Day ONE Journey
Ada banyak tafsiran tentang tema diatas. Anda bisa mengartikannya secara tekstual maupun kontekstual, namun esensi maknanya diyakini akan tetap sama, yakni sebuah perjalanan pada hari pertama. Baik tentang hari dimana perjalanan akan dimulai, ataupun cerita tentang persiapan menghadapi suatu perjalanan. Kemana pun, baik perjalanan pertama sang bayi saat pertama menghirup udara, pertualangan hiking, ataupun perjalanan religi semacam umrah maupun haji. Namun, kali ini penulis akan mencoba mem-break down makna yang tersirat dari ‘Day ONE Journey’. Yakni perjalanan spritual manusia saat pertama menghadap the only ONE God. Perjalanan yang mengisahkan etape hidup sesungguhnya, perjalanan awal dari akhir kehidupan yang fana. Day ONE Journey juga adalah buah dari perjalanan manusia di muka bumi. Terkadang perjalanan ini terlupakan, atau sengaja dilupakan. Karena sifatnya masih abstrak bin ghaib, maka perjalanan yang terpampang di depan mata lah yang selalu di prioritaskan. Padahal ia juga tak kan pernah tahu kapan nafas itu berhenti. Hingga tibalah Day ONE Journey itu dihadapannya. Hari dimana kehidupan sebenarnya telah datang, hari dimana perhitungan akan dimulai, hari dimana akan dilupakan sanak family, dan hari dimana akan terlihatnya suatu kebenaran yang hakiki. Hari Masyhar yang menjadikan saksi.
Menggadai Hina Tuk Meraih Visa
Sejatinya, jika masing-masing pihak atau stakeholder dalam menangani para tamu agung ke Tanah Suci mengedepankan kepentingan jemaah, maka permasalahan yang timbul belakangan ini akan sedikit diminimalisir. Meski -tentunya- tidak dinafikan bahwa mengais rezeki dari usaha tersebut tak bisa dielakkan. Tetapi sedikit disayangkan, jika hanya terlalu money orientied dengan seribu kepentingan meraup pangsa pasar yang menjanjikan, ternyata berakibat kisruh dan kekecewaan dari setiap calon jemaah umroh, lebih parah lagi visa umroh terlambat keluar dari schedule dan perencanaan setiap orang yang merindu Baitullah. Re-schedule bukan hal mudah bagi mereka yang telah memetakan agenda kesehariannya. Untuk masalah ini -baik batalnya ribuan orang berangkat ke Tanah Suci atau yang harus menunggu keluarnya visa- kita tidak lagi memiliki stock apologi bahwa Allah belum saatnya mengundang kita ke Tanah Suci. Sebab semua itu adalah perangkat yang bisa dilakukan oleh para pemegang kebijakan baik di Indonesia maupun di Arab Saudi. Hakikatnya panggilan Allah untuk mengundang hamba-Nya sudah dijawab dengan hati dan perbekalan yang mantap. Hanya birokrasi duniawi yang memuluskan rencana suci tersebut, karena terlaksana dengan mulus dan tidaknya permasalahan itu terdapat pada kebijakan diatas. Terlebih jika ada proses ‘jegal menjegal’ hanya demi meraup kepentingan bisnis, maka sungguh hal tersebutlah yang sebenar-benarnya pendzoliman pada Tetamu Allah SWT (baca edisi Cordova Turut Berduka).
The Power of “Bisikan”
Selain dari buah pikir dan panggilan jiwa, biasanya sebagian orang kerap melakukan sesuatu hanya karena menerima bisikan. Baik berbentuk riil maupun bisikan yang diterima dari halusinasi atau mimpi yang diyakini sebagai bisikan ghaib. Bisikan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat, mempengaruhi setiap keputusan besar yang akan diambil. Ia juga bisa menjadi kekuatan yang merubah paradigma massif, bahkan mengguncang dunia. Baik bisikan yang penuh makna ataupun mengundang kontroversi manusia. Bisikan dapat mempengaruhi seorang tokoh untuk berbuat tidak atas kehendaknya. Dengan bisikan pula kita bisa melihat permasalahan menjadi komplek atau sebaliknya menjadi energi postif yang maslahat. Bisikan bak senjata, ia terkendali oleh orang dibelakangnya. Bisik-bisik tetangga, akan menjadi muara gosip liar diantara kehidupan masyarakat. Memandang permasalahan melalui ‘bisikan’ akan menjadi sangat subjektif, karena ia terhembus oleh bisikan yang tidak selamanya benar. Dalam ranah politik, bisikan adalah bahasa lain dari lobby, atau negosiasi. Bisikan dapat membulatkan sikap yang pada awalnya terpecah. Betapa hebatnya efek dan buah dari bisikan, ia bisa menciptakan letupan-letupan yang tak terduga sebelumnya.
Enlightening Journey
Jika Elizabeth Gilbert tokoh yang diperankan Julia Robert dalam film Eat, Pray, Love itu menggambarkan suatu perjalanan hidup yang lebih berarti dari sebelumnya, maka sesungguhnya terdapat ruang yang –jika saja- ada produser film yang menggambarkan perjalanan lebih bermakna dan mencerahkan. Seperti film ‘Rihlah Ibnu Batuta’, perjalanan Ibnu Batuta ke Tanah Suci lebih mencerminkan suatu perjalanan yang menyentuh beragam dimensi kehidupan. Tidak hanya eat, pray dan love, tetapi juga menyangkut budaya dan sosial masyarakat yang ditempuhinya. Perjalanan menuju Tanah suci, adalah suatu perjalanan yang sangat mencerahkan. Menggabungkan antara ‘pentas’ duniawi dan ukhrawi, merangkai suatu yang tak terbayang sebelumnya. Berpacu dengan gejolak rasa yang tidak hanya masuk pada lorong waktu manusia-manusia sholeh terdahulu. Tetapi juga menyimak bagaimana integritas kehidupan Islam yang modern dan penuh kedamaian. Mencerahkan dari setiap peristiwa yang terjadi selama perjalanan menuju titik pusat bumi, juga mencerahkan jiwa tuk menyadari betapa lemahnya manusia dihadapan Tuhan pemilik Ka’bah Al-Musyarafah.
Membenarkan Kebenaran
Belakangan ini banyak pihak yang merasa telah benar dengan melakukan kebenaran-kebenaran yang lazim dilakukan. Padahal kebenaran –yang dilakukan itu- terkadang menjadi pemasung diri untuk melakukan sebuah kebenaran yang Benar. Kebenaran tidak melulu menjadi dominasi yang bersorban. Karena kebenaran selalu bertebaran di setiap langkah manusia. Tarikan nafas adalah sebuah kebenaran, kita hidup adalah kebenaran, kita mati juga sebuah kebenaran dan setiap gerak hidup yang diayun-kan adalah suatu proses kebenaran. Pada umumnya semua orang merasa benar, begitu juga dengan suatu komunitas, semua memiliki ukuran-ukurannya sendiri terhadap kebenarannya. Padahal kebenaran yang hakiki adalah kebenaran akan sesuatu yang disampaikan dari ‘Pembuat’ sesuatu tersebut melalui penyampai atau utusan yang terpercaya. Sebab sesungguhnya hanya Pembuat-nya saja yang mengetahui dengan persis ‘apa’ yang dibuatnya tersebut. Seperti halnya sebuah perusahaan selalu memiliki ketetapan internal atau protap perusahaan tersebut. Tentu protap itu tidak selalu sesuai dengan protap-protap dari perusahaan lainnya, hanya pembuat protap itulah yang mengerti kebijakan yang diterapkan pada perusahaannya, begitu sebaliknya.
Cordova Civilization
Well, lima tahun sudah Cordova berada dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Dari segi umur, memang masih tampak ‘hijau’, namun spirit membangun peradaban Andalusia-nya tak pernah hanyut dalam setiap langkah. Tak banyak mengira kalau Cordova tampil bukan hanya di dunia traveling suci haji dan umrah, karena memang sejak awal bangunannya di-setting bukan hanya sebagai jembatan menuju Baitullah, tetapi lebih integral merangkai cita mulia peradaban Islam di Cordoba, Andalusia. Kemajuan sains dan budayanya telah banyak menelurkan inspirasi untuk merubah dan mengembalikan paradigma Islam sebagai agama kuat yang elegan dengan balutan seni Islam yang menawan dan berkarakter. Menyerap kelebihan budaya lain, lalu memodifikasi dan membuat inovasi dengan beragam ide adalah ciri sains yang juga menjadi salahsatu ciri agama Islam. Karena sejak awal Rasulullah SAW telah menegaskan, bahwa Islam bukanlah agama baru, dan Al-Quran bukanlah satu-satunya kitab, tetapi kitab terakhir yang menyempurnakan semua kitab yang telah ada. Ciri khas Islam adalah menjadi penghubung ke masa lalu dan masa depan.
Meretas Asa Dalam Luka
“Siapapun kita. apapun yang kita punya. Apapun yang kita lakukan, muara kita sama. Tanah itu. Persegi didalam bumi itu”.
