Fenomena Ustadz ‘Dadakan’

Sambel dadakan seh enak, kalo ustadz dadakan (?)

Rasanya tema diatas akan sedikit mengundang kontroversi bahkan polemik, jika saja pemahaman tentang makna ‘ustadz’ itu sendiri tidak kita kupas secara detail, ditambah jika kita saksikan bagaimana gamblangnya peran ustadz ini di ‘panggung’ dakwah, maka kita akan semakin yakin bahwa ustadz dadakan yang kini berjamur di negeri kita, bisa masuk dalam ‘Penghancur agama’ atau jika tidak ingin kita sebut sebagai ulama su’u (ulama jahat). Seperti atsar ulama yang menyebutkan “Tidak ada yang merusak agama ini, kecuali raja, dan para ulama su’u serta para rahibnya”. Oleh karenanya, mari kita perjelas apa sebenarnya makna ‘ustadz’ itu sesungguhnya, sehingga tidak terjadi penggelinciran makna sesungguhnya. Tetapi jika awalnya kita sudah apriori, karena mengganggap bahwa panggilan ustadz itu sudah menjadi kebiasaan dan budaya Indonesia, maka yakinlah akan banyak bermunculan ustadz-ustadz ‘dadakan’, yang –ekstrimnya- hanya menggunakan kopiah saja, sudah bisa menjadi sosok seorang ustadz. Lincah dan lihai dalam panggung dakwah yang tentunya bertarif mahal jika ingin mengundangnya. “biaya sebesar itu bukan untuk saya, itu untuk yayasan sosial dan orang-orang yang mencari nafkah didalamnya,” alasannya terkesan logis.

Asal kata dari ustadz adalah ustad (tanpa huruf “Z” atau tanpa huruf “Dzal”). Dalam kamus Arab, Al-Mu’jamul Wasith, kata ustadz memiliki beberapa makna sebagai berikut: Pengajar, Orang yang ahli dalam suatu bidang industry dan mengajarkan pada yang lain, serta julukan akademis level tinggi di universitas. Kata jamaknya adalah Asatiidz dan Asatidzah. Demikian menurut pengertian bahasa. Sedangkan pengertian pokok ustadz adalah “seorang pakar spesialis tingkat tinggi”, atau orang yang sangat ahli dalam suatu bidang. Menurut pengertian ini, maka seseorang tidak pantas disebut ustadz kecuali, jika ia memiliki keahlian dari 18 atau 12 ilmu (bidang studi) dalam sastra Arab, seperti ilmu nahwu, Shorof, bayan, badi’ ma’ani, adab, mantiq, kalam, perilaku, ushul fikih, tafsir, hadist.

Sedang di Indonesia, (entah sejak kapan, dan siapa yang memulai) seolah pemanggilan atau penamaan ustadz begitu lumrah dan mudah, seakan tiada beban, yang penting orang tersebut memiliki kemampuan agama (meski hanya sekadar bisa baca Al-qur’an) dan bersikap serta berpakaian layaknya orang alim, maka dengan mudah ia sudah ‘lulus’ mendapat julukan Ustadz. Walaupun kemampuan riil yang dimilikinya sangat minim dan jauh dari definisi Ustadz sesungguhnya. Sehingga dengan demikian (mudahnya mendapat gelar ustadz), ia memiliki potensi besar dalam menguasai ‘panggung’ dakwah yang sarat dengan kenyamanan duniawi (materialistik).

Wajar jika output yang instant dalam penggodokan ustadz itu menghasilkan sosok-sosok ustadz yang lebih ‘nyaman’ bersenda gurau di depan layar kaca, terlebih jika masuk infotainment, merasa figur ustadz seperti predikat yang dikenakan dalam berdakwah. Ada juga yang mengatasnamakan metode dakwah, atau apalah sebutannya, memproklamirkan ceramah di bulan ramadhan di sebuah Resto Wine, yang jelas-jelas (setelah usai ceramah) Restoran itu tidak akan berubah menjadi Resto Zam-zam misalnya. Apalagi hal demikian itu, jika tidak disebut dengan penghinaan metode dakwah. Dimana kehormatan dan harga diri seorang ustadz yang ‘manut’ saja dipanggil hanya karena bayarannya kencang (?)

Dimanakah sosok ulama yang benar-benar menjadi Pewaris para nabi itu (?)

Related Post

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *