“Wanita akan sempurna, ketika mereka tahu bagaimana cara bersikap seorang wanita”

Saya rasa semua orang, baik wanita maupun pria, setuju bahwa R.A Kartini adalah sosok yang cukup inspiratif. Ide-idenya tentang persamaan hak dalam bidang pendidikan, sosial dan politik antara wanita dan pria sedikit banyak telah berpengaruh bagi perkembangan kultur sosial di Indonesia. Meski –sesungguhnya- tidak hanya Kartini yang menjadi ibroh maupun contoh bagi para wanita muslim dunia, jika ditelusuri sejarah kekuatan wanita, maka jauh lebih besar sosok Siti Khodijah Ra, Siti Aisyah dan wanita-wanita lainnya yang tegar, berani dan berjasa dalam membela agama dan bangsanya. Namun, tidak salah pada kesempatan ini, kita sedikit membahas pahlawan local yang –bisa saja- jasanya memberikan influance secara massif tentang dimana posisi wanita berada. Emansipasi wanita, begitulah mungkin tema besar yang kerap dibahas setiap hari Kartini tiba. Sayangnya, tujuan mulia kartini, selalu mentok pada sebuah perayaan seremoni saja. Padahal sesungguhnya ia berjuang dengan kerangka yang lebih luas. Dasar perjuangannya adalah menempatkan perempuan sebagai sosok yang bermartabat. Dengan demikian, cita-cita dan perjuangan Kartini adalah sebagai way of life. Cita-cita Kartini tidak pernah berhenti pada sebuah seremoni yang –saat ini- hanya menjadi siklus tahunan saja.

Rasanya, agar apa yang dicita-citakan Kartini tidak kebablasan dari emansipasi yang berubah wujud menjadi liberalisasi, kesamaan gender dll, maka tidak salah kita sedikit melirik bagaimana Kartini bersentuhan dengan Islam sebagai pola dasar pemikirannya yang segar, dan menjadi inspirasi jutaan manusia. Hidup dalam kubangan feodal, dan kungkungan adat jawa, Kartini mencoba untuk terus mencari jawaban agar dia beserta kaum wanita lainnya memiliki dasar perubahan yang ‘memberontak’ adat istiadatnya.

Akhirnya ia menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selalu bergolak di dalam pemikirannya. Terutama dalam menemukan Islam yang paripurna, sehingga ia mencoba mendalami ajaran Islam dengan menuangkan dalam tulisan surat-menyurat kepada sahabat dan orang sekitarnya. Awalnya, ajaran-ajaran Islam tak mendapat temapat dalam benak Kartini. Hal ini karena pengalamannya yang pahit dengan Sang Ustadzah. Ustadzahnya menolak menjelaskan makna ayat yang sedang diajarkan.

Dalam suratnya kepada Stella, sahabatnya, pada tahun 6 November 1899. Ia menuliskan “Mengenai agamaku Islam, aku harus menceritakan apa (?) Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya. Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Sedangkan disini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab.

Disini orang diajar membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya.”

Dalam waktu pencariannya itu, Kartini bertemu dengan Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Semarang telah merubah segalanya. Kartini tertarik pada terjemahan surat Al-Fatihah yang disampaikan sang Kyai. Kartini pun mendesak salahsatu paman untuk menemaninya bertemu sang Kyai. Mari kita ikuti bagaimana petikan dialog Kartini dengan Kyai Sholeh, yang ditulis Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh.

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya (?)”. Tertegun Kyai Sholeh mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian (?)” Kyai balik bertanya. “Kyai, selama hidupku baru kali ini aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan main rasa syukur hatiku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Sejak itulah Kyai Sholeh menterjemahkan Al-Qur’an ke bahasa Jawa, dan dihadiahkan kepada Kartini. Dari sanalah perubahan mendasar terlahir dari setiap ide dan pemikirannya. Karenanya dalam menerjemahkan perjuangan dan spirit Kartini seharusnya dipelajari juga bagaimana filosopis buah pikir itu. Sehingga tidak terwejawantahkan dengan melampaui batas. Sebagaimana surat Kartini kepada Prof. Anton, salahseorang gurunya, 4 oktober 1902. “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya. Menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”

Tak ada sepatah katapun dalam surat tersebut yang mengajarkan wanita untuk mengejar persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran agar sejajar dengan kaum pria. Kartini memahami bahwa kebangkitan seseorang ditandai oleh kebangkitan cara berfikirnya. Kartini mengupayakan pengajaran dan pendidikan bagi wanita semata-mata demi kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai seorang wanita.

Atas nama perjuangan Kartini, sebagian wanita kini, justru terjebak pada nilai-nilai liberalisasi dan ide-ide Barat yang justru ditentang oleh sang pahlawan. Perjuangan yang kini dilakukan oleh para feminis, pembela hak-hak wanita sangat jauh dari ruh perjuangan Kartini. Kartini tidak menuntut persamaan hak dalam segala bidang. Kartini hanya menuntut agar kaum wanita diberi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tak lebih dari itu.

Kartini telah mati, yah jasadnya telah puluhan tahun di perut bumi. Namun nama besarnya masih menjadi acuan hidup sebagian besar wanita negeri ini. Namun, entahlah sesuai atau tidak tujuan yang ia bangun dengan apa yang terjadi saat ini (?) Semoga (cita-cita) Kartini tidak mati juga!

Selamat Hari Kartini, untuk wanita Indonesia!

Selamat datang di dunia nyata. Dimana persaingan usaha sedemikian ketat. Inovasi bukanlah barang baru yang sulit ditiru. Para Follower bahkan mampu membuat tiruan yang lebih unggul dari sang Leader. Walhasil sebuah penemuan menjadi standar baru industri yang menguntungkan customer sebagaimana ATM dan Internet banking di dunia perbankan, sebagaimana android dan wifi dalam industri IT dan telekomunikasi. Sungguh indah dunia usaha apabila setiap perusahaan berlomba ber-inovasi yang akhirnya menjadi ikutan bagi perusahaan-perusahaan lain. Bukankah Rasulullah bersabda; “Barangsiapa memulai perbuatan baik di dalam Islam, maka baginya pahala dari kebaikannya dan pahala orang-orang yang mengikuti kebaikannya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikit pun. (HR; Muslim).

Persaingan baru sampai pada tahap membahayakan saat kedengkian, dendam, dan kebencian merajalela. Bila mana hasrat untuk menghancurkan lawan menjadi panglima para pengambil keputusan. Berbagai cara dilakukan demi tercapainya keinginan yang sesat. Mereka yang bermain di ‘akar rumput’ Cuma dapat melihat dengan kacamata kuda, karena siapa saja yang berani menggaji lebih tinggi, memberikan ketenangan bekerja dan kepastian karir, merekalah yang diikuti, (meski itu semua hanya bualan sesaat). Dan ternyata semua itu adalah perangkap hanya untuk dijadikan alat bagi skenario besar persaingan industri ber-aroma kedengkian. Dan akhirnya penyesalan memang selalu ada di akhir setiap kisah kehidupan.

Bagi mereka yang menjadi korban kedengkian, yakinilah bahwa Allah adalah Dzat yang tidak tidur. Setiap helai daun yang berguguran adalah atas sepengetahuan dan perkenan-Nya. Meskipun seluruh makhluk di muka bumi berkumpul merancang siasat dan tipu daya, tiada yang dapat mengalahkan kehendak-Nya. Dia akan melindungi siapa saja yang berikhtiar mencari nafkah, membangun bisnis, mengejar keuntungan, dengan berharap ridha Allah semata.

Pernahkah terbayang dibenak para pendengki, bahwa sebuah perusahaan terdiri dari berbagai komponen yang kompleks. Sejatinya ia menjadi tumpuan nafkah bagi karyawan, keluarga, supplier dan mitra-mitranya, serta kebanggaan bagi customer dan lingkungannya. Sebuah kedzaliman luarbiasa bila manuver persaingan bisnis menggulung harapan dan cita-cita sedemikan banyak orang. Bila gempuran ini disadari, mereka akan berjuang mempertahankan tempat dimana selama ini mereka bernaung.

Bila kedengkian menggurita, lantas dimanakah jalinan persaudaraan, pertemanan, dan ke-Islaman, sesama kita. Lantas apakah sebenarnya yang kita cari di dunia yang fana ini. Sedangkan kampung akhirat adalah sebuah keniscayaan atas apa yang telah kita perbuat di dunia. Kemanakah ujung dari Strategi bisnis, marketing, prosedur, CSR, IT, dan segudang seluk beluk perusahaan ? Bukankah akhirat adalah ujung dari segala urusan dunia. Yah’ Begitulah follower yang terkadang lupa bahwa ia hanya sebagai pengikut.

Dalam dunia bisnis, atau pada ruang kehidupan lain, banyak ungkapan yang menyebutkan bahwa ketika pohon berkembang dan menjulang tinggi, maka angin pun akan semakin kencang berhembus. Ujian, cobaan akan silih berganti menerpanya, selain menguji kekuatan batang, angin pun mencoba mengangkat akar-akar kuat yang mencengkram bumi. Tidak salah banyak penerimaan secara pasti, ketika sebuah perusahaan diguncang beragam badai, maka kalimat pasrah yang mengkiaskan suatu alamiyah jika perusahaan semakin besar maka wajarlah jika banyak yang ingin mengguncangnya. Sehingga, apatis dan pasrah kerap terlontar dari kondisi yang ada. Atau istilah lain yang sering kita dengar, di pukul wajah sebelah kiri, kita kasih wajah sebelah kanan. Tidak ada sama sekali perlawanan untuk menghentikan badai tersebut, karena tokh itu suatu alamiyah yang biasa terjadi pada suatu perusahaan yang sedang melesat. Atau karena saking lembutnya hati, sehingga enggan tuk melakukan perlawanan atau bahkan pertahanan. Padahal Islam tidak mengajarkan seperti itu, bukankah membela dan melawan kenistataan demi mempertahankan harga diri, harta dan jiwa adalah sebuah kewajiban yang harus ditegakkan (?) Bukankah melawan sebuah serangan merupakan hal yang dicontohkan oleh para tentara Allah (?)

Yah, seperti itulah kondisi real perjuangan dalam dunia kerja. Bukan hanya persaingan, penghancuran dan penjegalan, bahkan pembunuhan karakter terhadap masing-masing individu pun kerap dilakukan guna memuluskan ambisinya. Terlebih jika dilakukan karena dendam kesumat terhadap seseorang yang ia benci karena cinta mati. Ia akan habis-habisan menyerangnya, dari celah dan lubang semut sekalipun. Setahun, dua tahun bahkan sampai 3 tahun ia simpan dendam itu guna membuat strategi penghancuran. Menyerang melalui fitnah-fitnah murah, sms-sms gelap agar mendapat simpati dan dukungan manusia lain tuk mencabik-cabik bangunan itu. Mengaku terdzolimi, namun dendam kuasai hati. mengaku terdzolimi, namun jiwa tak berasa. Itulah korban cinta, fakta pun diputar balik. Setelah cinta tak teraih, nestapa pun yang beralih. Duhai merananya, hidup disibukkan oleh strategi dendam yang kesumat. Tercampak dari keluarga, tertendang dari rekan, dan kini bergabung tuk membalas dendam dari kasus yang dipendam.

Jika saja ‘kartu truf’ itu terbuka, maka akan lebih sakit penderitaan yang ia rasa. Tapi biarlah kartu itu terbuka mengikuti apa yang akan mereka rancang. Terlebih semua orang tahu bagaimana thabiat dan watak sosok wanita ‘terhormat’ itu sebelum ditendang di sebuah komunitas negeri.

Serangan bertubi-tubi ia lesakkan guna menghancurkan stabilitas kami, memecah-belah dan menyerang individu lemah diantara kami. Namun tetap benteng kokoh itu tak kan pernah runtuh hanya oleh dendam kesumat yang membabi buta. Hanya karena cinta yang tak berbuah, ia rela menghinakan dirinya sendiri, menghancurkan keluarga dan makhluk lainnya.

Bagi jiwa yang lemah, maka tipudaya-nya kan mudah memalingkan rasa. Karenanya hanya kebersamaan dan kesolidan team yang bisa menahan gejolak badai yang mereka hembuskan. Biarlah ia menjadi wanita yang hanya mengendap dendam karena cintanya. Benci karena teramat merindukan rasa yang tergadai.

Liku perjalanan setiap manusia memiliki goresan yang terkadang sulit terhapuskan. Ibarat melukis diatas batu, ia akan tetap ada melawan waktu, meski dipenghujungnya hanya menjadi prasasti. Dikenang, dilihat dan akhirnya dilupakan. Namun diantara sekian juta kisah, terdapat jua rentetan cerita hidup yang tak kan pernah usang ditelan zaman, ia meninggalkan sejuta rasa bagi yang ditinggalkannya. Namanya berhembus disetiap detak nafas manusia-manusia yang mencintainya. Kemuliannya terlukis dalam setiap benak makhluk yang dikasihinya. Ketiadaannya menjadi samudra airmata, dan kepergiannya diiringi isakan yang tiada henti. Manusia seperti itulah yang sulit dilupakan oleh segenap makhluk disekelilingnya. Manusia seperti itu juga lah yang membuat lisan orang terbungkam enggan tuk sekedar mengucap ‘Good bye’. Berbeda dengan sosok awal, yang diibaratkan lakon dan kepergiannya sangat mudah terhapus, perpisahannya hanya menghasilkan ungkapan “I’m Sorry good bye” that’s it. Tiada kalimat penyambung, atau rasa yang tersambung. Seolah pertemuan, perjumpaan dan jalinan rasa luntur oleh tindak lakunya sendiri.

Masih sulit memahami kemana arah artikel ini (?) Mari sedikit menyimak sebuah analogi –yang juga- pernah dilontarkan oleh salah seorang guru kami di Cordova. Dalam sebuah keluarga, kasih sayang dan cinta menjadi pilar penegak rasa. Orangtua menjadi sumber cinta bagi para anak yang dikasihinya. Di dunia ini, bagi makhluk yang memiliki nurani, tiada satupun orangtua yang tidak sayang dan cinta kepada buah hatinya. Tiada kemunafikan rasa dalam mengasihinya. Semua limpahkan kasih sayang untuk anak-anak tercintanya, sekalipun ia harus berenang dalam genangan darah dan airmata, meski ia harus mengorbankan rasa malu, kesal, marah, benci dan rasa-rasa yang berkecamuk dalam jiwanya. Ia tidak akan pernah mencampurkan air susu-nya dengan kotoran yang beracun, ia hanya ingin menyaksikan anak-anak kebanggannya hidup berkembang dengan rasa tulus yang tiada balas.

