Loss of Solidarity

Semua orang –tentunya- telah paham bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa sebuah komunitas. Lebih lanjutnya kita tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan orang lain. Siapa pun itu, semua akan saling membutuhkan satu sama lain, seperti halnya sebuah bangunan yang berdiri kokoh, ia tidak bisa lepas dari unsur perekat yang bisa jadi peranannya sama penting untuk kekokohan konstruksi. Klasik –memang- membahas tentang solidaritas yang diibaratkan seperti bangunan itu, setiap orang sudah sangat hapal dan sering mendengar tentang bahasan ini. Namun teramat sering –pula- kita melihat dan merasakan bahwa filosopi “Saling merekat” diantara bangunan itu kian pudar termakan oleh keegoisan dan keserakahan diri. Betapa banyak komunitas yang terasa hambar persaudaraannya hanya karena hilangnya respect pada hal yang terjadi di depan hidungnya. Saling menyalahkan dan sembunyi ‘dibalik tirai rasa aman’ menjadi komoditi yang terus berkembang di masyarakat kita. Bahkan tidak mustahil dalam aktifitas keseharian kita.

Kita seakan lupa, bahwa Islam berkembang hanya dengan sebuah konsep silaturahmi yang menyolidkan rasa solidaritas. Risalah yang dibawa Rasulullah SAW dengan dua konsep pergerakan di dua kota Makkah dan Madinah, seharusnya memberikan pelajaran kongkrit bagi kita untuk melihat bagaimana keutuhan sebuah peradaban pada dimensi hubungan antar manusia. Atau menyatukan rasa solidaritas antara kaum muslim. Rasul berdakwah selama 10 tahun di kota Makkah untuk menyatukan tauhid manusia. Konsep Ilahiyyah yang terus dikonsentrasikan pada titik dakwah Makkiyah. Sedangkan di Madinah Rasulullah SAW lebih memfokuskan untuk menyatukan solidaritas umat Islam sebagai basic kekuatan selama 13 tahun. Lebih lama dari ‘sentralisasi’ tauhid di kota Makkah. Hal ini –bagi saya- menggambarkan bahwa konsep penyatuan rasa solidaritas antara muslim memasuki gerbang kompleks, yang menyamakan jiwa diantara perbedaan yang ada. Menyeragamkan rasa diantara warna yang terjadi, dan mengokohkan barisan diantara kelompok yang berbeda.

Tauhid adalah tentang suatu keyakinan, juga tidak lepas dari hidayah Dzat Pencipta, ALLAH SWT. Rasul cukup menyampaikan tentang ke-Wihdah-an ALLAH. Namun solidaritas adalah tentang sebuah rasa yang menyatu. Ia tidak bisa hanya disampaikan, namun jauh lebih dari itu, Beliau selalu memberikan perhatian rasa bagaikan satu anggota bagian tubuh lainnya. Semuanya dibangun atas dasar kesatuan tubuh, satu anggota sakit, maka anggota lainnya akan terasa nyeri. Demikianlah gambaran solidaritas muslim yang senantiasa di ajarkan risalah Nubuwah oleh Rasulullah tercinta.

Dewasa ini, kita bisa merasakannya. Bagaimana solidaritas itu lambat-laun hanya menjadi hiasan ‘verbal’ dalam sebuah kesempatan pidato. Rasa itu kian menipis jika tidak dikatakan lenyap sama-sekali. Kebersamaan rasa hanya mampu bertahan ketika kita bersama dalam kebahagiaan, namun entah jika terjadi sebaliknya. Apakah akan terus terjalin kekokohan bangunan itu, atau sedikit demi sedikit lenyap tergerus oleh keegoisan untuk mengamankan diri sendiri.

Gangster atau perkumpulan kriminal yang selalu membuat onar dan kekacauan saja bisa menampakkan aksi solidaritas diantara mereka, maka bagaimana kita takut untuk menyiarkan solidaritas diatas bangunan yang terbangun kokoh oleh sebuah nilai kebajikan (?) Tentunya lebih mulia dan indah untuk dijadikan nilai luhur umat Islam.

Semoga semakin banyak ‘serangan’ yang tertuju pada keutuhan umat Islam, kita selaku bagian dari perekat umat ini menjadi lebih solid merapatkan barisan itu. Sehingga ‘Loss of Solidarity’ tidak akan pernah terjadi diantara umat yang kini banyak ‘diguncangkan’.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *