Akhir-akhir ini fenomena keputusasaan sedang marak. Fenomena bunuh diri, kekerasan, perampokan, konflik antar agama, suku dan ras, serta perilaku teror merupakan gambaran dari sikap keputusasaan yang tengah menggejala di tengah masyarakat. Masyarakat seolah-olah tidak menemukan alternatif pilihan untuk menyelesaikan problematika hidup dan terjebak pada solusi pendek dan dangkal (a solution permanent to a temporay problem). Dalam ilmu psikologi fenomena diatas disebut dengan patologi sosial. Patologi sosial terjadi disebabkan karena masyarakat dewasa ini dituntut untuk bertindak cepat, kreatif, dan kompetitif. Persaingan untuk hidup lebih layak secara sosial-ekonomi membuat manusia seperti serigala bagi yang lain, homo homini lupus (Thomas Hobbes). Tindakan apa pun, bahkan kriminal dan melawan norma sosial dan hukum, rentan terjadi ketika rasa humanisme tersingkirkan demi mengikuti kompetisi hidup ini. Dalam masyarakat yang sakit, di mana segala sesuatu bersifat cepat dan menimbulkan keputusasaan bagi mereka yang kalah.

Kabar Haji

Hal yang indah bagi seorang Muslim salah satunya adalah meninggal dunia di tempat yang baik dalam keadaan baik. Itulah yang terjadi pada seorang jamaah calon haji (calhaj) regular asal Batam, Hadi Bin Sidi Sudi. Pria itu wafat saat sedang melaksanakan shalat di Masjid Nabawi. Laporan yang diterima dokter kelompok penerbangan (kloter) 7 Batam, Meri Murniati, saat Shalat Dzuhur berjamaah di Masjid Nabawi tubuh Hadi tidak bergerak lalu tumbang dan dipegangi temannya. ”Padahal pagi hari masih dalam keadaan sehat,” kata Murniati seperti dikutip dari Media Center Haji, Kamis (21/10). Hadi kemudian dibawa ke RS Al Anshor dan dinyatakan sudah meninggal dunia. Menurut dokter Meri, pria berusia 73 tahun itu memang termasuk satu dari 118 pasien risiko tinggi (risti) yang dipantau dokter kloter 7 Batam.

“Yadullahi ma’al jamaah”, Tangan atau kekuasaan Allah, berada dalam jamaah (kebersamaan). Begitu sabda Rasul dalam sebuah hadits. Dalil ini menunjukan betapa kuatnya rasa kebersamaan yang dibangun masyarakat Madani oleh Rasulullah. Dalam konteks kebersamaan itulah, Islam mengajarkan hidup yang sesungguhnya. Hidup yang tidak sekedar memenuhi kebutuhan dan mempertahankan eksistensi diri. Tapi lebih dari itu, Islam mengajarkan kita meraih kehidupan yang bermakna dengan kekuatan berjemaah. Esensi kebersamaan dalam hidup adalah adanya tolong menolong dalam perbuatan kebajikan dan takwa (QS. 5:2), saling menasehati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang (QS. 90:17). Sadar betapa pentingnya makna kebersamaan, saya bersama team Cordova lainnya mencoba menyusun dan mengevaluasi bagaimana jalinan yang meliputi kebersamaan rasa yang penuh keberkahan. Beberapa hari lalu, ba’da Maghrib di mushola kantor, kami mengayunkan rasa untuk kembali meneropong sejauh mana langkah kebersamaan yang terjalin. Cerita dan kisah digambarkan oleh pimpinan kami, betapa keberkahan dalam sebuah komunitas tercipta hanya dengan kebersamaan rasa, kepemilikan peka dan penuh oleh rasa peduli diantara kita.

Jauh sebelum datangnya musim haji, saya selalu melihat bagaimana gelora rasa yang hinggap pada sosok Bapak ini. Pikirnya selalu melompat kala menemukan ide segar, -mungkin- tiada kata yang mengalir setiap hari dalam darahnya, terkecuali untaian kata “Bagaimana melayani Tamu Allah dengan sempurna.” Kadang hari-harinya hanya dihabiskan dalam ruang berukuran 5 x 1.5 Meter. Bukan tanpa cipta, justru berkarya mencipta rangkaian karya. Sinar mata dan gerak langkahnya tertuju pada suatu cita yang sulit terabaikan. Antusias dalam mengawal niatan suci para calon haji, selalu tampak dalam raut wajahnya. Kadang cemas, kadang marah, kadang bahagia membalut emosi yang meletup, yah semua itu berlandas pada tujuan suci. Sungguh sulit saya membayangkan ketika Allah memberi kelembutan hati pada hambaNya, tanpa perhitungan duniawi, ia rela menaruh jaminan hidup-nya tuk niatan suci itu. Hingga suatu waktu, saya membaca testimoni yang begitu menggugah dari sosok Bapak itu, kata-katanya begitu bermakna, kalimatnya begitu renyah, namun saya yakin jiwanya sedang gundah. Ingin rasanya bermadu rasa, tuk menadah sedikit resah-nya. Dan merekat sedikit lubang dengan keyakinan yang menggebu.

Tema di atas tampak klasik, dan tidak sedikit orang yang baru membaca judul-nya, sudah enggan meneruskan apa yang terjadi dalam rangkaian kata seterusnya. Padahal tema itu sangat akrab dengan kehidupan kita, bahkan bisa saja menceritakan perjalanan akhir kita. Tak jarang juga orang membaca dan mendengar tentang kematian, namun cukup hanya menjadi wacana sesaat. Setelah itu tenggelam oleh aktivitas hidup yang menguras energi. Terlebih dalam kehidupan modern saat ini, banyak orang yang menghindari untuk berpikir tentang kematian. Justru sebaliknya, tema kehidupan yang menarik tuk dikupas selalu bertolak belakang dengan kematian. Mungkin –sebagian kita- termasuk saya selalu terjebak untuk berpikir keras tentang bagaimana dan darimana saya mendapatkan harta, baju apa yang akan saya kenakan esok hari, makanan apa yang menjadi menu dinner kita nanti, terus dan terus pola pikir tercipta untuk bekal perjalanan duniawi. Namun tanpa sadar, kita lupa bahwa diantara space waktu itu bisa saja Izrael terlebih menyapa sebelum mengenakan pakaian baru esok hari, sebelum menyantap hidangan lezat dinner nanti. Dan tak ada yang mustahil setelah kita membaca artikel ini, Allah Berkenan mengutus Izrael tuk menyapa kita menuju akhir kehidupan dunia.

Saya bisa bayangkan bagaimana kondisi pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di jalan Pegangsaan, Jakarta, menjelang pukul 09.00 WIB. Suasana yang menderu, menggelombang dan menegangkan. Semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang menerjang kebiasaan, sesuatu yang membuka tabir gelap, dan sesuatu yang mengalir kencang melalui degup jantungnya. Saya juga merasakan bagaimana kering kerontangnya saat itu. Yah, saat moment penting kan di-proklamirkan, meski tanpa terlebih dulu meneguk secangkir kopi atau teh hangat, guna menjaga rasa grogi. Sang proklamator dengan lantang membaca teks kemerdekaan. Teks yang hanya tertulis tangan itu, mampu menembus setiap jiwa di seantero negeri, serta meluluhkan penjajah untuk segera hengkang. Saya semakin merasakan bagaimana hiruk-nya saat itu, euforia, dan airmata menyembur dari setiap kelopak yang membanjiri halaman itu. Takbir, syukur dan tahmid menggelegar di hari yang juga bertepatan dengan 8 Ramadhan 1364 H.

Sudah hampir sepekan Ramadhan berlaju tanpa rehat, tiada henti keagungannya bersinar pada jiwa setiap hamba. Cahayanya tak pernah padam walau banyak manusia yang menyiakan-nya. Ia kan terus berpacu dengan keberkahan yang menyelimuti seantero bumi. Bulan yang sesungguhnya memberikan multi education pada setiap muslim yang menghirupnya. Kedamaian, kehangatan dan ragam kemulian lainnya, hanya akan diraih pada bulan ini. “Cuci gudang dosa” tahunan ini, sejatinya memberikan spirit tuk membenahi segala tindak yang terpatri. Melakukan ekplorasi kebaikan tuk merayakan selebrasi fitri dikemudian hari. Terkhusus bagi calon tamu Allah yang berapa saat lagi kan menunaikan ibadah haji, Ramadhan menjadi satu-satunya opportunity yang layak tuk dikemas menuju jalan kemabruran. Tentunya bukan ‘kebetulan’ atau tak sengaja Allah menciptakan Ramadhan berada dalam urutan sebelum waktu haji. Mungkin, Allah memberikan Ramadhan sebagai space waktu menjelang peribadatan paripurna 9 Dzulhijjah kelak. Sebab, semua dimensi ketaatan manusia pada Sang Khalik berada pada bulan suci ini.

Tak dipungkuri, sedari rembulan suci tampak di ufuk sana, cakrawala merubah segala peristiwa yang kan terjadi selama 720 jam menuju kefitrahan hakiki. Setiap insan beriman, bahu membahu menyongsong bulan penuh kehangatan, menyibak balutan lentera hitam-nya, menuju sebuah tingkatan ketakwaan yang tiada tara. Yah, Ramadhan menjadi magnet luar biasa bagi setiap muslim dimana pun berada. Semua bergerak mengarah keshalihan massif, semua berjalan menuju buih kecintaan-Nya. Karena memang Ramadhan tercipta sebagai “Mesin” pencuci segala kepongahan manusia. Berbeda dengan semua ibadah yang dilakoni, shaum Ramadhan adalah titik dasar yang mengikat sebenar-benarnya ketakwaan manusia pada Rabb-nya. Jika semua ibadah yang dilakukan dapat terukur oleh kacamata manusia, maka shaum hanya terukur oleh kekuatan Azza Wa Jalla.

Selasa, 13 Juli kemarin, tepat tanggal 1 Sya’ban 1431 H. Pintu Ka’bah kembali dibuka dan dibersihkan. Seperti biasa, prosesi pembersihan Ka’bah dilakukan dua kali dalam setahun. Rumah Allah, Baitullah ini di bersihkan setiap bulan Muharram dan awal Sya’ban. Uniknya prosesi pada 1 Sya’ban kemarin itu bisa dikategorikan sebagai proses preparing hamba Allah menghadapi bulan Suci Ramadhan. Sebuah ritual yang mengisyaratkan betapa proses ‘pembersihan’ menghadapi Ramadhan sangat penting dilakukan. Nampaknya kita harus sadar bahwa Ka’bah adalah sebuah komunitas yang akan dilihat makhluk lainnya. Bangunan paling suci yang menjadi kiblat umat Islam didunia saja, dalam menghadapi Ramadhan dilakukan pembersihan, lalu bagaimana dengan manusia (?) Tentunya harus lebih membersihkan diri tuk bersiap menghadapi Ramadhan. Pembersihan bagi setiap muslim, tidak hanya secara jasmani, tetapi lebih ditekankan dalam membersihkan hati dan spritual. Filosofi pencucian Ka’bah yang dilakukan sebulan sebelum bulan suci inilah, yang membuat rangka antusiasme menghadapi bulan penuh Rahmat kian terbangun. Merangkai suatu kekuatan yang kokoh guna menghadapi segala rintang di bulan suci.

Tulisan ini bukan kisah tentang penghakiman pada kesalahan orang, atau penghukuman atas apa yang terjadi. Tanpa mencari kambing hitam tuk disalahkan, saya benar merasa telah banyak masyarakat kita -termasuk saya tentunya- terperangkap pada rutinitas hidup yang serba ‘cuek’ guna sukses tuk mengoptimalkan eksistensi diri. Terjebak pada budaya cuek, akhirnya lahir pribadi-pribadi yang hidup lebih mementingkan diri sendiri. Memperton-tonkan ke-Aku-annya, agar penilaian orang lebih terfokus pada ‘make up’ penampilannya. Merasa super ketika mendapat award, merasa bangga saat mencipta karya, tetapi lupa bagaimana award dan karya itu tercipta. Hidup dengan dunianya sendiri, tak pernah gundah saat kawan dirundung masalah, tak pernah peduli dengan lingkungan sekitar. Dalam pikirannya hanya satu “Bagaimana aku bisa mengerjakan tugasku”, lebih spesifik “Bagaimana aku mendapatkan hasil dari kerjaanku” titik. Flat, dan tak fleksibel. Semuanya hanya dipandang pada kapasitas diri, bahkan cenderung mengurung dari kemampuan diluar track-nya.