Masjid Kiblatain

Setelah beberapa pekan ‘Friday Story’ absen dari website kita tercinta ini, kini kembali dengan suguhan artikel yang tidak kalah menariknya. Bukan hanya dari cerita-cerita hikmah setiap hari Jum’at. Tetapi juga tentang sejarah situs-situs Islam sebagai penambah wawasan kita semua. Kali ini, ‘Friday Story’ akan menampilkan sejarah Masjid Kiblataini (Masjid dengan dua kiblat) yang terletak di Kota Nabi, Madinah Al-Munawarroh. Berikut sajiannya:
Dikisahkan ketika Rasulullah sedang melakukan shalat Dzuhur (riwayat lain menyebutkan shalat Ashar) berjamaah di Masjid Kiblatain, mendadak turun wahyu (Q.S. Al-Baqarah:114) yang memerintahkan mengubah arah kiblat dari Masjidil Aqsa di Palestina (utara) ke Ka’bah di Masjidil Haram di Mekkah (selatan).

“Sungguh Kami melihat mukamu, menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya dan ALLAH sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”

Padahal, ketika turun wahyu tersebut shalat telah berlangsung dua rakaat. Maka begitu mendengar wahyu tersebut, serta merta Rasulullah dan diikuti oleh para sahabat langsung memindahkan arah kiblatnya atau memutar arah 180 derajat. Peristiwa perpindahan kiblat itu dilakukan sama sekali tanpa membatalkan shalat. Juga tidak dengan mengulangi shalat dua rakaat sebelumnya. Ayat itu sendiri adalah ayat yang diturunkan kepada Rasulullah yang telah lama mengharapkan dipindahkannya kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram.

Peristiwa yang terjadi pada tahun 2 H, atau tepatnya 17 bulan setalah nabi Muhammad hijrah ke Madinah itulah yang menjadi cikal bakal pemberian nama Masjid Kiblatain yang berarti dua kiblat. Sebelum dinamai Kiblatain karena perubahan arah kiblat itu, masjid yang terletak di atas bukit kecil di utara Harrah Wabrah, Madinah, itu bernama Masjid Bani Salamah.

Tadinya di dekat Masjid Kiblatain ada telaga yang diberi nama Sumur Raumah, sebuah sumber air milik orang Yahudi. Mengingat pentingnya air untuk masjid, maka atas anjuran Rasulullah, Usman bin Affan kemudian menebus telaga tersebut seharga 20 ribu dirham dan menjadikannya sebagai wakaf. Air telaga tersebut hingga sekarang masih berfungsi untuk bersuci dan mengairi taman di sekeliling masjid, serta kebutuhan minum penduduk sekitar. Hanya bentuk fisiknya sudah tidak kelihatan, karena ditutup dengan tembok.

Dalam perkembangannya, pemugaran Masjid Kiblatain terus-menerus dilakukan, sejak zaman Umayyah, Abbasiyah, Utsmani, hingga zaman pemerintahan Arab Saudi sekarang ini. Pada pemugaran-pemugaran terdahulu, tanda kiblat pertama masih jelas kelihatan. Di situ diterakan bunyi QS. AlBaqarah: 114, ditambah larangan bagi siapa saja yang shalat agar tidak menggunakan kiblat lama itu.

Berziarah ke Masjid Kiblatain mengandung banyak hikmah. Selain ibadah shalat wajib dan sunat di sana, jamaah dapat juga memetik ibrah (suri teladan) dari para pejuang Islam periode awal (as-sabiqunal awwalun) yang begitu gigih menyebarkan risalah Islamiyah, melaksanakan perintah ALLAH SWT baik dalam segi ibadah mahdlah (ritual), seperti berjamaah, mengganti kiblat, dan menyucikan diri, maupun dalam segi ibadah ghair mahdlah (sosial) seperti menyisihkan harta untuk kepentingan umat, untuk memugar masjid dan lain sebagainya.

Bersyukur adalah suatu yang bukan hanya wajib diutarakan manusia, tetapi juga harus menjadi sebuah kebutuhan utama, laiknya aktifitas makan dan minum tuk membugarkan tubuh dalam beraktifitas. Karena setiap partikel yang mengalir dalam aliran darah tubuh manusia, adalah sesuatu yang tak bisa terbantahkan oleh dunia medis manapun, bahwa ada kekuatan besar yang mengendalikan semua peredaran itu. Tak ada celah sedikit pun tuk membanggakan diri, karena manusia dapat berdiri tegak sekalipun adalah unsur dari kekuatan Maha Dahsyat yang mengalir pada otot-otot penegak tubuh -yang tentunya- melalui kendali yang sangat detail dan sempurna. Tak ayal, dalam salah satu surat-Nya, ALLAH SWT menegaskan manusia dengan sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab, namun patut direnungkan. “Karunia-Ku mana lagi yang akan kau dustakan (?)”, berulang-ulang ALLAH memberikan peringatan kepada manusia agar selalu mensyukuri apa yang telah diberikan kepadanya. Meski, sesungguhnya kemuliaan dan kebesaran ALLAH tak kan pernah redup jika seluruh makhluk di jagad raya tak ada satupun yang bersyukur. Sebaliknya DIA mengajari manusia untuk pandai bersyukur, karena efek dari rasa syukur itu akan dirasakan kembali oleh makhluk-Nya. Demikian juga yang dirasa oleh Cordova, rasa syukur yang tiada tara karena diberikan kesempatan menjadi bagian dari pelayan tamu-tamu-Nya.

Perencanaan yang matang, pelayanan yang terbaik, dan fasilitas yang memuaskan adalah ikhtiar manusia menuju sebuah kesempurnaan ibadah. Tetapi Cordova meyakini bahwa semua unsur yang melengkapi perjalanan suci itu, tiada lain adalah karena keridhaan dan kemurahan ALLAH yang diberikan pada kami. Sehingga, tak ada rasa ujub secuil pun untuk mengatakan ‘Haa Anadza’ (inilah kami) dengan dada yang terbusung. Karena -sekali lagi- semua itu berawal dari ‘sentuhan’ Ilahi yang begitu dahsyat. Meski pelayanan yang Cordova berikan masih sangat jauh dari sempurna, tapi dengan hati yang sangat tulus, kami masih berharap menjadi pelayan tamu-tamu ALLAH selama badan masih terkandung hayat.

Betapa karunia ALLAH SWT begitu jelas terasa sejak awal smartHAJJ Cordova mencanangkan niat untuk memberikan pelayanan haji maupun umrah. Dengan segala proses birokrasi manusia, hingga masalah non teknis yang terjadi di Tanah Suci, dengan smooth ALLAH mendesain jalan keluar dari segala macam permasalahan. Keberkahan dan keharmonisan yang terjalin antara smartHAJJ dan HajjGuard Cordova terbangun begitu indah. Tak ada keraguan terlebih sifat saling mencurigai antara kita, yang terjadi justru jalinan emosional yang tertumpah saat bersama mendamba kemabruran haji.

Terimakasih Yaa ALLAH, atas segala kenikmatan yang kami rasakan. Atas limpahan karunia yang kami dapatkan, dan jalinan ukhuwah yang terbangun melalui tamu-tamu agung-Mu. Sehingga persaudaran kami kan terus berlanjut mengarungi samudra hidup yang masih tertapak. Jadikanlah semua keindahan ini sebagai motivasi tuk bisa lebih memberikan sesuatu yang terbaik untuk tamu-tamu suci-Mu.

Thanks to ALLAH adalah ungkapan hati yang kan terus bersemi dalam setiap langkah yang kami hadapi!

Eksplorasi seorang penjelajah semisal Ibnu Batuta, Marcopolo dan juga Christopher Columbus menciptakan ruang pikir yang lebih wise dalam memandang suatu perbedaan. Ragam yang ditemukan pada pertualangan mereka ini menjadi sebuah cerminan bahwa alam yang tercipta adalah Suguhan Maha Karya yang patut disyukuri. Setiap penjelajah pasti memiliki alasan untuk berkelana menembus samudra dan daratan luas. Jika sejatinya sosok Columbus ini adalah petualang sejati, maka Marcopolo sesungguhnya hanyalah seorang pedagang yang juga memiliki jiwa petualang. Namun berbeda dengan Ibnu Batuta, ia justru seorang teologis, sastrawan dan juga cendekiawan. Setiap mil yang dilangkahinya selalu menciptakan hembusan religi yang semakin kuat pada pemuda asal Afrika, Maroko ini. awal perjalanan ia tapaki saat melakukan perjalanan haji-nya. Dan justru setelah melaksanakan ibadah ini, ia mulai tergerak untuk memulai sebuah perjalanan besar pada saat itu. semuanya terdorong untuk lebih memahami betapa besar dan luasnya dunia ciptaan-Nya.

Sehingga setiap tapak yang terjejak, menjadi bahan renungan tuk mensyukuri segala yang terjadi di muka Bumi. Jika dulu mereka hanya menggunakan kapal laut, hewan, dan bahkan berjalan kaki, kini kita berpetualang menggunakan jalur udara. Tetapi substansi jelajahnya sama, yakni merasakan bagaimana menempuh pertualangan negeri orang dengan menyaksikan segudang perbedaan setiap etape-nya, mempelajari bagaimana suatu bangunan menjulang tinggi, bagaimana adat suatu daerah berbeda dan sejuta pernik lainnya dalam berpetualang.

Berpetualang adalah sebuah perjalanan yang sangat indah, selain menyaksikan bagaimana negeri yang dituju, ia juga dapat mengeksplor peristiwa langka yang dirasakan sekali seumur hidupnya. Banyak cerita mengagumkan untuk dijadikan pelajaran hidup bagi khalayak ramai. Dan berjuta kisah yang memberikan inspirasi tuk lebih pandai mensyukuri anugerah yang ada. Konsep perjalanan yang diterapkan Ibnu Batuta sebagai wahana menambahkan rasa syukur atas Karunia Maha Pencipta. Mambaca, memahami dan mengaktualisasikan segala yang positif menjadi sesuatu yang bernilai.

Tak berlebihan jika kini (atas karunia ALLAH SWT) Cordova telah melakukan perjalanan ke belahan Bumi yang penuh dengan ragam pesona dan jutaan cerita. Bukan hanya me-mimpi-kan lagi, sekarang kita mencoba untuk menguraikan impian semua destinasi pilihan masyarakat luas. Tentunya pelesir menuju tempat-tempat impian itu, memberikan pertualangan yang mampu menggugah kita untuk menciptakan sesuatu hal baru yang tidak pernah terjadi di tempat kita berasal.

Atas izin dan karunia-Nya, Cordova berusaha menciptakan perjalanan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Bismillah

Artikel ringan kali ini, mengupas tentang sebuah cerita yang mungkin sudah tidak asing lagi, kalaupun kita sering membacanya, mungkin bisa menjadi sebuah pengingat tentang arti sebuah kepedulian. Cerita yang mengajarkan kita bahwa manusia tercipta komplit dengan seperangkat penopang yang membuat hidupnya survive. Cerita ini dimulai ketika sepasang suami istri petani pulang ke rumah setelah berbelanja. Saat membuka barang belanjaan, seekor tikus memperhatikan dengan seksama sambil menggumam, “Hmmm…makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar (?)”. Ternyata, salah satu yang dibeli oleh petani ini adalah perangkap tikus. Tentunya sang tikus kaget bukan kepalang. Ia segera berlari menuju kandang ayam dan berteriak. “Ada perangkap tikus di rumah!….di rumah sekarang ada perangkap tikus!….”

Sang Ayam berkata, “Tuan Tikus, aku turut bersedih, tapi itu tidak berpengaruh terhadap diriku”. Sang Tikus lalu pergi menemui seekor Kambing sambil berteriak ketakutan. Sang Kambing pun berkata, “Aku turut bersimpati…tapi tidak ada yang bisa aku lakukan.”
Tikus lalu menemui Sapi. Malang, ia mendapat jawaban yang sama. ” Maafkan aku, tapi perangkap tikus tidak berbahaya buat aku sama sekali”.

Ia kemudian lari ke hutan dan bertemu ular. Sang ular berkata, “Ahhh…Perangkap Tikus yang kecil tidak akan mencelakai aku”. Akhirnya Sang Tikus kembali ke rumah dengan pasrah mengetahui jika ia akan menghadapi bahaya sendiri. Semua hewan yang ia kunjungi tiada respect terhadap kendala yang dia rasakan. Tak peduli mara bahaya yang akan dihadapinya. Mereka merasa aman dari sebuah perangkap tikus yang tiada hubungannya dengan krisis keamanan dirinya. Bersembunyi mencari aman.

Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara keras perangkap tikusnya berbunyi menandakan telah memakan korban. Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular berbisa. Buntut ular yang terperangkap membuat ular semakin ganas menyerang dan menggigit istri pemilik rumah. Walaupun sang Suami sempat membunuh ular berbisa tersebut, sang istri tidak sempat diselamatkan.

Sang suami harus membawa istrinya ke rumah sakit dan kemudian diperbolehkan pulang, namun beberapa hari kemudian istrinya tetap demam. Ia minta dibuatkan sop ceker ayam oleh suaminya (sop ceker ayam sangat bermanfaat untuk menghangatkan tubuh dan mengurangi demam). Suaminya dengan segera menyembelih ayamnya untuk dimasak cekernya. Sudah beberapa hari, sakitnya tidak kunjung reda. Seorang teman menyarankan untuk makan hati kambing. Ia lalu menyembelih kambingnya untuk mengambil hatinya.

Masih, istrinya tidak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dunia. Banyak sekali orang bertakziah datang pada saat pemakaman. Sehingga sang Petani harus menyembelih sapinya untuk memberi makan orang-orang yang melayat. Dari kejauhan…Sang Tikus menatap dengan penuh kesedihan. Beberapa hari kemudian ia melihat Perangkap Tikus tersebut sudah tidak digunakan lagi.

