Tidak terasa, waktu terus berlari tanpa menoleh dan berhenti sedikit pun. Detik-detik keberangkatan jemaah haji sudah semakin mendekat. Bagi kami, tiada agenda besar dalam aktivitas hidup, selain menghadapi hari-hari haji. Menjadi bagian dari helaian ‘rongga’ penyangga tamu suci-Nya adalah komitmen kami. Semua detak aktivitas tertuju pada satu rentetan perjalanan haji, baik di Tanah Air, maupun di Tanah Suci nanti. Dalam penantian menuju moment suci itu, banyak hal –tentunya- pada masa-masa ini. Baik penantian kabar mengenai waktu Pelunasan dari Depag, jumlah akhir no porsi, maupun tentang penambahan kuota haji dari Pemerintah Saudi. Pun demikian beberapa pertanyaan mengenai haji menjadi menu yang asyik untuk diperbincangkan. Suatu hari, ada seorang smartHAJJ bertanya tentang keterkaitan ayat Allah mengenai larangan berbuat Fasik, Rafast dan Jidal saat melaksanakan haji. Dengan hukum atau larangan yang mengakibatkan denda atau dam saat berhaji. Jika disederhanakan, hanya perbuatan Fasik, rafast, dan berbantah-bantahan lah yang tidak memiliki kadar ‘hukuman’, denda maupun dam yang ditentukan sesuai syariat. Berbeda dengan mencukur janggut saat ihram misalnya, atau menggunakan kain berjahit selain ihram bagi jemaah pria. Semua larangan saat ihram itu memiliki kadar hukum yang ditentukan, tetapi yang jelas-jelas termaktub dalam Al-Quran mengenai larangan fasik, rafast dan jidal itu tidak memiliki ketetapan denda (hukuman) jika dilakukannya.

Pelik awalnya mengupas ‘misteri’ yang jarang terungkap dipermukaan. Benar bahwa kenapa saat kita mendapat hukuman menyembelih kambing misalnya, karena memotong tangkai pohon, tetapi tiada ketetapan denda bagi orang yang melakukan perbuatan rafast. Jika dicermati, ternyata ada dua macam pelanggaran yang memiliki tebusan secara cash (material) dan tebusan secara pengakuan atau pertaubatan.

Analoginya sama ketika jemaah haji bisa menerima saat antre panjang di tenda Mina (karena sedang ihram), demikian juga ketika berdesak-desakkan saat melempar jumrah (karena masih pada prosesi haji), pun saat kepanasan di Arafah ketika wukuf. Dengan segala kekurangan yang terjadi pada kondisi terburuk sekalipun. Mereka sangat ikhlas menerima apapun yang terjadi. Tetapi bisakah mereka menerima ketika baru datang di Saudia, hanya mendapatkan bus jelek yang menghantar mereka ke Madinah. Bisakah jemaah haji ikhlas ketika harus menunggu lama di tempat check-point bus yang bisa sampai berjam-jam. Dapatkah dipastikan jemaah rela ketika pesawat yang mereka tumpangi menuju Saudia mengalami delay, hingga mengganggu jadwal hari-hari selanjutnya.

Sebenarnya, sejak niatan suci tertancap untuk melaksanakan haji, maka sejak itulah kaidah sebagai tamu Allah menjadi predikat yang disandangnya. Terlebih ketika bulan-bulan sebelum Dzulhijjah telah mendekat. Karena Allah SWT berfirman bahwa waktu Haji itu pada bulan-bulan yang ditentukan. Syawal dan Dzulqo’dah adalah dua gerbang waktu yang akan memberikan pemaknaan sesungguhnya bagaimana haji kita nanti.

Ada waktu senggang sebelum hari Arafah, itulah waktu yang diharapkan sebagai pembentuk pola manusia (tamu Allah) yang akan secara ‘ekstrim’ menjadi sosok yang kembali suci. Pembentukkan sikap dan karakter itulah yang secara alami membutuhkan beberapa waktu (tidak instan) saat berada di Arafah. Sesungguhnya sikap dan jejak yang kita langkahi sekarang di bulan suci ini adalah jejak menuju pembentukkan manusia sempurna yang dijanjikan Allah pada saat wukuf di Arafah nanti. Kembali seperti bayi yang baru terlahir, semuanya bermula dari nol. Subhanallah…

Dua kasus diatas adalah contoh, betapa mulianya hukum yang Allah turunkan untuk manusia mulia di Tanah Suci-Nya

Ramadhan kian dekat. Semoga Allah memberi kesempatan usia kita untuk sampai kepadanya. Alhamdulillah, setiap kali bulan suci datang, gairah keimanan umat Islam umumnya mengalami kenaikan. Masjid ramai didatangi. Perlengkapan ibadah laris terjual. Toko buku kebanjiran pengunjung. Banyak diantara Umat Islam mendadak jadi kutu buku. Sebuah gejala positif yang semestinya terjadi sepanjang tahun. Perintah Allah SWT kepada kita untuk menimba ilmu sedemikian jelasnya melalui firman-Nya, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq :1-5). Banyak diantara kita telah berkali kali mendengar atau membacanya dalam shalat, ceramah, atau berbagai tulisan. Namun pada kenyataannya minat baca kita masih tertinggal jauh dibanding masyarakat di negara-negara maju. Kiranya perlu gerakan yang dahsyat untuk mengejar keterbelakangan itu. Salah satunya dengan memanfaatkan momen Ramadhan untuk meningkatkan iman, ilmu dan keshalehan sosial. Keterbelakangan kita dalam minat baca sebenarnya lebih tepat disebut kemunduran. Karena pada era sahabat, para salafus shaleh dan zaman keemasan kita di Cordova dan Baghdad, umat Islam sedemikian gandrungnya dengan ilmu pengetahuan.

Dalam buku Gila Baca ala Ulama karya Ali bin Muhammad Al-Imran (terbitan Pustaka Arafah), Ibnul Qayyim Al Jauziah menuturkan, seorang alim, Abul Barakat yang saking mesranya dengan buku, ia memintakan dibacakan buku dengan bacaan yang keras agar dia bisa mendengar apabila ia hendak masuk toilet untuk buang hajat. Ibnul Qayyim Al Jauziah sendiri telah membaca lebih dari 200.000 jilid buku semasa hidupnya. Gurunya, Ibnu Taimiyyah bersikukuh untuk tetap membaca buku meski sedang sakit. Bahkan membaca buku dianggap sebagai penawar sakitnya. Beliau tidak pernah berhenti mengkaji dan menyusun kitab sepanjang hidupnya.

Di era informasi, tidaklah istimewa bila orang bepergian membawa buku untuk dibaca selama perjalanan. Dengan format digital, buku yang beribu-ribu lembar cukup dikemas dalam sebuah tablet pc. Bayangkan di zaman para ulama terdahulu, dimana seorang ulama membawa serta buku-bukunya hingga satu tenda. Ada juga yang memanggul sendiri buku-bukunya setiap kali safar.

Minat baca kita bisa diukur salah satunya dengan seberapa besar uang yang kita habiskan untuk belanja buku. Abul Alla’ Al Hamadzani sampai harus menjual rumahnya untuk memenuhi hasrat memburu buku. Rumah senilai 500 dinar bila dikonversikan di masa kini sekitar Rp 726 juta lebih. Wajarlah bila ia bermimpi masuk surga bersama bukunya. Bagaimana dengan kita (?)

Sebagaimana seorang pemain bola yang saking terobsesinya dengan bola, sampai tidurpun dengan bola, Hasan Al lu’luani tak pernah menghabiskan waktu tidurnya tanpa sebuah buku yang tergeletak di atas dadanya. Kegemaran terhadap buku-buku terus berlanjut hingga masa kejayaan Islam di Baghdad dimana perpustakaannya menampung 400 hingga 500 ribu jilid buku. Dunia menangis saat perpustakaan tersebut dihancurkan oleh tentara Mongol. Buku-bukunya di bakar dan dibuang ke Sungai Tigris. Kemudian di era berikutnya, penghapusan bahasa arab di beberapa negara muslim, membuat umat Ini semakin jauh dari ketinggian peradaban nenek moyang mereka dan Islam tentunya. Justru negara-negara barat yang bukan dimotivasi oleh cahaya Tauhid, kian melesat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penyebaran buku-bukunya.

Jadi kapan kita merubah dunia (?) Rubah dulu diri dan keluarga kita dan mulailah kampanyekan gerakan baca buku dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Momen Ramadhan ini adalah kesempatan emas kita.

Tema yang aneh. Itulah –mungkin- awal pikiran Anda membaca tema ini. Yah, terinspirasi dari film bollywood ‘My Name is Khan’, tema ini muncul seketika. Kendati substansi didalamnya tidak se-hero Khan yang melibatkan masalah percintaan diantara agama dan perseteruan Pakistan dengan India. Tetapi artikel ini justru mengupas pergulatan ‘pengaruh’ yang akan membawa cerita tentang semua aktifitas hidup, termasuk cinta. Jika kita masuk pada ranah kepemimpinan, maka setiap orang adalah pemimpin. Dan inti dari kepemimpinan adalah pengaruh. Seberapa besar pengaruh itu bisa menggerakkan manusia lain, maka sebesar itu pula kepiawaian ia dalam ber-leadership. Seperti halnya Rasulullah SAW. bagaimana beliau memberikan ‘influence’ positif terhadap kondisi Jahiliyah yang nyata-nyata bertolak belakang dengan akhlak dan kepribadiannya. Bukan hanya memberikan pengaruh terhadap dirinya sendiri, bahkan Rasulullah SAW mampu memberikan positive influence pada umat manusia hingga detik ini. Banyak faktor bagaimana orang dapat mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku seseorang. Baik itu pengaruh positif maupun negatif. Namun hal yang paling dominan dalam memberikan influence adalah sebuah tindakan. “Tindakan Anda memiliki kekuatan yang lebih dahsyat untuk mempengaruhi orang lain daripada perkataan Anda,” begitu kata Oliver Goldsmith, seorang motivator dunia.

Melalui Kehendak-Nya, Allah SWT memberikan kemampuan pada sosok-sosok manusia yang dapat memberikan pengaruh dalam kehidupan dunia. Terlepas dari pengaruh positif maupun negatif. Sosok itu akan menjadikan kekuatan yang bisa menciptakan sesuatu di luar nalar manusia pada umumnya. Jika Soekarno memiliki kemampuan retorika untuk mempengaruhi jutaan manusia dalam pidatonya, maka lain lagi dengan sosok seniman semisal Iwan Fals, yang mampu menggerakkan ribuan massa untuk menyerap sosial kritik dalam senandungnya. Orang yang terpengaruh pada ‘sesuatu’ itu, secara spontan akan muncul dalam itikad jiwanya untuk selalu mendengar dan mengikuti setiap kata dan prilaku manusia ‘lebih’ itu.

Mafhum mukhalafah (pemahaman terbaliknya) ketika pengaruh negatif itu dihembuskan oleh Iblis. Ia akan menjadikan pengaruh sesatnya itu menjadi senjata pamungkas untuk menyukseskan setiap manusia pada tujuan dan hajatnya. Ia jalankan pengaruhnya dengan all out untuk terus merubah paradigma manusia dalam memandang sebuah kebenaran menjadi sesuatu yang bertentangan dengan hakikat kebenaran itu sendiri. Hal itulah (all out) yang membuat Iblis sang durjana selalu sukses dalam mempengaruhi manusia untuk selalu menjadi pengingutnya.

Pengaruh bisa kita temukan dimana saja. Film, musik, selebritis, ulama, cendikiawan, orator, politikus, bahkan seorang koruptor saja bisa dengan sangat mempengaruhi seseorang. Ia masuk dan menyerap pada darah dan sukma. Menyelinap pada aktivitas otak untuk beraksi sesuai arahannya. Pengaruh bisa diciptakan dari nilai kecintaan pada objek yang dihadapinya. Semakin kita mencintai sesuatu yang positif maka pengaruh dari yang ia hadapinya akan begitu besar masuk dalam dirinya. Begitu sebaliknya. Betapa dahsyatnya dunia ini, ketika masing-masing manusia bisa memberikan positive influence kepada manusia lainnya, tentu pengaruh ke-positifan yang dapat dirasakan manfaatnya secara universal. So, everybody can say ‘My Name is Influence’ dan tentunya dengan Positive Influence.

