Syukur Hingga Terkubur

Dalam sebuah perjalanan menuju kantor pagi tadi, saya teringat dengan sebuah kata yang sulit dilupakan begitu saja. Kata yang tertulis dalam forum discuss kami itu, jelas menggambarkan bahwa terdapat sebuah kekuatan maha dahsyat dibalik kata itu. Meski –sebenarnya- sudah sering terdengar atau menjadi menu diskusi kita setiap saat, namun terkadang ‘kata’ itu tak ubahnya hanya sebagai pemanis bibir atau pelengkap teks pidato di mimbar-mimbar. Terlebih jika berbentur dengan hasrat manusia yang tak pernah habis. ‘kata’ itu akan menjadi beban untuk diaplikasikan. Yah, ‘kata’ ajaib itu adalah “Syukur”. Banyak sekali puing-puing syukur di sekitar kita, karena mungkin sangat mudah untuk dihafal dan diuraikan dengan contoh-contoh klasik, sehingga terkadang kita lupa untuk menjadi hamba yang penuh dengan rasa syukur. Bersyukur secara sederhana dapat dikatakan sebagai ungkapan terimakasih kepada Tuhan karena telah diberi nikmat oleh-Nya. Dengan syukur itu, kita mengakui ke-Maha Pengasih dan Penyayang sebuah Dzat Maha Agung. Logika sederhananya, dapat dikatakan bahwa kasih sayang dari Allah SWT pastilah berwujud sesuatu yang besar. Maka berangkat dari sini, kita dapat katakan pula bahwa bersyukur kepada-Nya harus diawali dengan pemahaman dan pengakuan bahwa kita telah diberi sesuatu yang sangat besar dan luarbiasa oleh-Nya.

Sebagai seorang karyawan atau bagian dari staf sebuah perusahaan, saya membuka wacana ini dalam konteks kapasitas karyawan (dalam lingkup dunia kerja). Bersyukur bagi seorang staf berarti berterimakasih kepada Tuhan karena telah diberikan kapasitas bekerja (dalam arti seluas-luasnya) yang luar biasa. Jalan yang akan dipertemukan guna mendapatkan nikmat kerja itu bisa beraneka ragam. Skenario dalam menemukan nikmat itulah yang sulit diprediksi oleh siapapun. Namun kendalanya kerap terjadi saat nikmat itu sudah dihadapan, muncul sebuah pilihan untuk mental dan sikap bersyukur atau tidak. Bersyukur dengan arti yang sangat luas berarti tidak menyiakan apa yang telah diberikan-Nya dengan mendapat pekerjaan misalnya. Menyiakan disini juga bisa bermakna ‘jiwa yang kosong’ atau tidak melibatkan soul setiap amanah yang diemban.

Ada sebuah kisah yang menarik untuk disimak. Suatu hari ada seorang pengemis datang menghadap Nabi Musa As. begitu miskinnya, hingga pakaiannya compang-camping, lusuh dan berdebu. Pengemis itu kemudian mengadu pada Baginda Musa. “Yaa Nabiullah, tolong sampaikan kepada Allah SWT permohonanku agar aku dijadikan orang yang kaya.” Nabi Musa tersenyum dan berkata kepada orang itu. “Saudaraku, banyak-banyaklah bersyukur kepada Allah SWT. Namun pengemis itu terkejut dan berkata “Bagaimana aku mau bersyukur, aku makan pun jarang, pakaian yang kugunakan pun hanya satu lembar ini saja!”. Akhirnya pengemis itu pulang tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya.

Beberapa waktu kemudian, giliran si orang kaya datang menghadap Nabi Musa As. orang tersebut bersih badannya, dan juga rapi pakainnya. Ia berkata kepada Nabi Musa “Wahai Nabi Allah, tolong sampaikan kepada Allah SWT permohonanku agar aku dijadikan seorang yang miskin, terkadang aku merasa terganggu dengan hartaku.” Nabi Musa pun tersenyum, lalu ia berkata, “Wahai saudaraku, janganlah engkau bersyukur kepada Allah SWT.” Kontan ia menjawab “Yaa Nabiullah, bagaimana aku tidak bersyukur, Allah telah memberiku mata yang dengannya aku dapat melihat, telinga yang dengannya aku mendengar. Allah telah memberiku tangan yang dengannya aku dapat bekerja, dan telah memberiku kaki yang dengannya aku dapat berjalan, bagaimana mungkin aku tidak mensyukurinya”. Akhirnya si kaya pulang ke rumahnya.

Kemudian yang terjadi adalah si kaya itu menjadi orang yang sangat kaya dengan ‘aktifitas’ syukurnya yang kerap dilakukan. Dan si pengemis itu bertambah miskin dan tersiksa oleh kehidupannya. Allah SWT. Mengambil semua kenikmatan-Nya, sehingga tanpa sadar ia tidak memiliki selembar pakaian pun yang melekat di tubuhnya.

Sahabat, saya hanya ingin berucap, mari kita bersama kembali belajar bersyukur kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya syukur. Tidak hanya melalui doa-doa berbahasa asing (yang mungkin kita juga tidak faham betul artinya). Sementara dalam berdoa tersebut kita meratapi diri kita sendiri, meratapi kebodohan kita. Seakan-akan kita berkata, Yaa Allah, aku bersyukur kepadamu dengan segala kebodohan ini. saya yakin, bukan itu yang Dia maksudkan dalam perintah syukur. Mari kita bersama menemukan potensi-potensi hebat yang dianugerahkan kepada kita. Mari bersama kita bersyukur sebenar-benarnya syukur, bersyukur hingga terkubur kelak.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *