Biasanya setelah libur lebaran, hari pertama kerja menjadi sedikit lebih longgar, entahlah apa karena merasa baru saja bermaaf-maafan, hingga berpikir tidak mungkin diberi punishment jika mangkir pada awal-awal hari kerja pasca lebaran. Atau bisa saja, itu adalah kemurahan para pimpinan perusahaan yang memberikan ruang fresh bagi karyawannya untuk berbenah menghadapi kerja yang normal. Namun yang perlu diwaspadai, jika kondisi seperti itu terlahir dari mentalitas kita dalam mengenyam amanah suatu kewajiban usai mendapat hak maksimal dari perusahaan. Whatever, lebaran telah lewat, liburan telah usai. Kita kembali pada aktivitas sehari-hari. Demikian pula dengan tim Cordova, kembali mengepak ‘sayap’ bersiap melayani para smartHAJJ yang tidak lebih dari dua bulan akan berjuang di Tanah Suci. Sadar bahwa jalannya waktu tak terasa, maka tiada pilihan dalam setiap dentingan jarum jam menjadi sesuatu yang bernilai untuk merangkai impian semua smartHAJJ, yakni haji mabrur. Kembali pada realitas, -bukan berarti selama libur bersama keluarga kita berada di luar kehidupan riil-, tetapi menghadapi kenyataan bahwa didepan kita terdapat medan juang untuk segera menyingsingkan lengan baju agar sigap melayani para tamu-Nya.

Khusus dalam pelayanan smartHAJJ, Cordova memiliki ciri khas dengan HajjGuard-nya (HG). Sebagian team yang menjadi HG menjadi pelayan tamunya salama 24 jam, baik selama persiapan di Tanah Air, maupun ketika perjuangan sedang berlangsung (di tanah suci). HG ini lah yang senantiasa mendampingi para Hujaj Cordova (smartHAJJ) dalam melakukan persiapan meraih predikat haji mabrur. Segala persiapan baik mental, wawasan dan hal lainnya menjadi fokus para HG. Jika diistilahkan HG inilah yang akan memonitoring ‘hidup matinya’ tujuan utama berhaji. Laiknya para guard dalam menjaga sosok very very important person (VVIP), ia akan menjadi tonggak utama dalam merealisasikan tujuan mulia para tamu Allah.

Pun demikian dengan sejarah penamaan smartHAJJ bagi setiap jemaah haji Cordova, tiada lain sebagai goresan sejarah dalam perjalanan haji Indonesia, yakni memberikan pencerdasan jemaah haji dalam berhaji. Mereka tidak hanya dilayani oleh para HG, tetapi jua melayani jemaah haji lainnya di Tanah Suci. Logikanya, ketika para haji telah mampu melayani jemaah lainnya, automatically mereka telah benar-benar paham bagaimana berhaji yang smart untuk dirinya sendiri. Subhanallah…selain sebagai tamu-Nya mereka juga memposisikan sebagai ‘khodim’ atau pelayan para tamu-Nya di Tanah Suci. Dengan demikian, satu-satunya jalan menuju cita mulia itu adalah menciptakan keseriusan yang saling bahu membahu antara HG dan smartHAJJ.

Agenda yang paling terdekat adalah Manasik Integral, Manasik ini akan berlangsung selama dua hari, dan menetap di tenda akan menjadi bagian dari ikhtiar kita tuk menggapai kemabruran haji. Selain dinilai sangat penting, manasik nanti akan menjadi pembuktian bahwa para calon tamu Allah mengikuti sunah tuk belajar dan menggapai manasik yang sesungguhnya. Bukan hanya teori yang kita dapatkan, insya Allah semua gambaran sedetail mungkin mengenai perjalanan haji akan kita dapatkan pada manasik nanti.

Melalui doa-doa dari calon “makhluk suci” (Para tamu Allah), atas izin Allah, Cordova senantiasa menjaga pelayanan yang bonafit, berusaha tuk terus memberikan pelayanan yang smart, guna membantu kesyahduan dan kekhusyuan ibadah. Yaa Rabb…

Pada suatu kesempatan seorang teman pernah bercerita, bahwa dalam segala hal dirinya tidak bisa menjadi orang nomor dua di komunitasnya. Maksudnya, ia selalu harus menjadi pemenang dalam setiap bidang. Baik dalam kejuaraan olahraga, struktur organisasi, terlebih dalam peringkat akademis di kelasnya. Bertarung mendapatkan kursi teratas adalah sebuah kelaziman yang harus ia peroleh dimana dan kapan pun. Dalam kehidupannya, ia sangat memerlukan rasa ‘menaklukkan’, suatu rasa superior dan rasa menang terus berputar dalam langkah hidupnya. Ia merasa bahwa suatu ‘kemenangan’ selalu dimulai dari bagaimana ia menghargai pencapaiannya setiap hari. Ia merasa, tanpa rasa menang, sepertinya ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Karena itu, konsekwensi dari pencapaiannya itu harus ia lakukan dengan gigih dan penuh juang. Sekilas, kita memandang karakter seperti itu mencerminkan sosok ambisius yang tak ingin kalah. Negatif dan sulit diterima di masyarakat majemuk. Tetapi, jika kita telaah secara objektif, ternyata sifat dan kegigihan dalam meraih citanya untuk selalu menjadi ‘juara’ adalah hal yang sangat positif dan sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Sang Maha Kuasa. Kenapa demikian (?) Cobalah tengok bagaimana ia harus menjadi ‘Sang’ champion setelah melalui proses yang tidak mudah. Pantang menyerah, gigih dengan ledakan semangat yang jauh dari mental kerupuk yang mudah hancur hanya dengan remasan tangan.

Kemenangan adalah hasil akhir dari apa yang diinginkan Allah SWT pada setiap hamba-Nya. Menjadi juara dari setiap etape kewajiban yang telah dilaluinya. Untuk meraih hasil akhir yang positif, tentunya setiap hamba harus melakukan pencapaian yang maksimal. Gigih, tiada keluh maupun kesah, totalitas, serta siap menerima segala apa yang terjadi dari proses pencapaiannya itu. Setelah melalui proses demikian, maka di mata Allah ia telah menjadi sosok juara yang memenangi etape kewajibannya. Logika sederhananya, bagaimana seseorang menjadi peringkat pertama di kelasnya, jika tidak melalui proses belajar yang maksimal. Atau bagaimana ia menjadi seorang yang memiliki kekayaan berlimpah secara alami, tanpa bekerja keras yang smart. Begitu seterusnya. Karena sesuatu kemenangan tidak bisa diraih secara instan dan kebetulan.

Pun demikian, dalam kehidupan fana ini, Allah SWT selalu menginginkan kita menjadi juara disetiap momentum. Bagaimana Allah akan membuka keberkahan rizkinya, tanpa melalui proses kita mendistribusikan kembali rizki yang kita miliki. Dan bagaimana mendapatkan rizki yang kita peroleh tanpa bekerja dan berkarya dengan maksimal. Bagaimana pula Allah menjadikan ‘pemenang’ setiap muslim pada hari raya, tanpa melalui proses ‘kesholehan’ di bulan suci ramadhan.

Pada kenyataannya, kehidupan ini setiap hari memberikan kesempatan untuk menaklukan dan memenangi setiap proses perjuangan. Tetapi penghargaan dan perayaan kemenangan itu harus dimulai oleh diri sendiri. Kongkritnya, setiap kita bisa mencapai target pada hari tersebut, itu adalah sebuah kemenangan.

Rasanya, pada momentum ramadhan ini, kita harus belajar bersama untuk menjalani setiap detik kehidupan sebagai seorang pemenang. Karena itu adalah jati diri kita sesungguhnya. Karena sudah jelas, Allah Azza wa Jalla pun menginginkan kita menjadi sang juara yang memenangi setiap perjuangan hidup.

Sejak Cordova berdiri, saya banyak belajar tentang arti sebuah kebersamaan. Meski terkadang saya sulit menterjemahkan antara ‘kebersamaan’ dan ‘kekeluargaan’. Apakah terdapat benang merah yang mengikat satu rasa antara dua kata itu, atau masing-masing memiliki makna yang berbeda. Boleh jadi kalimat kekeluargaan tidak selamanya menghasilkan suatu kebersamaan, karena banyak kasus yang memperlihatkan sebuah keluarga bisa hancur hanya karena tidak ada nilai kebersamaan diantara anggotanya. Tetapi sebaliknya, dengan sebuah kebersamaan apapun yang tercita akan terwujud. Boleh jadi rasa kekeluargaan yang terjalin di Cordova saat ini, adalah hasil dari moralitas kebersamaan yang dirancang sedari awal. Efek dari satu rasa kebersamaan itu tidak hanya terikat pada satu simpul sebuah team, tetapi dijalarkan juga kepada jemaah dan keluarga besar Cordova. Sehingga spirit dari pelayanan terhadap tamu Allah selalu bernilai kebersamaan. Tidak ada figuritas jemaah yang lebih menonjol atau spesial untuk dilayani secara berlebih diantara jemaah lainnya. Baik itu tokoh masyarakat, tokoh nasional, politikus, artis bahkan seorang pejabat negara sekali pun. Semua mendapatkan porsi sama dalam pelayanan, coz, they are the same disisi Rabbnya.

Sejak saya mengenal dunia travel, terkhusus haji dan umrah, terkadang saya menyaksikan sendiri bahwa ada sesuatu yang –rasanya- harus dibenahi dalam pelayanan para tamu Allah. Bukan kurang atau tidak maksimal dalam melayani, namun ada porsi-porsi yang dipandang sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai universal Haji. Masih adanya pengkategorian jemaah ‘borju’, berduit atau berkelas lebih mendapatkan pelayanan yang maksimal dibanding jemaah lainnya, maka tentu pelayanan itu sudah menyalahi nilai luhur ibadah haji. Bukankah Allah Sebagai ‘Tuan Rumah’ para Tamu-Nya saja memberikan karunia dan anugerah pada semua tamu-Nya tanpa pandang bulu, lalu mengapa kita musti sibuk untuk ‘mencari muka’ dihadapan ‘segelintir’ makhluknya.

Disinilah saya banyak belajar tentang bagaimana menjadi salahsatu ‘paku’ pelekat atas nama Cordova dalam melayani tamu-tamu suci dengan penuh rasa tulus. Tidak ada kategori jemaah yang harus menjadi idola hanya karena statusnya. Semuanya sama menjadi tujuan pelayanan yang maksimal. Karena nilai kebersamaan yang dibangun itulah setiap hajjguard Cordova terdidik untuk tidak menjadi pelayan yang silau akan status segelintir orang. Terlebih bangga hanya karena bisa berpose dengan tokoh idola.

Untuk menjadi ‘sesuatu’, harus ada yang memberikan contoh secara langsung. Tentunya contoh harus datang dari yang mempunyai kedudukan lebih baik. Memperlakukan sama tanpa harus kehilangan nilai penghormatan. Figur yang menjadi contoh dalam melakukan apapun, sangatlah berperan dalam sebuah kehidupan. Seandainya saja setiap kita sangat mencintai Rasulullah SAW, tentunya kita tidak akan sulit mendapatkan figur untuk di contoh. Tidak melulu mengangkat orang untuk narsis bergaya di depan kamera, kemudian dijadikan contoh dengan berlebihan.

Bismillah, semua rasa terbangun atas dasar kecintaan yang berlapis tulus. Tiada cita yang terluhur kecuali melayani tamu suci-Nya dengan hati. Karena hatilah yang memiliki rasa. Rasa kebersamaan itulah yang menjadi tujuan awal dalam membangun komunitas Mabrur. Tidak malah ‘Lebih’ mengayomi satu dua orang saja, melainkan semua tetamu suci-Nya, coz they are the same.

Tidak terasa, waktu terus berlari tanpa menoleh dan berhenti sedikit pun. Detik-detik keberangkatan jemaah haji sudah semakin mendekat. Bagi kami, tiada agenda besar dalam aktivitas hidup, selain menghadapi hari-hari haji. Menjadi bagian dari helaian ‘rongga’ penyangga tamu suci-Nya adalah komitmen kami. Semua detak aktivitas tertuju pada satu rentetan perjalanan haji, baik di Tanah Air, maupun di Tanah Suci nanti. Dalam penantian menuju moment suci itu, banyak hal –tentunya- pada masa-masa ini. Baik penantian kabar mengenai waktu Pelunasan dari Depag, jumlah akhir no porsi, maupun tentang penambahan kuota haji dari Pemerintah Saudi. Pun demikian beberapa pertanyaan mengenai haji menjadi menu yang asyik untuk diperbincangkan. Suatu hari, ada seorang smartHAJJ bertanya tentang keterkaitan ayat Allah mengenai larangan berbuat Fasik, Rafast dan Jidal saat melaksanakan haji. Dengan hukum atau larangan yang mengakibatkan denda atau dam saat berhaji. Jika disederhanakan, hanya perbuatan Fasik, rafast, dan berbantah-bantahan lah yang tidak memiliki kadar ‘hukuman’, denda maupun dam yang ditentukan sesuai syariat. Berbeda dengan mencukur janggut saat ihram misalnya, atau menggunakan kain berjahit selain ihram bagi jemaah pria. Semua larangan saat ihram itu memiliki kadar hukum yang ditentukan, tetapi yang jelas-jelas termaktub dalam Al-Quran mengenai larangan fasik, rafast dan jidal itu tidak memiliki ketetapan denda (hukuman) jika dilakukannya.

Pelik awalnya mengupas ‘misteri’ yang jarang terungkap dipermukaan. Benar bahwa kenapa saat kita mendapat hukuman menyembelih kambing misalnya, karena memotong tangkai pohon, tetapi tiada ketetapan denda bagi orang yang melakukan perbuatan rafast. Jika dicermati, ternyata ada dua macam pelanggaran yang memiliki tebusan secara cash (material) dan tebusan secara pengakuan atau pertaubatan.

Analoginya sama ketika jemaah haji bisa menerima saat antre panjang di tenda Mina (karena sedang ihram), demikian juga ketika berdesak-desakkan saat melempar jumrah (karena masih pada prosesi haji), pun saat kepanasan di Arafah ketika wukuf. Dengan segala kekurangan yang terjadi pada kondisi terburuk sekalipun. Mereka sangat ikhlas menerima apapun yang terjadi. Tetapi bisakah mereka menerima ketika baru datang di Saudia, hanya mendapatkan bus jelek yang menghantar mereka ke Madinah. Bisakah jemaah haji ikhlas ketika harus menunggu lama di tempat check-point bus yang bisa sampai berjam-jam. Dapatkah dipastikan jemaah rela ketika pesawat yang mereka tumpangi menuju Saudia mengalami delay, hingga mengganggu jadwal hari-hari selanjutnya.

Sebenarnya, sejak niatan suci tertancap untuk melaksanakan haji, maka sejak itulah kaidah sebagai tamu Allah menjadi predikat yang disandangnya. Terlebih ketika bulan-bulan sebelum Dzulhijjah telah mendekat. Karena Allah SWT berfirman bahwa waktu Haji itu pada bulan-bulan yang ditentukan. Syawal dan Dzulqo’dah adalah dua gerbang waktu yang akan memberikan pemaknaan sesungguhnya bagaimana haji kita nanti.

Ada waktu senggang sebelum hari Arafah, itulah waktu yang diharapkan sebagai pembentuk pola manusia (tamu Allah) yang akan secara ‘ekstrim’ menjadi sosok yang kembali suci. Pembentukkan sikap dan karakter itulah yang secara alami membutuhkan beberapa waktu (tidak instan) saat berada di Arafah. Sesungguhnya sikap dan jejak yang kita langkahi sekarang di bulan suci ini adalah jejak menuju pembentukkan manusia sempurna yang dijanjikan Allah pada saat wukuf di Arafah nanti. Kembali seperti bayi yang baru terlahir, semuanya bermula dari nol. Subhanallah…

Dua kasus diatas adalah contoh, betapa mulianya hukum yang Allah turunkan untuk manusia mulia di Tanah Suci-Nya

Dalam kondisi puasa seperti sekarang, terkadang jiwa lebih bertoleran pada aktivitas yang tak biasa. Masuk kerja siang, lemas-lunglai, dan berkurangnya segala semangat yang terpancar seperti pada bulan selain Ramadhan. Namun, lebih menghina-kan lagi, jika semua alasan itu hanya karena sedang mengerjakan puasa. Ketika hal itu terjadi, -sejatinya- kita segera meniru apa yang musuh sejati kita lakukan. Semangat yang setan luangkan pada darah manusia, sulit terbendung dan hanya mampu dikalahkan oleh jiwa yang mukhlis alias ikhlas. Baiklah untuk mengupas kenapa kita harus meniru apa yang menjadi ‘kelebihan’ setan dibanding kekuatan manusia pada umumnya. Setan dan manusia pada dasarnya memang makhluk yang berbeda. Tetapi, setidaknya ada 7 ‘kelebihan’ setan dibandingkan manusia. Umumnya manusia sangat membenci setan, tetapi dibalik niat jahatnya, ternyata setan memiliki sifat yang ‘perlu kita simak dan tiru’.

1. Pantang menyerah
Setan tidak akan pernah menyerah selama keinginannya untuk menggoda manusia belum tercapai. Sedangkan manusia banyak yang mudah menyerah dan malah sering mengeluh.

2. Kreatif
Setan akan mencari cara apapun dan bagaimanapun untuk menggoda manusia agar tujuannya tercapai, selalu kreatif dan penuh ide. Sedangkan manusia –terkadang- hanya ingin yang berbentuk instan.

3. Konsisten
Setan dari mulai diciptakan tetap konsisten pada pekerjaannya, tak pernah mengeluh dan berputus asa. Sedangkan manusia (?) Banyak manusia yang mengeluhkan pekerjaannya, padahal banyak manusia lain yang masih sulit mendapatkan kerja dan membutuhkan pekerjaan.

4. ‘Solider’
Sesama setan tidak pernah saling menyakiti, bahkan selalu bekerjasama untuk menggoda manusia. Sedangkan manusia, jangankan peduli terhadap sesama, kebanyakan malah saling bunuh dan menyakiti.

5. Jenius
Setan itu paling pintar otaknya dalam mencari cara agar manusia tergoda. Sedangkan manusia banyak yang tidak kreatif, bahkan banyak yang puas hanya menjadi follower.

6. Tanpa Pamrih
Setan bekerja 24 Jam tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sedangkan manusia, apapun harus dibayar. Materi –sejatinya- tidak menjadi hal yang teramat penting dalam melakukan sesuatu, telebih menyangkut sebuah kewajiban.

7. Suka berteman dan kompak
Setan adalah mahluk yang selalu ingin berteman, tentunya dengan alasan agar memiliki teman yang banyak di neraka kelak. Sedangkan manusia banyak yang lebih memilih mementingkan diri sendiri. Manusia dalam mengerjakan sesuatu cenderung ingin menonjolkan kemampuannya sendiri dibanding bekerja sama dengan orang lain.

Ramadhan akan segera datang. Dan segalanya pasti akan sangat dipersiapkan dengan penuh semangat kecintaan terhadap bulan yang penuh kemuliaan ini. Berbagi semangat dalam menyambut datangnya bulan ini, Cordova membagikan wallpaper jadwal imsakiyah beberapa kota besar Indonesia yang akan menemani di manapun anda berada. Kami sediakan beberapa macam ukuran yang dapat Anda sesuaikan dengan resolusi monitor yang digunakan. Silakan klik pada ukuran resolusi yang Anda inginkan untuk menampilkan file wallpaper. Lalu klik kanan dan pilih menu ‘save image’ untuk mengunduhnya.

JAKARTA:
2560 x 1440, 1600 x 1200, 1600 x 900, 1400 x 1050, 1280 x 960, 1024 x 768

BANDUNG:
2560 x 1440, 1600 x 1200, 1600 x 900, 1400 x 1050, 1280 x 960, 1024 x 768

SEMARANG:
2560 x 1440, 1600 x 1200, 1600 x 900, 1400 x 1050, 1280 x 960, 1024 x 768

YOGYAKARTA:
2560 x 1440, 1600 x 1200, 1600 x 900, 1400 x 1050, 1280 x 960, 1024 x 768

SURABAYA:
2560 x 1440, 1600 x 1200, 1600 x 900, 1400 x 1050, 1280 x 960, 1024 x 768

Tema yang aneh. Itulah –mungkin- awal pikiran Anda membaca tema ini. Yah, terinspirasi dari film bollywood ‘My Name is Khan’, tema ini muncul seketika. Kendati substansi didalamnya tidak se-hero Khan yang melibatkan masalah percintaan diantara agama dan perseteruan Pakistan dengan India. Tetapi artikel ini justru mengupas pergulatan ‘pengaruh’ yang akan membawa cerita tentang semua aktifitas hidup, termasuk cinta. Jika kita masuk pada ranah kepemimpinan, maka setiap orang adalah pemimpin. Dan inti dari kepemimpinan adalah pengaruh. Seberapa besar pengaruh itu bisa menggerakkan manusia lain, maka sebesar itu pula kepiawaian ia dalam ber-leadership. Seperti halnya Rasulullah SAW. bagaimana beliau memberikan ‘influence’ positif terhadap kondisi Jahiliyah yang nyata-nyata bertolak belakang dengan akhlak dan kepribadiannya. Bukan hanya memberikan pengaruh terhadap dirinya sendiri, bahkan Rasulullah SAW mampu memberikan positive influence pada umat manusia hingga detik ini. Banyak faktor bagaimana orang dapat mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku seseorang. Baik itu pengaruh positif maupun negatif. Namun hal yang paling dominan dalam memberikan influence adalah sebuah tindakan. “Tindakan Anda memiliki kekuatan yang lebih dahsyat untuk mempengaruhi orang lain daripada perkataan Anda,” begitu kata Oliver Goldsmith, seorang motivator dunia.

Melalui Kehendak-Nya, Allah SWT memberikan kemampuan pada sosok-sosok manusia yang dapat memberikan pengaruh dalam kehidupan dunia. Terlepas dari pengaruh positif maupun negatif. Sosok itu akan menjadikan kekuatan yang bisa menciptakan sesuatu di luar nalar manusia pada umumnya. Jika Soekarno memiliki kemampuan retorika untuk mempengaruhi jutaan manusia dalam pidatonya, maka lain lagi dengan sosok seniman semisal Iwan Fals, yang mampu menggerakkan ribuan massa untuk menyerap sosial kritik dalam senandungnya. Orang yang terpengaruh pada ‘sesuatu’ itu, secara spontan akan muncul dalam itikad jiwanya untuk selalu mendengar dan mengikuti setiap kata dan prilaku manusia ‘lebih’ itu.

Mafhum mukhalafah (pemahaman terbaliknya) ketika pengaruh negatif itu dihembuskan oleh Iblis. Ia akan menjadikan pengaruh sesatnya itu menjadi senjata pamungkas untuk menyukseskan setiap manusia pada tujuan dan hajatnya. Ia jalankan pengaruhnya dengan all out untuk terus merubah paradigma manusia dalam memandang sebuah kebenaran menjadi sesuatu yang bertentangan dengan hakikat kebenaran itu sendiri. Hal itulah (all out) yang membuat Iblis sang durjana selalu sukses dalam mempengaruhi manusia untuk selalu menjadi pengingutnya.

