Mencari Sabda Ilahi

Kata ‘eureka’ pertama kali dipopulerkan oleh Galileo saat menemukan teori bumi bukan sebagai sumber atau pusat tata surya, melainkan matahari lah yang menjadi pusat tata surya. Kasus ini mengingatkan saya pada history perjalanan Nabi Ibrahim as. Kala mencari dan menemukan Rabb-nya. Saat malam tiba, ia menyaksikan rembulan yang menerangi malam, sehingga mengganggap bahwa bulan lah Tuhan semesta alam. Namun ketika mentari terbit di ufuk timur, Ibrahim as. Pun mencabut ungkapannya semalam. Karena melihat matahari yang lebih besar dan terang, ia merasa bahwa tuhan semesta alam adalah matahari. Namun kembali Nabi Ibrahim dikecewakan oleh Tuhannya yang menghilang diufuk Barat seiring munculnya rembulan kala senja datang. Dari sana bergolaklah pemikiran Ibrahim as. mengenai hakikat keberadaan Tuhan semesta alam. Tidak mungkin Tuhan Ibrahim akan muncul dan lenyap laiknya Matahari dan Bulan, seketika itu ‘Eureka…” Nabi Ibrahim menemukan jawabannya; yakni Tuhan semesta alam adalah Dzat penguasa, pemilik dan pengatur poros perjalanan matahari dan rembulan.

Alumni bagi kami adalah segalanya, dalam artian tanpa mereka kebersamaan meraih cita tertinggi berupa ‘Mabrur’ di segala hal, sulit kan tercipta. Alumni adalah bagian keluarga besar dalam sebuah perusahaan jasa seperti kami, mereka bagian penting yang merajut jaring komunikasi dengan dunia ‘luar’. Ketika tangan sulit menjangkau, merekalah yang –justru- menopang kekuatan jangkau yang lebih luas. Jaringan network menghasilkan jutaan sel yang membentuk bangunan kokoh yang tersusun rapi melalui kebersamaan langkah. Awal terbangunnya suatu alumni, sesungguhnya bermula dari perjalanan rasa di Ranah suci-Nya. Naluri manusia sebagai makhluk sosial akan mengikat secara alami ketika merasakan perjalanan yang melebihi tiga malam. Terlebih destinasi yang di tempuh adalah rumah Tuhan, tempat bersatunya manusia di belahan bumi. Tempat dimana Allah memuliakan manusia dalam ikatan cintanya. Tempat dan waktu yang menjadikan manusia kembali pada fitrahnya sebagai manusia yang saling menjaga, menolong dan menopang sesama saudaranya. Maka Allah SWT mengikat rasanya untuk saling bersama dalam ikatan rasa. Tak ayal, komunitas ‘suci’ itu menjelma menjadi sosok-sosok yang penuh rasa kebersamaan hingga kembali ke tanah air.

“Aku Lebih takut kepada seorang jurnalis daripada ribuan pasukan bersenjata”

-Jenderal Napoleon Bonaparte –

Islam adalah agama syiar. Begitu saya menangkap isi dari diskusi ringan kami di Cordova. Setiap gerak dan nafas kita di dunia tidak akan lepas dari aktivitas syiar, para Nabi dan Rasul adalah peletak dasar syiar di mana mereka di utus. Bagi Islam, syiar adalah wajah agama. Nyawanya adalah akidah dan tauhid, sedang organnya adalah syariah yang kita aktualisasikan dalam beribadah setiap hari. Sebagai wajah, -tentunya- syiar menjadi tampilan sekaligus miniatur keindahan, pesona dan daya tarik orang untuk mengenal lebih dekat tentang agama Islam. Karenanya berbagai kekerasan, kebencian dan keterbelakangan yang kerap dipertontonkan dalam wajah Islam, sesungguhnya adalah pendustaan akan hakikat syiar dalam Islam. Sebelum banyak membahas permasalahan fikih, atau ibadah lainnya, idealnya Islam memiliki komunitas khusus penyebar syiar yang konsisten. Sebab tanpa itu, hentaman demi hentaman akan menghancurkan bangunan Islam yang tersusun rapi, gejolak fitnah kan melanda. Wal akhir, Islam kan terlumat oleh syiar yang justru menyudutkannya. Fenomena yang kita rasakan akhir-akhir ini, sudah jelas menggiring umat manusia untuk mengenal Islam sebagai agama yang kejam, bodoh, terbelakang dan bar-bar. Tampak misi syiar yang dihembuskan setiap saat memiliki tujuan untuk ‘menelanjangi’ Islam di mata dunia. Menghancurkan dengan halus melalui opini publik dan syiar-syiar yang menyesatkan.

