Sambel dadakan seh enak, kalo ustadz dadakan (?)

Rasanya tema diatas akan sedikit mengundang kontroversi bahkan polemik, jika saja pemahaman tentang makna ‘ustadz’ itu sendiri tidak kita kupas secara detail, ditambah jika kita saksikan bagaimana gamblangnya peran ustadz ini di ‘panggung’ dakwah, maka kita akan semakin yakin bahwa ustadz dadakan yang kini berjamur di negeri kita, bisa masuk dalam ‘Penghancur agama’ atau jika tidak ingin kita sebut sebagai ulama su’u (ulama jahat). Seperti atsar ulama yang menyebutkan “Tidak ada yang merusak agama ini, kecuali raja, dan para ulama su’u serta para rahibnya”. Oleh karenanya, mari kita perjelas apa sebenarnya makna ‘ustadz’ itu sesungguhnya, sehingga tidak terjadi penggelinciran makna sesungguhnya. Tetapi jika awalnya kita sudah apriori, karena mengganggap bahwa panggilan ustadz itu sudah menjadi kebiasaan dan budaya Indonesia, maka yakinlah akan banyak bermunculan ustadz-ustadz ‘dadakan’, yang –ekstrimnya- hanya menggunakan kopiah saja, sudah bisa menjadi sosok seorang ustadz. Lincah dan lihai dalam panggung dakwah yang tentunya bertarif mahal jika ingin mengundangnya. “biaya sebesar itu bukan untuk saya, itu untuk yayasan sosial dan orang-orang yang mencari nafkah didalamnya,” alasannya terkesan logis.

Asal kata dari ustadz adalah ustad (tanpa huruf “Z” atau tanpa huruf “Dzal”). Dalam kamus Arab, Al-Mu’jamul Wasith, kata ustadz memiliki beberapa makna sebagai berikut: Pengajar, Orang yang ahli dalam suatu bidang industry dan mengajarkan pada yang lain, serta julukan akademis level tinggi di universitas. Kata jamaknya adalah Asatiidz dan Asatidzah. Demikian menurut pengertian bahasa. Sedangkan pengertian pokok ustadz adalah “seorang pakar spesialis tingkat tinggi”, atau orang yang sangat ahli dalam suatu bidang. Menurut pengertian ini, maka seseorang tidak pantas disebut ustadz kecuali, jika ia memiliki keahlian dari 18 atau 12 ilmu (bidang studi) dalam sastra Arab, seperti ilmu nahwu, Shorof, bayan, badi’ ma’ani, adab, mantiq, kalam, perilaku, ushul fikih, tafsir, hadist.

Sedang di Indonesia, (entah sejak kapan, dan siapa yang memulai) seolah pemanggilan atau penamaan ustadz begitu lumrah dan mudah, seakan tiada beban, yang penting orang tersebut memiliki kemampuan agama (meski hanya sekadar bisa baca Al-qur’an) dan bersikap serta berpakaian layaknya orang alim, maka dengan mudah ia sudah ‘lulus’ mendapat julukan Ustadz. Walaupun kemampuan riil yang dimilikinya sangat minim dan jauh dari definisi Ustadz sesungguhnya. Sehingga dengan demikian (mudahnya mendapat gelar ustadz), ia memiliki potensi besar dalam menguasai ‘panggung’ dakwah yang sarat dengan kenyamanan duniawi (materialistik).

Wajar jika output yang instant dalam penggodokan ustadz itu menghasilkan sosok-sosok ustadz yang lebih ‘nyaman’ bersenda gurau di depan layar kaca, terlebih jika masuk infotainment, merasa figur ustadz seperti predikat yang dikenakan dalam berdakwah. Ada juga yang mengatasnamakan metode dakwah, atau apalah sebutannya, memproklamirkan ceramah di bulan ramadhan di sebuah Resto Wine, yang jelas-jelas (setelah usai ceramah) Restoran itu tidak akan berubah menjadi Resto Zam-zam misalnya. Apalagi hal demikian itu, jika tidak disebut dengan penghinaan metode dakwah. Dimana kehormatan dan harga diri seorang ustadz yang ‘manut’ saja dipanggil hanya karena bayarannya kencang (?)

Dimanakah sosok ulama yang benar-benar menjadi Pewaris para nabi itu (?)

Sebuah Otokritik – ‘Ibda Binafsika’

Hampir di setiap tahun, di penghujung Ramadhan, airmata tumpah dalam penyesalan yang mendalam. Bukan karena Ramadhan kan segera sirna laiknya para ulama yang larut dalam kesedihan, karena mendamba Ramadhan tiba setiap saat. Atau karena tangisan anak yang merengek ingin dibelikan baju lebaran seperti yang dipakai teman-temannya, atau karena tidak punya dana untuk mudik. Namun airmata yang biasa tercurah saat itu adalah rasa sesal karena menyiakan tamu yang entah akan kembali jiwa ini menyapanya, atau tidak. Tamu yang telah lama dinanti, namun sering lupa akan keagungannya. Tamu yang memberikan kesempatan peleburan genangan nista dan dosa. Menghancurkan segala kotor yang kita luluri sekujur diri di bulan-bulan lainnya. Perencanaan shaum tanpa dusta, shaum tanpa paksa, dan shaum tanpa dosa, sulit direalisasikan dalam praktiknya. Bukan menyanggah sabda Rasul yang menyebutkan Ramadhan ini pintu surga di buka lebar-lebar, pintu neraka di kunci dan syetan-syetan di ikat kencang. Benar bahwa syetan dalam bentuk jin itu di ikat pengaruhnya agar tidak mendominasi keburukan di muka Bumi, namun bagaimana dengan syetan yang berjenis manusia, atau yang memiliki watak itu, bisa saja menjadi ‘influence’ virus keburukan. Sehingga ‘mengkambing-hitamkan’ ramadhan dengan dalil itu, padahal dirinya adalah perwujudan tabiat syetan yang sulit di ikat oleh aturan Ramadhan. Begitulah sisi gelap manusia yang kadang perencanaan amal baik-nya kerap tersita dan cenderung amblas, hingga tak terasa Ramadhan berakhir.

Katanya Ramadhan bulan Qur’an, tapi tak sebaris pun mushaf terbaca. Konon Ramadhan bulan berkah, namun rezeki cepat hilang, dan terus merasa kurang. Sejatinya Ramadhan adalah bulannya silaturahmi terjaga, tetapi justru keadaan sosial dan keluarga bak neraka. Direncana sunat terawih tak terlewat, eksekusinya bolong setengah bulan. Direncana khatam Qur’an dalam Ramadan, act-nya kosong, bahkan satu Juz pun butuh sebulan membacanya. Direncana setiap Ramadhan tiba, ingin menjadi orang yang gemar shodaqah, buktinya jangankan infak shodaqah, zakat fitrah pun harus berapa kali diingatkan.

Seringkali di Ramadhan manusia menjadi lihai dalam perencanaan, -meski- sebenarnya di bulan lainnya pun demikian (pawai dalam perencanaan saja). Yah mungkin airmata yang mengalir deras di setiap penghujung Ramadhan itu, diakibatkan oleh banyaknya perencanaan yang aksinya tak sebanding dengan prosentasi gairahnya. Kalaupun tidak ‘tekor’ minimal merugi dalam menuai berkah di Ramadhan. Sehingga wajar jika Rasul bersabda “Berapa banyak orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak terasa Ramadhan tiba. Rasanya Ramadhan tahun lalu baru saja berlalu. Masih segar ingatan kala berbuka puasa bersama anak dan istri, menggendong si kecil yang tertidur saat tarawih, atau hiruk pikuk mudik di penghujung Ramadhan.

Mari sejenak palingkan ingatan ke masa kecil. Saat adzan Maghrib bersahutan menandai akhir dari puasa selama Ramadhan, sejenak jalan-jalan sunyi senyap. Orang-orang menyantap hidangan berbuka sekedarnya, kemudian pergi ke surau untuk shalat berjamaah.

Dahulu belumlah banyak masjid. Tempat shalat berjamaah terdekat hanyalah sebuah surau tua. Kala ramadhan tiba, ramai orang kampung berduyun-duyun ke surau. Jamaah Shalat tarawih meluber hinge ke halamannya. Surau penuh sesak dengan laki-laki berbaju koko dan sarung. Sekejap udara terasa harum semerbak dengan ragam minyak wangi. Cahaya temaram dari lampu minyak menambah suasana khusuknya shalat.

Tahun berganti. Banyak hal berubah sejalan dengan usia kita yang semakin dekat dengan kesudahannya. Ramadhan tiba kembali. Menyapa insan metropolitan yang super sibuk. Saat menjelang adzan Maghrib, jalan-jalan di ibukota macet luar biasa. Banyak orang sudah membayangkan keluarga yang sudah menunggunya di rumah. Tidak sedikit yang tak kuasa terlalaikan shalat berjemaah di masjid saat maghrib, isya hingga tarawih tiba.

Ramadhan momen tepat untuk mempererat silaturahmi. Undangan demi undangan datang untuk berbuka puasa bersama, Kadang tak disadari hidangan berbuka yang berlimpah, menggiurkan kita untuk mencicipi semua yang semula hanya ingin melepas lapar dan dahaga secukupnya. Berawal dari rasa “gak enak” bila menghidangkan makanan tanpa kolak dan es buah kemudian terus di tambah hingga berlimpahlah makanan di meja saji. Sehingga bagi sebagian kita, turun berat badan di bulan suci adalah perkara yang sulit. Demikian juga menghindari kemubadziran dari banyaknya makanan sisa yang terbuang, lagi-lagi menjadi perkara sulit.

Ramadhan diwarnai juga dengan tayangan bertemakan religi di seluruh stasiun TV. Gegap gempita kegembiraan menyambut Ramadhan sudah tampak bahkan jauh sebelum bulan suci ini tiba. Sinetron Ramadhan sudah tayang beberapa minggu sebelumnya. Meski sebagian tayangan berhasil mengemas dakwah Islam dalam format yang digemari masyarakat, sebagian lainnya masih mengusung adegan klasik miskin hikmah terlebih akhlak mulia. Entah sampai kapan masyarakat masih nyaman dibuai acara-acara TV yang melalaikan dan senda gurau belaka. Heran. Mengapa banyak stasiun TV begitu kompak menayangkan komedi di saat yang bersamaan. Dibandingkan dengan kajian islam sarat hikmah, tentulah jauh lebih banyak sinetron dan komedi.

Di setiap penghujung Ramadhan , masih segar ingatan betapa sulitnya untuk konsentrasi ibadah. Bagaimana mengkhatamkan tilawah apalagi menyempurnakan qiyamul lail dan itikaf, bila terus dihujani beragam godaan belanja yang menggiurkan. Berbekal uang dan ragam alasan, orang berdesakan di pasar dan mall. Imbasnya, shaf-shaf di masjid semakin maju ke depan.

Namun, di penghujung Ramadhan pula kita menyaksikan dahsyatnya tali silaturahmi masyarakat muslim Indonesia. Mereka rela menghabiskan tabungan mereka setahun untuk sekadar mengunjungi orang tua dan sanak family di berbagai pelosok negeri ini.

Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita dan menjadikan Ramadhan kali ini yang terbaik yang pernah kita lalui.

-The True Story-

BISMILLAHIRRAHMANIRROHIIM

Hanya dengan seijin ALLAH, maka cerita ini mampu saya sampaikan dengan segala kekurangan saya sebagai manusia, dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf apabila cerita ini tidak berkenan bagi siapapun yang membacanya. Tidak ada keinginan apapun dalam menuliskan cerita ini kecuali mengharapkan kedekatan lahir dan batin kepada SANG MAHA PEMBERI KEHIDUPAN, ALLAH SWT, TUHAN UMAT MANUSIA.

Saya bukanlah siapa siapa, saya hanya seorang mualaf yang di perkenankan oleh ALLAH untuk mengunjungi rumah -Nya yang begitu indah, dan travel ***** sebagai perantara ALLAH untuk saya bisa melakukan perjalanan sampai ke Masjid Nabawi dan Masjidil Haram.

Dari sejak saya berniat untuk menjalankan ibadah umrah tahun 2012 ini, tiada henti ALLAH perlihatkan kekuasaan dan mukzizat NYA kepada hambanya yang penuh dosa ini, hamba yang penuh dengan kekurangan dan kesalahan kesalahan selama hidupnya. Saya malu pada ALLAH, seperti rasa malu saya bila keburukan saya diketahui oleh tetangga bahkan lebih, …lebih jauh daripada itu. Saya merasa tidak pantas menerimanya, saya merasa sangat kecil lebih kecil dari setitik debu, merasa sangat kotor.

Hampir setiap saya ingat ALLAH saya menitikkan air mata, ada rasa malu, ada rasa rindu ingin bertemu. Dari semua rasa yang saya rasakan yang terucap sejak saya menjadi mualaf hingga sekarang adalah saya ingin ALLAH bangga pada saya , saya ingin membahagiakan ALLAH seperti ALLAH membahagiakan saya sekuat semampu saya setulus hati dimana saja kapan saja. ALLAH Maha mengetahui segala isi hati dan saya yakin ALLAH lebih dekat dari segala isi hati. Salah satu mukzizat ALLAH adalah saya tiba-tiba jatuh sakit 2 hari sebelum keberangkatan.

Rasa sakit yang luar biasa yang belum pernah saya rasakan. Secara fisik saya sampai berguling guling di lantai dan menggigil menahan sakit. Obat penghilang rasa sakit tidak ada satupun yang bekerja. Saya memeriksakan diri ke RS, hingga dilakukan pemeriksaan darah dan urine lengkap. Tapi semua tes tersebut memberikan hasil negatif.

Sehari sebelum keberangkatan kondisi saya memburuk, saya hanya bisa memohon kepada Allah dan bergumam dalam hati, semoga saja saudari tercintaku (salah seorang sahabat keluarga kami) masih punya air zam zam. MAHA SUCI ALLAH, MAHA PENGASIH DAN PENYAYANG LAGI MAHA MENDENGARKAN, beberapa jam kemudian sahabat baik keluarga kami dan suaminya itu, datang menjenguk membawakan air Zam Zam.

Pecah tangis saya begitu melihat apa yang dibawa oleh sahabat kami. YA ALLAH ALHAMDULILLAH, SESUNGGUHNYA ALLAH SELALU MENGAWASI HAMBA HAMBANYA DAN TIDAK ADA SATU HAL TERKECILPUN YANG TERLEWATKAN DALAM PENGAWASANNYA DAN SUDAH MENJADI KETETAPANNYA.

Kondisi saya berangsur membaik dalam hitungan jam, saya pergunakan waktu yang tersisa sebelum keberangkatan umrah untuk menyelesaikan tugas saya sebagai istri, sebagai hamba ALLAH. Saya mencoba dalam keseharian saya menganggap hari ini adalah hari terakhir saya di dunia, maka saya terpacu untuk berusaha melakukan segala sesuatu setulus hati, sekuat semampu saya, sebaik baiknya hanya untuk ALLAH semata.

Saya bersihkan seluruh rumah, tidak saya tinggalkan cucian kotor, saya sirami semua tanaman, saya titipkan pesan kepada orang-orang terdekat, karena saya tidak ingin menyusahkan orang orang terdekat dengan segala sesuatu yang seharusnya saya bisa lakukan dan selesaikan sendiri.

Niatan umrah saya adalah sebenar benarnya bersih secara lahiriah dan batiniah yang saya usahakan dengan ketulusan hati bersama ALLAH. Saya siapkan pakaian umrah untuk saya dan suami yang paling indah dan bersih. Saya ingin berkunjung ke rumah ALLAH sebagai hamba yang tahu menempatkan dirinya, mempunyai adab yang baik dan benar, dan keinginan untuk membawakan dan memberikan ALLAH rasa syukur dan terima kasih saya yang tidak terucapkan, kerinduan saya kepada ALLAH, dan segala pujian yang mampu saya sampaikan.

Ternyata ujian belumlah usai. Sakit saya kambuh di pesawat dalam perjalanan menuju Jeddah, saya menangis menahan sakit, saya berdoa dalam sakit saya; “Ya ALLAH Ampunilah hamba, perkenankanlah hamba menjalankan ibadah umrah ini, bilamana sudah sampai waktu hamba untuk kembali keluarkan lah hamba dengan cara yang baik” Ya ALLAH saya sungguh tidak ingin merepotkan orang orang di sekitar saya karena sakit ini, hamba mohon bantulah hamba menguatkan diri hamba ini” Sungguh ALLAH MAHA PELIMPAH KASIH YANG MAHA MEMILIKI KELUHURAN DAN KEMURAHAN

Obat berupa suntikan yang di berikan dokter di Jeddah tidak mempan sama sekali. Meskipun demikian, saya katakan pada dokter dan suami saya saat itu bahwa saya sudah tidak apa apa.Dalam pikiran saya, saya harus berangkat ke Madinah. Tidak ada sesuatupun dapat menghalangi hambaNYA untuk bertemu dengan Tuhannya kecuali ALLAH itu sendiri.

Saya mencoba tersenyum dan menjawab kepada setiap orang yang bertanya apakah keadaan saya sudah membaik, saya selalu mengatakan Alhamdulillah sudah membaik. Padahal sesungguhnya saya merasakan rasa nyeri yang amat sangat. Ketika sudah duduk di kursi paling belakang bersama suami dan adik-adik, saya tidak tahan untuk tidak memegang bagian badan yang sakit, air mata mengalir, keringat bercucuran tubuh saya gemetaran.. yang terucap hanyalah “La Hawla Wala Quwwata Illa Billah”

Sampai suatu waktu saya mendengarkan suara yang terhujam dalam hati, “Bersabarlah, bahwa sesungguhnya kesabaran dan keimananmu sedang diuji, dan tidaklah Allah menguji hambaNYA melebihi kesanggupannya, bersabarlah bahwa sesungguhnya segala sakit yang kamu rasakan akan hilang setelah memasuki tanah haram”

TERIMA KASIH YA ALLAH YANG MAHA MEMPERKENANKAN, YANG MAHA MENYAKSIKAN
SEGALA PUJI HANYA UNTUK ALLAH DAN TIADA KATA YANG MAMPU HAMBA RANGKAIKAN UNTUK MENGUNGKAPKAN SEGALA RASA DIHATI

Benarlah apa yang telah saya dengar, hilang semua rasa sakit begitu bis yang kami tumpangi memasuki tanah haram. Saya berusaha menahan tangis tidak ingin jemaah yang lain mengetahuinya. Rasanya tubuh saya ringan sekali tapi hati saya berat penuh rasa rindu, hingga sesak dada ini menahan tangis. Subhanallah, Alhamdulillah… terus menerus terucap dalam hati hingga tidak terasa kami sudah sampai di hotel.

Sebelum menuju masjid saya mandi dan mengganti pakaian saya dengan yang baru. Saya melangkahkan kaki menuju gerbang masjid Nabawi dengan penuh rasa riang di hati. Namun apa yang saya temui ketika berada di pintu masjid adalah orang-orang berebutan masuk saling dorong tidak ada yang mengantri. Saya terdiam menunggu giliran untuk masuk dan diperiksa oleh para askar. Salah satu dari askar itu melihat kearah saya , memanggil saya dan membiarkan saya masuk tanpa disentuhnya.

Pada saat saya memasuki mesjid terucap doa dalam hati, ”Ya ALLAH jangan biarkan hamba memasuki rumahMU dalam keadaan kotor, dan tidak punya sopan santun dan hamba mohon tempatkan lah hamba didalam mesjid ini dimana Engkau berkenan menempatkan hamba, dan jadikanlah hamba dapat mengambil pelajaran dari apa yang ada di hadapan hamba”

Saya sungguh bersedih hati melihat bagaimana sikap orang orang saat memasuki masjid Nabawi, banyak di antara mereka adalah bangsa Indonesia. Sebagai mualaf, saya sungguh bingung melihat adab mereka. Menurut saya, saat bertamu ke rumah ALLAH seharusnya kita jauh lebih sopan dan lebih santun, dibandingkan bilamana kita hendak bertamu ke rumah manusia. Bila benar kita pengikut Baginda Rasulullah SAW, kita tidak akan melakukan hal di atas, ini menunjukkan kita sungguh tidak menjaga nama baik Rasulullah, tidak juga menunjukkan kecintaan kepada Rasulullah yang telah bersusah payah mengorbankan semuanya untuk kebaikan kita. Seorang yang mengaku sebagai hamba Allah, pengikut Rasullulah , mengaku sebagai seorang muslim, akan terlihat dari bagaimana hamba itu menjaga dan merawat kebersihan tubuhnya, mengucapkan kata kata yang baik, berpikir yang baik dan seharusnya memperlihatkan adab yang baik. Begitu banyak kejadian selama saya di dalam masjid yang membuat saya menangis sedih, merasa tidak mampu melakukan apapun untuk merubahnya. Begitu mudahnya tanpa rasa bersalah, seseorang melewati dan melangkahi orang lain yang tengah bersujud.

Mereka memaksa saya untuk melangkahkan kaki melewati orang yang tengah bersujud tapi saya tidak bergeming. Saya biarkan orang itumengatakan sesuatu dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Sampai akhirnya ada yang melihat tingkah laku saya dan mempersilakan saya lewat di sebelahnya tanpa harus melangkahi orang yang tengah bersujud tadi.

SUNGGUH ALLAH MAHA KUASA ATAS HAMBA HAMBANYA

Dengan mudah ALLAH membulak-balikkan hati manusia, sungguh mengerikan bilamana ALLAH berkehendak mengungkapkan keburukan seseorang di hadapan orang lain sementara dia merasa mendapatkan petunjuk, melakukan kerusakan di muka bumi tapi merasa mengadakan perbaikan dan bersikap sombong terhadap makhluk ALLAH.

Beberapa peristiwa lain terjadi ketika saya berada di Mekkah. Saya merasa takut hal itu terjadi pada saya. Ketika sedang menjalankan shalat zuhur saya merasakan takut yang luar biasa, rasanya seperti seluruh isi langit dan bumi runtuh menimpa saya. Saya merasakan kemurkaan yang tidak berujung, ketakutan yang tidak mampu saya ungkapkan melalui kata-kata, kemudian ketakutan itu berubah menjadi ketakutan kehilangan ALLAH, lalu saya sesegukan menangis dan berdoa:

“ YA ALLAH YA RABB, HAMBA MOHON AMPUNANMU MOHON BELAS KASIHAN MU KEPADA HAMBA YANG TIDAK PUNYA DAYA UPAYA KECUALI DARIMU YA RABB, JANGAN SIKSA HAMBA DENGAN MURKAMU KARENA HAMBA TIDAK AKAN MAMPU MENANGGUNGNYA, HAMBA AKAN MUSNAH YA RABB”

“ YA ALLAH YA RABB, HAMBA MOHON JANGAN PERNAH TINGGALKAN HAMBA WALAU SEKEJAP SAJA KARENA HAMBA AKAN TERSESAT, HAMBA AKAN LALAI, HAMBA AKAN MELAKUKAN KESALAHAN YANG MENJAUHKAN HAMBA DARI MU YA RABB’

“YA ALLAH YA RABB BANTULAH HAMBA UNTUK BISA LEBIH BERSABAR DAN JADIKANLAH KESABARAN HAMBA SELUAS LANGIT DAN BUMI

“YA ALLAH YA RABB AJARKANLAH HAMBA UNTUK BANYAK BERSYUKUR LAGI PANDAI BERSYUKUR DAN JADIKANLAH RASA SYUKUR HAMBA SELUAS LANGIT DAN BUMI

“YA ALLAH YA RABB PERKENANKANLAH HAMBA MENCINTAIMU SEPERTI ENGKAU MENCINTAI HAMBA, DAN HAMBA MOHON JADIKANLAH KECINTAAN HAMBA KEPADAMU ABADI”

“YA ALLAH CUKUPLAH ENGKAU UNTUKKU”

“DAN TIADALAH TUHAN SELAIN ALLAH YANG AKAN HAMBA SEMBAH”
AMIN YA RABBAL ALAMIN

Tiada nikmat yang lebih indah tiada karunia yang lebih besar daripada menginginkan hanya kedekatan dan keridhaan Allah semata

Tiadalah saya mampu menuliskan kata demi kata tanpa Allah berkenan didalamnya
Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Terima kasih ***** yang telah menjaga dan membantu perjalanan kami, hanya doa setulus hati yang bisa kami mohonkan kepada ALLAH, cukuplah hanya ALLAH yang mengetahui dan cukuplah ALLAH sebagai saksi.

Wassalamu’alaikum
L.I.A
(Alumni Holiday Journey Edition – Juni, 2012)

Seorang Dokter Bedah Berasal dari Prancis menyatakan dirinya masuk Islam, disebabkan oleh Mumi Fir’aun. Professor Maurice Bucaille adalah seorang dokter ahli bedah terkemuka di dunia yang berasal dari Prancis. Ia mempunyai cerita yang sangat menakjubkan. Ia menjelaskan sebab musabab dirinya meninggalkan agama Katolik yang telah di anutnya bertahun-tahun, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama Islam.

Setelah menyelesaikan study setingkat SMA-nya, ia menetepkan untuk mengambil jurusan kedokteran pada sebuah universitas di Prancis. Ia termasuk salah satu dari mahasiswa yang berprestasi hingga akhir tahun, karena kecerdasan dan keahlian yang dimilikinya, dia kemudian menjadi seorang dokter terkemuka di Prancis. Prancis adalah negara yang terkenal sangat menjaga dan mementingkan barang-barang peninggalan kuno dibandingkan dengan negara yang lainnya, terutama pada masa kepemimpinan Fransu Metron tahun 1981. Pada tahun itu, Prancis meminta ijin kepada Mesir agar mereka diberikan kesempatan untuk memeriksa dan meneliti mumi Fir’aun-nya yang terkenal. Sebuah mumi yang tak asing dikalangan orang-orang Islam. Fir’aun ini adalah orang yang ditenggelamkan ALLAH dilaut merah, tatkala melakukan pengejaran terhadap nabi Musa AS.

