Belajar Dari Fukushima Fifty

Antara Loyalitas & Totalitas Perjuangan

Hidup adalah berfikir. Karena segala perjuangan hidup tak lepas dari aktivitas berfikir. Dengan fikiran, Islam pun tegak dalam peradaban yang penuh adab, pikiran juga mampu menciptakan segala sesuatu berjalan sesuai dengan buah pikirnya. Islam datang bermula dari kata verbal yang connecting jua dengan aktivitas berfikir. Setelah Islam menyebar ke-seantero bumi, intisari pelajarannya banyak diserap dan digunakan justru oleh pihak yang ingin merebut peradaban Islam yang sudah sangat terkenal dengan kekuatan fikir dan spirit ke-islamannya. Tema diatas sesungguhnya mengawali kekaguman saya pada spirit dan pola fikir orang Jepang, terutama paska bencana Tsunami dan meledaknya reaktor Nuklir belakangan ini. Begitu sistematis, patuh, rapi, beradab, dan juga penuh dengan perencanaan evakuasi yang matang, meski tentunya banyak juga korban jiwa ataupun yang masih dinyatakan hilang. Tapi setidaknya, kebiasaan menghadapi bencana alam sudah mereka pelajari sedini mungkin, juga jalur-jalur evakuasi sudah direncanakan jauh hari tuk menghindari korban yang meluas semaksimal mungkin. Diantara rasa kagum itu, saya benar-benar terpana menyaksikan bagaimana para pekerja yang mencoba untuk mencegah bencana nuklir skala penuh di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang bermasalah di Jepang.

Salahsatu harian Ibukota melaporkan, kelompok Fukushima Fifty (Limapuluh Orang Fukushima) itu tetap bertahan setelah 700 rekan mereka melarikan diri saat tingkat radiasi menjadi terlalu berbahaya. Identitas mereka belum terungkap, tetapi para ahli mengatakan, mereka sepertinya para teknisi garis depan dan petugas pemadam kebakaran yang sangat mengetahui pembangkit itu.

Bisa dibayangkan, mereka menerima tugas itu dengan perasaan yang kalut. Antara hidup dan mati. Namun seperti dilansir berbagai media, mereka menerima dengan tabah ‘nasib’ mereka seperti suatu hukuman mati. Salahsatu Fukushima Fifty, setelah menyerap dosis radiasi yang hampir mematikan, mengatakan kepada istrinya, “Tolong terus lakoni hidup dengan baik, untuk sementara saya tidak bisa pulang.” Tingkat radiasi di pintu masuk PLTN itu berada pada level yang akan langsung membunuh para pekerja atau menyebabkan mereka menderita penyakit mengerikan dalam sisa hidup mereka. Para ahli mengatakan, pakaian kedap udara yang mereka kenakan hanya sedikit bisa menghentikan paparan radiasi. Mereka bekerja untuk menghidupkan kembali sistem pendingin reaktor Fukushima yang rusak akibat hantaman tsunami.

Dalam sebuah Media, Dr Michio Kaku, seorang ahli fisika teoritis, mengatakan kepada jaringan televisi AS, bahwa situasi telah memburuk dalam hari-hari terakhir. “Kami berbicara tentang para pekerja yang masuk ke reaktor itu mungkin sebagai misi bunuh diri,” katanya. “Saya dapat memberitahu Anda dengan kepastian 100 persen bahwa mereka benar-benar berkomitmen untuk melakukan apa pun yang secara manusiawi perlu untuk membuat pembangkit itu berada dalam kondisi aman, bahkan dengan risiko hidup mereka sendiri.”

Sejujurnya membaca dan menyaksikan bagaimana heroiknya perjuangan Fukushima Fifty, membuat saya malu. Saya dan –mungkin- juga Anda harus banyak belajar dengan rasa loyalitas dan totalitas mereka dalam mengemban sebuah misi, yah misi kemunusiaan yang penuh dengan resiko. Bagaimana dengan kita (?) Masihkah berfikir tentang ‘Kerja’ yang konon sudah ‘Lelah’ (?)

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *