Setiap orang memiliki waktu sama. Namun, tidak setiap orang memiliki kesempatan sama kala waktu berjalan. Waktu tak perlu ditunggu, karena ia kan menghampiri. Pun ditarik ulang, karena ia tak pernah kembali. Al-Waqt kas-Ashaif, (waktu bagaikan pedang), demikian pepatah Arab yang mengibaratkan waktu laiknya sebuah pedang. Jika pandai mengolah, maka ia kan bermanfaat. Tapi sebaliknya jika menyia-nyiakan, maka ia kan terhunus oleh sang waktu. Mengelola waktu yang baik, sebenarnya adalah pesan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin, adalah modal dasar dalam mengayunkan langkah yang kokoh. Tatapan kedepan disertai planning smart, menjadikan aliran darah kita bergerak menuju langkah yang mantap menghadapi sang waktu. Namun terkadang kita, -termasuk saya-, seringkali terjebak dengan apa yang abstrak. Suatu rasa yang kerap melenakkan sang waktu. Senyap dari karya, hanya termangu menyaksikan biografi kehidupan manusia-manusia sukses. Padahal waktu berputar selalu sama dengan apa yang dilakoni. Kesempatan selalu datang tak terduga, faktor kosong dari needed lah kemungkinan besar yang melanda sebagian orang tuk enggan menggunakan waktu sebaik mungkin.

Zero time, atau waktu yang kosong seringkali membuat diri tak berkutik. Terbelenggu oleh angan yang menari liuk bak dancer dalam jeruji besi. Tak hanya itu, pesan Ilahiyyah pun mengisyaratkan agar disetiap kesempatan bernafas, hindari waktu kosong yang tak bermakna. ‘Jika Engkau telah mengerjakan sesuatu, maka segeralah cari aktivitas baru’ (QS: 94:7). Dari sana, munculah sebuah spirit baru dalam mencanangkan waktu agar lebih bermakna.

Summer selalu identik dengan masa libur panjang. Kala buah hati kita merasakan aktivitas diluar sekolah. Ada baiknya, sedini mungkin kita merencanakan liburan yang sarat akan makna. Bisa menambah wawasan dengan melakukan extra kulikuler, olahraga, bercocok tanam ataupun berlibur ke desa tempat nenek dan kakeknya berada. Namun jika Anda memiliki kesempatan luas serta rizki yang lebih, ada baiknya juga mengenalkan anak-anak kita pada Sang Pencipta lebih dekat. Ibadah, ziarah dan tamasya ruhiyah di tanah suci, nampaknya bisa menjadi alternatif perjalanan positif bagi keluarga di Summer nanti. Tidak hanya menyaksikan bagaimana perjuangan Rasulullah, kita juga memiliki kesempatan besar tuk mencurahkan keluh kesah di Bumi ALLAH SWT.

Selain ke Tanah Suci, bisa juga kita mengajak keluarga untuk mengenalkan kepada mereka tentang sejarah Islam dan perkembangannya. Atau destinasi yang memiliki trip langkah-langkah para Anbiya. Jordania, Palestina, Mesir, bahkan perjalanan perdagangan orang-orang terdahulu, Dubai dan Abudhabi bisa kita jumpai dengan pemandangan yang kini jauh lebih berbeda. Dengan gemerlap Arab yang lebih modern dan canggih.

Kesempatan berharga selalu datang tak terduga, selagi nyawa dalam raga, mumpung umur belum senja, menggapai ridla Azza Wa Zalla

Neil Amstrong telah membuktikan bahwa kota Mekah adalah pusat dari planet Bumi. Fakta ini telah di diteliti melalui sebuah penelitian Ilmiah. Ketika Neil Amstrong untuk pertama kalinya melakukan perjalanan ke luar angkasa dan mengambil gambar planet Bumi, dia berkata, “Planet Bumi ternyata menggantung di area yang sangat gelap, siapa yang menggantungnya (?)” Para astronot telah menemukan bahwa planet Bumi itu mengeluarkan semacam radiasi, secara resmi mereka mengumumkannya di Internet, namun sayang, 21 hari kemudian website tersebut raib yang sepertinya ada alasan tersembunyi dibalik penghapusan website tersebut. Setelah melakukan penelitian lebih lanjut, ternyata radiasi tersebut berpusat di kota Mekah, tepatnya berasal dari Ka’Bah. Yang mengejutkan adalah radiasi tersebut bersifat infinite (tidak berujung), hal ini terbuktikan ketika mereka mengambil foto planet Mars, radiasi tersebut masih berlanjut terus. Para peneliti Muslim mempercayai bahwa radiasi ini memiliki karakteristik dan menghubungkan antara Ka’Bah di planet Bumi dengan Ka’bah di alam akhirat.

Di tengah-tengah antara kutub utara dan kutub selatan, ada suatu area yang bernama ‘Zero Magnetism Area’, artinya adalah apabila kita mengeluarkan kompas di area tersebut, maka jarum kompas tersebut tidak akan bergerak sama sekali karena daya tarik yang sama besarnya antara kedua kutub. Itulah sebabnya jika seseorang tinggal di Mekah, maka ia akan hidup lebih lama, lebih sehat, dan tidak banyak dipengaruhi oleh banyak kekuatan gravitasi. Karenanya, ketika kita mengelilingi Ka’Bah, maka seakan-akan diri kita di-charged ulang oleh suatu energi misterius dan ini adalah fakta yang telah dibuktikan secara ilmiah.

Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa batu Hajar Aswad merupakan batu tertua di dunia dan juga bisa mengambang di air. Di sebuah museum di negara Inggris, ada tiga buah potongan batu tersebut (dari Ka’Bah) dan pihak museum juga mengatakan bahwa bongkahan batu-batu tersebut bukan berasal dari sistem tata surya kita.

Adapun fakta Quraniyyah atau dalil yang menyebutkan tentang bukti bahwa Makkah adalah pusat Bumi. Pertama adalah Al-Qur’an Surat Asy-Syura ayat 7, “Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Makkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya”.

Kata ‘Ummul Qura’ berarti ibu bagi kota-kota lain, dan kota-kota di sekelilingnya menunjukkan Makkah adalah pusat bagi kota-kota lain, dan yang lain hanyalah berada di sekelilingnya. Sebagaimana seorang ibu adalah sumber keturunan, maka Makkah juga merupakan sumber kepada semua negeri lain, sebagaimana dijelaskan diatas.

kedua adalah ayat dan hadis nabawi yang memperkuatkan fakta ini. ALLAH Berfirman “Wahai jin dan manusia, jika kamu sanggup menembusi (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusinya kecuali dengan kekuatan (ilmu pengetahuan). (QS. Ar-Rahman: 33).

Berdasarkan ayat ini dapat difahamkan bahwa diameter lapisan-lapisan langit itu di atas diameter bumi (tujuh lempengan bumi). Jika Makkah berada di tengah-tengah bumi, dengan itu berarti Makkah juga berada di tengah-tengah lapisan langit.

Selain itu ada hadist yang menerangkan bahwa Masjidil Haram di Makkah, tempat Ka’bah berada itu ada di tengah-tengah tujuh lapisan langit dan tujuh lapisan yang membentuk bumi.
Nabi Bersabda: “Wahai orang-orang Makkah, wahai orang-orang Quraisy , sesungguhnya kamu berada di bawah pertengahan langit”.

Dikuatkan oleh Prof. Hussain Kamel yang menemukan suatu fakta mengejutkan bahwa Makkah adalah pusat bumi. Pada mulanya ia meneliti suatu cara untuk menentukan arah kiblat di kota-kota besar di dunia. Untuk tujuan ini, ia menarik garis-garis pada peta, dan sesudah itu dia meneliti posisi 7 benua terhadap Makkah dan jarak masing-masing. Setelah 2 tahun membuat kajian yang rumit itu dengan program-program komputer untuk menentukan jarak yg tepat. Akhirnya dia merasa kagum dengan apa yang ditemukan, bahwa Makkah merupakan pusat bumi.

Dia mengumpamakan seperti 1 lingkaran dan Makkah ialah titik pusatnya, dan garis luar lingkaran itu adalah benua-benuanya. Pada waktu yang sama, ia bergerak bersamaan dengan keliling luar benua-benua tersebut. (Majalah al-Arabiyyah, edisi 237, Ogos 1978).

Secara ilmiah dikuatkan kembali bahwa, telah ada teori ilmiah yang sahih bahwa lempengan-lempengan bumi terbentuk selama usia geologi yang panjang, bergerak secara teratur di sekitar lempengan Arab. Lempengan-lempengan ini terus menerus memusat ke arah itu seolah-olah menunjuk ke arah Makkah.

(Dari Berbagai Sumber)

Simbol ‘bulan bintang’ yang kerap terdapat pada menara masjid, selalu menjadi pertanyaan di antara kita. Bagaimana asal-muasalnya dan apakah itu sebagai simbol yang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Sehingga menjadi sebuah kelajiman di setiap menara-menara masjid atau simbol-simbol keislaman. Baiklah, kita runut bagaimana simbol ‘Bulan Bintang’ itu menjadi syiar Islam hingga kini dan seterusnya. Seperti halnya Kristen memiliki simbol salib, Yahudi mempunyai bintang Daud, dan Islam identik dengan bulan sabit dan bintang berdimensi lima. Rasanya tidak afdhol jika di puncak kubah atau menara masjid tidak ada bulan bintang. Tidak akan ada yang membantah bahwa keduanya diasosiasikan sebagai simbol Islam. Penggunaan simbol bulan bintang berhubungan dengan kekaisaran Ottoman di Turki, atau lebih dikenal dengan Turki Usmani. Dinasti Usman menjadi penguasa Islam dalam 36 generasi, lebih dari enam abad (1299-1922). Usman atau dikenal sebagai Usman I tak ada hubungannya dengan Khalifah Usman bin Affan RA. Usman adalah pendiri kekaisaran ini. Ayahnya, Urtugul, seorang kepala suku dan penguasa lokal, semacam demang di jawa. Sebagai suku yang berkelanan dari Asia Tengah selama berabad-abad, oleh kesultanan Saljuk di Anatolia ia diberi wilayah di perbatasan dengan Byzantium. Seiring melemahnya kesultanan Saljuk, Usman menyatakan kemerdekaan wilayahnya pada 1299.

Penggunanaan simbol bulan bintang terjadi setelah Sultan Mehmet (Muhammad) II, sultan ke-7, menaklukkan konstatinopel pada 1453, ibukota Romawi Timur atau lebih dikenal dengan kekaisaran Bizantium. Negara super power saat itu yang menetapkan Kristen sebagai agama resmi Negara. Lambang kota itu adalah bulan dan bintang. Mehmet II mengadopsi simbol Konstatinopel menjadi bendera Ottoman. Nama Konstatinopel pun diganti dengan Istanbul.

Sebelumnya bendera Ottoman hanya segitiga sama kaki yang rebah, yang garis sisi kedua kakinya melengkung. Benderanya berwarna merah. Setelah penaklukan konstatinopel, di tengah bendera itu ditambahi bulan dan bintang berwarna putih. Pada 1844. bentuk bendera Ottoman berubah segiempat. Bendera ini mengalami modifikasi lagi pada 1922, yang kemudian ditetapkan dalam konstitusi pada 1936, setelah Ottoman jatuh, menjadi bendera seperti sekarang ini yang dipakai oleh turki modern. Bintang dan bulan sabitnya menjadi lebih langsing. Sebelumnya tampak lebih gemuk namun warna dasarnya tetap merah, serta gambar bulan bintangnya tetap putih.

Catatan lain menyebutkan bahwa kedua simbol itu telah dipakai bangsa Turki Kuno. Hal ini dibuktikan oleh penemuan artefak yang menggambarkan bulan bintang. Bahkan disebutkan bahwa simbol itu juga digunakan di Sumeria. Simbol itu kemudia diserap bangsa Turki ketika mereka melewati lembah itu dalam perjalanannya dari Asia Tengah – wilayah yang diduga sebagai asal-usul bangsa Turki – menuju Anatolia.

Lalu, apakah simbol Islam yang asli (?) Rasulullah Muhammad SAW maupun Khulafaur Rasyidin (632-661) tak pernah membuat ketetapan soal itu. Al-Qur’an pun tak pernah membicarakan soal tersebut. Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa di zaman Rasulullah hanya ada bendera panji-panji perang yang sangat sederhana dengan satu warna: hitam, putih, atau hijau. Di ‘Negara Madinah’ di zaman para Khalifah memiliki simbol berupa bendera persegi empat berwara hitam.

Bendera segi empat warna hitam juga digunakan Dinasti Umayah di Damaskus (660-750) dan di Kordoba (929-1010), dan Dinasti Abbasiyah di Baghdad (750-1258) maupun di Kairo (1261-1517). Hanya Dinasti Fatimiyah di Kairo (909-1171) yang menggunakan bendera warna hijau.

Lalu, timbulah pertanyaan, apakah penggunaan simbol itu harus dihentikan karena bukan lahir dari tradisi Islam (?) Ternyata, hasil polling sebuah situs Islam terkenal menyatakan , bahwa 39% tetap ingin menggunakan simbol tersebut. Jauh meninggalkan urutan kedua dan ketiganya: kaligrafi (18%), dan Ka’bah (15%).

Selain itu, seperti kata cendikiawan muslim Prof. Dr. Azyumardi Azra, dalam tradisi Islam simbol simbol bulan bintang memang sangat dominan begitu pula di bidang astronomi Islam. Dalam kalender Hijriyah bulan dijadikan dasar perhitungan astronomis. Sehingga bulan sebagai simbol, bukan matahari. Hal-hal yang bersifat ibadah seperti shalat, penentuan awal puasa, maupun lebaran juga menggunakan bulan sebagai patokannya. Karena itu tahun Islam sebagai tahun Qomariyah, yang artinya bulan. Bukan Syamsiyah (matahari).
Sedangkan teori yang menyebutkan bahwa simbol bulan bintang lahir dari Yunani dan Romawi hanya spekulasi saja. Berbeda dengan tradisi Islam yang sangat kuat dengan bulan. Apalagi simbol bulan bintang sudah diterima secara universal.

(Dari Berbagai Sumber)

Islam adalah agama langit (Samaa) semua manusia. Termasuk yang dibawa oleh para Nabi sebelum Rasulullah SAW. Keyakinan dan keimanan setiap kaum Nabi yang diberikan kitab dari ALLAH SWT –sejatinya- adalah Al-istislamu atau berserah diri hanya kepada ALLAH, tunduk dan patuh hanya kepada-NYA. Pengertian Islam inilah yang dimaksud oleh ALLAH dalam banyak ayat yang menunjukkan bahwa syariat yang dibawa oleh para Nabi terdahulu juga disebut Islam. Seperti Firman ALLAH yang menceritakan tentang Nabi Ibrahim; “Wahai RABB kami, jadikanlah kami berdua orang yang muslim kepada-MU dan juga anak keturunan kami sebagai umat yang muslim –berserah diri- kepada-MU” (Qs. Albaqarah: 128). Baiklah, kita sedikit keluar dari ‘pembahasan’ tauhid masa sebelum kerasulan Muhammad SAW. Kita beranjak dan menikmati bagaimana alur Islam dalam meng-influence– setiap jejak manusia abad ke-7 hingga zaman kita berada dibawah panji Islam. Menarik –sesungguhnya- jika kita telusuri bagaimana keutuhan tauhid Islam berkembang biak di planet Bumi.

Jika mengurai dari awal, kesenjangan Islam mulai tercabik oleh sebuah rasa keangkuhan diri manusia. Bagaimana kaum kafir Quraisy menolak mentah-mentah ajaran Nabi Muhammad SAW, hanya karena beliau membawa risalah ‘Hanief’ yang bertolak belakang dengan adat kebiasaan mereka yang berdoa melalui wasilah patung sebagai ‘kaki tangan’ Tuhan. Mereka percaya kepada ALLAH, namun peribadatannya melalui proses animisme maupun dinamisme yang mereka yakini. Secara tidak langsung, kita bisa mengatakan bahwa sebelum Islam datang atau Nabi Muhammad menjadi Nabi serta Rasul, maka mayoritas kehidupan orang Arab berada dalam kejahiliyahan, terkecuali bagi mereka yang masih mengikuti ajaran (millah) Nabi Ibrahim AS.

Setelah Rasulullah SAW membawa ajaran Islam yang menyempurnakan risalah-risalah Nabi sebelumnya, maka gugurlah semua ajaran yang berkembang saat itu, mereka harus mengikuti millah dan ketentuan agama yang dibawa Rasulullah SAW. Perlahan namun pasti, Rasulullah SAW mampu bertahan dan move on untuk meninggikan kalimat Tauhid, serta menyebarkan ke seluruh pelosok Arab. Jika kita saksikan sebuah film dari tema diatas; Islam Empire of Faith, maka –sungguh- ketakjuban kita akan perjuangan mereka yang bertahan teguh bak karang di tengah lautan akan membuat kita masih terasa ‘tidak ada apa-apanya’ dibanding kegigihan mereka memperjuangkan panji Islam.