Permintaan Prancis ditanggapi oleh Mesir dengan mengizinkan Prancis untuk mengadakan penelitian. Mumi Fir’aun dipindahkan dengan menggunakan pesawat terbang. Setibanya di Prancis, kedatangan mumi tersebut disambut oleh Persiden Franso Metron beserta para menterinya seolah-olah dia masih hidup. Mumi tersebut kemudian dipindahkan ke pusat barang-barang kuno milik Prancis untuk diserahkan kepada para ilmuwan dan dokter bedah, supaya mereka dapat mempelajari rahasia yang terkandung dari mumi tersebut, dan Profesor Maurice Bucaille bertindak sebagai ketua tim penelitian.

Semua tim peneliti bertugas untuk meneliti, memperbaiki tulang-tulang yang sudah rusak dan anggota tubuh yang lainnya. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Professor Maurice Bucaille, ia justru menyelidiki tentang rahasia kematian Fir’aun. Pada suatu malam, ia memperoleh hasil penelitiannya; bahwa terdapat bekas garam yang menempel pada mayat mumi, sehingga dapat ia jadikan sebuah bukti yang nyata bahwa Fir’aun mati karena tenggelam dan mayatnya dapat di selamatkan, kemudian diawetkan pada saat kejadian. Dari hasil penelitiannya, timbul beberapa pertanyaan yang susah untuk ia dapatkan jawabannya yaitu bagaimana mayat Fir’aun dapat diselamatkan, dan anggota tubuhnya masih tetap utuh, sedangkan kondisi mayat-mayat yang lainnya setelah diawetkan tidak seperti dirinya (?)

Namun sebelum ia selesai membuat kesimpulan, salah seorang temannya berbisik kepadanya dengan berkata: “Jangan terburu-buru seperti itu, karena orang-orang Islam telah mengetahui tentang hal ini.” Mendengar pernyataan dari temannya itu, ia menolak keras atas pernyataan tersebut. Ia berkata: “Penemuan seperti ini tidak mungkin dilakukan kecuali ada dukungan sains dan teknologi canggih”. Salah seorang temannya yang lain menanggapinya seraya berkata: “Al-Quran merekalah yang telah menceritakan kematiannya dan bagaimana jasadnya di selamatkan dari tenggelam.” Mendengar penjelasan temannya itu, Bakay kebingungan dan bertanya-tanya bagaimana hal ini bisa terjadi (?) Sedangkan mumi ini sendiri baru ditemukan pada tahun 1898 atau kurang lebih baru dua ratus tahun yang lalu, sedangkan Al-Quran mereka sudah ada semenjak lebih dari seribu empat ratus tahun….!!!

Bagaimana akal manusia dapat mengetahuinya, padahal semua manusia -bukan hannya orang-orang Arab- belum ada yang mampu mengetahui bagaimana peradaban orang-orang Mesir di masa lampau dan bagaimana caranya mereka mengawetkan mayat, kecuali pada masa sepuluh tahun yang lalu (?). Maurice duduk termenung di dekat mumi Fir’aun tersebut sambil memikirkan tentang bisikan yang telah ia dengar dari temannya; bahwasanya Al-Quran telah menceritakan kejadian itu, padahal kitab sucinya hanya menceritakan tentang tenggelamnya Fir’aun akan tetapi di dalamnya tidak di jelaskan tentang keadaannya sesudah tenggelam. Ia pun bergumam dalam kesendiriannya: “Masuk akalkah bahwa jasad yang ada di depanku ini adalah Fir’aun Mesir yang telah mengusir Nabi Musa (?) Benarkah kalau Nabinya orang muslim yang bernama Muhammad itu sudah mengetahui tentang hal ini sejak 1400 tahun yang silam (?)

Berbagai pertanyaan yang belum sempat terjawab, membuat Professor Maurice tidak dapat tidur disetiap malam. Ia kemudian mengambil Kitab Taurat dan membacanya, sampai pada sebuah kalimat yang mengatakan: “Kemudian air itupun kembali pada keadaan sedia kala, kemudian air laut itupun menenggelamkan perahu-perahu beserta Fir’aun dan bala tentaranya, hingga tidak tersisa satupun diantara mereka.”

Setelah menyelesaikan penelitian dan perbaikan, maka mumi tersebut kemudian di kembalikan ke Mesir dengan menggunakan peti yang terbuat dari kaca nan elok, karena menurutnya itu lebih pantas untuk orang yang berkedudukan seperti Fir’aun. Akan tetapi Bakay masih dalam kondisi belum puas dengan berita yang di dengarnya, bahwa orang-orang Islam telah mengetahui keselamatan mumi ini. Ia pun lalu berkemas untuk berkunjung ke Saudi Arabia guna menghadiri seminar kedokteran yang akan dihadiri para pakar bedah muslim.

Dalam pidatonya, Professor Maurice memulai pembicaraan tentang hasil penyelidikannya bahwa jasad Fir’aun dapat diselamatkan setelah tenggelam, kemudian salah seorang diantara pakar muslim berdiri dan membuka serta membacakan Al-Qur’an pada Surat Yunus Ayat 92 yang artinya: “Pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat dijadikan pelajaran bagi orang-orang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.”

Professor Maurice Bucaille terheran-heran dengan penjelasan yang baru saja ia dengar, ia lalu beranjak dari tempat duduknya dan dengan suara lantang ia berkata: “Pada hari ini; aku menyatakan diri untuk memeluk agama Islam dan aku mengimani Al-Quran ini”.

Setelah selesai seminar Professor Maurice Bucaille lalu kembali ke Prancis dengan wajah yang berbeda dari wajah sebelum ia datang menghadiri seminar. Selama sepuluh tahun ia tidak mempunyai pekerjaan yang lain, selaian mempelajari tentang sejauh mana keserasian dan kesinambungan Al-Quran dengan sains, serta perbedaan yang bertolak belakang dengannya. Namun apa yang ia dapati selalu berakhir sebagaimana Firman Allah SWT: ”Yang tidak datang kepada Al-Quran kebatilan baik dari belakang maupun dari depannya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi terpuji” (Q.S: Fush Shilat-43).

Dari hasil penyelidikan yang bertahun-tahun, ia kemudian menulis sebuah buku tentang kesinambungan Al-Quran dengan sains yang mampu mengguncangkan Eropa. Sehingga ketika para pakar-pakar dan para ilmuwan barat berusaha untuk mendebatnya, mereka tidak kuasa.