Setelah masa anak itu berkembang, tiba-tiba ada sosok asing yang entah asal-usulnya muncul darimana, memberikan sepotong kue dengan sedikit bualan manis, secara spontan si anak itu berpikir bahwa pemberiannya sangat luar biasa. Pujian mengalir deras, ia senang bahwa si orang asing ini teramat sayang kepadanya. Saking termakan oleh bualan manisnya, si anak termabuk oleh pemberian secuil kue itu hingga rela melupakan kasih serta sayang orangtuanya yang telah lama menyayanginya. Dengan pemberian itu’ ia merasa lebih disayang dan diperhatikan daripada orangtua yang telah lama melahirkan rasa.

Analogi ini mencerminkan bahwa siapapun kita, memiliki pilihan hidup masing-masing. Tiada yang menjamin bahwa kesetiaan, keloyalan dan kekeluargaan bisa tumbuh abadi, bersemi dalam kerangka cinta yang telah terbangun kokoh. Bak kisah Nabiyullah Adam As. yang tergelincir oleh hasut dan buaian iblis, meski telah berada dalam kehangatan cinta dan sayang-Nya ALLAH di surga-Nya.

Tiada kata ‘mantan’ dalam keluarga, tiada pula bahasa ‘pecat’ dalam keluarga ini. kalaupun ada hanyalah ungkapan “I’m Sorry Good Bye”, berjalanlah… tatap dan berkembanglah kau disana. Raih impian dan harapanmu!

Pernahkah Anda berhenti sejenak dari suatu perjalanan (?) Atau menoreh sesaat kebelakang untuk melihat sejauh mana perjalanan yang telah tertapak (?) Simple, kecil dan hal yang teramat mudah tentunya untuk kita lakukan, namun terkadang hal sederhana itu urung kita lakukan hanya karena enggan tergerus oleh kehidupan yang terus berlaju. Padahal sejatinya, berhenti sejenak itu adalah sebuah Sunatullah, sebuah keniscayaan yang tiada mungkin luput dari gerak nafas manusia dalam menapaki perjalanannya. Semua yang ada di Bumi ini memiliki kapasitas maksimal, dan agar mampu melakukan perjalanan nan panjang, ia harus selalu dipulihkan setelah mencapai kapasitas tertentu. Demikian dengan kondisi jiwa manusia, setelah mencapai perjalanan tertentu, ia perlu berhenti sejenak untuk muhasabah, menghitung dan menganalisis kualitas dirinya dalam mengemban hidup sejauh ini. berhenti sejenak sangat diperlukan dalam hidup, bukan untuk selamanya, tetapi hanya untuk melihat kebelakang tentang sejarah apa yang telah kita torehkan dalam skenario hidup, menapaki jejak langkah yang telah kita buat, mengatur langkah yang terseok, mengatur nafas yang tersenggal, untuk kemudian kembali berlari, lebih cepat, lebih terarah dan lebih mampu memikul beban.

Puncak berhenti yang terorganisir dengan teramat cantik di muka Bumi ini, hadir dalam prosesi Wukuf, yah berhenti sejenak untuk mengenali diri, instropeksi, dan mengatur bagaimana alur kehidupan yang telah dilaluinya selama ini. Hingga akhirnya efek dari pemberhentian itu menjadikan jiwa mengenali raga, jiwa memahami rasa, dan berujung kepada siapa Penggenggam raga serta siapa Pembulak-balik rasa.

Betapa mujarab-nya stopping effect, sehingga sahabat Rasulullah SAW, Muadz bin Jabal RA berkata kepada sahabatnya dengan ungkapan yang menyejukkan hati “Mari duduk sesaat untuk beriman”. Berhenti sejenak untuk menengok kondisi keyakinan kita terhadap apa yang kita lakukan ini agar tetap terjaga. Dengan berhenti sejenak yang berkualitas, akan serta merta mendorong kekuatan yang berlipat untuk melakukan perjalanan panjang.

Guna menghindari keragu-raguan dan mengokohkan semangat perjalanan, berhenti sejenak di tempat yang semestinya adalah langkah positif dan bermanfaat, seolah tampak merupakan langkah mundur, namun ketahuilah dengan selangkah ‘mundur’ itu, bisa dihasilkan seratus hingga seribu kali lipat langkah. Terkecuali bagi mereka yang memang lebih nikmat untuk berhenti selamanya.

Pun demikian dengan apa yang kerap Anda temukan dalam artikel di Website ini, ada jeda kosong dalam beberapa saat, namun kami tetap disini, berpijak di Bumi ini untuk kembali mensyiarkan apa yang semestinya disyiarkan. Semoga pemberhentian sejenak ini, bisa lebih memberikan suguhan baca yang berkualitas bagi pikir dan iman kita semua.

Salahsatu landasan ‘dresscode’ umrah dan haji menggunakan kain ihrom adalah pertanda kesatuan hakiki yang tiada beda antara manusia saat berhadap dengan-Nya. Kala berlindung di Haram-Nya kesucian tanah, kala rasa tiada arti tuk malu berbalut dua helai kain saja. Semuanya berada pada zona kesucian yang mengharamkan perbedaan status. Semua tamu-Nya sama, tamunya Dzat Maha suci. Tidak lantas karena sosok yang memiliki ‘pengaruh’ di sebuah negeri, menjadi sangat dominan dan diberlakukan berbeda dengan kelompok yang bersama menuju Tanah Haram. Bukan tidak diberlakukan spesial, karena –memang- mereka (Para tamu Allah) adalah sosok-sosok spesial yang musti dilayani dengan sangat perfect. Masalahnya hanya ada pada perbedaan lebih ‘rengkuh’ di antara tamu-tamu yang berada disekitarnya. Mereka menjadi lebih ‘terhormat’ dibanding dengan rekan sesama hajinya. Entah siapa lah dia yang jelas semua jiwa, semua manusia, dan semua hujaaj adalah sama di hadapan-Nya.

Karenanya, Cordova mencoba untuk selalu berada pada jalur yang melandasi hakikat kebersamaan para jamaahnya. Tidak ada figuritas jamaah yang lebih menonjol atau spesial untuk dilayani secara berlebih di antara jamaah lainnya. Baik itu tokoh masyarakat, tokoh nasional, politikus, artis bahkan seorang pejabat negara sekali pun. Semua mendapatkan porsi sama dengan pelayanan, karena –sekali lagi- mereka sama dihadapan Rabbul Izzati.

Terkadang kita menyaksikan bahwa ada sesuatu yang –rasanya- harus dibenahi dalam pelayanan para tamu Allah. Bukan kurang atau tidak maksimal dalam melayani, namun ada porsi-porsi yang dipandang sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai universal Haji. Masih adanya pengkategorian jamaah ‘borju’, berduit atau berkelas lebih mendapatkan pelayanan yang maksimal dibanding jamaah lainnya, maka tentu pelayanan itu sudah menyalahi nilai luhur ibadah haji. Bukankah Allah Sebagai ‘Tuan Rumah’ para Tamu-Nya saja memberikan karunia dan anugerah pada semua tamu-Nya tanpa pandang bulu, lalu mengapa kita musti sibuk untuk ‘mencari muka’ di hadapan ‘segelintir’ makhluknya.

Disinilah kami banyak belajar tentang bagaimana menjadi salahsatu ‘paku’ pelekat atas nama Cordova dalam melayani tamu-tamu suci dengan penuh rasa tulus. Tidak ada kategori jamaah yang harus menjadi idola hanya karena statusnya. Semuanya sama menjadi tujuan pelayanan yang maksimal. Karena nilai kebersamaan yang dibangun itulah setiap hajj guard Cordova terdidik untuk tidak menjadi pelayan yang silau akan status segelintir orang. Terlebih bangga hanya karena bisa berpose dengan tokoh idola. Atau mempromosikan bahwa si A, tokoh anu haji dan umrah bersama kita.

Untuk menjadi ‘sesuatu’, harus ada yang memberikan contoh secara langsung. Tentunya contoh harus datang dari yang mempunyai kedudukan lebih baik. Memperlakukan sama tanpa harus kehilangan nilai penghormatan. Figur yang menjadi contoh dalam melakukan apapun, sangatlah berperan dalam sebuah kehidupan. Seandainya saja setiap kita sangat mencintai Rasulullah SAW, tentunya kita tidak akan sulit mendapatkan figur untuk di contoh. Tidak melulu mengangkat orang untuk narsis bergaya di depan kamera, kemudian dijadikan contoh dengan berlebihan.

Bismillah, semua rasa terbangun atas dasar kecintaan yang berlapis tulus. Tiada cita yang terluhur kecuali melayani tamu suci-Nya dengan hati. Karena hatilah yang memiliki rasa. Rasa kebersamaan itulah yang menjadi tujuan awal dalam membangun komunitas Mabrur. Tidak malah ‘Lebih’ mengayomi satu dua orang saja, melainkan semua tetamu suci-Nya.

Bilangan tahun telah berubah, bagaimana seharusnya kita memaknainya (?) Apakah memang ada hal baru setiap masuk pada bilangan tahun yang baru (?) Rasa-rasanya, debar-debar dan gegap-gempita itu hanya dirasakan saat menjelang malam awal tahun kemarin. Langit di sekeliling kita tiba-tiba seperti memekik karena begitu banyak yang meniupkan terompet. Dan kembang api terus berdenyar menerangi angkasa, seolah tak pernah putus hingga ujung malam. Jalanan dibanjiri kendaraan, seakan malam itu semua orang mesti turun ke jalan agar tidak kehilangan momentum awal tahun. Macet lagi, sudah pasti. Klakson pun mulai dipencet, mendengking saling bersahutan. Lalu semuanya riuh dalam tawa kegembiraan, meski juga tak tahu apa maknanya. Barangkali karena telah berhasil melewati tahun, dalam artian tidak tamat riwayatnya alias wafat, dan akan bertemu tahun bilangan baru. Atau, itu hanyalah bentuk kompensasi dari kebingungan manusia memaknai awal tahun, selain hanya bisa hura-hura dengan meniupkan terompet, menerangi langit dengan kembang api, dan mejeng-mejeng di pinggir jalan hingga menjelang subuh.

Sementara, di ruang-ruang hiburan saling berlomba menampilkan “sang penghibur” –dan bisa dipastikan menampilkan biduan atau dancer yang secara visual tampak sensual-. Agar terkesan meriah, dibikinlah countdown raksasa yang menampilkan hitungan mundur sebelum suara menggelegar di seantero jagad. Hiburan pun terkadang berlangsung sampai pagi, sebab besok hari di awal tahun, biasanya pekerjaan diliburkan atau mungkin meliburkan diri. Namun karena kebetulan, hitungan awal tahun kali ini, tepat dengan hari minggu, malam pun tentunya semakin meriah.

Namun ada juga yang memaknai awal tahun dengan perenungan. Biar terkesan gebyar, maka perenungan ini pun dibuat secara massal yang dikemas dalam Tabligh Akbar. –padahal menurut saya- Apa mungkin kita bisa merenung di tengah orang banyak (?) Namun nyatanya, kita masih sering menemukan orang menangis meraung-raung di tengah lautan massa. Dan –tentu saya yakin- bukan tangis yang dibikin-bikin, terlebih ketika disebutkan dosa-dosanya, surga dan neraka, dan juga segala hal tentang kedurhakaan kepada orangtua. Mungkin, sekali lagi saya tekankan, mungkin, karena berada di tengah atmosfir ribuan manusia yang menangis, ia akan turut dalam larutan airmata, dan menyatakan akan tobat setobat-tobatnya. Meski kita semua tidak tahu bagaimana setelah keluar dari barisan jamaah. Sebab begitulah iman manusia, ibarat gelombang, kadang surut kadang juga pasang.

Setelah pesta dan perenungan akhir tahun itu selesai, semuanya akan senyap. Hingga subuh pun tiba. Dan pagi hari di awal tahun itu, nyatanya sama saja dengan pagi hari sebelumnya. Matahari yang menyembul adalah matahari yang itu-itu juga. Barangkali jadwal bangun pagi saja yang –mungkin- berubah kesiangan. Namun saya percaya, pedagang di pasar akan tetap tidak berubah, subuh-subuh telah menerjang gelap dan dingin. Pedagang bubur, ketupat sayur dan lain-lain masih terus berjuang hidup, sebab kehidupan harus tetap dijalani.

Lalu, sepanjang hari awal tahun itu pun kita habiskan dengan tetap agak malas, dan pastinya juga telah lupa buat apa meniup terompet hingga mulut terasa bengkak dan menghabiskan lusinan kembang api yang cahayanya semu di malam tadi. Memang, tahun baru tanpa terompet sepertinya tak lengkap. Laiknya Israfil tak lengkap melenyapkan bumi tanpa tiupan terompet sangkakala.

Seperti biasanya, untuk mengawali langkah baru di awal tahun baru Islam bukanlah hal yang terlalu menarik untuk didiskusikan. Mengapa (?) Karena hampir disetiap peralihan tahun baru, baik Masehi maupun Hijriyah, setiap kita selalu memiliki harapan lebih baik dalam melangkah. Beralih dari hal tidak baik menuju yang lebih baik, dari kondisi menjenuhkan pada situasi yang penuh dengan inspiratif. Dan dari hal-hal yang berbau usang menuju kondisi serba anyar pula. Pola kerja, sistem kerja, dan hal-hal “kata kerja” inilah yang terlampau usang untuk dibicarakan. Tetapi yang patut dijadikan inspirasi dalam mengawali tahun baru justru berada pada kata sifat “Semangat.” Yah, bagaimana konteks semangat itu dapat menguasai setiap jejak yang akan terpijaki. Bukan hanya diawal tahun baru tentunya semangat itu harus tetap terjaga. Tetapi menjadikan tahun baru sebagai momentum Re-Charge Semangat Baru adalah sesuatu yang sejatinya berkobar di setiap mengawali tahun baru. Jika semangat telah terpatri, maka apapun yang dikerjakan akan sangat mudah dan penuh dedikasi. Itulah kenapa Umar bin Khattab mencetuskan ide pembuatan kalender Hijriyah, sepenuhnya karena dilandasi semangat keislaman yang sangat kuat.

Begitu pula dengan Sultan Shalahudin Al-Ayubi, ketika menjadi Panglima perang Islam saat menghadapi kaum salibis, ia membakar semangat umat Islam yang pada saat itu terkesan berada pada titik stagnan. Sultan Shalahudin menabuh perang dengan mencetuskan sebuah perayaan ‘Maulid Nabi’ yang tak pernah ada sebelumnya. Dengan perayaan itu, Sang Sultan berharap semangat Umat Islam kembali naik dengan mengenang sekaligus merefleksi bagaimana perjuangan Rasulullah dalam menegakkan agama Islam. Begitu juga dengan Panglima Thariq bin Ziyad yang mampu menguasai Spanyol dengan membakar satu-satunya kapal laut milik umat Islam setelah di kepung oleh tentara Nasrani di pesisir pantai. Ide pembakaran itu tiada lain mengobarkan semangat juang tentara Islam untuk menghadapi musuh yang sudah di depan mata. Walhasil Islam berhasil masuk dan menguasai Andalusia.

Sejarah dan pembelajaran di atas, tentunya mengandung hikmah yang sangat dalam di mata umat Islam. Betapa pentingnya mencipta dan memelihara semangat, karena tanpa semangat, mustahil Islam akan berada di belahan bumi yang secara letak geografis sangat sulit tuk disinggahi.

Jika kita kaitkan makna hijrah dengan konteks kekinian khususnya Indonesia, apa yang dilakukan Rasul ‘yakni hijrah dari Mekkah ke Madinah’ mungkin tidak perlu kita lakukan, tetapi jelas hijrah mengandung hikmah yang luar biasa. Beberapa ulama menjelaskan bahwa makna hijrah adalah; meninggalkan negeri/daerah (syirik) menuju negeri tauhid, meninggalkan kondisi bid’ah menuju kondisi sunnah, serta hijrah (meninggalkan) kondisi yang tidak baik menuju kondisi yang relatif baik atau terwujudnya amalan yang baik sama sekali.

Setidaknya hijrah yang dilakukan berkaitan dengan hijrah nafsiyah (individu) dengan berusaha menjauhkan diri dari melakukan perbuatan yang menyimpang dan berusaha memperbaiki diri untuk bersih dari segala perbuatan kotor, sehingga hati, jiwa dan raga serta segala perbuatan menjadi suci. Setelah itu mulailah dengan berusaha menghijrahkan keluarga, kerabat, tetangga, lingkungan dan masyarakat sekitar, hingga pada akhirnya membentuk komunitas yang siap melakukan hijrah secara utuh dan keseluruhan.

Sehingga, benarlah pendapat yang mengatakan bahwa hijrah adalah momentum perjalanan menuju tegaknya nilai-nilai Islam yang membentuk tatanan masyarakat yang baru, yakni masyarakat Islam.

Terkadang, kita sering confused bagaimana menjelaskan kepada anak kita yang kritis menanyakan tentang hewan qurban yang disembelih secara massal saat hari raya Iedul Adha. Mungkin ada juga yang hampir menyamakan qurban itu mirip ritual sesajen, sebagai pemberian ‘upeti’ kepada Dzat Penguasa Alam. Untuk menjawab pertanyaan itu, setidaknya, kita harus melaraskan apa yang dimaksud qurban dengan bahasa yang sangat sederhana, bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka. Namun sebelumnya, -tentu- kita harus lebih tahu dan memahami definisi serta filosofi qurban seutuhnya. Qurban sesungguhnya salahsatu jenis ibadah paling tua di dunia. Perintah penyembelihan Nabiyullah Ismail, putra Khalilullah Ibrahim adalah kepatuhan seorang hamba kepada RABB-nya. Harta paling berharga Ibrahim AS adalah anaknya. Padahal ia mendapatkan Ismail -buah hatinya-, setelah penantian yang begitu panjang. Sisi lainnya, qurban adalah pendekatan diri secara sempurna kepada ALLAH SWT. Qurban akar kata dari qaraba – yaqrabu – qurbaanan. Biasanya dalam bahasa Arab, kalau satu kata diakhiri dengan alif dan nun, mengandung arti ‘yang sempurna’. Seperti qara-a, yaqra-u, qiraatan, qur’anan, dengan arti “Bacaan yang sempurna”. Begitupun pengertian dari Qurbaanan berarti “Pendekatan yang sempurna”.

Oleh karenanya, untuk menggambarkan kesempurnaan itu terlihat pertama kali pada binatang yang disembelih, tidak boleh ada yang cacat. Artinya, hewan yang disembelih harus sebaik-baiknya. Dari segi subtansinya, seorang yang berkorban jangan setengah-setengah, harus sempurna. Jika kita perhatikan ada dua nilai dari peristiwa qurban ini, pertama, jangan pernah menganggap sesuatu itu mahal ketika tujuannya mempertahankan nilai-nilai Ilahiyah. Value kedua, disisi lain jangan sekali-kali kita melecehkan manusia, jangan sekali-kali mengambil hak-hak manusia, karena manusia itu makhluk agung yang sangat dikasihi ALLAH. Karena kasihnya ALLAH kepada manusia, maka digantilah Ismail dengan seekor binatang.

Qurban adalah puncak pengorbanan dari totalitas kita selaku makhluk. Karena didalamnya mengandung dua dimensi ibadah yang bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, kejadian simbolik itu merupakan upaya pendekatan diri (qurban) dalam menangkap nilai dan sifat-sifat Ilahiyah. Secara horizontal, hal demikian melambangkan keharusan manusia untuk membumikan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata.

Saya utarakan diatas, bahwa qurban hanyalah simbol ketaatan belaka. Karena –meski- jenis pengorbanan itu adalah hewan, namun sesungguhnya esensi itu terdapat dibalik ritual penyembelihannya, yakni ketaatan dan totalitas. Karena daging dan darah yang diqurbankan tidak akan pernah sampai kepada ALLAH, hanya ketakwaannya itulah yang menjadi nilai di sisi-Nya. Selanjutnya, barulah daging dan sejenisnya menjadi kebaikan sebagai ibadah horizontal.

So, pengertian tentang pembantaian hewan dalam mendekatkan diri kepada ALLAH setiap hari raya Iedul Adha adalah salah. Karena –memang- tujuannya bukan menjadikan bulan ini sebagai bulan ‘berdarah-darah’ tetapi bulan ketaatan yang total. Puncak dari segala ritual pengabdian. Sehingga hanya ALLAH dan qurbannya lah yang tahu, hewan mana yang akan menjadi saksi di surga kelak.

Kembali kepada pertanyaan polos anak kita, bagaimana perasaan hewan qurban ketika menanti waktu disembelih, setelah mendengar dan melihat ‘kerabatnya’ dijagal. Maka cukup kita katakan, bahwa hewan qurban itu paling senang jika mati untuk di qurbankan di hari raya.

Agar tidak hilang dan percuma begitu saja, kami akan selalu menjadi ‘pemungut’ serakan ilmu yang abadi dan bermanfaat di suatu saat nanti. Jika Anda kurang mengerti apa maksud dari awal tulisan ini, maka baiknya coba membaca postingan artikel sebelumnya ‘Today For Tomorrow’. Setelah jelas maksudnya, maka Anda akan paham, bahwa serakan ilmu yang dimaksud itu adalah status profile dari sosok yang kami banggakan. Dalam dan merangsang otak untuk belajar memahami apa yang ia maksud disetiap status yang diposting dalam BBM-nya. Kala itu tulisannya adalah ‘Sky to Sky’ –yang- mungkin saat ini sudah berubah lagi. Sebelum saya menanyakan langsung apa maksud Sky to Sky, saya coba mengeksplor seharian untuk mencari tahu apa yang ia maksud ‘dari langit ke langit’. Rasanya sulit untuk dimengerti, meski dibantu klu dengan gambar gumpalan langit, tetapi pikiran saya –tetap- tidak bisa menjelajahinya. Padahal jawabannya sangat simple, yang dimaksud sky to sky adalah pikiran dan –tentunya- ide sebagai buah dari pikir yang harus seluas dan sedalam langit. Dalam dan luasnya laut tidak sedalam dan seluas langit. Secara tidak langsung, status itu mengajarkan kita untuk terus berpikir tanpa henti, mendalami segala arus yang berkecamuk dalam riak alam pikir. Karena satu-satunya yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah pikiran.

ALLAH SWT menciptakan sesuatu selalu berpasang-pasangan. Ada siang ada malam, ada langit dan juga bumi. Posisi otak diatas, sedangkan hati berada di bawah. Sangat logic bila sky to sky adalah perumpamaan luasnya domain otak untuk berpikir. Jika kita andaikan otak itu langit, maka hati adalah bumi. Di langit ada petir berbentuk listrik, sedangkan di bumi terdapat medan magnet, karena penetral listrik yang baik adalah bumi. Hubungan antara otak dan hati sangat erat, karena keduanya memegang peranan penting dalam segala aktivitas hidup.

Otak merupakan simbol pengetahuan, kecerdasan dan kekuasaan. Sedangkan hati adalah simbol kebajikan. Bila otak selalu di atas, maka hati menariknya ke bawah, tujuannya agar manusia selalu mengingat asal-muasalnya yang terbuat dari tanah dan akan kembali ke tanah. Adakalanya posisi otak dan hati selaras, kita dapat menjumpainya ketika seorang hamba bersujud sewaktu shalat. Jika kita lukiskan hubungan itu, suatu hubungan yang sangat bersahaja. Hal ini tercipta karena seorang hamba bersujud merendahkan dirinya. Bahkan, merendahkan dirinya sampai ke titik nadir di hadapan sang Khalik. Penyerahan yang ikhlas ini menunjukan betapa tidak berdayanya manusia di saat tengah bersujud di hadapan ALLAH Yang Maha Tinggi.

Dari ‘Sky to Sky’ kita dapat menjelajah, betapa peranan otak, dalam hal ini pikiran, mampu menciptakan segala hal yang diinginkan manusia untuk melakukan apa saja. Buah karya yang akan dinikmati oleh jutaan manusia selalu bermula dari lintasan pikir. Ia (otak) tidak akan bekerja, jika kita sengaja mengubur kreativitas otak dengan malas untuk (dipaksa) berpikir. Dari ‘Sky to Sky’ mengajarkan kita, bahwa otak itu harus dibuat bekerja agar pikiran ini menjadi tajam. Otak ibarat raksasa, karena dengan otak, manusia bisa membuka sedikit demi sedikit rahasia alam semesta. So’ mari bersama belajar untuk tidak membiarkan otak menjadi malas, karena raksasa itu sudah harus dibangunkan kembali.