Pengaruh bisa kita temukan dimana saja. Film, musik, selebritis, ulama, cendikiawan, orator, politikus, bahkan seorang koruptor saja bisa dengan sangat mempengaruhi seseorang. Ia masuk dan menyerap pada darah dan sukma. Menyelinap pada aktivitas otak untuk beraksi sesuai arahannya. Pengaruh bisa diciptakan dari nilai kecintaan pada objek yang dihadapinya. Semakin kita mencintai sesuatu yang positif maka pengaruh dari yang ia hadapinya akan begitu besar masuk dalam dirinya. Begitu sebaliknya. Betapa dahsyatnya dunia ini, ketika masing-masing manusia bisa memberikan positive influence kepada manusia lainnya, tentu pengaruh ke-positifan yang dapat dirasakan manfaatnya secara universal. So, everybody can say ‘My Name is Influence’ dan tentunya dengan Positive Influence.

What is the meaning of “Power of Return (?)” Apakah return yang dimaksud adalah ‘return-nya’ proses re-inkarnasi (?) Atau ‘return’ dari tajuk sebuah film mandarin The Return of Condor Heroes (kembalinya pendekar rajawali). Tentunya bukan, karena dua ‘return’ itu tidak bisa mengalahkan kekuatan ‘return’ yang akan diuraikan singkat dalam artikel ini. Sebuah ‘return’ yang akan menghasilkan perjalanan abadi, suatu proses pengingat manusia yang akan ‘return’ selamanya, yah kekuatan pikir dalam merespon masa ‘return’ nya manusia menjadi sesuatu yang urgent dijadikan landasan pacu kehidupan seseorang. Ketika ‘return’ atau kembali paska kematian itu memiliki ruang untuk diingat dan dipikirkan sebelum tibanya maut, maka Rasulullah SAW menjamin bahwa orang tersebut adalah sosok yang sangat cerdas dalam menghadapi kehidupan. Rasul Bersabda “Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian” (HR. Tirmidzi). Dengan prinsip ini, maka sadar akan waktu terakhir hidup dan kembali pada kehidupan selanjutnya menjadi bagian dari kecerdasan yang esensial dalam kehidupan. Sejarah Fir’aun, kaum Luth dan lain sebagainya, telah banyak mengajarkan kita tentang arti pentingnya sebuah proses –thinking– untuk ‘return‘ kelak.

Membahas tentang hidup setelah mati (mungkin) bagi sebagian orang memilih untuk bersikap apriori. Atau karena keseringan, mereka akan me‘reject’ secara halus, mereka tahu dan yakin akan masa ‘return’ itu, namun perlahan akan menguap dalam rutinitas kesehariannya. Padahal proses melihat, mengingat dan berpikir tentang kematian itu justru kekuatan dibalik tindakan kita dalam keseharian. Karena ‘return’ adalah keniscayaan. Seperti salah satu Firman Allah yang membahas masalah ini “Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberikan kepadamu apa yang telah kamu lakukan” (QS. Al-Jumuah :8 )

Kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Tapi merupakan awal dari sebuah babak kehidupan baru, kematian ibarat stasiun atau terminal, tempat manusia berhenti sejenak untuk selanjutnya ‘return’ pada fase keabadian. Mayoritas kita (rasanya) sudah sangat tahu dan hapal tentang peristiwa ini. Namun, terkadang ada sikap ‘pen-cuek-an’ dalam mengingatnya. Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk selalu mengingat kematian sama halnya dengan ingat dan memperjuangkan kehidupan.

Semua makhluk sadar, bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti, sesuatu yang tidak dapat di tawar. Namun tidak semua menyadari dan meyakini bahwa ia kan ‘kembali’ setelahnya. Karenanya, terdapat perbedaan yang mendasar antara orang yang mempersiapkan diri untuk masa ‘return’ kelak dengan orang yang sama-sekali -apatis- terhadap masa itu. Kekuatan ‘return’ terdapat pada sikap manusia yang menjadikan kehidupan dunia sebagai ladang dan tempat menabung. Karena di masa ‘return’ itulah kita akan memetik dan menuai. Ahh, saya rasa semua orang sudah tahu, namun semua orang pun membutuhkan reminder untuk menyegarkan ingatannya.