Bucaille dalam bukunya menulis bahwa dalam Al Qur’an terdapat banyak kecocokan dengan fakta sains. Di antara tulisannya ialah: “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan.” (QS 27:88)

Bucaille menjelaskan bahwa ternyata gunung-gunung bersama dengan lempeng bumi bergerak. Jadi ayat Al Qur’an di atas sesuai dengan ilmu pengetahuan. Bucaille juga menjelaskan bahwa ayat Al Qur’an di bawah yang menyatakan bahwa Allah menyelamatkan badan Fir’an hingga bisa dilihat manusia saat ini sesuai dengan kenyataan:
“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu” (QS 10:92)

Ternyata para ahli menemukan garam di dalam badan Fir’aun yang menunjukkan bahwa Fir’aun memang pernah tenggelam. Jenazah Fir’aun/Mumi bisa dilihat manusia hingga saat ini di Bumi Seribu Menara, Mesir.

Sumber: ivandrio.wordpress.com

Rasanya sudah sangat lama kami ‘meninggalkan’ pelajaran yang bapak dan guru kami berikan dalam pelajaran hidup. Meski hidup di dunia kerja, namun norma-norma, adab dan masih banyak lagi pelajaran hidup yang justru diberikan kesempatan untuk melakukannya. Yah, mungkin suatu ironi bagi perusahaan profesional lainnya, jika hal-hal semacam itu –pembelajaran hidup- masih diberikan justru ditengah persaingan kerja semakin ketat. Lazimnya sebuah perusahaan, tentu akan melihat bagaimana kinerja staf-nya dalam melakukan tugas. Tidak ada lagi didikan atau pelajaran yang di dapat, kalau pun ada jika melakukan kesalahan yang membuat rugi perusahaan akan diikuti dengan fired atau di non-aktifkan. Karena dunia kerja bukan masanya KBM (kegiatan belajar mengajar), dunia kerja adalah dunia eksekusi dari apa yang diraih dari bangku pendidikan. Namun berbeda dengan kami, kesempatan belajar itu masih sangat terbuka lebar, meski sudah berada di bangku kerja yang notabene mendapat pemasukan atau salary secara tetap.

Dari serakan ilmu yang diajarkan bapak sekaligus guru kami di Cordova itu adalah bagaimana mendengar dengan hati. Hmm… nampaknya simple, namun ketika di bedah, kalimat itu mengandung sejuta makna dengan pengaruh yang luar biasa. Tidak seperti para motivator-motivator hebat dengan –hanya- kepandaian memainkan kata, justru guru kami itu mengajarkan hal-hal simple namun berjuta makna. Yah, salahsatu dari serakan ilmunya, antara lain pelajaran tentang bagaimana caranya mendengar dengan hati.

Menurutnya, mendengarkan merupakan bagian esensi yang menentukan komunikasi efektif. Tanpa kemampuan mendengar yang bagus, biasanya akan muncul banyak masalah. Mendengar tidak selalu dengan tutup mulut, tapi juga melibatkan partisipasi aktif kita. Mendengar yang baik bukan berharap datangnya giliran berbicara. Memahami pembicaraan dan perasaan lawan bicara kita, ini juga sebagai bentuk penghargaan bahwa apa yang orang lain bicarakan adalah bermanfaat untuk kita. Seni mendengar dapat membangun sebuah relationship yang luarbiasa jika kita melakukannya dengan baik. Yah, tentunya mendengar dengan hati. Ia akan tembus menelusuri sel-sel darah kepada siapapun orang yang kita dengar pembicaraannya. Dari hati kena hati, itulah yang dimaksud dengan suatu ketulusan menjadi pendengar sejati.

Guru kami kerap mengajarkan untuk selalu memelihara kontak mata dengan baik. Ini menunjukkan kepada lawan bicara tentang keterbukaan dan kesungguhan kita dalam mendengarnya. Selain itu, mencondongkan tubuh ke depan, atau yang kerap kami dengar ‘Lempar –maaf- bokong kebelakang kursi’ saat kita duduk mendengarkan seseorang berbicara. Ini menunjukkan ketertarikan kita pada topik pembicaraan. Cara ini juga ternyata akan mengingatkan kita untuk memiliki sudut pandang yang lain, yaitu tidak hanya fokus pada diri kita sendiri, tetapi memahami orang yang kita dengarkan pembicaraannya.

Seorang pendengar yang baik sebenarnya hampir sama menariknya dengan pembicara yang baik. Jika kita selalu pada pola yang benar untuk jangka waktu tertentu, maka suatu saat kita akan merasakan. Untuk dapat mendengarkan dengan efektif sangat membutuhkan konsentrasi, pengalaman, pengetahuan dan keterampilan. Dari apa yang kami simpulkan dari didikan beliau adalah prinsip-prinsip untuk mendengar dengan hati, diantaranya; Tidak melakukan aktivitas mendengarkan dan berbicara pada saat yang bersamaan, mencoba memahami pokok pikiran atau ide utama pembicara, hindari gangguan dari lingkungan sekitar, mencoba mengendalikan emosi, dan ketulusan mendengar dari hati.

Jika sudah mengupas pembelajaran darinya, sungguh nikmat mana lagi yang harus kita dustakan untuk selalu bersama dan memiliki sosok sepertinya. Jangankan meninggalkan, ditinggalkan beberapa saat saja akan menjadi suatu yang sangat menyedihkan.

Di sebuah tempat nan jauh dari kota, di Jawa Barat, tampak seorang pemuda bergegas menuju surau kecil. Wajahnya menampakkan kegelisahan dan kegamangan. Ia seperti mencari sesuatu di surau itu. “Assalamu’alaikum, ustadz ” ucapnya ke sosok ustadz yang selama ini menjadi guru spritual di kampung itu. Spontan, ustadz yang rendah hati itu menghentikan kesibukannya. Ia menoleh ke si pemuda dan senyumnya pun mengembang. “Wa’alaikumussalam. Mangga. Mari masuk!” ucapnya sambil membukakan gerbang kayu surau yang sudah teramat tua. Setelah itu, ia dan sang tamu pun duduk bersila. “Ada apa, Kang (?)” ucapnya dengan senyum yang tak juga menguncup. “Ustadz, saya diterima kerja di kota!” ungkap sang pemuda kemudian. “Alhamdulillah, Syukurlah,” timpal Ustadz muda itu dengan penuh bahagia. “Ustadz, jika tidak keberatan, berikan saya petuah agar bisa berhasil!” ucap sang pemuda sambil menunduk.

Ia pun menanti ucapan sang ustadz di hadapannya yang sudah ia anggap seperti saudara kandungnya. “Kang, Jadilah seperti air. Dan jangan ikuti jejak awan,” untaian kalimat singkat meluncur tenang dari mulut sang Ustadz. Pemuda itu masih belum bereaksi. Ia seperti berpikir keras memaknai kata-kata sang ustadz. Tapi, tak berhasil. “Maksud, Ustadz (?)” ucapnya kemudian. “Kang, Air mengajarkan kita untuk senantiasa merendah. Walau berasal dari tempat yang tinggi, ia selalu ingin ke bawah. Semakin besar, semakin banyak jumlahnya, air kian bersemangat untuk bergerak kebawah. Ia selalu mencari celah untuk bisa mengaliri dunia dibawahnya,” jelas sang Ustadz dengan tenang.

“Lalu dengan awan, Ustadz (?)” tanya si pemuda penasaran. “Jangan sekali-kali seperti awan, Kang. Perhatikanlah! Awan berasal dari tempat yang rendah, tapi ingin cepat berada di tempat tinggi. Semakin ringan, semakin ia tidak berbobot; awan semakin ingin cepat meninggi,” terang sang Ustadz dengan penuh bijak. “Tapi Kang,” tambahnya kemudian. “Ketinggian awan cuma jadi bahan permainan angin.”

Dan si pemuda pun tampak mengangguk pelan.

Dalam Genggaman

Epilog dari kisah “Trilogi” ini akan sedikit membuka siapa dan bagaimana sepak terjang sosok yang menjadi tokoh antagonis dalam cerita ini. Meski –tentunya- Anda akan masih penasaran siapa yang dimaksud, benarkah atau hanya sebatas fiktif belaka. Kenapa bisa seperti itu, kok bisa, Masya Allah gak nyangka, bejad ya!. Dan ekspresi serta pertanyaan-pertanyaan lainnya akan muncul dalam benak kita. Bahkan –tidak mustahil- pertanyaan, koq artikel semacam ini ada di website ini’ akan juga terlontar di sudut pikir Anda. Namun percayalah kompleksitas kehidupan akan tertampung oleh sebuah jalur yang kan terlangkah. Bak Al-Qur’an suci yang terdapat beragam kisah dan cerita di dalamnya, bukan hanya sebagai pedoman, tetapi juga sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berfikir. Pun demikian dengan beragam artikel yang terdapat dalam website ini, warnanya akan dinamis jika artikel didalamnya memuat beragam kisah yang berwarna. Trilogi ini adalah persembahan cinta agar kita tidak terjerumus oleh rayu busuk fitnah seorang yang terbungkus kain kehormatan, namun justru menghancurkan image Islam tuk menjungjung tinggi martabat seorang wanita. Merokok, menghasud, memfitnah, merekayasa, menghancurkan, mengadu-domba, merusak, dan mencinta –merebut- yang jelas-jelas mustahil teraih.

Bak tulisan dan gambar dari papyrus yang terlihat sangat elok dan memiliki nilai jual tinggi, ia pawai dan pialang dalam menghembuskan ucapan sesatnya, tapi tahukah Anda Papyrus adalah jenis tanaman air yang sangat mudah ditemukan di pinggiran sungai Nil, Mesir. Jika tidak dijadikan sebagai alat seni untuk menulis atau melukis gambar-gambar sejarah Mesir kuno atau –bahkan- kaligrafi, maka tumbuhan itu sama saja dengan tumbuhan air lainnya. Tidak ada spesial dari sosok wanita ini, ia hanya pandai meliuk dalam kata tuk pengaruhi banyak orang agar ambisinya tergapai. Terutama dalam melontar fitnah atau pesan-pesan sms kepada setiap orang yang ia nilai bisa menghancurkan hamba yang di fitnahnya.

Setelah sekian lama gagal menghancurkan reputasi seorang yang sangat ia cintainya, maka perlawanan selanjutnya adalah bergabung dengan orang yang memiliki watak dan visi yang sama. Bersatu menyusun strategi tuk melampiaskan hasrat busuknya. Mengadu domba dan mengipas-ngipas orang agar melangkah bersama merobohkan kekuatan hak. Tak peduli dengan busana yang ia pakai, berjubah panjang dan berpenampilan iba (berharap orang mengasihinya) berani berteriak-teriak di keheningan malam dengan meronta-ronta. Sungguh tak peduli apa penilaian orang terhadap kemulian sosok wanita dalam Islam. Bahkan ia akan sangat marah ketika di tegur merokok –karena memang memakai jubah muslimah- yang menghancurkan image jutaan muslimah di muka Bumi, dengan asap mengepul di mulut ‘ular’-nya.

“Terdzolimi” itulah penggalan kalimat yang selalu menjadi andalannya sebagai alasan sikap bar-barnya. Seolah tidak tahu siapa yang mendzolimi dan siapa yang terdzolimi. Ibarat kata maling teriak maling. Hingga mulut berbusa pun orang hanya akan mencibir apa yang ia katakan, terkecuali bagi mereka yang memiliki watak seperti dia. Siapakah gerangan wanita antagonis dalam serial ini (?) Yang jelas –sesuai- bacaan sholat dalam tasyahud akhir, kita harus senantiasa berlindung kepada Allah SWT agar terhindar dari fitnah Dajjal.

Jika serangan dan fitnah itu usai. Maka sebagai muslim kita pun wajib menghentikan kebencian itu, meski jiwa teramat sakit oleh bisa-nya. pertempuran hanya diletuskan dalam arena laga. Jika usai maka usai sudah permasalahan itu, dan tiada kata yang teramat dahsyat selain i’m sorry goodbye.

Could be continue or not!

Meneropong, Merapat dan Menggasak

“Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, (QS. Al-Qolam: 10-11)

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah : 193)

Dalam sejarah Islam, betapa fitnah akan membawa bencana dan malapetaka di kehidupan masyarakat. Fitnah itulah yang membawa bencana terbunuhnya Sayyidina Usman Ra. Yang dituduh menjalankan nepotisme dalam kebijakannya. Fitnah itu juga yang menyebabkan nestapa sepanjang masa, pertempuran dan perselisihan diantara sahabat besar seperti Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Fitnah jugalah yang pernah membuat Rasulullah marah dan membiarkan (tidak menyapa) istrinya Aisyah sekian lama, karena tertinggal dari rombongan. Masih banyak lagi kisah dan cerita tentang bahaya laten fitnah.

Artikel ini adalah trilogi tentang kisah manusia yang haus akan sebuah eksistensi cinta, namun sebelum melangkah untuk melanjutkan artikel ini, sebaiknya Anda membaca juga artikel bagian pertamanya, sehingga pemahaman dalam tema diatas akan lebih mudah tercerna. Baiklah sebelumnya, mari kita simak apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib, bahwa kejahatan yang terorganisir akan mudah mengalahkan kebenaran yang tercerai berai. Dalam konteks apapun suatu pergerakan baik positif maupun negatif jika dilakukan secara sistematis dan kontinyuitas maka hasilnya akan sesuai dengan apa yang diharap. Pun demikian dengan kejahatan, perancangan iblis akan menusuk pada rongga-rongga sistem yang tercerai berai. Serangan fitnah (yang nota bene jelas-jelas hal negatif) akan mudah berhasil dan mendapatkan kemenangan secara massif jika tidak ditanggulangi dengan sebuah perlawanan yang berarti. Lihat saja bagaimana Yahudi dengan gerakan Israel Raya-nya, mereka yang mendzolimi, namun mereka juga lah yang berteriak-teriak mengumbar fitnah, bahwa Hammas lah yang melakukan kekerasan dengan terorisnya. Wal hasil mereka sukses, yah sukses untuk meyakinkan bahwa muslim Palestina berhak untuk dibinasakan, di isolasi dan dimusnahkan di tanah jajahannya sendiri. Bukankah itu buah dari keganasan fitnah (?) Bukankah itu kejahatan yang terorganisir (?)

