Manusia berkualitas adalah manusia yang menghargai segala yang terjadi dalam kehidupannya. Kualitas diri mencerminkan daya pikir yang smart untuk tidak angkuh dalam setiap interaksi. Tidak lantas ‘mentang-mentang’merasa dalam kelas yang beda, ia layak disanjung, di junjung dan di berlakukan laiknya pejabat kakap. Sungguh tragis menyaksikan polah manusia dewasa ini, dimana praktik pengokohan diri kerap disematkan oleh dirinya, hanya karena memiliki ruahan harta yang dipastikan akan hilang jua ditelan bumi. Saat ini, bukan ilmu dan attitude lagi yang akan menjadi sample penghargaan manusia, tetapi semakin banyak orang yang memilih harta dan jabatan sebagai media penghargaan. Atas nama kualitas diri, atas nama harta yang dimiliki, manusia yang memiliki sifat angkuh itu akan berdiri tegak menyaksikan ‘kehebatan’ dirinya, seraya memandang rendah segala yang dilakukan manusia lain. Semoga sifat seperti itu, tak kan pernah ada pada sosok haji yang pernah merasakan perjalanan di lembah suci. Karena, edukasi diri dalam penyucian hati menjadi prioritas perjalanan haji dalam meraih kemabruran.

Inklusifitas hati seorang manusia sesungguhnya menjadi dasar untuk selalu menerima keadaan dengan istiqomah. Seburuk apapun yang terjadi, ketika hati memiliki sikap ‘terbuka’ maka ia akan selalu siap menjadi pribadi yang dinamis. Pribadi yang menerima perbedaan, pribadi yang tidak terkurung oleh sekat-sekat eksklusifitas, pribadi yang dapat keluar dari kerasnya hati. Hati adalah kunci kejujuran, ia merupakan cerminan hidup dalam beraktifitas. Setiap gerak yang terlakoni, adalah pangkal dari hati yang bergejolak, semuanya selalu bermula dari hati. Setiap manusia –sesungguhnya- memiliki hati yang bernurani, karena nurani adalah sifat asli dari hati, ia selalu terbalut oleh kebersihan, kesucian dan kejujuran. Karenanya, seorang sahabat pernah mengatakan bahwa sesuatu pekerjaan yang bertolak belakang dengan hati nurani, atau menimbulkan resah dalam jiwanya, maka dipastikan hal demikian adalah suatu yang mengandung cela atau dosa. Tetapi, jika tidak merasa sedikit pun gejolak dalam hatinya, maka –sesungguhnya- Allah telah menutup hatinya dengan suatu penyakit (QS: Albaqarah:10).

Masih ingat dengan event Wukuf Live Cordova beberapa hari lalu (?), agenda tahunan yang sejak tiga tahun digagas sebagai media interaktif ini, menggagas jalinan cinta antara Indonesia dan Arafah. Sekaligus sebagai media ‘transfer’ doa antara keluarga di Tanah Air dengan smartHAJJ di Arafah. Menatap dan menyaksikan bagaimana sesungguhnya mereka berwukuf, sembari berharap dimensi kesuciannya menyelinap diantara jutaan doa yang terpanjat. Merasa diri berada dihamparan padang nan luas, bersama mengetuk langit berharap keberkahan menyelimuti dua tempat sekaligus pada waktu yang tepat. Yah, betapa indah nuansa wukuf di Padang Arafah, partikel suci-nya menyentuh aura manusia yang terbentang puluhan ribu mil. Terbang bersama jutaan doa bagi Bangsa tercinta. Setiap mata yang bersaksi, pasti meyakinkan, betapa wukuf menjadi sebuah momentum tuk menyatukan harmoni pada mahligai yang hakiki. Melekatkan rasa pada jiwa manusia tuk bersama ‘istighasah’ di dua ranah yang berbeda. Demikianlah ketika Indonesia ber-wukuf.

Setiap orang berpotensi menggengam kunci surga. Banyak cara mendapatkan kunci kebahagiaan itu, terlebih bagi setiap alumni haji yang telah merasakan bagaimana gugurnya semua dosa saat di Arafah. Jalan menuju surga telah dihadapannya, akankah mampu digenggam selamanya, atau dibiarkan berkarat begitu saja, hingga sulit untuk membuka pintu surga yang sudah di depan mata. Semuanya terletak pada kesungguhan kita dalam meraihnya. Surga bukan milik penguasa, surga tidak dipatenkan untuk orang kaya, juga bukan persembahan untuk mereka yang menderita karena miskin harta. Tetapi surga milik Sang Maha Kuasa yang diberikan khusus pada semua makhluk atas rahmat-Nya. Semua manusia berpeluang mendapatkan kunci surga, tetapi tidak semua manusia meraih kebahagiaan surga. Hanya manusia yang kosong dari rasa angkuh lah yang berpotensi hidup dalam keabadian surga. Seperti halnya iblis yang terusir dari surga, karena angkuh merasa lebih mulia dari manusia. Kekafiran, kemusyrikan, keserakahan dan segala aktivitas yang menutupi jalan surga selalu bermula dari rasa angkuh, merasa lebih dari sekelompok manusia.

Meneruskan komitmen Arafah

Ada yang tak biasa terjadi di Bandara Soekarno Hatta Senin malam lalu (22/11). Malam yang beranjak pagi itu masih terlihat ramai, biasanya pukul 23.00 WIB toko dan restoran di Bandara sudah tutup, namun malam itu, beberapa dari toko masih terlihat beraktivitas. Yah, mungkin karena banyaknya schedule kepulangan jemaah haji yang mengalami keterlambatan, sehingga banyak dari keluarga jemaah yang bertahan menunggu di bandara. Kekacauan jadwal penerbangan maskapai milik BUMN itu, dijadikan lahan ‘meraup’ rezeki oleh sebagian toko dan restoran. Belum lagi pedagang asong yang berada di lahan parkir, seolah tak henti melayani ‘order’ para supir dan keluarga yang menunggu kedatangan jemaah haji. Kendati demikian, tidak sedikit penumpang dan penunggu yang kecewa dengan rasa yang hancur akibat peristiwa tersebut. Sebuah ironi yang terjadi pada maskapai sekelas Garuda. Penerbangan domistik maupun internasional mengalami penundaan bahkan pembatalan terbang. Secara langsung ataupun tidak, hal ini sangat merugikan setiap calon penumpang baik materi maupun imateri. Semoga upaya pembangunan citra oleh Garuda yang telah mendapat penghargaan sebagai World’s Most Improved Airline dari Skytrax World Airline ini tidak berdampak lanjut pada pasar yang dibidik Garuda untuk meraih Predikat maskapai Bintang 5 dunia.

Kekacauan penerbangan yang dialami Garuda Airline akhir-akhir ini sangat dirasa oleh sebagian besar jemaah haji, baik reguler maupun haji khusus. Delayed penerbangan dari 9 jam ke-atas membuat schedule Garuda berantakan. Awalnya, staf Garuda di Airport Jeddah, Saudia Arabia mengabarkan alasan ‘klasik’ ini diakibatkan kepadatan penerbangan di Airport King Abdul Aziz, sehingga gate yang akan digunakan take-off mengalami antrian. Mengingat banyaknya jemaah haji yang akan kembali ke Tanah Air-nya di belahan dunia. Namun belakangan, diketahui bahwa penyebabnya yakni, Garuda Indonesia tengah menerapkan sistem baru yang disebut dengan sistem kendali operasi terpadu (integrated operasional control system/IOCS). Menurut Kepala Komunikasi Perusahaan PT Garuda Indonesia, Pujobroto dalam sebuah media online, sebelumnya sistem yang digunakan terpisah dan berdiri sendiri, yakni sistem untuk memantau pergerakan pesawat, awak kabin, dan penjadwalan. Sistem tersebut kemudian diintegrasikan. Sistem kendali terpadu ini telah diuji coba berkali-kali, tetapi pada Ahad kemarin 21/11 pelaksanaan sistem tersebut bermasalah.

Kurban dalam istilah fikih adalah Udhiyyah, yang artinya hewan yang disembelih waktu dhuha, yakni waktu saat matahari naik. Secara terminologi fikih, udhiyyah adalah hewan sembelihan yang terdiri onta, sapi, kambing pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kata kurban artinya mendekatkan diri kepada Allah, maka terkadang kata itu juga digunakan untuk menyebut udhiyyah. Mempersembahkan persembahan kepada tuhan-tuhan adalah keyakinan yang dikenal manusia sejak lama. Dalam kisah Habil dan Qabil yang disitir dalam al-Qur’an. Disebutkan Imam Al-Qurtubi meriwayatkan bahwa saudara kembar perempuan Qabil yang lahir bersamanya bernama Iqlimiya sangat cantik, sedangkan saudara kembar perempuan Habil bernama Layudza tidak begitu cantik. Dalam ajaran nabi Adam dianjurkan menikahkan secara bersilang. Saudara kembar perempuan Qabil harus menikah dengan Habil, sedang saudara perempuan Habil menikah dengan Qabil.

Bagi sebagian orang berpikir sistematis dengan gaya militer, -mungkin- sulit dilakukan, bahkan bisa jadi sudah antipati saat mendengar kata militer. Entahlah, mungkin karena khawatir mencipta arogansi diri, atau memang memiliki sejarah kelam dengan militerisme. Padahal sesungguhnya Rasulullah mengajarkan pada umatnya untuk selalu mempunyai ‘karakter’ militer. Siap, siaga dan penuh kedisiplinan. Bahkan Al-Qur’an mengisahkan dengan sangat jelas tentang kehebatan dan herois-nya pasukan Islam. Sejak awal, Islam memang menaruh perhatian khusus mengenai dunia militer. Lagenda dan kisah tentang ‘heroisme’ kuda-kuda yang berlari kencang dan gagah dalam kecamuk perang pun dikupas apik dalam Al-Qur’an. Islam sesungguhnya tidak bisa lepas dari dunia kemiliteran. Semua yang diajarkan dalam pendidikan militer telah tuntas dibahas oleh Al-Quran dan Hadist dengan sangat detail. Sehingga hemat saya –meski- mungkin akan menimbulkan perdebatan panjang, dikotomi antara masyarakat sipil dan militer adalah bentuk dari penciptaan buih-buih perbedaan.

“Ketika Bumi diguncang gempa, dan keluarlah beban (energi) dari perut bumi, dan manusia berteriak ‘Ada apa?!” (QS. Al-Zalzalah 1-3).

Kering sudah airmata yang menimpa bangsa ini, alam secara estafet ‘menyapa’ lingkaran hidup kita. Terus dan terus tanpa celah tuk menghindari ‘sapaannya’. Ada yang berpendapat bahwa gempa bumi dan bencana alam lainnya merupakan peristiwa alam yang tiada campur tangan Allah sedikit pun. Keterlibatan Allah, -menurut mereka- telah selesai dengan selesainya penciptaan alam. Ada juga yang memahaminya sebagai kehendak Allah semata, tidak ada keterlibatan siapa pun, seolah tiada sistem yang ditetapkan Allah bagi tata kerja alam ini. Namun ada juga yang memahami setiap bencana alam ini adalah peristiwa alam, namun ada keterlibatan Allah dalam memberi Rahmat dan Pemeliharaan-Nya. Memang, gempa –sesungguhnya- tidak terjadi begitu saja, Allah SWT tidak sewenang-wenang memerintahkan bumi berguncang, laut menerjang sehingga terjadi bencana. Karena sebelumnya ada hukum-hukum yang ditetapkan-Nya menyangkut sistem kerja alam raya. Inilah hukum-hukum alam.