Pada suatu kesempatan seorang teman pernah bercerita, bahwa dalam segala hal dirinya tidak bisa menjadi orang nomor dua di komunitasnya. Maksudnya, ia selalu harus menjadi pemenang dalam setiap bidang. Baik dalam kejuaraan olahraga, struktur organisasi, terlebih dalam peringkat akademis di kelasnya. Bertarung mendapatkan kursi teratas adalah sebuah kelaziman yang harus ia peroleh dimana dan kapan pun. Dalam kehidupannya, ia sangat memerlukan rasa ‘menaklukkan’, suatu rasa superior dan rasa menang terus berputar dalam langkah hidupnya. Ia merasa bahwa suatu ‘kemenangan’ selalu dimulai dari bagaimana ia menghargai pencapaiannya setiap hari. Ia merasa, tanpa rasa menang, sepertinya ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya.

Rasa-rasanya hanya di bulan Ramadhan saja, waktu menjelang Subuh jalanan masih ramai, denyut aktivitas masih hidup dan menghidupi banyak manusia. Kemungkinan juga, bulan Ramadhan saja yang bisa menciptakan kekuatan besar pemicu pergerakan ekonomi yang pesat. Karena pada ramadhan semua manusia muslim meyakini bahwa turunnya keberkahan dimulai dari spirit berbagi pada bulan ini. Sesungguhnya terdapat potensi besar dibalik konsumtifisme yang terjadi saat ramadhan. Ketika permintaan meningkat pesat, demikian pula dengan penawaran yang tak kalah tingginya. Maka saat itu terjadilah situasi dimana pada tingkat harga yang terbentuk, konsumen dapat membeli semua produk yang diinginkannya, dan menurut Vincent Gasperz, Ekonomi Manajerial, produsen pun dapat menjual semua produk yang diinginkannya. Istilah simple-nya, semua berputar merata dengan simpul-simpul penggerak ekonominya di masing-masing daerah.

Di bulan ini, ada semacam spirit berwirausaha yang menjamur. Masyarakat yang sehari-harinya bukan pedagang pun, saat ramadhan, tiba-tiba menjadi pedagang ‘dadakan’. Hingga muncul pasar-pasar rakyat atau bazar sore, mereka berlomba menjual aneka menu berbuka. Dan harus diakui ini menjadi pertanda bahwa ramadhan turut andil dalam kebangkitan ekonomi umat (atas keberkahannya), karena tanpa disadari, mereka telah menjadi pelaku langsung dalam berwirausaha, meskipun setelah ramadhan semuanya akan kembali seperti semula.

Di sisi lain, percaya atau tidak, setiap datang ramadhan uang belanja harian, atau bulanan akan mengalami lonjakan yang signifikan. Bahkan bisa jadi pendapatan bulanan bisa langsung ‘amblas’ dalam dua-tiga hari. Namun percayakah Anda, meski banyak pengeluaran yang tak terduga, namun rezeki pun selalu muncul tanpa duga dengan kenikmatan yang luar biasa. Mari kita perhatikan sedikit contoh bagaimana tidak melonjaknya pengeluaran saat berbuka saja; ada kolak, es buah, cendol ‘Elizabeth’, goreng-gorengan, kue basah dan beragam minuman lainnya. Ini hanya dessert lho’ belum makan beratnya sehabis sholat Maghrib. Biasanya selalu ingin makanan yang berbeda saat berbuka puasa, dilanjutkan setelah sholat tarawih, bisa berupa bakso, mie kocok, atau pun siomay dan batagor.

Tidak masalah sebenarnya, jika semua makanan itu bisa habis termakan dan sesuai dengan ruang kapasitas perut kita, karena tokh bulan ini, kita belajar untuk share kepada mereka yang sibuk berjualan mencari nafkah. Dimakan atau tidak oleh kita, pada saat itu, kita telah menjadi bagian perekat dalam pembangunan ekonomi umat, meski dalam skala kecil dan luput dirasakan.

So’ Ramadhan adalah waktu yang sangat baik untuk sharing –dan- akan lebih bermakna lagi jika terus berlanjut ‘sharing’ ini ke bulan-bulan selanjutnya. Karenanya, bahagia berbagi dalam ramadhan ini menjadi salahsatu fenomena sosial yang marak terjadi dikalangan masyarakat muslim kita.

-Tidak asal puasa-

Tak dipungkuri, sedari rembulan suci tampak di ufuk sana, cakrawala merubah segala peristiwa yang kan terjadi selama 720 jam menuju kefitrahan hakiki. Setiap insan beriman, bahu membahu menyongsong bulan penuh kehangatan, menyibak balutan lentera hitam-nya, menuju sebuah tingkatan ketakwaan yang tiada tara. Yah, Ramadhan menjadi magnet luar biasa bagi setiap muslim dimana pun berada. Semua bergerak mengarah keshalihan massif, semua berjalan menuju buih kecintaan-Nya. Karena memang Ramadhan tercipta sebagai “Mesin” pencuci segala kepongahan manusia. Berbeda dengan semua ibadah yang dilakoni, shaum Ramadhan adalah titik dasar yang mengikat sebenar-benarnya ketakwaan manusia pada Rabb-nya. Jika semua ibadah yang dilakukan dapat terukur oleh kacamata manusia, maka shaum hanya terukur oleh kekuatan Azza wa Jalla.

Seseorang tak mudah mengetahui bagaimana orang lain melakukan kewajiban puasa dengan baik, karena puasa adalah sebuah ketakwaan yang didedikasikan hanya untuk ALLAH SWT. Ibadah ini nyaris lepas dari sifat takabur atau riya tuk menampakkan keshaumannya, shaum pun bukan hanya sebuah ritual ketakwaan belaka, namun lebih merupakan kesinambungan ma’ruf antara dua alam, langit dan bumi.

Tak ayal, disetiap mengawali Ramadhan, setiap muslim di dunia, sebisa mungkin mencoba lepas dari kebiasaan buruk watak dan thabiat-nya. Jika –tak ingin- disebut sebagai “Shalih dadakan” maka kita dapat menafsirkan mereka berduyun-duyun menghormati sakralnya bulan suci umat Islam. Karena tiada yang tahu, ketika “kita” menjadi bagian dari para “shoimin” (orang yang berpuasa), maka segala noktah dalam jiwa kan terkuras bersih oleh keberkahan Ramadhan.

Dihubungkan dengan dimensi duniawi, maka sesungguhnya Ramadhan memiliki efek besar pada perjalanan ruh manusia sebagai makhluk sosial. Selain mengajarkan ketakwaan tinggi pada Sang Pencipta, Shaum dinilai menjadi kunci tuk meruntuhkan sikap rakus manusia. Ia juga mampu menjadi kendali rasa peka sesama manusia disekitarnya. Terlebih dipenghujung shaum kita nanti, Islam menggariskan sebuah kewajiban menyisihkan harta kita melalui zakat fitrah. Sungguh lengkap edukasi yang terdapat dalam Ramadhan, sehingga award yang dijanjikannya pun tak tanggung-tanggung bagi para shoimin yang ‘benar-benar shoim’, mereka kan kembali suci laiknya bayi merah yang mendapat lembaran baru dan bersih dari segala noktah.

Tak salah mengawali Ramadhan tahun ini, dengan segenap rasa, mari bersama membangun sebuah paradigma baru tentang ramadhan. Tidak asal puasa, tidak asal tarawih, tidak asal sedekah, tetapi menjadi puasa, tarawih, dan sedekah yang tidak asal-asalan. Seolah bulan suci ini adalah Ramadhan terakhir dalam hidup kita.

Ramadhan Kareem, Allahu Akram!

-Rindu iklimnya-

Sejak kecil kita telah dikenalkan dengan Ramadhan, kita semua tahu bahwa Ramadhan adalah bulan puasa, namun –rasanya- jarang kita mengerti apa arti Ramadhan dan makna yang terkandung dari kata “Ramadhan” itu sendiri. Secara bahasa ia berarti: Membakar, amat panas. Penyebutan bulan Ramadhan -bulan ke-9 pada kalender Hijriah- sesuai dengan kondisi pada bulan tersebut.” yakni panas membara. Rasa-rasanya kita patut bangga menyaksikan semangat ibadah yang timbul saat bulan Ramadhan tiba, namun dalam kebanggaan itu, ada celah yang membuat kita bersedih. Karena jika ditelusuri, fenomena yang ada, adalah seakan-akan masyarakat kita ‘menyembah’ Ramadhan, dan bukan menyembah Tuhannya Ramadhan, karena jika memang kita menyembah Tuhannya Ramadhan, maka tentu nilai ramadhan selalu tampak dalam ke-sebelas bulan lainnya. Efek dan kestabilan nilai itulah yang sejatinya para sahabat selalu ingin setiap bulan itu bernilai Ramadhan. Whatever (karena kita berada di masyarakat majemuk) -setidaknya- kita masih bangga bahwa di bulan ini banyak yang menjadikan sebagai bulan tobat massal. Terlepas apa selanjutnya yang akan kita lakukan setelah itu, karena tokh yang bisa merubah keteguhan hati itu hanya ALLAH SWT. Hanya pada saat Ramadhan itulah sebagai harapan besar untuk merubah segala tingkah di bulan-bulan lainnya.

Para ulama mengartikan ‘Ramadhan’ sebagai sebuah kata yang terbentuk dari lima huruf, dan setiap hurufnya memiliki makna tertentu yaitu : “Ra”: Rahmat (rahmat Allah), Mim: Maghfirah (ampunan Allah), Dhod: Dhommanun li al jannah (jaminan untuk menggapai surga), Alif: Amaanun min an nar (terhindar dari neraka) Nun: Nurullahi al Azizi al Hakim al Ghofuuri ar Rahiim (cahaya dari Allah SWT yang maha kuasa dan bijaksana, maha pengampun dan pengasih).

Saat kita telaah makna yang terkandung dalam kata ramadhan tersebut kita akan semakin meyakini bahwa datangnya bulan Ramadhan adalah membawa sebuah keberkahan dari ALLAH SWT untuk kita sebagai hamba-Nya. Hal ini sesuai sabda Nabi “Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, pada bulan tersebut engkau diwajibkan berpuasa dan dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka dan syetan-syetan di belenggu, dalam bulan tersebut ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barang siapa yang tidak mampu mendapatkan kebaikan bulan Ramadhan tersebut maka haramlah baginya surga. (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan Baihaqi).

Dari hadits di atas terdapat kaitan yang sangat erat dengan bulan Ramadhan itu sendiri, Rahmat dan Magfirah adalah dua sisi yang sangat erat bagaikan dua sisi pada uang logam yang tak terpisahkan, disaat ALLAH SWT menurunkan rahmat-Nya maka Maghfirah-Nya pun turun mengiringi, demikian juga sebaliknya. Ketika rahmat ALLAH SWT yang diiringi oleh maghfirah-Nya ini telah mengalir, maka jaminan mendapatkan surga dan terhindar dari neraka telah menanti.

Sejatinya menyambut Ramadhan tidak hanya ditampakkan dengan material saja, tetapi semua hati, raga dan apapun yang meliputinya bersatu menanti kehangatan Ramadhan. berseri dari hati, bersuka dari jiwa. Semuanya bersatu menyambut bulan suci-Nya. Ahlan wa Sahlan Yaa Sayyidus Suhur! We Love Ramadhan

Perencanaan adalah awalan yang menentukan. Perencanaan juga bisa mengindikasikan langkah yang diayunkan terkonsep dengan baik. Rencana adalah ‘makhluk’ yang masih berada dalam dunia khayal, bayangan yang terkontrol oleh alam pikir. Ia masih hal ghaib yang sulit terdeteksi oleh dunia riil, masih terkesan liar dan meletup-letup. Sebagian keberadaannya masih berada di luar kawasan otak. Perencanaan akan semakin fokus menjadi ‘makhluk utuh’ ketika tergiring pada sebuah ketetapan hati, yakni; niat. Dengan diikat oleh hati, maka keliaran-nya menjadi lunak dan cenderung taat. Hati menjadi komandan ‘makhluk’ yang bernama rencana. Sehingga memiliki spirit tuk segera bermetamorfosa menjadi nyata. Semua karya manusia awalnya dari sebuah perencanaan yang liar, sampai terikat oleh kekuatan niat tuk merubahnya. Sehingga dalam Islam, ALLAH menilai dan memberikan apresiasi (pahala) ketika sebuah kebaikan masih berada dalam dunia khayal (perencanaan). Jika rencana kebaikan –meski- tanpa aksi saja ALLAH memberikan apresiasi, lalu bagaimana jika semua itu berwujud menjadi aksi (?)

Bila setiap helaan nafas nyaris kosong oleh satu rencana pun, maka dapat dipastikan kita berada dalam langkah kerugian yang nyata. Karenanya, tidak salah jika hati ini di sesakkan oleh rencana kebaikan itu, siapa tahu jika telah penuh akan meluber menjadi aksi. Kekuatan Islam dalam melaksanakan hidup terdapat pada niat, dan niat –seperti telah dijelaskan di atas- adalah corong yang mengingat semua rencana yang ada. Aksi tergantung oleh niat, begitu sabda Rasul dalam menyoal amalan (aksi) dalam setiap langkah.

Rencana yang baik memang harus jelas, matang, mantap, tertata, dan terperinci setiap langkahnya, sehingga memudahkan untuk proses selanjutnya. Namun jika hidup hanya penuh rencana dan rencana terus menerus hingga meluber sekalipun tanpa aksi, tindakan dan gerak nyata, maka rencana itu hanya akan berakhir di tempat sampah, terbuang percuma.

Pada umumnya, gagasan dan pikiran-pikiran yang mendukung ke arah tujuan kita, berdampingan dengan tantangan dan masalah yang pasti muncul di lapangan, namun berbarengan dengan itu pula segala jalan keluar akan menghampiri dengan bergerak secara ajaib.

Setiap mengawali perencanaan-perencanaan –tentunya- selalu berhadapan dengan kondisi yang sesuai dengan keinginan kita atau tidak sama sekali. Perubahan alamiah yang terjadi dari fase ‘liar’ menuju sebuah konsep, dilanjutkan aksi maka akan ada semacam ‘transisi’ dari sikap yang berubah. Seperti halnya, tidak ada di dunia ini yang menginginkan perubahan tanpa melalui turbulensi (perguncangan) yang terjadi. Baik dirasakan dalam jiwa ataupun tapak yang melangkah. Permasalahan lama tidaknya, besar kecilnya ‘guncangan’ itu selalu ada dalam pola pikir kita sendiri.

Masjidil Haram adalah masjid tertua di dunia. Masjid bertiang 589 buah dari marmer atau granit ini lebih tua 40 tahun dari Masjid Al-Aqsa di Yerussalem. Pembangunan masjid ini untuk pertama kalinya dibangun oleh Nabi Ibrahim AS bersama dengan putranya Ismail AS.

Pada saat ini pembangunan Masjidil Haram telah berlangsung sekitar dua tahun lalu. Pelataran Masjidil Haram terus diperluas. Akibatnya, sekitar lebih 1.000 gedung di sekitar Masjidil Haram dibongkar demi untuk pelayanan jamaah haji yang datang dari seluruh dunia. Pembangunan, penyempurnaan, dan perluasan Masjidil Haram adalah bagian dari sejarah dalam perjalanannya dari masa ke masa.

Pada awalnya, masjid yang memiliki 152 buah kubah ini sangat sederhana bentuknya. Bangunannya terdiri dari Ka’bah yang terletak di tengah-tengahnya. Kemudian ada sumur zamzam dan Maqam Ibrahim di sampingnya. Ketiga bangunan tersebut berada di tempat terbuka.

Pada masa awal perkembangan Islam sampai pada masa pemerintahan khalifah pertama Abu Bakar As-Shiddiq (543 M), bentuk bangunan Masjidil Haram juga masih sederhana. Masjid ini belum memiliki dinding sama sekali. Pada tahun 644 M, di masa Khalifah Umar bin Khattab (khalifah kedua), ia mulai membuat dinding masjid ini. Akan tetapi, dindingnya masih rendah, tidak sampai setinggi badan orang dewasa. Umar juga membeli tanah di sekitar Masjidil Haram untuk memperluas bangunan masjid guna menampung jamaah yang semakin hari semakin banyak.

Bangunan Masjidil Haram selalu diperluas dan diperindah dengan semakin banyaknya umat Islam yang berkunjung ke Baitullah dari masa ke masa. Khalifah Utsman bin Affan juga memperluas bangunan masjid tersebut pada masa pemerintahannya. Kemudian Abdullah Ibn al-Zubair (692 M) memasang atap di atas dinding yang telah dibangun. Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi (714 M) yang pernah berkuasa di Makkah, juga pernah melakukan penyempurnaan bangunan Masjidil Haram. Demikian pula pada masa Khalifah al-Mahdi (Khalifah Bani Abbasiyah) yang berkuasa pada tahun 885 M, dibuat deretan tiang yang mengelilingi Ka’bah yang ditutup dengan atap. Saat itu dibangun pula beberapa menara.

Pada pemerintahan Sultan Salim II dari Kekhalifahan Turki Utsmani yang dilanjutkan oleh putranya, Sultan Murad III, dilakukan beberapa kali perbaikan dan perluasan bangunan Masjidil Haram. Pada masa ini juga dibuat atap-atap kecil berbentuk kerucut. Bentuk dasar bangunan Masjidil Haram hasil renovasi Dinasti Utsmani inilah yang dapat dilihat sekarang ini.

Pada masa pemerintahan kerajaan Saudi Arabia yang bertindak sebagai Khadim al-Haramain (pelayan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) beberapa tahun lalu, juga dilakukan perbaikan, penyempurnaan, dan perluasan Masjidil Haram. Tempat Sa’i yang sebelumnya berada di luar masjid, kini dimasukkan ke dalam dan dilengkapi dengan jalur-jalur sa’i yang dilengkapi atap yang teduh.

Ka’bah yang terletak di tengah masjid Haram dan menjadi arah sholat bagi kaum muslim seluruh dunia, semakin tenggelam oleh berdirinya gedung-gedung tinggi yang berada di sekitarnya.

Bagi jamaah umrah dan haji pada tahun ini sampai tahun 2016 nanti, penyempurnaan masih terus berlanjut. Sehingga akan membuat sedikit keleluasaan dalam melakukan tawaf dan ibadah lainnya. Demikian juga dengan debu dan suara keras dari alat berat konstruksi bangunan. Sehingga bagi yang akan melaksanakan umrah ataupun ibadah di Masjidil Haram disarankan menggunakan masker. Selain itu, kebisingan dan crowded-nya lalulintas dari sekitaran Masjidil Haram menjadikan semua jemaah untuk bersabar.

Dampak yang lebih terasa oleh calon jemaah haji adalah turunnya keputusan dari Kerajaan Saudi Arabia untuk memangkas kuota haji sebanyak 20 persen. Sehingga diperkirakan sebanyak 42.000 calon jemaah haji asal Indonesia terancam gagal berangkat haji tahun ini.

Manusia hidup dalam lingkaran sejarah, setiap aspek kehidupannya tak lepas dari ruang sejarah yang akan terus berkelanjutan. Sadar atau tidak, manusia adalah makhluk sejarah. Ia bisa dibesarkan dan juga ditenggelamkan oleh sejarah. Sejarah adalah ‘tonggak’ suatu peradaban, bisa memihak yang menang, tetapi tidak selamanya membunuh yang kalah. Setiap kita akan menjadi sejarah, bagi keluarga, handai taulan bahkan untuk sebuah peradaban yang kelak terbangun dari sikap dan buah karya kita, baik maupun jelek. Di setiap langkah kaki terdapat pijakan yang menjadi buncahan history. Terekam dalam suara alam yang –mungkin- tak pernah kita sadari. We Will Be History, yah kita akan menjadi sejarah. Sejarah bagi siapapun, sejarah yang tak kan pernah luput dari pembelajaran, bahkan –kelak- kujur kaku tubuh kita pun akan menjadi sejarah bagi mereka yang berfikir. Merubah sejarah menjadi pelajaran penting harus disertai dengan kejujuran dan nurani, sebab jika tidak, sejarah kelam bukan malah ditinggalkan, tetapi menjadi pengulangan yang kelam.

Jika kita perhatikan ada yang menarik untuk sedikit ditelusuri antara perkataan “Melihat” dan “Mempelajari” masa lampau sebagai sejarah. Karena banyak kalangan yang selalu mendoktrin untuk meninggalkan masa lampau, lepas dan tataplah masa depan. Tetapi –sejujurnya- bagi saya langkah kedepan dengan tatapan optimis –tentunya- tidak lantas meninggalkan sejarah. Bukan hanya melihat tokh, tetapi mempelajari dengan seksama bagaimana sejarah itu berlangsung. Bagaimana puing-puing sejarah itu berserakan, dan bagaimana sejarah itu menjadi inspirasi yang akan menentukan langkah kita selanjutnya.

Namun –jika kita mau jujur- ketika perubahan datang dengan kecepatan yang tidak kita sadari, mayoritas umat Islam (kita) justru terkesan berhenti. Bahkan tak sedikit yang kemudian mengambil sikap lari ke belakang. Sehingga banyak kalangan menatap sejarah secara parsial, bukan “Peace” Perjuangan Islam-nya yang disebarkan, tetapi ‘tajamnya pedang’ Umar bin Khattab yang digembor-gemborkan. Bukannya kedermawanan yang di kembangkan, malah keserakahan yang sengaja di biakkan.

Lepas dari semua itu, ternyata sejarah yang selalu dilirik untuk dijadikan pembelajaran senantiasa berpegang pada konsep-konsep persitiwa yang unik. Karena salahsatu sifat sejarah -yang banyak direkam- adalah sesuatu yang mengandung keunikan. Setiap kita akan menjadi sejarah, tetapi tidak setiap jejak kita akan menjadi pelajaran. Oleh karenanya, menentukan kita sebagai sejarah yang baik adalah sebuah pilihan. Semakin banyak berbuat kebaikan –yang tidak umum/unik- maka semakin tinggi bangunan sejarah terangkai.

Setelah itu, maka jasad kita yang terkubur akan selalu memberikan manfaat edukatif, inspiratif, rekreatif dan juga instruktif. So, jangan biarkan jasad kita hanya bermanfaat untuk binatang tanah yang melahap habis daging dan tulang-belulang kita. Semuanya adalah pilihan!

“Maha suci Allah yang menjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Majidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. 17:1)

Pada artikel kali ini, kita akan melihat peristiwa Isra Mi’raj ini dari sisi yang sedikit berbeda. Namun –tentunya- nilai dari pesan artikel ini tidak akan lepas dari wawasan kita tentang perjalanan agung Rasulullah SAW. Meski peristiwa Isra dan Mi’raj ini adalah sebuah peristiwa yang sangat besar dalam perjalanan manusia, namun perlu kita ingat bahwa peristiwa ini bukanlah sebuah mukjizat Rasulullah SAW. Kenapa (?) karena makna mukjizat adalah melemahkan logika orang kafir. Dengan memperlihatkan mukjizat kepada orang kafir, maka mereka akan terpana, karena otaknya tidak akan mampu untuk mengerti kejadian itu. Selain itu, ciri-ciri mukjizat adalah pertama; Disaksikan orang banyak, kedua; Setelah peristiwa tersebut hati orang kafir terguncang dan ketiga; setelah kejadian itu orang beriman semakin mantap keimanannya.

Seperti halnya yang dialami oleh para Nabi terdahulu, Nabi Ibrahim dibakar oleh raja Namrudz, pembakaran itu disaksikan orang banyak, namun ternyata api tidak bisa membakar beliau, maka tergoncanglah hati orang-orang kafir, sedangkan orang beriman semakin mantap keimanannya. Demikian juga dengan nabi Musa AS ketika membelah lautan. Banyak orang yang menyaksikan, orang-orang kafir terguncang hatinya, sebaliknya yang beriman merasa tenang dan nyaman. Juga cerita-cerita lainnya tentang mukjizat-mukjizat para nabi sebelum Rasulullah SAW. Lalu bagaimana dengan peristiwa Isra Mikraj (?)

Ketika Rasulullah SAW kembali, pada pagi harinya beliau bertemu dengan Abu Jahal. Ia pun bertanya kepada Rasulullah “Kelihatannya engkau memikirkan sesuatu ya Muhammad?” Rasul menjawab; “Benar ya Abal Hakam (salahsatu panggilan Abu Jahal), aku baru kembali dari Masjidil Aqsa”. Mendengar itu, tersungging senyum pada bibir Abu Jahal, dalam hatinya –tentu- ada suatu moment untuk menjatuhkan Nabi Muhammad, karena menurut dia, kemarin dia masih melihat Nabi ada di pasar ‘Ukaz.

“Bagaimana jika aku mengumpulkan orang untuk berkumpul disini,mendengar perjalananmu ke Masjidil Aqsa (?)” Nabi menjawab: “Silahkan engkau kumpulkan!” Dengan sangat senang Abu Jahal mencari orang yang mau mendengarkan cerita Muhammad, agar mereka tahu Muhammad kurang waras (begitu menurut pikiran Abu Jahal) . Orang pertama yang ditemuinya adalah Abu bakar, “Tahukah engkau bahwa sahabatmu Muhammad menerangkan kepadaku bahwa ia berangkat semalam ke Masjidil Aqsa” Abu bakar kemudian bertanya: “Benarkah apa yang kau ucapkan (?)” Abu Jahal menjawab: “Demi Latta dan Uzza begitulah katanya”. “Jika itu dikatakan bahkan yang lebih dari itu aku akan selalu percaya.” Jawab Abu Bakar, sejak itulah beliau dijuluki Abu Bakar Siddiq.

Setelah orang berkumpul kemudian Nabi Muhammad menceritakan perjalanannya (Isra mi’raj), orang kafir hatinya tidak terguncang, bahkan semakin menjadi-jadi kekafirannya, dan orang beriman ada sebagian diantara mereka yang terguncang keyakinannya.

Karenanya, peristiwa Isra dan Mi’raj ini bukanlah sebuah mukjizat Rasul, melainkan adalah fitnah (cobaan) bagi manusia, mencoba sejauh mana kualitas keimanan seorang muslim atas peristiwa besar ini.

The Great Journey ini adalah –jika boleh dikatakan- semacam ‘test the water’ pada kekuatan seorang muslim untuk menjaga ketauhidannya. Selain mengemban tugas mulia, dalam perjalanan ini ALLAH juga ingin menghibur kekasih-NYA yang sebelumnya telah ditinggal oleh orang-orang tercinta.

Bagi seorang muslim peristiwa ‘The Great Journey’ (Isra Mikraj) ini, adalah sebuah implementasi keyakinannya kepada 6 pilar rukun Iman. Beriman (percaya) kepada ALLAH SWT, beriman kepada Malaikat, beriman kepada rasul-rasul ALLAH, beriman kepada kitab-kitab ALLAH, beriman kepada adanya hari akhir, dan beriman kepada Qada serta Qadar (takdir ALLAH SWT di alam semesta).

Pertama;Apa yang diwahyukan/disampaikan oleh Rasul Muhammad SAW berarti semuanya benar. Ini implementasi rukun iman ke-3 dan ke-4

Kedua; Rasulullah dibantu oleh Malaikat Jibril untuk perjalanan itu. Ini Rukun iman ke-2

Ketiga; Malaikat Jibril “Membawa” Nabi ke Palestina dan ke Sidratul Muntaha (langit ke-7) tentu atas perintah dari Alloh SWT. Ini rukun iman ke-1 dan ke-2

Keempat; Selama perjalanan Mi’raj (ke langit), Nabi diperlihatkan bagaimana bentuk balasan dari umat manusia yang taat dan membangkang terhadap perintah ALLAH SWT setelah hari Kiamat kelak. Ini rukun iman ke-5.

Kelima; Kita percaya kepada semua ketentuan Alloh SWT di alam semesta ini baik kita inginkan maupun tidak kita inginkan, baik bisa diterima logika maupun belum. Ini yang disebut sebagai Qada dan Qadar. Dan Ini adalah bentuk aplikasi rukun iman ke-6.

Belajar dari komunitas Preman

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata ‘Preman’ adalah kata dasar dari premanisme. Yang berarti sebutan untuk orang jahat (penodong, perampok dan sejenisnya). Kata ini juga –nampaknya- merupakan bantuan dari bahasa Belanda dan Ingris. Dalam bahasa Belanda berasal dari dua suku kata, yakni ‘Vrije Man’ dengan kata dasar Vrije yang berarti bebas, merdeka (bukan budak) sedangkan Man diartikan sebagai orang. Orang yang bebas melakukan kejahatan disebut sebagai preman. Premanisme (aktivitas kejahatan) adalah sesuatu yang –sebenarnya- menjadi watak manusia sebagai Khalifah, ingat bagaimana ketika Para Malaikat bertanya kepada ALLAH tentang penciptaan manusia yang akan membuat kehancuran di muka bumi. Tetapi dengan hak prerogatif ALLAH berfirman “Aku lebih tahu dari apa yang kau tidak ketahui”. Jelas bahwa dalam penciptaan manusia, ada watak-watak dalam jiwa manusia yang berpotensi menjadi ‘preman’, tetapi dengan Anugrah-Nya, manusia diberikan segumpal hati yang akan mengontrol daya ledak ‘Premanisme’ dalam diri setiap manusia. Ia yang akan menjadi barometer perbedaan antara manusia sebagai khalifah dengan makhluk lainnya di muka bumi.

Lepas dari semua itu, sebenarnya garis merah yang termaktub dalam tema di atas dengan sub tema kecil akan mudah dipahami kemana arah tulisan ini. Yah, setelah kita tahu bagaimana definisi ‘Preman’, kita akan lebih tahu bahwa komunitas itu adalah kelompok yang harus dijauhi, diperangi dan dilenyapkan. Karena hampir dari semua aktivitas kejahatan mereka sangat meresahkan kita. Akan tetapi, jangan berhenti disitu, jika kita telusuri dari perilaku mereka, ternyata ada hal yang menarik dari kumpulan itu untuk dijadikan sebagai ibrah bagi kita yang –mungkin- bukan seorang preman.

Saya sering mendengar ungkapan “Lebih baik berteman dengan preman, daripada dengan kalian”. Kalimat diatas jika dicermati bisa menjadi suatu otokritik yang membangun dalam diri kita. Tentu maksud ucapan itu jelas bahwa ada hal ‘positif’ jika kita menjadi bagian dari komunitas preman. Apalagi jika bukan dari sisi PEDULI. Saling mengerti dan peduli sering diungkapkan dengan bahasa ‘solider’ diantara kelompok mereka. Terlepas dari peduli dalam kejahatan atau perilaku bebas mereka, tetapi mereka bisa lebih menyatukan rasa dengan saling peduli akan kelompoknya. Seorang disakiti maka anggota lainnya pasang badan, tidak hidup dalam lingkup individualistik yang tidak mau tahu akan kondisi saudaranya.

Pelajaran dari sikap saling peduli itu tentunya merupakan kekuatan yang teramat dahsyat dalam kehidupan sosial. Bagaimana Rasulullah SAW setiap habis sholat membalikkan badannya dan melihat satu-satu sahabatnya. Jika ada yang absen, Dia tanyakan dan bergegas menjenguknya jika sakit. Bangunan utuh silaturahmi sesungguhnya terikat oleh rasa peduli, jangan pernah berbicara tentang kesolidan team, jika setiap kita masih enggan untuk memiliki rasa yang kini mahal itu, yah rasa peduli terhadap apa yang terjadi di sekitar kita.

Lalu, jika para preman bisa menerapkan konsep peduli itu dalam komunitasnya, dan kita yang –mungkin- bukan preman, melenyapkan rasa care terhadap sesama, bisakah pemaknaaan ‘Preman’ terbalik mengarah pada kita (?)

Artikel ini –tentunya- bukan untuk memperingati hari buruh 1 Mei. Selain sudah terlewat sebulan yang lalu, tidak ada relevansi juga mengangkatnya pada tulisan ini. Namun tema diatas lebih sebagai ungkapan darurat seperti halnya seorang pilot pesawat tempur yang ditembak jatuh lawannya “Mayday… mayday… I am going down” kata si pilot. Lalu apa hubungannya ‘kedaruratan’ dengan Monday (?) Bukankah Monday adalah hari pertama dalam Weekday Masehi (?) Tempat berkumpulnya lingkaran energi dan semangat bagi setiap orang ‘ngantor’. Sejatinya seh memang begitu, namun jika masyarakat Jakarta saja –misalnya- di berikan polling tentang lebih semangat mana kerja hari Senin atau hari Jum’at, rasa-rasanya mayoritas memilih hari Jum’at. Kenapa (?) simple jawabannya, karena dia bekerja di akhir minggu alias weekend. Atau simple pula menilainya, bahwa mental untuk ‘berjuang’-nya masih dibawah rata-rata.

Awal hari dari setiap pekannya menurut Masehi adalah hari Senin, oleh karenanya semua aktivitas selalu berawal dari hari ini. Monday Mayday bukan sebuah peringatan tentang danger-nya hari Senin, tetapi bagaimana menghadapi hari Senin dengan segala hal yang membuat mental kerja malah mengalami penurunan paska hari libur. Bisa karena lelah berlibur, bisa juga karena –memang- spirit yang ternoda hanya karena mental diri yang begitu rusak. Namun tahukah kita, bahwa Rasulullah SAW pertama kali menerima wahyu dari ALLAH adalah hari Senin, hari yang akan mengawali dakwah-dakwahnya yang penuh dengan rintangan.

Rasulullah ditanya tentang hari Senin. Beliau menjawab: “Itu adalah hari aku dilahirkan, hari aku di utus menjadi Rasul, atau diturunkan kepadaku wahyu” (HR. Muslim).

Logikanya, ketika wahyu diturunkan, maka Beliau memulai mengemban tugas yang sangat Berat dimulai hari Senin, hari yang menjadikan setiap langkahnya merupakan dakwah. Namun karena kita sudah terbiasa dengan mindset bahwa hari Senin menjadi sebuah hari yang ‘malas’, hari yang masih lama dengan masa-masa libur, dan hari yang penuh dengan kemacetan lalu lintas untuk pergi bekerja, sehingga, belum juga dimulai ‘pertempuran’ jiwa kita sudah me-‘reject’-nya. Atau mendapat sejuta alasan untuk masuk kantor siang hari, karena berbagai hal, termasuk didalamnya alasan macet, dan lain sebagainya.

Monday mayday juga sangat menarik dijadikan penyemangat, menjadi sigap karena kondisi sedang darurat. Yah, rasanya ‘mental’ kita masih harus “berdekatan” terlebih dulu dengan status darurat, sehingga selanjutnya bisa menjadi sigap baik dalam keadaan darurat ataupun lengang.

Atau jika memungkin, setting pola pikir kita agar mengubah mindset ‘Feel Monday like Friday’, itu juga rasanya bisa membantu siapa saja yang akan menghadapi hari Senin.