Syukur Hingga Terkubur
Dalam sebuah perjalanan menuju kantor pagi tadi, saya teringat dengan sebuah kata yang sulit dilupakan begitu saja. Kata yang tertulis dalam forum discuss kami itu, jelas menggambarkan bahwa terdapat sebuah kekuatan maha dahsyat dibalik kata itu. Meski –sebenarnya- sudah sering terdengar atau menjadi menu diskusi kita setiap saat, namun terkadang ‘kata’ itu tak ubahnya hanya sebagai pemanis bibir atau pelengkap teks pidato di mimbar-mimbar. Terlebih jika berbentur dengan hasrat manusia yang tak pernah habis. ‘kata’ itu akan menjadi beban untuk diaplikasikan. Yah, ‘kata’ ajaib itu adalah “Syukur”. Banyak sekali puing-puing syukur di sekitar kita, karena mungkin sangat mudah untuk dihafal dan diuraikan dengan contoh-contoh klasik, sehingga terkadang kita lupa untuk menjadi hamba yang penuh dengan rasa syukur. Bersyukur secara sederhana dapat dikatakan sebagai ungkapan terimakasih kepada Tuhan karena telah diberi nikmat oleh-Nya. Dengan syukur itu, kita mengakui ke-Maha Pengasih dan Penyayang sebuah Dzat Maha Agung. Logika sederhananya, dapat dikatakan bahwa kasih sayang dari Allah SWT pastilah berwujud sesuatu yang besar. Maka berangkat dari sini, kita dapat katakan pula bahwa bersyukur kepada-Nya harus diawali dengan pemahaman dan pengakuan bahwa kita telah diberi sesuatu yang sangat besar dan luarbiasa oleh-Nya.