Selain dari buah pikir dan panggilan jiwa, biasanya sebagian orang kerap melakukan sesuatu hanya karena menerima bisikan. Baik berbentuk riil maupun bisikan yang diterima dari halusinasi atau mimpi yang diyakini sebagai bisikan ghaib. Bisikan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat, mempengaruhi setiap keputusan besar yang akan diambil. Ia juga bisa menjadi kekuatan yang merubah paradigma massif, bahkan mengguncang dunia. Baik bisikan yang penuh makna ataupun mengundang kontroversi manusia. Bisikan dapat mempengaruhi seorang tokoh untuk berbuat tidak atas kehendaknya. Dengan bisikan pula kita bisa melihat permasalahan menjadi komplek atau sebaliknya menjadi energi postif yang maslahat. Bisikan bak senjata, ia terkendali oleh orang dibelakangnya. Bisik-bisik tetangga, akan menjadi muara gosip liar diantara kehidupan masyarakat. Memandang permasalahan melalui ‘bisikan’ akan menjadi sangat subjektif, karena ia terhembus oleh bisikan yang tidak selamanya benar. Dalam ranah politik, bisikan adalah bahasa lain dari lobby, atau negosiasi. Bisikan dapat membulatkan sikap yang pada awalnya terpecah. Betapa hebatnya efek dan buah dari bisikan, ia bisa menciptakan letupan-letupan yang tak terduga sebelumnya.

Jika Elizabeth Gilbert tokoh yang diperankan Julia Robert dalam film Eat, Pray, Love itu menggambarkan suatu perjalanan hidup yang lebih berarti dari sebelumnya, maka sesungguhnya terdapat ruang yang –jika saja- ada produser film yang menggambarkan perjalanan lebih bermakna dan mencerahkan. Seperti film ‘Rihlah Ibnu Batuta’, perjalanan Ibnu Batuta ke Tanah Suci lebih mencerminkan suatu perjalanan yang menyentuh beragam dimensi kehidupan. Tidak hanya eat, pray dan love, tetapi juga menyangkut budaya dan sosial masyarakat yang ditempuhinya. Perjalanan menuju Tanah suci, adalah suatu perjalanan yang sangat mencerahkan. Menggabungkan antara ‘pentas’ duniawi dan ukhrawi, merangkai suatu yang tak terbayang sebelumnya. Berpacu dengan gejolak rasa yang tidak hanya masuk pada lorong waktu manusia-manusia sholeh terdahulu. Tetapi juga menyimak bagaimana integritas kehidupan Islam yang modern dan penuh kedamaian. Mencerahkan dari setiap peristiwa yang terjadi selama perjalanan menuju titik pusat bumi, juga mencerahkan jiwa tuk menyadari betapa lemahnya manusia dihadapan Tuhan pemilik Ka’bah Al-Musyarafah.

Belakangan ini banyak pihak yang merasa telah benar dengan melakukan kebenaran-kebenaran yang lazim dilakukan. Padahal kebenaran –yang dilakukan itu- terkadang menjadi pemasung diri untuk melakukan sebuah kebenaran yang Benar. Kebenaran tidak melulu menjadi dominasi yang bersorban. Karena kebenaran selalu bertebaran di setiap langkah manusia. Tarikan nafas adalah sebuah kebenaran, kita hidup adalah kebenaran, kita mati juga sebuah kebenaran dan setiap gerak hidup yang diayun-kan adalah suatu proses kebenaran. Pada umumnya semua orang merasa benar, begitu juga dengan suatu komunitas, semua memiliki ukuran-ukurannya sendiri terhadap kebenarannya. Padahal kebenaran yang hakiki adalah kebenaran akan sesuatu yang disampaikan dari ‘Pembuat’ sesuatu tersebut melalui penyampai atau utusan yang terpercaya. Sebab sesungguhnya hanya Pembuat-nya saja yang mengetahui dengan persis ‘apa’ yang dibuatnya tersebut. Seperti halnya sebuah perusahaan selalu memiliki ketetapan internal atau protap perusahaan tersebut. Tentu protap itu tidak selalu sesuai dengan protap-protap dari perusahaan lainnya, hanya pembuat protap itulah yang mengerti kebijakan yang diterapkan pada perusahaannya, begitu sebaliknya.

Kesan pertama selalu menjadi hentakan dahsyat dalam segala hal. Sesuatu yang bernilai utama kerap berawal dari awalan, atau starting yang penuh dengan sensasi. Baik itu bersifat keriangan ataupun kedukaan. Ledakannya akan menciptakan suatu efek domino yang mengarah pada kekuatan rasa. Banyak orang yang merasa bahwa kesan pertama akan merubah semua stigma secara radikal. Seperti halnya dalam Islam, niat menjadi sebuah komandan utama dalam beraktivitas. Ia menjadi kekuatan yang mengawali semua ibadah manusia. Bila awalnya hancur, maka semuanya menjadi sia-sia. Momentum ‘Awalan’ adalah momentum emosional, ia yang akan menjadi kekuatan yang teramat dahsyat dalam mengarungi perjalanan dan penilaian seseorang. Langkah pertama selalu diperlukan. Perjalanan 1000 KM selalu diawali dengan langkah pertama. Bisnis besar, karir yang cemerlang dan kehidupan sukses lainnya diawali dengan langkah pertama. Semuanya selalu melewati periode pertama, karena –memang- kekuatan sebuah permulaan adalah cerminan dari hampir keseluruhan episode kehidupan.

Sebelum membahas tentang ‘Message’ from God, saya ingin sedikit mengutarakan beberapa hal yang –mungkin- sering kita rasakan, yakni ketika ditimpa derita atau suatu kesulitan, hati terkadang bertanya-tanya “Kenapa harus saya yang menderita (?)”, atau “Kenapa seh musibah ini selalu menimpa saya (?)”. Saat itu, partikel dalam otak tak sempat lagi berpikir sebaliknya, yaitu melontarkan pertanyaan dalam kondisi terbalik. Jika kebahagian melanda, tidak pernah kita bertanya, “Kenapa harus aku (?)”. “Kenapa kebahagian ini selalu terjadi padaku (?)”. Prolog ini sebetulnya terinspirasi dari suatu artikel fiksi tentang percakapan manusia dan Tuhannya.

Ketika Tuhan Bertanya: Kamu memanggil-Ku ?
Manusia : Memanggil-Mu (?) Tidak…
Tuhan : Aku mendengar doa-mu, jadi aku ingin sebentar berbincang denganmu
Manusia: Ya, saya memang sering berdoa, hanya agar saya merasa lebih baik. Tapi sekarang saya sedang sibuk, sangat sibuk.
Tuhan : Sibuk apa? Semut juga sibuk. Aktifitas memberimu kesibukan, tapi produktifitas memberimu hasil. Aktifitas memakan waktu, produktifitas membebaskan waktu.
Manusia : Tetapi kenapa kami sering merasakan tidak senang dalam mengarungi waktu? Tuhan : Hari ini adalah hari esok yang kamu khawatirkan kemarin. Kamu merasa khawatir karena kamu menganalisa. Merasa khawatir menjadi kebiasaanmu. Karena itulah kamu sering tidak pernah merasa senang.

Air jika dibiarkan terus menggenang tanpa aliran, lama-lama akan menjadi sarang penyakit. Demikian juga udara, jika dibiarkan berhenti, tak berhembus, akan menimbulkan kepengapan dan akhirnya merusak pernafasan. Semua harus bergerak, tidak boleh ada yang terdiam. Adalah kenyataan bahwa segala ciptaan Allah SWT selalu bergerak. Bumi, Matahari, Bulan, Bintang dan semua tata Surya berotasi tiada henti. Sekali berhenti akan terjadi kerusakan dan bencana yang luarbiasa. Bahkan makhluk-makhluk mikro sekalipun, seperti bakteri dan virus pun selalu bergerak. Hukum Allah yang terjadi pada alam raya itu sesungguhnya terjadi juga pada diri manusia. Secara fisik, jika manusia berhenti, diam dan tidak melakukan aktifitas, maka dalam kurun waktu tertentu kesehatannya akan terus menggerogoti dan mengganggu kesehatan. Selain mudah lelah, berbagai penyakit pun akan mudah berdatangan. Demikian pula dengan pikiran. Seseorang yang membiarkan otaknya berhenti berpikir, maka dalam jangka waktu tertentu pikirannya akan terganggu. Sulit berpikir logis dan sistematis. penelitian ilmiah, orang yang kurang terbiasa menggunakan pikirannya, pada usia tua akan mudah menjadi pikun.

Manusia adalah makhluk dinamis, tidak statis. Tidak selalu datar, terlebih diam membatu. Bergerak dan terus bergerak. Tetapi dari pergerakan itu, hanya organ yang bersifat motorik saja yang membedakan manusia dengan benda mati, padahal manusia juga bisa berubah menjadi makhluk yang statis dan bahkan diam jika tidak disebut ‘mati’. Sebutan ‘ekstrim’ itu tentu mengundang pro-kontra ketika kita hanya mendengar kalimat ‘Manusia bisa berubah menjadi benda mati’, yah mati disini ketika brain tidak menghasilkan sesuatu yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Ide yang mandeg, pikiran yang nyusut dan cenderung terus mengalami penurunan. Adalah awal manusia berubah menjadi “Benda Mati” secara minded, yang hanya tumbuh organ-organ motorik-nya saja, tidak lebih dari itu. Oleh karenanya kerangka pikir yang menghasilkan daya pikir adalah prioritas utama yang diemban Rasul untuk “Berpikir”, tentunya berpikir secara terbuka dan tidak parsial. Mudah menerima ide orang dan mengeksplor segala sesuatunya melalui kekuatan berpikir dari diri dan jiwanya sendiri.

Semua orang –mungkin- pernah merasakan bagaimana rasanya ketika dihinggap perasaan rindu, asa yang menggebu. Jiwa yang meronta karena ingin segera berjumpa. Siang malam gelisah, pasrah menunggu saat yang begitu dinanti. Terlebih jika penantian itu terhadap sosok mulia pembawa Risalah, jangan kan menatap dan menyentuh makamnya, mendengar nama mulia-nya saja, hati terasa bergetar, shalawat menggema dalam jiwa. Dan rasa melebur dalam raga. Semua partikel mengalir dalam tubuh. Begitulah yang dirasa oleh sahabat Uwais Al-Qorni. Seorang yang dinyatakan sebagai ahli surga, penghuni langit, dan sangat terkenal di seantero penduduk langit, namun kurang dikenal di bumi yang terpijak. Uwais Al-Qorni adalah seorang pemuda tampan bermata biru, rambutnya merah dan pundaknya tegap. Ia telah lama menjadi Yatim, tak punya saudara, kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai pengembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menampung kesehariannya bersama sang ibu.

Sastra

Ada masa waktu kan berhenti
Saat kaki tak kunjung tapak di tanah suci
Berlabuh dengan peluh dalam diri
Tak terbayang hasrat tuk berhaji
Terlebih harus mengambil cuti
Hanya untuk mengerjakan haji
Di sini, di Tanah Suci

Ada saat masa kan berjalan pelan
Bahkan teramat pelan
Tuk memberi ruang para jutawan
Tuk berhaji di Rumah Tuhan
Merangkai sejuta keindahan
Di sini, di bangunan Tuhan

“Jangan lupa, kala meniup terompet di malam tahun baru nanti, berdoalah semoga Israfil tetap tak tergoda untuk turut meniup terompet sangkakalanya.”

Bilangan tahun sebentar lagi berubah, bagaimana seharusnya kita memaknainya (?) Apakah memang ada hal baru setiap masuk pada bilangan tahun yang baru (?) Rasa-rasanya, debar-debar dan gegap-gempita itu hanya akan kita rasakan ketika menjelang malam awal tahun. Langit di sekeliling kita tiba-tiba seperti memekik karena begitu banyak yang meniupkan terompet. Dan kembang api terus berdenyar menerangi angkasa, seolah tak pernah putus hingga ujung malam. Jalanan dibanjiri kendaraan, seakan malam itu semua orang mesti turun ke jalan agar tidak kehilangan momentum awal tahun. Macet lagi, sudah pasti. Klakson pun mulai dipencet, mendengking saling bersahutan. Lalu semuanya riuh dalam tawa kegembiraan, meski juga tak tahu apa maknanya. Barangkali karena telah berhasil melewati tahun, dalam artian tidak tamat riwayatnya alias wafat, dan akan bertemu tahun bilangan baru. Atau, itu hanyalah bentuk kompensasi dari kebingungan manusia memaknai awal tahun, selain hanya bisa hura-hura dengan meniupkan terompet, menerangi langit dengan kembang api, dan mejeng-mejeng di pinggir jalan hingga menjelang subuh.