Kembali Mengarungi Samudra Cinta

Sebelum tulisan ini naik, saya coba flashback pada perjalanan tahun lalu yang penuh dengan arti. Beragam rasa bercampur bersama kehangatan cinta yang sulit tuk dilupakan. Yah, sebuah perjalanan yang tidak berujung. Laiknya jutaan mimpi indah yang terus ditunggu, edisi akhirnya tiada pernah ada dalam satu harap sedikit pun. Ingin selalu berlanjut, merajut kebersamaan di Tanah Suci. Bercengkram dengan langkah-langkah suci. Dan bersyukur diantara tapak-tapak para Nabi. Indah dan rasanya sulit tergambarkan oleh sketsa kehidupan. Semuanya menyentuh sendi-sendi kerinduan yang hakiki. Karena –memang- saat itu kita berada di ranah Sang Maha Suci. Tahun ini kembali rasa syukur yang tak terukur atas segala limpahan Karunia-Nya. Rasa syukur karena masih diberikan amanat untuk kembali menemani para Tamu-Nya ke Tanah Suci. Kembali meraih mimpi dengan langkah yang terpatri. Perjalanan tak bertepi itu menjadi saksi betapa kekuatan rasa tidak akan pernah terbendung oleh duri yang menghalang, karena kebersamaan selalu menjadi pondasi awal setiap langkah terkayuh.

Manusia adalah makhluk dinamis, tidak statis. Tidak selalu datar, terlebih diam membatu. Bergerak dan terus bergerak. Tetapi dari pergerakan itu, hanya organ yang bersifat motorik saja yang membedakan manusia dengan benda mati, padahal manusia juga bisa berubah menjadi makhluk yang statis dan bahkan diam jika tidak disebut ‘mati’. Sebutan ‘ekstrim’ itu tentu mengundang pro-kontra ketika kita hanya mendengar kalimat ‘Manusia bisa berubah menjadi benda mati’, yah mati disini ketika brain tidak menghasilkan sesuatu yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Ide yang mandeg, pikiran yang nyusut dan cenderung terus mengalami penurunan. Adalah awal manusia berubah menjadi “Benda Mati” secara minded, yang hanya tumbuh organ-organ motorik-nya saja, tidak lebih dari itu. Oleh karenanya kerangka pikir yang menghasilkan daya pikir adalah prioritas utama yang diemban Rasul untuk “Berpikir”, tentunya berpikir secara terbuka dan tidak parsial. Mudah menerima ide orang dan mengeksplor segala sesuatunya melalui kekuatan berpikir dari diri dan jiwanya sendiri.

“Sesungguhnya agama itu mudah, tidak ada seseorang yang berlebih-lebihan dalam agama kecuali akan terkalahkan.” (HR. Bukhari)

Nafsu adalah jiwa manusia dalam kehidupan di dunia. Ketika ia masih berada dalam janin pada rahim ibunya, “Nafsu” disebut sebagai ruh. Begitu lahir barulah ia dikatakan sebagai nafsu. Dalam bahasa Arab, “Nafsu” adalah kata benda abstrak yang lebih sukar dipahami. Adapun rasa dapat diekspresikan dengan gerakan fisik tubuh, sehingga mudah diaplikasikan. Oleh sebab itu, penggunaan kata-kata yang merujuk pada aktivitas nafsu selalu didahului oleh kata “Rasa”, seperti: rasa malu, rasa birahi, rasa cinta dll. Definisi-definisi di atas sesungguhnya adalah stimulus dalam menjabarkan tema artikel ini. yah, stimulan yang memiliki garis yang sangat halus dalam memandang sebagian orang yang berprilaku lebay dalam segala hal. Karena aktivitas lebay adalah cerminan nafsu negatif yang menjalar untuk eksis dalam panggung kehidupan. Terlebih jika konteks lebay ini dibalut pada kegiatan religius agar menghilangkan citra negatifnya. Berlebih-lebihan atau kerap dikatakan Lebay kadang bermotif pencitraan yang berlebih, atau ingin agar eksistensinya terakui.

Dalam sebuah perjalanan menuju kantor pagi tadi, saya teringat dengan sebuah kata yang sulit dilupakan begitu saja. Kata yang tertulis dalam forum discuss kami itu, jelas menggambarkan bahwa terdapat sebuah kekuatan maha dahsyat dibalik kata itu. Meski –sebenarnya- sudah sering terdengar atau menjadi menu diskusi kita setiap saat, namun terkadang ‘kata’ itu tak ubahnya hanya sebagai pemanis bibir atau pelengkap teks pidato di mimbar-mimbar. Terlebih jika berbentur dengan hasrat manusia yang tak pernah habis. ‘kata’ itu akan menjadi beban untuk diaplikasikan. Yah, ‘kata’ ajaib itu adalah “Syukur”. Banyak sekali puing-puing syukur di sekitar kita, karena mungkin sangat mudah untuk dihafal dan diuraikan dengan contoh-contoh klasik, sehingga terkadang kita lupa untuk menjadi hamba yang penuh dengan rasa syukur. Bersyukur secara sederhana dapat dikatakan sebagai ungkapan terimakasih kepada Tuhan karena telah diberi nikmat oleh-Nya. Dengan syukur itu, kita mengakui ke-Maha Pengasih dan Penyayang sebuah Dzat Maha Agung. Logika sederhananya, dapat dikatakan bahwa kasih sayang dari Allah SWT pastilah berwujud sesuatu yang besar. Maka berangkat dari sini, kita dapat katakan pula bahwa bersyukur kepada-Nya harus diawali dengan pemahaman dan pengakuan bahwa kita telah diberi sesuatu yang sangat besar dan luarbiasa oleh-Nya.

Sastra

Ada masa waktu kan berhenti
Saat kaki tak kunjung tapak di tanah suci
Berlabuh dengan peluh dalam diri
Tak terbayang hasrat tuk berhaji
Terlebih harus mengambil cuti
Hanya untuk mengerjakan haji
Di sini, di Tanah Suci

Ada saat masa kan berjalan pelan
Bahkan teramat pelan
Tuk memberi ruang para jutawan
Tuk berhaji di Rumah Tuhan
Merangkai sejuta keindahan
Di sini, di bangunan Tuhan

“Jangan lupa, kala meniup terompet di malam tahun baru nanti, berdoalah semoga Israfil tetap tak tergoda untuk turut meniup terompet sangkakalanya.”

Bilangan tahun sebentar lagi berubah, bagaimana seharusnya kita memaknainya (?) Apakah memang ada hal baru setiap masuk pada bilangan tahun yang baru (?) Rasa-rasanya, debar-debar dan gegap-gempita itu hanya akan kita rasakan ketika menjelang malam awal tahun. Langit di sekeliling kita tiba-tiba seperti memekik karena begitu banyak yang meniupkan terompet. Dan kembang api terus berdenyar menerangi angkasa, seolah tak pernah putus hingga ujung malam. Jalanan dibanjiri kendaraan, seakan malam itu semua orang mesti turun ke jalan agar tidak kehilangan momentum awal tahun. Macet lagi, sudah pasti. Klakson pun mulai dipencet, mendengking saling bersahutan. Lalu semuanya riuh dalam tawa kegembiraan, meski juga tak tahu apa maknanya. Barangkali karena telah berhasil melewati tahun, dalam artian tidak tamat riwayatnya alias wafat, dan akan bertemu tahun bilangan baru. Atau, itu hanyalah bentuk kompensasi dari kebingungan manusia memaknai awal tahun, selain hanya bisa hura-hura dengan meniupkan terompet, menerangi langit dengan kembang api, dan mejeng-mejeng di pinggir jalan hingga menjelang subuh.

Dalam suatu perusahaan, setiap produk, tentunya akan selalu mencapai titik jenuh. Sehingga hal ini mengharuskan setiap perusahaan melakukan inovasi atas produknya. Paling tidak hanya merubah bentuk, walaupun komposisi dan kontennya tetap. Bisa juga hanya dengan menggalakkan lagi promosi, memperbagus seni pengemasan, bahkan sampai melakukan merger atau joint venture dengan perusahaan lain hanya demi melakukan sebuah inovasi sebuah produk baru. Hal itu tentu saja bertujuan untuk menjaga keberlangsungan ‘hidup’ perusahaan ditengah persaingan yang menggila. Titik jenuh, itulah sebuah awal mula yang terkadang begitu mengerikan. Bisa saja seseorang jenuh, sehingga dengan kejenuhannya dia malah tidak berproduksi sama sekali. Jika tubuh diibaratkan sebagai sebuah perusahaan, dimana dia memproses input atau bahan baku menjadi output yang siap pakai. Maka kelangsungan dari tubuh ini haruslah dipertahankan. Sama seperti contoh perusahaan diatas. Manusia itu sendiri adalah makluk yang paling cepat bosan. Sehingga selalu mencari sensasi. Mulai dari hiburan yang rileks sampai hiburan yang begitu extreme.

