Menyerang Tanpa Perang

Suatu saat Rasulullah SAW didatangi seorang pemuda yang hatinya telah mantap untuk memeluk Islam, namun syahwatnya masih belum bisa terkendali. Ia pun mengutarakan maksudnya dengan dibumbuhi syarat yang ‘aneh’. “Wahai Rasulullah, aku ingin masuk Islam, tapi izinkan aku tetap berzina”. Seperti biasa, Rasulullah tidak marah, beliau tersenyum dan meng-iya-kan permintaannya dengan hanya memberikan satu pesan “Tapi kamu jangan berdusta!”. Syarat dilawan pesan. Pemuda itu pun menyanggupi dan menepatinya. Siapa sangka, ternyata belakangan pesan itu adalah strategi ‘penyembuhan’ bagi si pemuda yang kadung terjebak oleh putaran nafsu. Lalu Rasul pun mulai ‘menyerang’ dan memainkan strategi itu sedikit demi sedikit. Di lain hari, Rasul mendatangi dan menyapanya “Bagaimana kabarmu (?)” Sapa Rasulullah SAW. “Alhamdulillah ya Rasulullah”, jawabnya singkat. “Apakah kamu masih berzina hari ini (?)” pertanyaan Rasul yang langsung menohok pada si pemuda itu. “Masih Ya Rasulullah” sebuah jawaban jujur yang membuat merah semua mukanya karena rasa malu yang besar.

Pertanyaan yang terus menerus di ‘mainkan’ Rasul kepadanya. Bagi hati yang masih memiliki nurani, pemuda itu menghentikan ‘kegiatan’ zinanya hanya karena tidak ingin berdusta pada Rasulullah SAW. Awal yang mudah, dan diakhiri dengan niatan luhur sehingga terlepas dari belenggu nafsu yang menjerat. Lalu timbul sebuah pertanyaan; Kenapa Rasulullah membiarkan pemuda itu terus berzina (?) Dan apa hubungan syarat itu dengan pesan Rasul yang melarang berdusta (?). itulah strategi ‘berperang’ tanpa memerangi secara langsung. Politik dakwah yang tidak membidik kebathilan tepat di kepala. Dalam sebuah sumber, bahwa gelitikan di telapak kaki pun dapat membuat lawan mati kejang.

Artikel ringan ini, sebenarnya mengajak kita untuk bersama membenahi diri, melakukan otokritik terhadap apa yang telah kita lakukan untuk Islam serta bagaimana menyuguhkan Islam yang indah. Bukankah hancurnya keindahan budaya Islam disebabkan oleh banyaknya paradigma yang bergelut dengan pola pikir Islam itu sendiri. Banyak sesuatu kewajiban yang sudah sangat jelas, namun dipelintirkan atau disesuaikan dengan kondisi kita sendiri. Sebut saja dengan penggunaan (pemakaian) jilbab (kerudung) yang selalu saja dihubung-hubungkan dengan permasalahan siap atau tidak siap. Atau masalah zakat yang melulu menunggu harta kita bertambah. Sampai pada akhirnya, melaksanakan ibadah haji selalu tak kunjung terealisasi lantaran selalu berlindung pada kata jika mampu.

Memang disadari, kini dunia Islam terjangkit budaya hedonis dan akut berpola hidup kapitalisme. Pola kapitalisme yang benar-benar hanya diarahkan ke duniawi saja. Padahal sesungguhnya pola hidup kapitalisme itu tidak selalu negatif. Andai saja konsep balance bisa diterapkan, yakni; Dalam mengejar dunia kita seolah akan hidup 1000 tahun lagi, dan ketika ingat akherat seolah mati esok hari, maka kapitalisme with Qalbu akan bisa terwujud. Juga Andai para ‘juru dakwah’ memiliki kemampuan komunikasi yang canggih terhadap umat, maka apa yang dikatakan tentang kebenaran Islam, akan mudah diserap tanpa tendeng aling-aling, tanpa alasan. Karena memiliki strategi dakwah tanpa ‘berperang’.

Mengapa semua ini terjadi (?) Mengapa umat Islam masih saja terpuruk (?) jawabannya, karena kita selaku muslim masih setengah-setengah dalam mengaplikasikan hukum dan budaya Islam yang indah. Karena kita selalu enggan untuk saling mengingatkan. Karena kita selalu merasa yang paling benar. Karena kita selalu saja merasa besar.

Ungkapan total footbal yang menganggap menyerang adalah pertahanan yang ideal nampaknya sangat beralaskan, sebatas penyerangan itu tak berpotensi ‘perang’. Kini saatnya kita meniupkan semangat untuk menyerang tanpa melakukan peperangan. Tentunya dengan menyentuh sendi-sendi kehidupan Islam dengan syariat yang berlaku. Selagi jiwa masih mendekap badan, selagi nafas berteman jiwa, selagi rasa berkawan raga. Kita bisa, karena Allah berkenan…

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *