslim, turut menari dalam gendangan itu. Banyak program digelar dan direncanakan, dari yang soft hingga yang hard. Dolar Amrik mengalir ke kantong-kantong para Kyai juga Polisi.

Coba kita perhatikan diskusi-diskusi akhir-akhir ini. Orang muslim sendiri sibuk mencari akar persoalan terorisme. Dan akar itu, selalu diarahkan ke Islam dan jihad tanpa berusaha kritis terhadap kedzhaliman Yahudi di Timur Tengah. Juga tanpa ada sedikit ‘empati’ bahwa perlawanan pemuda muslim hari ini di dunia, hanyalah reaksi dari sebuah aksi. Para pemuda itu hanyalah terpanggil secara aqidah, meski kadang ada sikap ghuluw (berlebihan) dari mereka yang memiliki semangat over dosis. Begitulah, tak ada yang memiliki kemauan politik serius dalam menangani akar terorisme.

Tapi itulah dinamika hidup; sunnatullah yang terus berjalan. Front-front begitu jelas. Kubu-kubu juga begitu tegas. Banyak pihak berharap konflik bisa diredam. Dan itu adalah kemauan siapapun yang memiliki akal sehat. Hanya, seiring tidak ada kemauan positif dari Yahudi dan Barat, nampaknya konflik belum akan berhenti. Disini kita melatakkan nubuat Rasulullah, bahwa pernah beliau meramalkan akan eksistensi thaifah manshurah (kelompok yang mendapat kemenangan). Kelompok yang menjadikan jihad sebagai jalan perjuangannya. Kelompok yang selalu melawan kedzhaliman. Secara khusus, hadits-hadits yang memuat thaifah manshurah bahkan ada yang menyebut daerah Syam sebagai maqor (benteng). Penyebutan ini menunjukkan betapa penting daerah Syam sebagai pusat wilayah konflik. Dan Syam dalam peta lama, adalah Palestina, Yordania, Libanon, Suriah; dalam peta sekarang.

Dalam nubuat juga, kelak peperangan akan dimenangkan oleh kaum muslimin. Bukhari dan Muslim meriwayatkan, “Tidak akan terjadi kiamat hingga kaum muslimin memerangi kaum Yahudi, lalu membunuh mereka, sehingga seorang Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon, lalu batu dan pohon berkata: Hai Muslim! Hai hamba Allah! Ini Yahudi di belakangku, kemarilah, bunuhlah dia! Kecuali pohon ghorqod, maka itu adalah dari pohon-pohonnya orang Yahudi. ”

Begitulah babak akhir itu nantinya. Yahudi sendiri mengimani hasil akhir dari perseteruan ini. Sampai-sampai Jewish National Fund (www.jnf.org) melakukan gerakan penanaman pohon ghorqod. Melalui situs, kaum Zionis ini melakukan penjualan ghorqod secara online dengan US $ 18. Barangsiapa membeli 3 batang bonus 1 batang. Pohon tersebut akan disumbangkan untuk Israel dan ditanam disana. Disebutkan, bahwa sebanyak 220 juta batang ghorqod kini telah ditanam di Palestina. Begitulah mereka meyakini. Tapi sayang seribu sayang, tidak sedikit umat Islam yang kurang meyakini babak akhir ini. Hingga mereka lebih memilih bersekutu dengan Yahudi dalam amal ketimbang berpihak kepada muslim sendiri.

Momentum haji seharusnya menyadarkan umat Islam akan banyak hal. Tentang tauhid, tentang kedengkian Yahudi, dan tentang keharusan persatuan ummat. Selamat menunaikan ibadah haji. Get Mabrur for Indonesia Makmur!

(Sumber; eramuslim.com)