Usia Berlalu di Tahun Baru

Bilangan tahun telah berubah, bagaimana seharusnya kita memaknainya (?) Apakah memang ada hal baru setiap masuk pada bilangan tahun yang baru (?) Rasa-rasanya, debar-debar dan gegap-gempita itu hanya dirasakan saat menjelang malam awal tahun kemarin. Langit di sekeliling kita tiba-tiba seperti memekik karena begitu banyak yang meniupkan terompet. Dan kembang api terus berdenyar menerangi angkasa, seolah tak pernah putus hingga ujung malam. Jalanan dibanjiri kendaraan, seakan malam itu semua orang mesti turun ke jalan agar tidak kehilangan momentum awal tahun. Macet lagi, sudah pasti. Klakson pun mulai dipencet, mendengking saling bersahutan. Lalu semuanya riuh dalam tawa kegembiraan, meski juga tak tahu apa maknanya. Barangkali karena telah berhasil melewati tahun, dalam artian tidak tamat riwayatnya alias wafat, dan akan bertemu tahun bilangan baru. Atau, itu hanyalah bentuk kompensasi dari kebingungan manusia memaknai awal tahun, selain hanya bisa hura-hura dengan meniupkan terompet, menerangi langit dengan kembang api, dan mejeng-mejeng di pinggir jalan hingga menjelang subuh.

Sementara, di ruang-ruang hiburan saling berlomba menampilkan “sang penghibur” –dan bisa dipastikan menampilkan biduan atau dancer yang secara visual tampak sensual-. Agar terkesan meriah, dibikinlah countdown raksasa yang menampilkan hitungan mundur sebelum suara menggelegar di seantero jagad. Hiburan pun terkadang berlangsung sampai pagi, sebab besok hari di awal tahun, biasanya pekerjaan diliburkan atau mungkin meliburkan diri. Namun karena kebetulan, hitungan awal tahun kali ini, tepat dengan hari minggu, malam pun tentunya semakin meriah.

Namun ada juga yang memaknai awal tahun dengan perenungan. Biar terkesan gebyar, maka perenungan ini pun dibuat secara massal yang dikemas dalam Tabligh Akbar. –padahal menurut saya- Apa mungkin kita bisa merenung di tengah orang banyak (?) Namun nyatanya, kita masih sering menemukan orang menangis meraung-raung di tengah lautan massa. Dan –tentu saya yakin- bukan tangis yang dibikin-bikin, terlebih ketika disebutkan dosa-dosanya, surga dan neraka, dan juga segala hal tentang kedurhakaan kepada orangtua. Mungkin, sekali lagi saya tekankan, mungkin, karena berada di tengah atmosfir ribuan manusia yang menangis, ia akan turut dalam larutan airmata, dan menyatakan akan tobat setobat-tobatnya. Meski kita semua tidak tahu bagaimana setelah keluar dari barisan jamaah. Sebab begitulah iman manusia, ibarat gelombang, kadang surut kadang juga pasang.

Setelah pesta dan perenungan akhir tahun itu selesai, semuanya akan senyap. Hingga subuh pun tiba. Dan pagi hari di awal tahun itu, nyatanya sama saja dengan pagi hari sebelumnya. Matahari yang menyembul adalah matahari yang itu-itu juga. Barangkali jadwal bangun pagi saja yang –mungkin- berubah kesiangan. Namun saya percaya, pedagang di pasar akan tetap tidak berubah, subuh-subuh telah menerjang gelap dan dingin. Pedagang bubur, ketupat sayur dan lain-lain masih terus berjuang hidup, sebab kehidupan harus tetap dijalani.

Lalu, sepanjang hari awal tahun itu pun kita habiskan dengan tetap agak malas, dan pastinya juga telah lupa buat apa meniup terompet hingga mulut terasa bengkak dan menghabiskan lusinan kembang api yang cahayanya semu di malam tadi. Memang, tahun baru tanpa terompet sepertinya tak lengkap. Laiknya Israfil tak lengkap melenyapkan bumi tanpa tiupan terompet sangkakala.

Related Post

One Comment

  • HIDUP berdasarkan trend yg mendunia. Dan dunia barat telah sukses membawanya ke negeri merah putih ini. Walau mayoritas umat di Indonesia beragama islam. Salah satu moment yg banyak ditunggu-2 sepanjang tahun utk para muda adalah Tahun Baru. Mereka bisa begadang, berkonvoi, kumpul-2 bareng temen & ngeceng selama setahun dalam hitungan jam atau menit. Itu yg paling indah katanya di Tahun Baru Masehi. Tapi, tetap jangan lupa Tahun Baru Hijriyahnya, ya ? Kalau tidak mau dibilang lupa pada diri sendiri bagi umat muslim. Trim’s.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *