Saya sedikit yakin, akan banyak perbincangan berjurus perdebatan mengenai tema diatas. Baik dalam cakrawala pikir, maupun yang bergulir melalui opini setiap individu. Yah, saya menuangkan tema bahwa sejatinya Islam tak kan pernah ada, jika tak dirangkai dengan sesuatu Maha Karya yang indah, atau seni (art, fan). Perlu pembahasan yang dalam mengenai hubungan Islam dan seni. Tetapi saya akan membahas secara garis besar tentang kandungan seni yang sangat berpengaruh dalam perjalanan Islam. Jika ditilik dari sejarah, ketika Musa As diutus sebagai Nabi dan Rasul di Mesir, kondisi masyarakat saat itu begitu dekat dengan dunia mistik. Ilmu-ilmu sihir merebak ditengah masyarakat dan menjadi kebanggaan setiap orang. Hingga puncaknya, saat Nabi Musa As diserang oleh ribuan ular dari tukang sihir Fir’aun, Maka Allah SWT memerintahkan Musa As untuk melemparkan tongkatnya ketengah ribuan ular. Seketika tongkat itu berubah menjadi ular yang sangat besar, dan melahap semua ular-ular dari para penyamun itu. Saat itu, banyak penyihir yang terkejut dan tidak sedikit pula yang takluk serta mengikuti dakwah nabi Musa As. Kekuatan luarbiasa dari mukjizat Nabi Musa –tentunya- untuk mematahkan kekuatan sihir yang dikagumi saat itu.

Sewaktu kecil, saya masih ingat bagaimana ‘prosesi pen-sucian’ itu terjadi. Mungkin dalam benak saya saat itu, hampir sama dengan umumnya anak-anak yang ingin di sunat (khitan). Karena faktor bujuk rayu orangtua dan kolega, akhirnya bukan takut yang ada, malah saya ingin segera di khitan. “Nanti kalau disunat, kamu punya banyak uang, bisa beli sepeda, beli ice cream, chiki dan makan enak”, rayu para orangtua. Akhirnya, meski harus menahan rasa sakit dan berjalan sedikit renggang beberapa hari, apa yang dijanjikan memang terkabul, saya mendapat banyak amplop, meski untuk memiliki sepeda, adalah cerita lain. Yah, seperti itulah sebuah tradisi yang sebetulnya merupakan kewajiban setiap anak laki-laki untuk di khitan, dengan pesta ataupun tidak. Mungkin pesta atau apapun bentuknya adalah suatu bumbu agar si anak menjadi senang saat akan di khitan. Terlebih menjelang masa-masa libur sekolah, tentu para orangtua memiliki banyak strategi untuk mulai merayu agar si buah hati segera di khitan.

Jika Anda IT mania, atau pecinta teknologi, tentu Anda tahu dua sosok fenomenal Steve Jobs dan Bill Gates yang hingga kini bagai seteru abadi dalam memperebutkan tahta dunia IT. Banyak gosip yang beredar diantara keduanya, Windows mencotek Mac, Mac dibeli Windows, dan lain sebagainya. Tetapi tahukah Anda, bahwa akar utama dari ‘Bratayudha’ ini adalah masalah dua orang luarbiasa yang sukses mengubah cara orang hidup di dunia modern. Mengubah cara pandang manusia untuk hidup lebih praktis, efesien dan mutakhir. Tentu dengan cinta teknologi, Anda satu langkah telah berhasil menyamakan daya pikir Anda seperti yang ada dalam benak kedua orang hebat itu, yakni menciptakan kemudahan pada manusia dalam beraktifitas dan membentuk sesuatu yang sulit menjadi sangat mudah dan simple. Rasulullah SAW pun memberikan isyarat beribu tahun silam, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan kemudahan pada saudaranya. Namun demikian, saya juga tidak mempungkiri bahwa teknologi memiliki dua mata; ia mengandung aspek manfaat, tetapi juga berbahaya bila tidak digunakan sebagaimana mestinya.

Umat Islam dimana pun berada, tentunya pernah dan –mungkin- sering mendengar ayat-ayat Al-Qur’an mengenai kematian, kehancuran dan kefana-an bumi yang kita pijak. Banyak buku dan artikel tentang kematian telah kita baca, banyak pula gambaran serta fenomena manusia yang berakhir ajalnya secara tiba-tiba. Namun, semua itu terkadang hanya sebatas intermezzo yang melintasi benak kita, jarang terpikir dan mudah terlupakan. Karena memang kita tak pernah merasakan sebuah kematian. Ketika nyawa dan jiwa telah tiada, maka manusia hanya sesosok jasad yang tak berarti. Manusia yang meninggal hanya dapat dikatakan jenazah atau –maaf- bangkai, dan tidak lagi disebut manusia seutuhnya. Jasad memang tidak memiliki kinerja, jasad akan berhenti ketika nyawa telah tiada di badan. Andai saja ada teori yang bisa menjelaskan semua tentang bagaimana cara kita mati, bagaimana rasanya mati, dan apa yang terjadi ketika kita mati. Tapi sampai saat ini tak ada satu logika dan pemikiran manusia yang dapat memastikan jawaban itu.

Mungkin ketika tema diatas terbaca. Maka apa yang ada dalam benak Anda adalah daya pikir yang jauh terbang menuju pemahaman absolut sesungguhnya, yakni tentang Dzat Mutlak yang hanya milik Allah SWT. Tetapi, sesungguhnya saya menarik segi absolut diatas dari segmentasi lain yang lebih membumi tentang kehidupan sosial (hubungan antar manusia). Secara definitif, absolut bermakna mutlak. Ada arti positif dan negatif dalam dua sisi bidang yang berbeda. Contohnya yang mengandung arti absolut negatif dalam pemerintahan, adalah seorang pemimpin negara yang diktator. Adapun absolut yang digunakan dalam bidang matematika, yakni untuk menyatakan nilai absolut, memiliki makna positif. Kedua bidang yang berbeda itu, membuat pemahaman absolut menjadi terbelah antara positif dan negatif. Tetapi saya tegaskan kembali, bahwa yang akan dibahas dibawah ini adalah absolut berkonotasi negatif.

Suatu ketika, saya mendapat teguran keras dari seorang teman karena menulis status “Gosip Positif” disalahsatu media komunikasi terkenal. Menurutnya, gosip ditinjau dari sejarah dan penggunaannya tidak pernah positif. Begitu tulisnya di sebuah instan mesengger. Hmm, benarkah, saya jadi sangat penasaran. Gosip atau isu adalah kabar yang validitasnya masih diragukan, sehingga banyak menimbulkan kegalauan dari objek yang tergosipkan. Contoh kasus (sebuah analogi). Suatu hari, istri saya memberitahu kalau tetangga rumah, Pak Dian (nama samaran) akan membangun rumah bertingkat. Kemudian istri saya menambahkan seperti yang ia dengar dari tetangga sekitar, kalau uang untuk membangun rumah itu dari hasil korupsi. Kabar tambahan itu tentu mengagetkan, karena saya tahu persis Pak Dian adalah seorang yang shaleh dan taat beribadah. Saya setengah tidak percaya, dan menganggap itu hanya isu atau gosip yang kurang terjamin keabsahannya. Saya harus membuktikan sendiri, tentu saja untuk langsung bertanya ke objek gosip, yakni Pak Dian rasanya sangat tidak etis.

Sedikit korelasi dengan artikel sebelumnya tentang “membaca”, bahwa diantara sebagian kecil manusia memiliki kemampuan untuk membaca apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tentunya kemampuan itu memiliki tingkatan perbedaan yang mendasar antara mempelajari ilmu bintang (nujum) atau sihir dengan sebuah prediksi dari pengetahuan ilmiah bahkan jauh bila disamakan dengan ramalan nubuwat (Prophecy). Seseorang yang “Membaca” dan meramal sesuatu yang akan terjadi sesungguhnya memiliki pemaknaan yang mendalam. Prediksi atau ramalan adalah pernyataan atau klaim bahwa kejadian tertentu akan terjadi pada suatu saat di masa mendatang. Secara etimologi, prediction berasal dari bahasa Latin: prae (sebelum) dan dicere (mengatakan). Kemampuan “mengatakan sebelum” sesuatu terjadi di masa mendatang.

Jika Anda mengikuti setiap artikel dalam web ini, saya yakin Anda ingin melihat, bertemu dan bersanding dengan hidden person Cordova yang selalu saya tempatkan sebagai sosok misterius. Jangan pernah bertanya, siapa dan darimana ia berasal, tapi apa dan bagaimana dampak pikir yang ia sembahkan untuk Islam akan memberikan lipatan motivasi setiap bertemu dengannya. Aura positif yang dipancarkan melalui ide-ide segarnya, membuat Anda merasa berada di arena pertempuran dengan semangat menjulang tinggi. Inovasinya yang tiada henti membuat pergerakan hidup semakin berwarna. Kali ini saya terkesima dengan paparan idenya tentang apa yang akan menghiasi website ini. Salah-satunya adalah analisisnya tentang wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW.

Suatu ketika, saya mencoba menghubungi kawan menggunakan nomor telefon kantor. Sekali, dua kali hingga kesekian kalinya, tidak juga terangkat. Padahal sesaat sebelum saya coba kontak dia, jelas-jelas ia mengirim pesan singkat melalui nomornya, agar saya menghubunginya segera. Lepas beberapa detik, HP saya kembali bergetar tanda masuk pesan. Setelah saya buka ternyata teman saya yang kembali mengirim pesan (sms). Namun, isinya berbeda dengan pertama. Kali ini justru saya terhentak membaca sms itu, begitu singkat, padat dan pedas. “Maaf kawan, jika saya angkat telefon dari nomor barusan (kantor), sama saja saya mendorong mu pada jurang kehancuran”. Upss… ringan, tetapi dalam menusuk hingga ulu hati. Sejenak saya berhenti dari segala pikir yang berkecamuk, menangkap dan mengarah tepat pada apa yang baru saja saya baca. Kian fokusnya hingga melintas dalam benak sebuah kisah seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ketika menerima tamu diluar kepentingan negara, maka ia sengaja menggelapkan ruangannya. Pasalnya satu, karena minyak dan bahan mentah penerang itu adalah uang milik negara, dan sama-sekali pertemuan dengan tamunya itu tidak ada kaitan dengan urusan rakyat.

Menyaksikan tragedi berdarah dibeberapa sudut negeri belum lama ini, membuat setiap orang tersayat hatinya. Bagaimana dan kenapa peristiwa yang melanda Negeri ini seakan tak pernah usai. Ragam kepentingan membalut setiap insan yang penuh dengan ambisi. Meremukkan harmoni yang dibangun oleh pejuang negeri, meski harus tertatih mengembalikan jati diri. Tapi semuanya harus terberai dengan sangat keji. Karena memang pengendalian diri tak pernah terusik oleh nurani. Saya dan setiap orang tentu sangat menyayangkan setiap peristiwa berdarah itu terjadi. Entahlah kemana perginya sisi lembut manusia, kedamaian yang terasa kerap menjadi puing-puing kebencian. Tak ada lagi pandangan kasih yang terpancar, sebaliknya hanyalah sorot kecurigaan yang terus menerka. Damai telah terkeping menjadi suatu barang yang teramat mahal, sulit tuk dicari dan mudah tuk disulut.