Nilai yang dapat kita simpulkan dari cerita ini adalah ‘Suatu hari, ketika kita mendengar seseorang dalam kesulitan dan mengira itu bukan urusan kita, maka mari kita pikirkan sekali lagi…’

Sebelum mengulas lebih jauh, ada sebuah pertanyaan yang cukup serius namun bisa jadi jawabannya akan sangat mencengangkan. ‘Jika suatu saat kita meninggal, akankah anak cucu kita takut terhadap kita (?)’. Takut melihat jasad kita yang terbungkus kafan, seperti takutnya mereka melihat adegan pocong dalam tayangan-tayangan televisi. Bahkan bisa juga bekas pembaringan kita, pemandian kita dan ruangan yang dikujurkan tubuh kita mereka takuti. Jika jawabannya adalah benar, mereka takut terhadap ‘jasad’ kita, maka sungguh skenario besar telah berhasil di hembuskan pada generasi muslim dekade ini. Sadar ataupun tidak, arus perusakan sistem kontrol Islam telah dihancurkan tepat pada pola pikir dan mindset generasi penerus bangsa, terlebih bagi para umat Islam yang terus di bom-bardir dari segala penjuru. Lepas terlebih dulu anggapan bahwa itu hanyalah sebuah kebetulan, atau hiburan-hiburan yang di ekploitasi menjadi sebuah komoditi bisnis, yang suka boleh lihat, yang tidak tinggal matikan televisi. Tidak semudah itu, marilah kita lihat bersama dengan seksama, bahwa tayangan-tayangan ‘hantu’ atau mistis yang meng-atasnamakan agama adalah sebuah ‘kejahatan’ yang terorganisir.

Kenapa disebut sebagai kejahatan yang terorganisir (?) bagaimana tidak dikatakan sebuah kejahatan, jika nilai luhur Islam menjadi sangat dangkal dengan tayangan-tayangan musyrik. Hanya demi menaikkan rating atau popularitas sebuah acara. Belum lagi jika kita harus merunut tentang sebuah ‘kepentingan’ media itu. Orang dan pihak yang berada dalam skenario besar itu, tentunya Penghancuran! Benar bahwa sebagian masyarakat kita sudah sangat apriori dengan ungkapan ‘konspirasi zionis’ atau apalah yang menurut mereka terlalu ‘dilebay’kan. Tapi jujurlah pada nurani kita, apakah siaran-siaran televisi yang ‘seram’ dengan bumbu-bumbu kemusyrikan massive akan mempengaruhi pola pikir seorang anak (?). Mereka sudah bisa memfantasikan bagaimana bentuk makhluk ghaib, mereka juga diajarkan agar memiliki mental penakut, pun jika dibilang berani, mereka berani pada hal-hal kemusyrikan belaka.

Jika mau jujur, di negeri ini, salahsatu lahan komodifikasi yang lazim ditayangkan di televisi kita adalah agama. Agama adalah ‘barang seksi’ yang bagi mereka akan menjadi mesin pencari uang yang fantastis. Agama dengan beragam perniknya menjadi lahan yang senantiasa tidak pernah kering untuk di eksplorasi sekaligus di eksploitasi ke dalam berbagai bentuk tayangan. Mirisnya, ranah agama yang banyak mereka nikmati sebagai lahan bisnisnya adalah kehadiran dunia-dunia mistik yang ‘nyeleneh’ dan keluar dari tauhid Islam.

Dalam film-film itu digambarkan bagaimana makhluk-makhluk aneh berwajah putih pucat, bertaring dan sedikit darah menempel mengalir di sisi bibir dengan kostum putih membalut seluruh tubuh, laiknya kain kafan. Mereka berjalan menakuti-nakuti setiap orang yang melihatnya. Tidak jarang, tayangan ‘murahan’ itu mengekploitasi sexual sebagai bumbu yang akan dinikmati jutaan orang muslim Indonesia.

Perlakuan seperti ini jelas-jelas pelecehan terhadap ajaran Islam, karena hanya dalam Islam lah orang yang meninggal diberi kain kafan. Sementara Islam tidak pernah mengajarkan bahwa orang yang sudah meninggal akan hidup kembali dan melakukan aktifitas menakut-nakuti. Cerita dan tayangan ini tidak hanya akan mendangkalkan akidah umat, tetapi juga mempengaruhi seorang muslim yang belum memahami konsep Islam secara kaffah.

Baiklah, jikapun kita menutup mata akan semua yang telah terjadi, namun akan miris kah jika pertanyaan diatas ditunjukkan kepada anak-cucu kita, lalu mereka benar-benar takut pada jasad orangtuanya yang terbalut kain kafan. Masya ALLAH

Rasanya banyak yang tidak menyadari bahwa jiwa kita setiap hari mengalami kematian. ‘berwisata’ ke suatu alam yang dikenal dengan Barzah. Bertemu dengan roh-roh yang telah tidak ada. Bersenda gurau dan bercengkrama dengan sosok yang telah lama pergi, mungkin orangtua kita, mungkin juga orang-orang yang kita cintai lainnya yang telah wafat. Yah, kita mengalaminya ketika dalam keadaan tidur. Pada saat itu, ruh dikeluarkan oleh malaikat dengan seizin ALLAH SWT dari jasad manusia dan dibawa ke suatu tempat di luar alam dzohir. Seperti firman ALLAH dalam surat Az-Zumar “ALLAH memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka DIA tahanlah jiwa (orang) yang telah DIA tetapkan kematiannya dan dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan ALLAH bagi kaum yang berfikir” (QS. Az-Zumar : 42).

Maksud spesifiknya adalah orang-orang yang mati itu rohnya ditahan ALLAH, sehingga tidak dapat kembali kepada tubuhnya, dan orang-orang yang tidak mati, hanya tertidur saja, rohnya dilepaskan sehingga kembali pada jasadnya. Jika demikian, maka dinding pemisah antara tidur dan mati hanya terletak pada iradah-NYA. Karena pada hakikatnya kita semua mengalami kematian dalam tidur. Mari kita simak bagaimana Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk berdoa sebelum tidur, “Dengan menyebut nama-MU ya ALLAH aku hidup dan menyebut nama-MU aku mati” (HR.Muslim). Jelas bahwa doa itu adalah doa untuk persiapan kita berada dalam persimpangan antara hidup dan mati.

Pun dengan sunnah Rasul yang mencontohkan kepada kita, sebelum pulas tidur agar selalu berada dalam keadaan suci, atau senantiasa dalam keadaan ber-wudlu, sehingga jika ruh kita tidak kembali menuju jasad duniawi, atau tiba saat ajalnya, maka ruh dan jasad kita berada dalam kesucian air wudlu dalam menghadap-NYA. Itulah kenapa ada semacam spirit umat Islam yang mengatakan ‘Hayatuna Kulluha Ibadah’ (hidup kami semuanya adalah ibadah). Tidur pun menjadi ibadah ketika nama ALLAH senantiasa bersemayam dalam jiwa kita yang akan lepas menuju alam Barzah. Karena kita tidak pernah tahu apakah setelah tidur, kita diberikan kesempatan lagi oleh ALLAH untuk bangun di esok hari, atau meninggalkan keberadaan jasad kita di tengah makhluk-makhluk tercinta, anak dan istri.

Seperti halnya kematian, maka tidur pun sesungguhnya memiliki nasihat. Yah, diamnya adalah nasihat. Tidak pernah berkata-kata, tidak pernah melongok. Nasihat itu bisa membuat kita lupa dengan indahnya dunia. Keindahan-keindahannya tidak diperdulikan lagi, kita menjadi sangat pelupa. Dan meyakini semua itu hanya fana. Bahwa keindahan itu hanya sementara, bahwa hidup itu sebentar saja, bahkan sebelum kita sempat sadar, -bisa saja- ternyata hidup kita telah berakhir. Kematian setiap harinya mengelilingi kita, Malaikat Izrail –tanpa disadari- berada ditengah kehidupan kita, disela kerongkongan nafas kita, menanti waktu tepat untuk mencabut nyawa kita.

Semoga kita diberikan khusnul Khatimah, akhir yang baik dengan kemudahan syakaratul maut. Allahumma Amiin

ALLAH tetap menerbitkan Matahari di ufuk Timur, tak peduli –walau- se isi Jagad Raya mengkafiri-NYA. Meski manusia sepenuhnya enggan sujud kepada-NYA. DIA tetap memberikan hajat semua makhluk ciptaan-NYA. karena DIA lah Dzat yang memberikan limpahan kasih kepada setiap manusia yang beriman dan tidak. Manusia bersyukur atau tidak. Pernah suatu ketika Nabi Ibrahim AS. Kedatangan tamu dari negeri sebrang. Tamunya adalah seorang hamba yang taat menyembah dewa api, seorang Majusi. Ia mendengar kenabian Ibrahim di negerinya, dan ingin mengenal lebih jauh tentang risalah yang dibawa Khalilullah Ibrahim As. Lalu ia minta izin tinggal bersama Nabi Ibrahim selama 3 hari, untuk merasakan bagaimana risalah yang ada pada diri seorang Nabi. Akan tetapi Beliau menolaknya, dan memberikan syarat agar meninggalkan agamanya terlebih dulu, serta meyakini ajaran Hanifah yang dibawanya jika hendak menginap di rumahnya. Merasa ditolak oleh seorang Nabi, ia pun meninggalkan dengan rasa sakit yang mendalam.

Setelah tamunya pergi, ALLAH SWT menegur Nabi Ibrahim karena telah menolaknya. “Apa kerugianmu jika engkau menerima tamu itu, walaupun ia mengingkari dan mengkafiri-KU, AKU yang telah memberinya makan dan minum kepadanya selama 70 tahun, tidak pernah mendzoliminya”. Subhanallah. Setelah menerima wahyu tersebut, Nabi Ibrahim sangat menyesal atas tindakannya, dan segera mencari orang Majusi itu. Ketika bertemu dengannya, beliau segera meminta maaf dan mengajak untuk kembali ke rumahnya. Orang Majusi pun teramat heran dengan sikap Nabi Ibrahim yang berubah total dengan penolakan yang dilakukan kepadanya. “Sungguh aneh, tadi engkau mengusirku, tapi sekarang mengajakku pergi ke rumahmu (?)”, tanyanya dengan penuh rasa heran.

Nabi Ibrahim pun menceritakan tentang wahyu yang diterimanya, bahwa ALLAH SWT tidak pernah mendzoliminya meski dia orang yang kufur terhadap ALLAH. “Sungguh baik Tuhan-mu memperlakukan aku seperti itu, meskipun aku tidak beriman kepadanya, tanpa harus mengulur waktu, aku bersaksi di depanmu bahwa tiada Tuhan selain ALLAH, dan engkau adalah nabi ALLAH”.

Demikianlah ALLAH SWT, Dzat yang tiada pernah luput dari tidur untuk melihat dan memberikan karunia kepada semua makhluknya di muka Bumi. Tidak hanya itu, DIA pun senantiasa merindukan hamba-hambaNYA yang berpaling untuk kembali kepada fitrah Islam. Kembali kepada cinta hakiki-NYA.

DIA tidak pernah dzolim kepada makhluknya, namun sebaliknya, kita selaku manusia yang justru selalu mendzolimi diri sendiri, sehingga lupa akan segala karunia-NYA.

Suatu saat Rasulullah SAW didatangi seorang pemuda yang hatinya telah mantap untuk memeluk Islam, namun syahwatnya masih belum bisa terkendali. Ia pun mengutarakan maksudnya dengan dibumbuhi syarat yang ‘aneh’. “Wahai Rasulullah, aku ingin masuk Islam, tapi izinkan aku tetap berzina”. Seperti biasa, Rasulullah tidak marah, beliau tersenyum dan meng-iya-kan permintaannya dengan hanya memberikan satu pesan “Tapi kamu jangan berdusta!”. Syarat dilawan pesan. Pemuda itu pun menyanggupi dan menepatinya. Siapa sangka, ternyata belakangan pesan itu adalah strategi ‘penyembuhan’ bagi si pemuda yang kadung terjebak oleh putaran nafsu. Lalu Rasul pun mulai ‘menyerang’ dan memainkan strategi itu sedikit demi sedikit. Di lain hari, Rasul mendatangi dan menyapanya “Bagaimana kabarmu (?)” Sapa Rasulullah SAW. “Alhamdulillah ya Rasulullah”, jawabnya singkat. “Apakah kamu masih berzina hari ini (?)” pertanyaan Rasul yang langsung menohok pada si pemuda itu. “Masih Ya Rasulullah” sebuah jawaban jujur yang membuat merah semua mukanya karena rasa malu yang besar.

Pertanyaan yang terus menerus di ‘mainkan’ Rasul kepadanya. Bagi hati yang masih memiliki nurani, pemuda itu menghentikan ‘kegiatan’ zinanya hanya karena tidak ingin berdusta pada Rasulullah SAW. Awal yang mudah, dan diakhiri dengan niatan luhur sehingga terlepas dari belenggu nafsu yang menjerat. Lalu timbul sebuah pertanyaan; Kenapa Rasulullah membiarkan pemuda itu terus berzina (?) Dan apa hubungan syarat itu dengan pesan Rasul yang melarang berdusta (?). itulah strategi ‘berperang’ tanpa memerangi secara langsung. Politik dakwah yang tidak membidik kebathilan tepat di kepala. Dalam sebuah sumber, bahwa gelitikan di telapak kaki pun dapat membuat lawan mati kejang.

Artikel ringan ini, sebenarnya mengajak kita untuk bersama membenahi diri, melakukan otokritik terhadap apa yang telah kita lakukan untuk Islam serta bagaimana menyuguhkan Islam yang indah. Bukankah hancurnya keindahan budaya Islam disebabkan oleh banyaknya paradigma yang bergelut dengan pola pikir Islam itu sendiri. Banyak sesuatu kewajiban yang sudah sangat jelas, namun dipelintirkan atau disesuaikan dengan kondisi kita sendiri. Sebut saja dengan penggunaan (pemakaian) jilbab (kerudung) yang selalu saja dihubung-hubungkan dengan permasalahan siap atau tidak siap. Atau masalah zakat yang melulu menunggu harta kita bertambah. Sampai pada akhirnya, melaksanakan ibadah haji selalu tak kunjung terealisasi lantaran selalu berlindung pada kata jika mampu.

Memang disadari, kini dunia Islam terjangkit budaya hedonis dan akut berpola hidup kapitalisme. Pola kapitalisme yang benar-benar hanya diarahkan ke duniawi saja. Padahal sesungguhnya pola hidup kapitalisme itu tidak selalu negatif. Andai saja konsep balance bisa diterapkan, yakni; Dalam mengejar dunia kita seolah akan hidup 1000 tahun lagi, dan ketika ingat akherat seolah mati esok hari, maka kapitalisme with Qalbu akan bisa terwujud. Juga Andai para ‘juru dakwah’ memiliki kemampuan komunikasi yang canggih terhadap umat, maka apa yang dikatakan tentang kebenaran Islam, akan mudah diserap tanpa tendeng aling-aling, tanpa alasan. Karena memiliki strategi dakwah tanpa ‘berperang’.

Mengapa semua ini terjadi (?) Mengapa umat Islam masih saja terpuruk (?) jawabannya, karena kita selaku muslim masih setengah-setengah dalam mengaplikasikan hukum dan budaya Islam yang indah. Karena kita selalu enggan untuk saling mengingatkan. Karena kita selalu merasa yang paling benar. Karena kita selalu saja merasa besar.

Ungkapan total footbal yang menganggap menyerang adalah pertahanan yang ideal nampaknya sangat beralaskan, sebatas penyerangan itu tak berpotensi ‘perang’. Kini saatnya kita meniupkan semangat untuk menyerang tanpa melakukan peperangan. Tentunya dengan menyentuh sendi-sendi kehidupan Islam dengan syariat yang berlaku. Selagi jiwa masih mendekap badan, selagi nafas berteman jiwa, selagi rasa berkawan raga. Kita bisa, karena Allah berkenan…

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak membiarkan sesuatu yang berbentuk salib kecuali pasti ia hilangkan” (HR. Bukhari, Abu Daud dan Ahmad).

Sejak berakhirnya perang salib dengan kemenangan pasukan Shalahudin Al-Ayubi (yang) sekaligus membebaskan tanah suci Palestina dari cengkraman Nasrani pada tahun 1192 M. Mereka (Nasrani) beserta kolega-kolega bangsa Yahudi sepakat untuk membuat sebuah sistem penghancuran muslim dengan perangkat yang berbeda. Dengan memahami kekuatan orang Islam dalam berperang, maka mereka mengalihkan –sementara- pertempuran dengan mengangkat senjata. Mereka sadar, umat Islam tidak akan mudah dikalahkan saat berada di medan tempur. Sehingga mereka berupaya untuk menghancurkan Islam melalui pemikiran. Sadar atau tidak, mereka telah berhasil menghancurkan kekuatan Islam dengan sangat smooth beberapa abad ini melalui ghazwu al Fikr (perang pemikiran).

Lalu apa hubungannya dengan ‘symbol’ yang dimaksud tema diatas (?) Yah, simbol-simbol yang mereka (Yahudi dan Nasrani) tampilkan adalah bagian dari sistematis ghazwu al fikr. Kaum Yahudi modern sangat terkenal dengan simbol-simbol. Sehingga ada studi tersendiri yang mengkaji soal simbol-simbol itu. Simbol yang ditampakkan di depan umum, adalah semacam ‘deklarasi’ bahwa organisasi, kelompok, perusahaan tertentu masih satu bagian dari gerakan mereka. Siapa yang memakai simbol itu, baik paham ataupun tidak dengan yang ia kenakan, maka itu dianggap sebagai kawan, siapa yang tidak memakai, dianggap orang luar.

Ada beberapa orang Islam yang berbeda memandang simbol-simbol tersebut. Ada yang merasa biasa saja, seolah tidak tahu bahwa lambang-lambang (di luar keyakinannya itu) tidak membawa madharat sedikit pun baginya. Bahkan merasa bangga jika ia memakainya. Itulah perangkap yang sejatinya telah berhasil mengunci ‘pikir’ bahwa hal demikian biasa saja. Apatis terhadap sebuah ideologi. Padahal Rasulullah SAW benar-benar telah mewanti akan simbol-simbol kaum yang membenci umat Islam.

Ibnu Hajar Al-Asqolani seorang ulama terkemuka menjelaskan bahwa maksud menghilangkan simbol salib yang tertera dalam hadist Rasul diatas diantaranya dengan cara menghapus jika berupa ukiran di tembok, menggosoknya atau mencoretnya hingga bentuknya tidak tampak. Namun jika tidak mampu melakukannya dengan tangan, maka bisa dengan urutan yang rasul sabdakan ketika melihat suatu kemungkaran. Dengan lisan dan hatinya.

Demikianlah Rasulullah SAW yang memperlihatkan, bagaimana Beliau begitu membenci simbol-simbol umat yang senantiasa memerangi umat Islam. Kendati ‘terasa’ biasa saja dan –mungkin- sebagian orang menyepelekan makna sebuah simbol. Tapi tidak dengan Rasul, simbol yang tampak benderang adalah sebuah perlawanan yang begitu jelas pada semangat ketauhidan.

Biasanya simbol-simbol itu digunakan orang untuk menarik perhatian kekuatan gelap. Mungkin –juga- sebagian dari kita belum sepenuhnya menyadari kekuatan ‘misterius’ dari ‘simbol-simbol’ yang digunakan. Terkadang digunakan sebagai kalung yang melingkar leher, menjadi gelang di pergelangan tangan, atau menyimpannya di dalam kamar. Simbol-simbol itu –sesungguhnya- bukan gambar tak bermakna, namun ada semacam kekuatan jahat di baliknya. Kalaupun tidak ada, maka kita bisa terjatuh pada sebuah hukum tasabbuh jika mengenakannya.

