Artikel ini –tentunya- bukan untuk memperingati hari buruh 1 Mei. Selain sudah terlewat sebulan yang lalu, tidak ada relevansi juga mengangkatnya pada tulisan ini. Namun tema diatas lebih sebagai ungkapan darurat seperti halnya seorang pilot pesawat tempur yang ditembak jatuh lawannya “Mayday… mayday… I am going down” kata si pilot. Lalu apa hubungannya ‘kedaruratan’ dengan Monday (?) Bukankah Monday adalah hari pertama dalam Weekday Masehi (?) Tempat berkumpulnya lingkaran energi dan semangat bagi setiap orang ‘ngantor’. Sejatinya seh memang begitu, namun jika masyarakat Jakarta saja –misalnya- di berikan polling tentang lebih semangat mana kerja hari Senin atau hari Jum’at, rasa-rasanya mayoritas memilih hari Jum’at. Kenapa (?) simple jawabannya, karena dia bekerja di akhir minggu alias weekend. Atau simple pula menilainya, bahwa mental untuk ‘berjuang’-nya masih dibawah rata-rata.
Awal hari dari setiap pekannya menurut Masehi adalah hari Senin, oleh karenanya semua aktivitas selalu berawal dari hari ini. Monday Mayday’ bukan sebuah peringatan tentang danger-nya hari Senin, tetapi bagaimana menghadapi hari Senin dengan segala hal yang membuat mental kerja malah mengalami penurunan paska hari libur. Bisa karena lelah berlibur, bisa juga karena –memang- spirit yang ternoda hanya karena mental diri yang begitu rusak. Namun tahukah kita, bahwa Rasulullah SAW pertama kali menerima wahyu dari ALLAH adalah hari Senin, hari yang akan mengawali dakwah-dakwahnya yang penuh dengan rintangan.
Rasulullah ditanya tentang hari Senin. Beliau menjawab: “Itu adalah hari aku dilahirkan, hari aku di utus menjadi Rasul, atau diturunkan kepadaku wahyu” (HR. Muslim).
Logikanya, ketika wahyu diturunkan, maka Beliau memulai mengemban tugas yang sangat Berat dimulai hari Senin, hari yang menjadikan setiap langkahnya merupakan dakwah. Namun karena kita sudah terbiasa dengan mindset bahwa hari Senin menjadi sebuah hari yang ‘malas’, hari yang masih lama dengan masa-masa libur, dan hari yang penuh dengan kemacetan lalu lintas untuk pergi bekerja, sehingga, belum juga dimulai ‘pertempuran’ jiwa kita sudah me-‘reject’-nya. Atau mendapat sejuta alasan untuk masuk kantor siang hari, karena berbagai hal, termasuk didalamnya alasan macet, dan lain sebagainya.
Monday mayday juga sangat menarik dijadikan penyemangat, menjadi sigap karena kondisi sedang darurat. Yah, rasanya ‘mental’ kita masih harus “berdekatan” terlebih dulu dengan status darurat, sehingga selanjutnya bisa menjadi sigap baik dalam keadaan darurat ataupun lengang.
Atau jika memungkin, setting pola pikir kita agar mengubah mindset ‘Feel Monday like Friday’, itu juga rasanya bisa membantu siapa saja yang akan menghadapi hari Senin.