Seri Nubuwah: 01

Suatu ketika Rasulullah SAW sedang asyik bertawaf di Ka’bah, tiba-tiba beliau mendengar seorang di hadapannya bertawaf, sambil berzikir: ‘Ya Karim! Ya Karim!’ Rasulullah SAW menirunya membaca ‘Ya Karim! Ya Karim!’ Orang itu lalu berhenti di salah satu sudut Ka’bah, dan berzikir lagi: ‘Ya Karim! Ya Karim!’ Rasulullah SAW yang berada dibelakangnya mengikuti kembali zikirnya ‘Ya Karim! Ya Karim!’ Merasa seperti di olok-olokan, orang itu menoleh kebelakang dan terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah, tampan dan bersih. Orang itu belum pernah mengenalnya. Lalu ia berkata dengan keras: ‘Wahai orang tampan! Apakah engkau memang sengaja memperolok-olokan ku, karena aku ini adalah orang Arab badui (?) Jikalah bukan karena parasmu yang bersih, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.’ Mendengar ucapan orang badui itu, Rasulullah SAW tersenyum, lalu bertanya: ‘Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab (?) ”Belum,’ jawab orang itu. ‘Jadi bagaimana kau beriman kepadanya (?)’ ‘Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan saya membenarkan putusannya sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya,’ kata orang arab badui itu pula.

Banyak tafsiran makna kata dari penggalan tema di atas, yah kata ‘Menyapa’ bisa melahirkan beberapa definisi berkaitan dengan kehidupan manusia di muka bumi. Laiknya menyapa, tentu yang dirasa adalah gerakan yang sangat halus, bahkan sesekali nyaris tak terasa. Setiap mata memandang, dan jiwa merasa –sesungguhnya- sarat dengan sapaan Allah kepada manusia, aneka peristiwa dalam panggung dunia adalah skenario yang tiada henti dari bentuk sapaan-Nya. Terkadang saya, -mungkin juga- Anda dan kebanyakan manusia merasakan sapaan Allah SWT ketika terjadi persitiwa besar di muka Bumi, baik berupa bencana alam, maupun kematian yang melanda orang di sekitar kita. Saat itulah kebanyakan manusia merasa bahwa terdapat kekuatan besar yang menggerakkan alam ini dengan musibah yang tiada henti. Bencana dan fenomena Alam adalah bentuk sapaan dan kehadiran-Nya yang lebih tegas dan jelas, karena sapaan yang lembut dan halus kini sudah sering terabaikan. Seringkali manusia terjebak dengan pola pikir yang mengutamakan logika, tanpa sedikitpun diimbangi dengan aspek spritual terhadap segala ‘Sapaan’ Dzat yang Maha Menggerakkan, Maha Pengatur alam, dan Maha dari segalanya.

Belajar dari komunitas Preman

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata ‘Preman’ adalah kata dasar dari premanisme. Yang berarti sebutan untuk orang jahat (penodong, perampok dan sejenisnya). Kata ini juga –nampaknya- merupakan bantuan dari bahasa Belanda dan Ingris. Dalam bahasa Belanda berasal dari dua suku kata, yakni ‘Vrije Man’ dengan kata dasar Vrije yang berarti bebas, merdeka (bukan budak) sedangkan Man diartikan sebagai orang. Orang yang bebas melakukan kejahatan disebut sebagai preman. Premanisme (aktivitas kejahatan) adalah sesuatu yang –sebenarnya- menjadi watak manusia sebagai Khalifah, ingat bagaimana ketika Para Malaikat bertanya kepada Allah tentang penciptaan manusia yang akan membuat kehancuran di muka bumi. Tetapi dengan hak prerogatif Allah berfirman “Aku lebih tahu dari apa yang kau tidak ketahui”. Jelas bahwa dalam penciptaan manusia, ada watak-watak dalam jiwa manusia yang berpotensi menjadi ‘preman’, tetapi dengan Anugrah-Nya, manusia diberikan segumpal hati yang akan mengontrol daya ledak ‘Premanisme’ dalam diri setiap manusia. Ia yang akan menjadi barometer perbedaan antara manusia sebagai khalifah dengan makhluk lainnya di muka bumi.

Bagi sebagian kita mungkin terlalu usang membahas masalah kekuatan mimpi dalam kehidupan nyata. Terlalu banyak media yang mengulas bagaimana mimpi dapat merubah langkah setiap manusia, terlalu sering kita mendengar motivasi tentang mimpi yang mampu menggenggam dunia. Namun, sebagian kita juga masih setengah hati untuk meyakinkan bahwa dalam mimpi terdapat energi besar yang merubah kehidupan. Sehingga efek dari mimpi hanyalah menjadi suatu pelengkap tidur nyenyak. Padahal jika kita telusuri, hampir semua kesuksesan berawal dari sebuah ‘Mimpi’. Lihat saja bagaimana dahsyatnya mimpi seorang Khalilullah Ibrahim As. ketika bermimpi akan menyembelih anaknya, yang berujung pada pelaksanaan syariat ibadah haji hingga saat ini, bagaimana juga mimpi Khatamul Anbiya Rasulullah SAW tentang penaklukan negeri Persia oleh kekuatan Islam, sehingga terealisasi bahkan menyebar hampir di semua pelosok bumi. Semua bermula dari mimpi, namun –tentunya- mimpi yang bersifat suatu harapan, bukan nightmare yang memutuskan impian indah dalam sebuah cita.

Suatu ketika di negeri ‘Samudra’, ada tiga tamu mendatangi satu keluarga. Ketika ditanya sang istri, siapa dan hendak bertemu dengan siapa, mereka hanya mengatakan sederhana “Nama kami CintaNa, dan ini saudara saya, HartaNa dan TahtaNa, Kami ingin bertemu dengan semua penghuni rumah”. Sang istri pun mengatakan bahwa suami dan anak-anaknya belum tiba di rumah. Tiga tamu itu hanya tersenyum, serta meminta izin untuk menunggu suami dan anaknya di serambi rumah. Tidak lama kemudian, anaknya tiba dan menanyakan kepada sang bunda perihal tamu asing yang berada di teras rumahnya. Ibunya hanya menjawab “Mereka tamu yang akan masuk ketika semua keluarga kita berkumpul, kali ini kita hanya menunggu ayahmu Nak,” ujarnya singkat. Setelah berapa lama menunggu, akhirnya si Ayah tiba di rumahnya seraya melihat ketiga tamu dengan senyuman di beranda rumah. Saat bertanya kepada istrinya, maka dijelaskan lah seperti jawaban kepada anaknya beserta nama-namanya. “Kalau begitu, persilahkan mereka masuk!” Perintah sang Bapak kepada anaknya.

Lelucon Perdamaian ala Joker di Libya

Mata dunia kini terperanjat dengan aksi bar-bar dunia Barat di sebagian negeri Afrika Utara, Libya. Isu revolusi di negeri itu menjadi lahan empuk untuk dijadikan alasan membumihanguskan Negeri gudang minyak itu. Awalnya, common enemy (musuh bersama) masyarakat sipil anti pemerintah Libya dan sebagian masyarakat dunia adalah Kolonel Khadafi yang sudah 42 tahun memerintah. Efek domino gerakan rakyat anti pemerintah dari Tunisia dan Mesir ini berubah menjadi isu global yang berdarah-darah. Protes Liga Arab dan dunia International tentang penyerangan rakyat sipil oleh Khadafi, ditelan mentah-mentah oleh Amerika dan sekutunya. Atas nama demokratisasi dan hak asasi manusia, mereka menggelar operasi militer yang super bar-bar. Padahal semua orang tahu, misi serangan ratusan rudal yang banyak menewaskan rakyat sipil itu adalah kelicikan yang berhembus dari isu kesemrawutan politik di Libya. Laiknya penggulingan Saddam di Irak, mereka mengambil kesempatan hanya karena berpikir mendapat legitimasi rakyat dunia dan mandat dari resolusi PBB untuk menciptakan perdamaian di negeri itu. Saya dan pastinya Anda juga tahu persis bagaimana dagelan ini dimainkan. Orang awam sekalipun tahu bagaimana watak Sang ‘Joker’, penjahat super sadis, psikopat dan senang membunuh hanya untuk kesenangan belaka. Jika lawan Superman adalah Lex Luthor, Spiderman punya Green Goblin, maka Batman memiliki musuh hebat semacam Joker. Sayangnya, lawan Joker yang saya ceritakan diatas bukan super hero seperti Batman, melainkan Abu Nawas.

Antara Loyalitas & Totalitas Perjuangan

Hidup adalah berfikir. Karena segala perjuangan hidup tak lepas dari aktivitas berfikir. Dengan fikiran, Islam pun tegak dalam peradaban yang penuh adab, pikiran juga mampu menciptakan segala sesuatu berjalan sesuai dengan buah pikirnya. Islam datang bermula dari kata verbal yang connecting jua dengan aktivitas berfikir. Setelah Islam menyebar ke-seantero bumi, intisari pelajarannya banyak diserap dan digunakan justru oleh pihak yang ingin merebut peradaban Islam yang sudah sangat terkenal dengan kekuatan fikir dan spirit ke-islamannya. Tema diatas sesungguhnya mengawali kekaguman saya pada spirit dan pola fikir orang Jepang, terutama paska bencana Tsunami dan meledaknya reaktor Nuklir belakangan ini. Begitu sistematis, patuh, rapi, beradab, dan juga penuh dengan perencanaan evakuasi yang matang, meski tentunya banyak juga korban jiwa ataupun yang masih dinyatakan hilang. Tapi setidaknya, kebiasaan menghadapi bencana alam sudah mereka pelajari sedini mungkin, juga jalur-jalur evakuasi sudah direncanakan jauh hari tuk menghindari korban yang meluas semaksimal mungkin. Diantara rasa kagum itu, saya benar-benar terpana menyaksikan bagaimana para pekerja yang mencoba untuk mencegah bencana nuklir skala penuh di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang bermasalah di Jepang.