Islam berkembang sangat cepat dan mengubah orang-orang nomaden menjadi penggerak utama peradaban dunia. Nabi Muhammad SAW lah arsitek dari transformasi itu. Namun setelah kewafatannya pada tahun 632 ternyata menghadapkan komunitas Islam kepada tantangan besar pertamanya. Dengan segala inovasi yang tidak keluar dari risalah nubuwah, kaum muslim menyambut tantangan itu dengan mendirikan institusi kekhalifahan dan menegaskan kelangsungan sejarah Islam. Negara Islam yang baru lahir, dengan ibukota di Madinah Al-Munawarah.

Secara perkasa dan atas pertolongan ALLAH SWT –tentunya-, mereka berhasil mempertahankan diri dari jangkauan predator Kekaisaran Bizantium dan para sekutunya. Kemenangan demi kemenangan selalu ada konsekwensinya, terutama dari sifat asli manusia yang lolos dari filter keimanan, yakni ketamakan, keserakahan dan kedengkian yang menjalar ke tubuh masyarakat Muslim saat terjadinya pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan RA.

Peradaban diuji dengan adanya krisis sebagaimana seorang individu diuji dengan kesulitan. Ini adalah saat-saat penting yang menunjukkan wujud asli karakter sebuah peradaban, seperti ujian terhadap individu yang memunculkan wujud asli dari karakter individu tersebut. Peradaban besar menghadapi tantangan dan mereka tumbuh lebih tangguh setiap kali melewati krisis, mengubah kesulitan menjadi peluang. Dalam banyak hal, kejadian ini persis sama dengan yang dialami oleh individu. Saat-saat kritis dalam sejarah menguji keberanian manusia. Orang-orang besar mengarahkan sejarah sesuai kemauan mereka, sedangkan yang lemah tertelan di masa yang keras.

Hal itu diyakini, karena keislaman sudah tidak seirama dengan keimanan yang seharusnya menjadi satu kesatuan. Jika Islam ditafsirkan melalui amalan-amalan anggota badan, atau jasad, maka iman ditafsirkan dengan amalan-amalan dalam jiwa. Karenanya, sebuah peradaban selalu muncul ketika konsep Islam melaju bersama dengan keimanan dalam jiwa.

(to be continued)

Awalnya, -saya- ragu mengangkat kondisi politik Timur Tengah yang meluas menuju Jalur Sutra di smartBLOG ini, namun karena angle yang akan dikemukakan adalah peran media yang mampu merubah kondisi apapun, maka –setidaknya- terdapat korelasi dengan konten website Cordova, yang juga tak pernah luput untuk memperhatikan konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah. Baiklah, embrio tulisan ini, -sesungguhnya- berawal dari banyak perbincangan diantara jemaah maupun team Cordova di sudut-sudut diskusi ringan. Mengenai konflik yang terus melanda Timur Tengah, negeri-negeri yang secara langsung atau tidak memiliki pengaruh dengan dunia yang kami geluti. Mencermati pergolakan politik di Maroko, Tunisia, Al-Jazair, Mesir, Jordania, Yaman, Syiria dan seterusnya, menarik untuk dikaji. Gencarnya media seringkali hanya memblow up ‘Apa yang terjadi’ yang terkadang juga hanya menjadi komoditi bos media untuk sebuah kepentingan besar dari hal yang terjadi.

Tulisan yang mungkin –kurang- ilmiah ini, mencoba menguraikan bukan dari aspek ‘apa yang terjadi’ namun mencoba untuk sedikit menguak persoalan dari sisi ‘Mengapa ia terjadi’, baik dari aspek internal maupun eksternal. Berangkat dari asumsi bahwa konflik lokal merupakan bagian dari konflik global. Itu mutlak, karena memantau gejolak dan gerakan massa di Timur Tengah (Timteng) harus totalitas dan bulat.

Pada akhir 2010 hingga awal tahun 2013 ini terjadi gelombang protes dan demonstrasi di sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Percikan pertama dari rangkaian perubahan ini terjadi pada 17 Desember 2010 saat seorang pemuda Tunisia bernama Muhammad Buazizi (26) ia juga adalah simbol pemuda tertindas di kota itu. Buazizi, selama tujuh tahun berjibaku menjadi tukang sayur, hingga polisi menyita gerobak sayurnya. Ia dituduh berjualan tanpa izin. Ia pun sudah mencoba membayar 10 dinar Tunisia dan membayar lagi sekitar 7 USD, namun ia malah ditampar, diludahi dan ayahnya (yang sudah meninggal) dihina serta dicaci maki. Lalu ia pun menuangkan bahan bakar ke tubuhnya dan membakar dirinya sendiri. bak sebuah akumulasi amarah, ternyata ia tidak hanya membakar dirinya, tetapi juga membakar amarah seluruh rakyat Tunisia atas kediktatoran rezim yang berkuasa. Keesokan harinya, kota Sidi Bouzid menyaksikan demonstrasi besar-besaran. Aparat melawan para demonstran, hingga berakibat pada kerusuhan yang meluas.

Daerah-daerah lain di Tunisia pun kemudian ikut bangkit dan menyatakan solidaritas. Tak lama berlalu, seluruh Tunisia bergolak dan pada 14 Januari 2011, Presiden Zainal Abidin Ben Ali yang telah berkuasa hampir 25 tahun pun melarikan diri ke Arab Saudi. Pergolakan Tunisia ini lantas mewabah ke daerah sekitarnya, yakni Mesir dan Libya, dan ke seluruh penjuru Timur Tengah. Gelombang pergolakan inilah yang disebut dengan Arab Spring (Musim Semi Arab) atau Revolusi Arab.

Kisruh politik di kelompok negeri seputaran Jalur Sutra memang tidak sporadis atau berdiri sendiri-sendiri. Seperti ada skenario besar yang tengah dijalankan. Ada wayang, dalang dan juga terdapat kelompok hajatan atau yang punya hajat.

Pergolakan yang membentang dalam wilayah geografis sangat luas ini tentu saja memiliki latarbelakang, pemicu, pola, karakter, dampak, dan kerangka yang berbeda-beda. Sejumlah analisis memilah antara pergolakan yang autentik, lahir dari aspirasi rakyat domestik dan pergolakan yang disponsori dan dipicu oleh kepentingan asing. Sejauh ini kita juga dapat menemukan tiga kelompok pengamat yang meletakkan rangkaian pergolakan ini dalam tiga tema besar, pergolakan demi ‘sekerat roti’; tuntutan pada kebebasan, penegakan HAM dan demokrasi; dan terakhir, kebangkitan Islam (Islamic Awakening). Tentu tiga tema ini tidak selalu berarti saling berhadap-hadapan, melainkan justru kerap saling mendukung dan melengkapi.

Hal yang menarik adalah peran media yang justru menyatukan people power yang teramat dahsyat. Tak mampu dibendung oleh kepemimpinan diktator dan kekuatan militer loyalis. Padahal Bangsa Arab –sesungguhnya- sudah sejak lama terkenal dengan ‘silent people’, masyarakat yang hanya bisa diam dan menyaksikan ketidak adilan didepan matanya. Tiada kuasa dalam melawan kekuatan rezim. Artinya apapun gejolak di Timteng dan sekitarnya, terutama negeri seputaran Jalur Sutra — apabila ia menyangkut politik dan kekuasaan, sesungguhnya tak lepas dari “remot” Amerika Serikat (AS) dari kejauhan. Indikasi itu terlihat di Mesir. Adanya statement beberapa pakar dan tokoh Mesir sendiri menyebut, bahwa siapa memegang tampuk kekuasaan di negeri piramida harus melalui “restu” dari Paman Sam. Meski kebenaran pendapat tersebut sempat kabur dengan turunnya 1500 tentara Israel membantu pemerintah Mesir, ditambah bertolak-belakangnya statement antara Tel Aviv dan Washington.

Namun akhirnya terkuak bahwa ternyata hanya soal ketakutan berlebihan (phobia) Israel ditinggal sendirian jika Mubarak jatuh. Bagi Israel, kejatuhan Mubarak, selain akan menghilangkan sekutu dekatnya – juga bisa berimbas putusnya pasokan 40 % gas dari Mesir jika kelak rezim penggantinya sosok anti-Israel. Dan phobia Israel terbukti dengan meledaknya pipa yang mentransfer gas ke negaranya. Disinyalir pergolakan di Mesir akan menciptakan kekacauan ekonomi Israel. Tel Aviv khawatir perubahan rezim di Mesir kemungkinan akan merugikan impor gas, sebab cadangan gas Israel hanya bertahan hingga akhir tahun ini.

Media-media sosial yang kerap digunakan oleh masyarakat luas sebagai motor pergerakan adalah kanal Youtube, Facebook, foto album Flickr, serta akun Tumblr. Juga melalui e-mail, BBM dan teknologi komunikasi lainnya.

Dengan aktif di media sosial, hal itu menandakan bahwa selain dari isu ‘seksi’ mengenai revolusi, terdapat alat yang juga sangat mempengaruhi perjuangan mereka. Alat yang ketika dikendalikan sesuai dengan misi perjuangan, maka ia akan menjadi kekuatan dahsyat yang sulit dibendung oleh kekuatan militer sekalipun.

Membela Al-Aqsha selalu menjadi isu bersama umat Islam, meski aliran dan madzhab berbeda. Semuanya merapatkan jari dan menyatukan hati. Menekan Aqsha berarti menekan syaraf paling sensitif di tubuh umat yang bisa menyulut emosi dan harga diri. Bukan hanya sebagai kiblat pertama umat Islam, Masjidil Aqsha juga adalah sebuah identitas kemusliman yang sempurna. Situs islam yang kental dengan sejarah perlawanan ini berada disetiap jiwa manusia muslim. Mengawal dan mempertahankan dari ancaman yahudi yang kerap bercita meratakannya guna mencari kuil Solomon. Karenanya, konspirasi kerap dilakukan oleh mereka untuk membiaskan muslim dunia mengenai keberadaan komplek masjid Aqsha. Menyebarkan dua gambar masjid berkubah kuning (Dome of the rock / Masjid Umar), dan masjid berkubah hijau. Tujuannya satu, agar umat Islam di dunia senantiasa beranggap bahwa masjid Aqsha adalah salahsatu diantaranya. Padahal sesungguhnya, letak Aqsha adalah satu komplek yang meliputi dua masjid itu, tak terpisahkan!.

Setelah tujuannya tercapai, atau mereka berhasil menggiring opini publik bahwa masjid Aqsha adalah salahsatu masjid diantara dua kubah itu, maka mereka dengan leluasa mudah untuk menghancurkan (meratakan) bangunan masjid disebelahnya, yang dianggap umat Islam bukan masjid Aqsha. Konspirasi yang sangat halus guna meluaskan pencarian kuil solomon di area suci Aqsha.

Pasca revolusi Al-Barraq, perwakilan kaum muslimin dari 22 negara berkumpul di konferensi umum Islam di Al-Quds tahun 1931 untuk membahas cara menjaga dan mempertahankan Al-Aqsha dan Palestina. Mereka bertukar pikir bagaimana Al-Aqsha ini senantiasa menjadi masjid ke-3 yang aman untuk dikunjungi umat Islam di dunia, laiknya Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Demikian pula setelah pembakaran masjid Al-Aqsha pada tahun-tahun berikutnya, mengundang perwakilan negara-negara Islam berkumpul dan membentuk OKI yang hingga kini kurang lebih telah beranggotakan 56 negara.

Ketika Sharon menggelar kunjungan pelecehan ke Masjid Al-Aqsha 28 September 2000, lalu meletusnya api Intifada Al-Aqsha yang berlangsung selama sekitar 5 tahun dan diikuti oleh dukungan dunia Islam serta Arab secara menggemparkan. Semua bersama membela Aqsha tercinta.

Namun kini, konferensi umum Islam meredup dan Organisasi Konferensi Islam berubah hanya menjadi perayaan seremonial yang hanya mengeluarkan sikap kecaman dan pernyataan semata. Intifada pun terhenti. Arab seolah tuli dan tak bernyali. Sikapnya cenderung basi. Di lain pihak, penjajah Israel tetap bercokol. Aksi yahudisasi, ekspansi pemukiman, dan aksi perampasan wilayah Palestina terus berlanjut. Warga Al-Quds sendirian memegang bara api. Teriakan-teriakan Al-Quds dan rintihan Al-Aqsha pun semakin mendidih. Namun teriakan dan rintihan itu menjadi tertahan yang tidak didengar oleh siapa pun. Seakan orang terbiasa dengan rintihan dan tidak menjadi berita penting, penyulut emosi, atau pendorong.

Mungkin setelah lebih dari 63 tahun penjajahan Al-Quds dan 44 tahun penjajahan Al-Quds timur, bangsa Arab dan umat Islam tertimpa pesimistis. Banyak orang mungkin terbiasa dengan berita-berita yang sama yang mengenaskan tentang Al-Quds untuk jangka panjang.

Barangkali -juga- sebagian kita lainnya disibukkan oleh masalah-masalah lokal dan regional. Mungkin sebagian lagi mengecam perpecahan di Palestina. Atau sebagian besar orang kini disibukkan dengan revolusi Arab dan segala implikasinya.

Barangkali faktor ini atau sebagiannya yang menjadikan jeritan Al-Quds tertahan. Namun yang terpenting bahwa semua pihak harus menyadari bahwa proyek zionis untuk yahudisasi Al-Quds terus berjalan dengan sangat intens dan terorganisir. Mereka akan menciptakan status quostatus quo baru di lapangan dan berusaha membuat gambaran manipulatif baru terhadap Al-Quds yang bertentangan dengan identitas Al-Quds sebagai milik Arab dan Islam. Jeritan Al-Quds sesunguhnya sangat keras namun telinga umat Islam tertutup oleh tanah lumpur dan adonan.

“Ahh, untuk apa mengurusi politik negeri orang, yang jelas-jelas akan terus terjadi hingga akhir zaman” Begitu pesimistis orang memandang permasalahan bangsa Palestina dan Al-Aqsha, yang jelas-jelas sebagai urat nadi perjuangan Islam sesungguhnya. So’ jika berkenan, -paling tidak- mari bersama untuk tidak melupakan sisipan doa untuk perjuangan mereka. Sehingga mereka tidak merasa sendiri.

Kemungkinan tema diatas akan mengundang pro dan kontra dari setiap orang yang membacanya. Yah, bukan tanpa sengaja hal ini diangkat. Karena memang hal demikian (mengenai bekal haji) telah terlebih dulu diangkat oleh ALLAH dan rasul-Nya. Tidak serta merta bahwa saat melaksanakan haji, hanya cukup dengan modal ikhlas, tawakal dan sabar. Ada komponen yang secara lugas mengiringi perintah dalam pelaksanaan ibadah haji. Oleh karenanya, Haji menjadi rukun terakhir dari tahapan seorang muslim paripurna, sebab dalam haji terdapat cakupan ibadah yang lebih luas dan detail. Perspektif haji mahal, rasanya akan bijak ketika dilihat dari sisi value ibadah haji itu sendiri, -tentunya- tanpa mengatakan ada semacam ketidakseimbangan antara (dana) yang dikeluarkan dengan (thing) yang diberikan.

Baiklah, kerangka awal tulisan ini –sesungguhnya- terdapat dari pemahaman mengenai ibadah mahdoh seorang muslim dalam membangun konstruksi muslim sejati. Diantara 5 rukun Islam, adakah perintah untuk mengeluarkan bekal (materi ataupun imateri) selain ibadah haji (?). Berbeda dengan zakat, yang –sejatinya- memang untuk membersihkan harta dan jumlah (batasan) pengeluarannya sudah ditentukan dengan jelas. Rasanya hanya perjalanan haji yang ALLAH perintahkan untuk memiliki ‘bekal’ dalam mengarunginya. Ditambah dengan keharusan pelaksanaannya cukup hanya bagi mereka yang mampu. Meski ‘mampu’ disini masih umum (bisa mampu secara fisik ataupun harta), tetapi mayoritas penekanan adalah mampu dalam finansial. Sebab dengan bekal finansial, ia telah menginjak 80 persen pada status hukum wajib melaksanakan haji.

Jika saja Haji tidak perlu ada biaya yang dikeluarkan, semacam sahadat, sholat, dan puasa, maka tidak akan ada perintah yang mengarahkan untuk memiliki bekal dalam pelaksanaanya. Meski bekal yang paling baik adalah takwa, namun bangunan takwa itu –tidak dipungkiri- selalu diawali dari perbekalan haji yang (umumnya) harus mengeluarkan materi. Besar dan kecil, mahal dan murah tentang ONH (ongkos naik haji) sesungguhnya adalah relatif. Semuanya kembali pada orang yang telah meraih gelar ‘Mampu’ melaksanakan haji.

Juga tidak lantas mengatakan, agar perjalanan haji itu lebih terasa ‘pengorbanan’nya, maka kelayakan hidup selama di tanah suci, tidak ‘perlu’ terlalu diperhatikan. Yang penting ibadah kepada ALLAH dengan tulus dan ikhlas. Lalu muncul pertanyaan; Lantas mengapa kerap muncul permasalahan melanda para jemaah yang terlantar, kelaparan, penipuan, kekecewaan dan seterusnya, apakah ini bagian dari pengorbanan (?).

Dalam hukum ‘dagang’ sering kita dengar ungkapan pasar, bahwa ‘barang’ dan kualitas tergantung harga. Karena rate sebuah value perbekalan haji, maka wajar jika banyak calon jemaah haji memilih bekal yang lebih mahal. Meski ALLAH meneruskan perintah bekal itu dengan; Sebaik-baiknya bekal adalah takwa. Sebab menuju ketakwaan adalah sesuatu yang teramat ‘Mahal’.

Well, tujuh tahun sudah Cordova berada dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Dari segi umur, memang masih tampak ‘hijau’, namun spirit membangun peradaban Andalusia-nya tak pernah hanyut dalam setiap langkah. Tak banyak mengira kalau Cordova tampil bukan hanya di dunia traveling suci haji dan umrah, karena memang sejak awal bangunannya di-setting bukan hanya sebagai jembatan menuju Baitullah, tetapi lebih integral merangkai cita mulia peradaban Islam di Cordoba, Andalusia. Kemajuan sains dan budayanya telah banyak menelurkan inspirasi untuk merubah dan mengembalikan paradigma Islam sebagai agama kuat yang elegan dengan balutan seni Islam yang menawan dan berkarakter. Menyerap kelebihan budaya lain, lalu memodifikasi dan membuat inovasi dengan beragam ide adalah ciri sains yang juga menjadi salahsatu ciri agama Islam. Karena sejak awal Rasulullah SAW telah menegaskan, bahwa Islam bukanlah agama baru, dan Al-Quran bukanlah satu-satunya kitab, tetapi kitab terakhir yang menyempurnakan semua kitab yang telah ada. Ciri khas Islam adalah menjadi penghubung ke masa lalu dan masa depan.

Begitulah Cordova ini dibangun dengan penuh konsep yang menyelaraskan zaman ‘klasik’ dengan kondisi yang akan terus berlaju. Menjaga tradisi tanpa menanggalkan impian masadepan yang terus mengalami perubahan. Karenanya –saya- sering melihat banyak orang yang terheran-heran melihat headquarter Cordova atau setiap both-both yang terpasang baik di ajang expo maupun event-event Cordova. Entahlah, apakah keheranan itu sebagai rasa takjub akan keindahan seni Islam. Atau heran karena sulit mendeteksi profit apa yang didapatkan Cordova dalam merancang semua ini. Merancang sebuah Civilization (Peradaban) yang –mungkin- banyak pihak yang meragukan atau pesimis akan terwujud. Tetapi dengan spirit kuat, komitmen dan kerja smart, minimal akan tumbuh generasi Cordoba melalui celah komunitas smartHAJJ dan smartUMRAH-nya.

Saya dan juga team, sangat menyadari ke arah mana Cordova ini di bentuk. Terpaan mental dan pembelajaran hidup menjadi yang utama dalam membangun misi besar ini. Karenanya serpihan dinding penyangga bangunan ini, terdiri dari kombinasi rasa, jiwa dan raga. Semua terbalut oleh semangat keindahan peradaban Cordova yang menjanjikan kesejahteraan lahir dan batin. Seperti semangat Ibnu Battuta dari Marokko. Seorang petualang terhebat sepanjang sejarah. Perjalanan dan petualangannya naik haji kerap menjadi syiar besar bagi perkembangan Islam di Muka Bumi.

Hanya soal waktu, begitu para ulama menjelaskan tentang kembalinya peradaban Islam ke tangan muslim. Sejarah kan selalu terulang, karena hidup selalu mengalami siklus perputaran. Cordova akan menjadi barometer betapa Islam adalah agama yang tak bisa dilepaskan dengan keindahan apapun. Bismillah…semua tergantung pada niat.

Kesungguhan dan potensi diri adalah master keys dalam menciptakan kesuksesan nyata” –Cordova Founding Father

Kami selalu diajarkan untuk senantiasa stand by dalam menjalankan tugas, memberikan service detail yang excelent. Namun juga kami selalu diberikan kesempatan untuk meng-Upgrade diri serta mengelola potensi yang ada dalam diri setiap kami. Menikmati teknologi serta kosmetik yang membuat kinclong diri. Terkadang semua kemampuan tergadai oleh sikap ‘kasih’ yang teramat jembar. Meski –sedikit- jika tidak dikatakan tanpa kontribusi bagi roda Company, namun semuanya kami nikmati dengan penuh rasa. Dalam kacamata bisnis, -tentunya- semua hal itu membutuhkan konsekwensi yang tidak murah bagi sebuah company. Betapa tidak, di saat company membutuhkan result matang dari setiap skill yang terlahir dari background semua individu –kemampuan akademis-, tetapi ladang menuju pembenahan diri begitu luas. Kesempatan yang merata tuk menata jiwa dikala dunia kerja di depan mata.

Diperlukan sikap tanggungjawab pada setiap episode yang terlakoni. Jika para ahli agama bilang ‘Gusti ALLAH ora sare’ dalam menyikapi keikhlasan kerja, maka cukuplah bagi kita selain keyakinan itu dengan mempatrikan diri bahwa semua yang kita lakoni bermanfaat bagi diri kita sendiri. Permasalahannya, bagaimana menyeimbangi potensi diri dengan tuntutan kewajiban yang terus update, menuntut perkembangan inovasi yang terlahir dari jiwa kreativitas. Merangkak, berjalan atau berlarikah kita tuk menggapainya (?). Disinilah substansi sebenarnya, ketika skill –senantiasa- menjadi komando diri dalam menciptakan kemandirian kerja. Merancang strategi yang membumi dengan kualitas skill yang mumpuni. Tiada lagi menampakkan muka memelas belas kasih untuk diberdayakan, kini eranya skill yang bermain. Meng-upgrade diri atau tergilas zaman.

Itulah yang Rasulullah SAW ajarkan kepada umatnya, bahwa hidup dikasihani tidak lebih mulia dari hidup yang mengkasihani diri sendiri, menyayangkan diri jika tak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi hidup. Sehingga ia tergerak dan melakukan up-grade tuk menghadapi segala tantangan zaman yang digelutinya. Tidak hanya menanti belas kasih tuk meng-survive-kan hidup hanya karena telah melakukan ‘kewajiban’ biasanya. Namun enggan tuk melakukan terobosan ‘kewajiban’ luarbiasa.

Strategi yang membumi adalah sebuah konsep yang terurai dari manusia-manusia cerdas tuk mempetakkan segala permasalahan yang dihadapi. Memberikan solusi atau jalan tuk memuluskan misi kebersamaan. Tentunya dengan menyimak semua aspek riil yang mendukung jalannya misi tersebut. Tanpa mengada-ngada, terlebih terjebak pada sebuah retorika komunikasi yang selalu mentok dengan aksi.

So’ mari bersama-sama tuk menjemput anugerah ALLAH SWT tuk membuka, menggali, mengenali, mengembangkan dan memanfaatkan potensi diri yang –sejatinya- telah lama berada dalam diri setiap kita.

Lebih dari 4000 tahun lalu, tiga anak manusia, dengan bekal secukupnya, berjalan kaki sejauh 2000 km melintasi gurun pasir dari Syam menuju lembah tandus yang tak berpenghuni, Bakkah. Mereka adalah satu keluarga: Ibrahim, sang ayah, Ismail, sang anak yang masih bayi, dan Hajar, sang ibu. Dapatkah kita menghitung bahwa jarak tempuh mereka mungkin -saat ini – sebanding dengan jarak antara Sulawesi – Jakarta. Di lembah Bakkah, mereka memulai kehidupan baru tanpa siapa-siapa. Ya, cuma mereka bertiga. Tidak lama setelah itu, sang ayah mendapat perintah dari Dzat Mahakuasa untuk kembali ke negeri asalnya serta melanjutkan tugas-tugas sucinya di sana. Sungguh, ia tak kuasa memberitahukan perintah itu kepada istrinya. Namun, harus bagaimana (?) Dengan terbata-bata, akhirnya, disampaikannya juga perintah itu.

“Apakah Kakanda akan meninggalkan kami di sini, di gurun gersang tak berpenghuni ini, tanpa siapa-siapa (?)”, tanya istrinya dengan sendu. Nabi Ibrahim hanya terdiam karena sungguh -memang- ia tidak memiliki jawabannya dari sudut pandang manusiawi. “Atas perintah ALLAH-kah ini wahai Kakanda (?)”
“Ya…”, jawab sang suami dengan lirih.

Menurut kita, logika mana yang dapat menerima seorang ayah harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih merah di sana (?) Dapat dibayangkan, jika saja saat itu sudah berdiri Komnas HAM, tentunya NABIYULLAH Ibrahim As sudah diseret ke pengadilan HAM karena dakwaan pelanggaran HAM berat. Namun begitulah, tidak semua hal dan peristiwa di dunia ini dapat dilogikakan oleh manusia. Yang dapat menerima rumus logika hanyalah yang sifatnya “rasional”, sedangkan hal-hal yang suprarasional, bukan menjadi wilayah garapannya

Sebelum meninggalkan mereka di lembah itu, Nabi Ibrahim menengadah ke langit. Dengan tangan terangkat, ia menggumamkan beberapa penggal doa, bukan untuk menunjukkan kegalauan hatinya, melainkan sebaliknya. Untaian munajat itu justru untuk mempertegas keyakinannya akan kepastian jaminan yang diberikan oleh ALLAH SWT, Sang Pembuat Skenario, yang memilih ia dan keluarganya sebagai pemeran utama.

“Ya, RABB”, demikian orang tua suci itu memulai doanya, “Sungguh aku telah menempatkan dzurriyat (istri dan anak)-ku untuk menetap di lembah yang tak tertumbuhi tanaman apa pun, di sisi rumah-MU yang disucikan. Yaa RABBANAA, semua itu kulakukan agar mereka mendirikan salat. Maka penuhilah hati sebagian manusia dengan cinta kepada mereka dan rezekikan kepada mereka buah-buahan agar mereka bersyukur” (Q.S. Ibrahim: 37).

Sungguh sebuah doa yang visioner dari seorang visioner! Dan, lihatlah, bagaimana ia menjadikan “rezeki buah-buahan” sebagai prioritas terakhir dalam permohonannya itu.

Dalam bagian munajat-munajatnya yang lain, lelaki suci ini kembali menunjukkan visi futuristiknya yang cemerlang. Saat itu, ia telah meng-install di alam bawah sadarnya bahwa sebentar lagi lembah Bakkah yang gersang, tandus, dan tidak berpenghuni itu akan menjadi kawasan yang makmur, aman, dan sejahtera. Lihatlah, bagaimana visi itu dituangkan dalam doa.

“Wahai RABB, jadikanlah kawasan ini negeri yang aman dan berikanlah rezeki kepada penduduknya berupa buah-buahan yang banyak…” (Q.S. al-Baqarah: 126).

Visi yang dilandasi skill individu dan spirit keagamaan tentunya akan menghasilkan visi yang Mardho TILLAH. Karenanya, jangan pernah bermain-main dengan visi, sebab itulah yang akan menampakkan kehidupan kita selanjutnya, setelah langkah saat ini tertapak.