Maka tidak aneh jika ada sebagian orang yang benar-benar konsen untuk mem-protect keyakinannya dengan sangat kokoh. Berdiri diantara perlawan ghozwul fikr yang memerangi Islam secara sporadis, baik berupa simbol yang sengaja untuk me-rimender dan men-save otak untuk terus mengenang simbol itu, atau pun memang tanpa di sengaja.

Termasuk golongan manakah kita (?) Muslim yang cuek bei-beh dengan simbol-simbol itu (?) Atau sebaliknya seorang muslim yang dengan sekuat hati menjadi pembela risalah Nubuwah (?)

Semua orang –tentunya- telah paham bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa sebuah komunitas. Lebih lanjutnya kita tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan orang lain. Siapa pun itu, semua akan saling membutuhkan satu sama lain, seperti halnya sebuah bangunan yang berdiri kokoh, ia tidak bisa lepas dari unsur perekat yang bisa jadi peranannya sama penting untuk kekokohan konstruksi. Klasik –memang- membahas tentang solidaritas yang diibaratkan seperti bangunan itu, setiap orang sudah sangat hapal dan sering mendengar tentang bahasan ini. Namun teramat sering –pula- kita melihat dan merasakan bahwa filosopi “Saling merekat” diantara bangunan itu kian pudar termakan oleh keegoisan dan keserakahan diri. Betapa banyak komunitas yang terasa hambar persaudaraannya hanya karena hilangnya respect pada hal yang terjadi di depan hidungnya. Saling menyalahkan dan sembunyi ‘dibalik tirai rasa aman’ menjadi komoditi yang terus berkembang di masyarakat kita. Bahkan tidak mustahil dalam aktifitas keseharian kita.

Kita seakan lupa, bahwa Islam berkembang hanya dengan sebuah konsep silaturahmi yang menyolidkan rasa solidaritas. Risalah yang dibawa Rasulullah SAW dengan dua konsep pergerakan di dua kota Makkah dan Madinah, seharusnya memberikan pelajaran kongkrit bagi kita untuk melihat bagaimana keutuhan sebuah peradaban pada dimensi hubungan antar manusia. Atau menyatukan rasa solidaritas antara kaum muslim. Rasul berdakwah selama 10 tahun di kota Makkah untuk menyatukan tauhid manusia. Konsep Ilahiyyah yang terus dikonsentrasikan pada titik dakwah Makkiyah. Sedangkan di Madinah Rasulullah SAW lebih memfokuskan untuk menyatukan solidaritas umat Islam sebagai basic kekuatan selama 13 tahun. Lebih lama dari ‘sentralisasi’ tauhid di kota Makkah. Hal ini –bagi saya- menggambarkan bahwa konsep penyatuan rasa solidaritas antara muslim memasuki gerbang kompleks, yang menyamakan jiwa diantara perbedaan yang ada. Menyeragamkan rasa diantara warna yang terjadi, dan mengokohkan barisan diantara kelompok yang berbeda.

Tauhid adalah tentang suatu keyakinan, juga tidak lepas dari hidayah Dzat Pencipta, ALLAH SWT. Rasul cukup menyampaikan tentang ke-Wihdah-an ALLAH. Namun solidaritas adalah tentang sebuah rasa yang menyatu. Ia tidak bisa hanya disampaikan, namun jauh lebih dari itu, Beliau selalu memberikan perhatian rasa bagaikan satu anggota bagian tubuh lainnya. Semuanya dibangun atas dasar kesatuan tubuh, satu anggota sakit, maka anggota lainnya akan terasa nyeri. Demikianlah gambaran solidaritas muslim yang senantiasa di ajarkan risalah Nubuwah oleh Rasulullah tercinta.

Dewasa ini, kita bisa merasakannya. Bagaimana solidaritas itu lambat-laun hanya menjadi hiasan ‘verbal’ dalam sebuah kesempatan pidato. Rasa itu kian menipis jika tidak dikatakan lenyap sama-sekali. Kebersamaan rasa hanya mampu bertahan ketika kita bersama dalam kebahagiaan, namun entah jika terjadi sebaliknya. Apakah akan terus terjalin kekokohan bangunan itu, atau sedikit demi sedikit lenyap tergerus oleh keegoisan untuk mengamankan diri sendiri.

Gangster atau perkumpulan kriminal yang selalu membuat onar dan kekacauan saja bisa menampakkan aksi solidaritas diantara mereka, maka bagaimana kita takut untuk menyiarkan solidaritas diatas bangunan yang terbangun kokoh oleh sebuah nilai kebajikan (?) Tentunya lebih mulia dan indah untuk dijadikan nilai luhur umat Islam.

Semoga semakin banyak ‘serangan’ yang tertuju pada keutuhan umat Islam, kita selaku bagian dari perekat umat ini menjadi lebih solid merapatkan barisan itu. Sehingga ‘Loss of Solidarity’ tidak akan pernah terjadi diantara umat yang kini banyak ‘diguncangkan’.