Sebuah Perenungan

Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya…..
Akan sering merasa kangen sekali dengan Ibunya.

Lalu bagaimana dengan Ayah?
Mungkin karena Ibu lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari.
Tapi tahukah kamu, jika ternyata Ayah-lah yang mengingatkan Ibu untuk menelponmu?

Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Ibu-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng.
Tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Ayah bekerja dan dengan wajah lelah Ayah selalu menanyakan pada Ibu tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?

Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil……
Ayah biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda. Dan setelah Ayah mengganggapmu bisa, Ayah akan melepaskan roda bantu di sepedamu…
Kemudian Ibu bilang : “Jangan dulu Ayah, jangan dilepas dulu roda bantunya” ,
Ibu takut putri manisnya terjatuh lalu terluka….
Tapi sadarkah kamu?
Bahwa Ayah dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.

Sebelum membahas kenapa tahun baru Islam, atau bulan Muharam identik dengan lebarannya anak yatim, kita telusuri terlebih dulu tentang Tahun Baru Islam ini. Penggunaan sistem perhitungan Islam ini –sesungguhnya- belum dilakukan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Juga tidak dilakukan di masa khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Secara singkat sejarah digunakannya sistem perhitungan tahun Islam bermula sejak kejadian di masa Umar bin Al-Khattab ra. Salah satu riwayat menyebutkan yaitu ketika khalifah mendapat surat balasan yang mengkritik bahwa suratnya terdahulu dikirim tanpa angka tahun. Beliau lalu bermusyawarah dengan para shahabat dan singkat kata, mereka pun berijma’ (bersepakat) untuk menjadikan momentum tahun di mana terjadi peristiwa hijrah nabi sebagai awal mula perhitungan tahun dalam Islam. Sedangkan sistem kalender Qamariyah berdasarkan peredaran bulan konon sudah dikenal oleh bangsa Arab sejak lama. Demikian juga nama-nama bulannya serta jumlahnya yang 12 bulan dalam setahun. Bahkan mereka sudah menggunakan bulan Muharram sebagai bulan pertama dan Dzulhijjah sebagai bulan ke-12 sebelum masa kenabian.

Mengawali langkah baru di awal tahun baru Islam bukanlah hal yang terlalu menarik untuk didiskusikan. Mengapa (?) Karena hampir disetiap peralihan tahun baru, baik Masehi maupun Hijriyah, setiap kita selalu memiliki harapan lebih baik dalam melangkah. Beralih dari hal tidak baik menuju yang lebih baik, dari kondisi menjenuhkan pada situasi yang penuh dengan inspiratif. Dan dari hal-hal yang berbau usang menuju kondisi serba anyar pula. Pola kerja, sistem kerja, dan hal-hal “kata kerja” inilah yang terlampau usang untuk dibicarakan. Tetapi yang patut dijadikan inspirasi dalam mengawali tahun baru justru berada pada kata sifat “Semangat.” Yah, bagaimana konteks semangat itu dapat menguasai setiap jejak yang akan terpijaki. Bukan hanya diawal tahun baru tentunya semangat itu harus tetap terjaga. Tetapi menjadikan tahun baru sebagai momentum Re-Charge Semangat Baru adalah sesuatu yang sejatinya berkobar di setiap mengawali tahun baru. Jika semangat telah terpatri, maka apapun yang dikerjakan akan sangat mudah dan penuh dedikasi. Itulah kenapa Umar bin Khattab mencetuskan ide pembuatan kalender Hijriyah, sepenuhnya karena dilandasi semangat keislaman yang sangat kuat.