Kita lupakan sejenak Israel, kembali pada konteks trilogi yang kini menjadi bahasan kita. Jika fitnah itu sangat mudah menyelinap pada pola pikir kita, maka bagaimana jadinya jika si pelaku fitnah itu adalah sosok seorang wanita (?) Bahkan mungkin kini menjadi ‘segerombolan’ wanita-wanita yang haus akan cinta. Dahaga akan kasih sayang orang yang dicinta, dan lapar akan kehangatan cinta. Mereka hanya merasakan sentuhan mentari disebagian tubuhnya, sebagian lagi mereka harus rela pontang-panting mengejar dan mendekapnya.

Kita semua tahu, bahwa kelembutan wanita kadang mudah memperdaya manusia, bahkan bualan pun menjadi sangat nyata. Wanita adalah makhluk yang teramat indah, maka waspadalah jika keindahannya itu dipergunakan hal-hal jahat semacam fitnah, hasud dan dengki. Kemuliaan yang menjadi kudrat wanita di muka Bumi, akan mudah hanyut jika mereka ‘bersengkokol’ membangun bangunan dengki. Ber-strategi menggalang kekuatan dan menyerang setiap individu yang mereka nilai mudah terprovokasi. Bak pergerakan zionis, mereka yang membuat perkara, mereka yang berteriak terdzolimi.

Fitnah adalah muara dari kejahatan laten, bukan hanya lebih jahat dari pembunuhan namun juga lebih dahsyat dari musuh yang nyata-nyata memerangi kita. Tak ayal, Rasulullah SAW senantiasa mengajarkan kita di setiap akhir dari sholat lima waktu, agar kita berlindung dari godaan fitnah-nya Dajjal. Karena dengan fitnah, manusia sulit membuka tabir antara yang benar dan salah. Ini menunjukkan bahwa fenomena fitnah Dajjal memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Mereka meneropong, menelaah, merapatkan dan lalu menggasak.

Melawan semua itu hanya dengan merapatkan barisan dan menyatukan hati. Mengunci mulut untuk tidak terlena melakukan ghibah. Jika kejahatan mereka organisir dengan solid, maka kita sudah bergerak untuk membungkam itu, tentunya dengan strategi yang smart.

Dalam dunia bisnis, atau pada ruang kehidupan lain, banyak ungkapan yang menyebutkan bahwa ketika pohon berkembang dan menjulang tinggi, maka angin pun akan semakin kencang berhembus. Ujian, cobaan akan silih berganti menerpanya, selain menguji kekuatan batang, angin pun mencoba mengangkat akar-akar kuat yang mencengkram bumi. Tidak salah banyak penerimaan secara pasti, ketika sebuah perusahaan diguncang beragam badai, maka kalimat pasrah yang mengkiaskan suatu alamiyah jika perusahaan semakin besar maka wajarlah jika banyak yang ingin mengguncangnya. Sehingga, apatis dan pasrah kerap terlontar dari kondisi yang ada. Atau istilah lain yang sering kita dengar, di pukul wajah sebelah kiri, kita kasih wajah sebelah kanan. Tidak ada sama sekali perlawanan untuk menghentikan badai tersebut, karena tokh itu suatu alamiyah yang biasa terjadi pada suatu perusahaan yang sedang melesat. Atau karena saking lembutnya hati, sehingga enggan tuk melakukan perlawanan atau bahkan pertahanan. Padahal Islam tidak mengajarkan seperti itu, bukankah membela dan melawan kenistataan demi mempertahankan harga diri, harta dan jiwa adalah sebuah kewajiban yang harus ditegakkan (?) Bukankah melawan sebuah serangan merupakan hal yang dicontohkan oleh para tentara Allah (?)

Yah, seperti itulah kondisi real perjuangan dalam dunia kerja. Bukan hanya persaingan, penghancuran dan penjegalan, bahkan pembunuhan karakter terhadap masing-masing individu pun kerap dilakukan guna memuluskan ambisinya. Terlebih jika dilakukan karena dendam kesumat terhadap seseorang yang ia benci karena cinta mati. Ia akan habis-habisan menyerangnya, dari celah dan lubang semut sekalipun. Setahun, dua tahun bahkan sampai 3 tahun ia simpan dendam itu guna membuat strategi penghancuran. Menyerang melalui fitnah-fitnah murah, sms-sms gelap agar mendapat simpati dan dukungan manusia lain tuk mencabik-cabik bangunan itu. Mengaku terdzolimi, namun dendam kuasai hati. mengaku terdzolimi, namun jiwa tak berasa. Itulah korban cinta, fakta pun diputar balik. Setelah cinta tak teraih, nestapa pun yang beralih. Duhai merananya, hidup disibukkan oleh strategi dendam yang kesumat. Tercampak dari keluarga, tertendang dari rekan, dan kini bergabung tuk membalas dendam dari kasus yang dipendam.

Jika saja ‘kartu truf’ itu terbuka, maka akan lebih sakit penderitaan yang ia rasa. Tapi biarlah kartu itu terbuka mengikuti apa yang akan mereka rancang. Terlebih semua orang tahu bagaimana thabiat dan watak sosok wanita ‘terhormat’ itu sebelum ditendang di sebuah komunitas negeri.

Serangan bertubi-tubi ia lesakkan guna menghancurkan stabilitas kami, memecah-belah dan menyerang individu lemah diantara kami. Namun tetap benteng kokoh itu tak kan pernah runtuh hanya oleh dendam kesumat yang membabi buta. Hanya karena cinta yang tak berbuah, ia rela menghinakan dirinya sendiri, menghancurkan keluarga dan makhluk lainnya.

Bagi jiwa yang lemah, maka tipudaya-nya kan mudah memalingkan rasa. Karenanya hanya kebersamaan dan kesolidan team yang bisa menahan gejolak badai yang mereka hembuskan. Biarlah ia menjadi wanita yang hanya mengendap dendam karena cintanya. Benci karena teramat merindukan rasa yang tergadai.