Boleh jadi suatu hal yang paling dihindari atau ditakuti manusia sepanjang masa adalah kematian. Baik itu kita yang meninggalkan atau sebaliknya kita yang ditinggalkan. Rasa pilu dan sedih adalah manusiawi yang sulit terelakkan ketika dua hal tersebut terjadi. Baik dialami oleh diri sendiri, maupun orang-orang yang kita cintai. Takdir ajal atau kematian adalah hal yang pasti, tapi bagaimana kita mati adalah sebuah pilihan. Tentunya pilihan antara Khusnul Khatimah (happy ending), atau Su’ul Khatimah (akhir yang buruk). Jika manusia tidak tahu kapan hidupnya berakhir, maka untuk menuju Khusnul Khatimah, berlajulah dalam setiap gerak pada ‘zona kebaikan’. Kemana dan dimana kaki melangkah adalah jejak pilihan untuk menghadapi pilihan itu. Saya, Anda dan juga –mungkin- banyak orang kadang sering terlupa pada sebuah kematian. Betapa dekatnya, betapa misterinya, sehingga sulit diduga bagaimana kita mati. Akankah ruh meninggalkan jasad saat orang-orang dicintai disekeliling kita, atau malah disaat kita berada dipenghujung luka tanpa orang yang dicinta berada dihadapan kita. Semuanya membayangi detak nafas kita. Berlaju tanpa lelah tuk menghentikan gerak kita, tuk menghantarkan kita kembali selamanya pada muasal manusia tercipta.
Shollu ‘Ala Nabi
Prosperous to the Prophet
Nabi Muhammad SAW memiliki sifat yg sangat mulia. Beliau adalah pribadi yang sangat gemar menolong orang lain, banyak diceritakan bagaimana kekasih Allah itu menjadi cahaya bagi gelapnya kehidupan kala itu. Ada sebuah kisah menarik yang menggambarkan kemuliaan akhlak beliau. Kesantunan ketika ia berhadapan dengan seorang pengemis yahudi buta yang selalu menghinanya.
Al-kisah, hidup di sudut pasar Madinah Al-Munawarah, seorang pengemis Yahudi yang buta dan tak pernah henti memaki Rasulullah SAW. Setiap hari ia lalui dengan berkata: “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya”.
Fakta Dari Negeri Tercinta
Hampir satu bulan sekali, saya selalu diajak melihat film-film terbaru di bioskop seantero Jakarta. Baik ditengah kota dengan venue theatre yang menakjubkan, hingga ruang-ruang bioskop yang nyaris tak ber-ac. Semuanya dicoba untuk sekedar melihat bagaimana sebuah ‘show’ disajikan dari setiap cinema building. Sungguh, ajakan voltage –rekan saya- itu bukan sebatas untuk menyaksikan film-film Hollywood. Karena sesungguhnya, untuk menikmati itu, kita bisa melihat secara privat di ruang sendiri, terlebih dengan kecanggihan Rapidshare dalam me-download beragam film mancanegara termasuk film-film Hollywood terbaru, bisa kita lakukan sesuai selera. Namun ada sesuatu yang selalu menjadi menu diskusi kecil tentang segala yang kita lihat, baik di sepanjang jalan menuju venue, maupun mengupas ringan tentang cerita dan teknologi dari film yang usai ditonton. Dari ide cerita, aktor, audio, sampai fasilitas kursi yang diduduki kadang menjadi bahan obrolan. Terlebih teman saya satu lagi, Dims. Dia sangat antusias dengan film-film animasi –terkecuali Ipin Upin mungkin-, kadang ia ‘berubah’ menjadi seorang petugas Lembaga Sensor Film Animasi, saking detailnya mengomentari segala yang kami lihat.
The Power of Beginning
Kesan pertama selalu menjadi hentakan dahsyat dalam segala hal. Sesuatu yang bernilai utama kerap berawal dari awalan, atau starting yang penuh dengan sensasi. Baik itu bersifat keriangan ataupun kedukaan. Ledakannya akan menciptakan suatu efek domino yang mengarah pada kekuatan rasa. Banyak orang yang merasa bahwa kesan pertama akan merubah semua stigma secara radikal. Seperti halnya dalam Islam, niat menjadi sebuah komandan utama dalam beraktivitas. Ia menjadi kekuatan yang mengawali semua ibadah manusia. Bila awalnya hancur, maka semuanya menjadi sia-sia. Momentum ‘Awalan’ adalah momentum emosional, ia yang akan menjadi kekuatan yang teramat dahsyat dalam mengarungi perjalanan dan penilaian seseorang. Langkah pertama selalu diperlukan. Perjalanan 1000 KM selalu diawali dengan langkah pertama. Bisnis besar, karir yang cemerlang dan kehidupan sukses lainnya diawali dengan langkah pertama. Semuanya selalu melewati periode pertama, karena –memang- kekuatan sebuah permulaan adalah cerminan dari hampir keseluruhan episode kehidupan.