Ramadhan adalah sebuah bulan yang sangat erat dengan telinga setiap muslim, bahkan semenjak kecil kita telah dikenalkan dengan Ramadhan, kita semua tahu bahwa Ramadhan adalah bulan puasa, namun –rasanya- jarang kita mengerti apa arti Ramadhan dan makna yang terkandung dari kata “Ramadhan” itu sendiri. Ramadhan secara bahasa berarti: Membakar, amat panas. Penyebutan bulan Ramadhan -bulan ke-9 pada kalender Hijriah- sesuai dengan kondisi pada bulan tersebut.” yakni panas membara. Kita patut bangga menyaksikan semangat beribadah yang timbul saat bulan Ramadhan tiba, namun dalam kebanggaan itu, ada celah yang membuat kita bersedih. Karena jika ditelusuri, fenomena yang ada adalah seakan-akan masyarakat kita ‘menyembah’ Ramadhan, dan bukan menyembah Tuhannya Ramadhan, kalau memang kita menyembah Tuhannya Ramadhan, maka tentu nilai ramadhan selalu tampak dalam ke-sebelas bulan lainnya. Efek dan kestabilan nilai itulah yang sejatinya para sahabat selalu ingin setiap bulan itu bernilai Ramadhan. Whatever (karena kita berada di masyarakat majemuk ini) -paling tidak- kita masih bangga bahwa di bulan ini banyak yang menjadikan sebagai bulan tobat massal. Terlepas apa selanjutnya yang akan mereka lakukan setelah itu, karena tokh yang bisa merubah keteguhan hati itu hanya Allah SWT. Hanya pada saat Ramadhan itulah sebagai harapan besar untuk merubah segala tingkah di bulan-bulan lainnya.

Para ulama mengartikan ‘Ramadhan’ sebagai sebuah kata yang terbentuk dari lima huruf, dan setiap hurufnya memiliki makna tertentu yaitu : “Ra”: Rahmat (rahmat Allah), Mim: Maghfirah (ampunan Allah), Dhod: Dhommanun li al jannah (jaminan untuk menggapai surga), Alif: Amaanun min an nar (terhindar dari neraka) Nun: Nurullahi al Azizi al Hakim al Ghofuuri ar Rahiim (cahaya dari Allah SWT yang maha kuasa dan bijaksana, maha pengampun dan pengasih).

Saat kita telaah makna yang terkandung dalam kata ramadhan tersebut kita akan semakin meyakini bahwa datangnya bulan Ramadhan adalah membawa sebuah keberkahan dari Allah SWT untuk kita sebagai hamba-Nya. Hal ini sesuai sabda Nabi “Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, pada bulan tersebut engkau diwajibkan berpuasa dan dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka dan syaithan-syaithan di belenggu, dalam bulan tersebut ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barang siapa yang tidak mampu mendapatkan kebaikan bulan Ramadhan tersebut maka haramlah baginya surga. (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan Baihaqi).

Dari hadits di atas terdapat kaitan yang sangat erat dengan bulan Ramadhan itu sendiri, Rahmat dan Magfirah adalah dua sisi yang sangat erat bagaikan dua sisi pada uang logam yang tak terpisahkan, disaat Allah SWT menurunkan rahmat-Nya maka Maghfirah-Nya pun turun mengiringi, demikian juga sebaliknya. Ketika rahmat Allah SWT yang diiringi oleh maghfirah-Nya ini telah mengalir, maka jaminan mendapatkan surga dan terhindar dari neraka telah menanti.

Sejatinya menyambut Ramadhan tidak hanya ditampakkan dengan material saja, tetapi semua hati, raga dan apapun yang meliputinya bersatu menanti kehangatan Ramadhan. berseri dari hati, bersuka dari jiwa. Semuanya bersatu menyambut bulan suci-Nya. Ahlan wa Sahlan Yaa Sayyidus Suhur! We Love Ramadhan

Tahukah Anda bahwa seni memiliki kekuatan yang terbesar dalam mengubah semua pola pikir Anda (?) Bahkan dengan seni tingkat Tinggi, Allah menciptakan bumi ini untuk dinikmati semua makhluk yang juga tak luput dari bentuk seni yang menawan. Para ahli seni, sering dibilang seniman, dan saya meyakini, bahwa setiap manusia, termasuk saya dan Anda bisa dikategorikan sebagai seniman. Sebab kita bisa merasakan suatu keindahan dan merangkainya dalam bentuk sebuah karya di dalam kehidupan. Yang berbeda –tentunya- hanya kadar dari kepiawaian jiwa seninya itu sendiri. Sehingga melahirkan penamaan seniman asli atau aspal. Dalam beberapa waktu lalu, di smartBLOG ini, saya sempat menulis, bagaimana kekuatan seni dalam perkembangan Islam. Bahkan hampir 100 persen, Islam dapat dirasakan di seluruh dunia melalui seni. Baik seni arsitektur, ataupun seni dalam menerapkan strategi dakwah. Semuanya selalu berawal dari seni, mengkolaborasikan ide dan tindakan sekalipun tetap membutuhkan insting seni yang mendalam. Seni itu indah, keindahan dan sesuatu yang menjadikan orang yang merasanya menjadi indah. Dan naluri manusia itu sangat suka pada sesuatu yang indah dan mengindahkan. Seperti hal-nya Allah Ajja wa Zalla, Dzat yang indah dan mencintai orang yang indah.

Contoh sederhana seni yang membuat orang terhanyut adalah sebuah film Perancis, bertajuk Les Choristes. Meski kurang paham dalam bahasanya, tapi sangat jelas adegan setiap scene-nya menggambarkan suatu prilaku ‘seni’ yang teramat dahsyat. Film jadul ini, banyak menggunakan adegannya di sebuah asrama sekolah. Film ini secara tegas menggambarkan bahwa penegakkan disiplin tidak harus melalui hukuman fisik, jewer kuping, memukul meja, dan efek suara lainnya. Namun si guru cukup menggunakan strategi nyanyi –yang tentunya- kental dengan nuansa seni yang berkembang. Setelah menerapkan strategi itu, maka luluh lah ‘kebrutalan’ anak-anak sekolah dasar di sebuah asrama sekolah itu. Strategi itu pun diterima, maka terbentuklah paduan suara satu kelas yang awalnya dikenal sebagai ‘kelas brutal’ menjadi anak-anak yang patuh dan memiliki rasa satu dengan yang lainnya.

Bukan hanya itu, rasanya dalam berbisnis pun diperlukan insting seni yang memadai. Sehingga dalam melakukan suatu karya, kita bisa maksimal dalam mengolahnya. Terlebih jika ingin menciptakan karya-karya inovasi dalam segala aspek dan bidang bisnis. Jelas akan tampak bagaimana kekuatan seni yang terbangun dari karya-karya itu. Seperti halnya kita bisa membedakan mana inovator, mana follower. Disanalah letak perbedaan antara seni yang dijiwai dengan seni plagiat tokh.

Saya sedikit memahami, bahwa bisnis yang mapan adalah bisnis yang mampu mempelajari selak beluk serta turun naiknya volume bisnis. Jika boleh saya mengibaratkan seni bagai sebuah melodi. Dimana tempo yang dimainkan sangat dinamis sekali, terkadang kita harus memainkan tempo dengan sangat cepat, namun terkadang kita harus memperlambat tempo permainan. Jika kita merasakan tempo bisnis berjalan lambat, bagaimana seni kita untuk mempercepat permainan kita, sehingga kita dapat mengatur ritme dan alur sebuah bisnis. Ahh… khawatir menjadi sotoy yang berlebihan, intinya seni adalah kekuatan yang teramat dahsyat dalam semua aspek kehidupan kita. Orang yang ‘ber-seni’ selalu berhati nurani. Benarkah (?)

What is the meaning of “Power of Return (?)” Apakah return yang dimaksud adalah ‘return-nya’ proses re-inkarnasi (?) Atau ‘return’ dari tajuk sebuah film mandarin The Return of Condor Heroes (kembalinya pendekar rajawali). Tentunya bukan, karena dua ‘return’ itu tidak bisa mengalahkan kekuatan ‘return’ yang akan diuraikan singkat dalam artikel ini. Sebuah ‘return’ yang akan menghasilkan perjalanan abadi, suatu proses pengingat manusia yang akan ‘return’ selamanya, yah kekuatan pikir dalam merespon masa ‘return’ nya manusia menjadi sesuatu yang urgent dijadikan landasan pacu kehidupan seseorang. Ketika ‘return’ atau kembali paska kematian itu memiliki ruang untuk diingat dan dipikirkan sebelum tibanya maut, maka Rasulullah SAW menjamin bahwa orang tersebut adalah sosok yang sangat cerdas dalam menghadapi kehidupan. Rasul Bersabda “Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian” (HR. Tirmidzi). Dengan prinsip ini, maka sadar akan waktu terakhir hidup dan kembali pada kehidupan selanjutnya menjadi bagian dari kecerdasan yang esensial dalam kehidupan. Sejarah Fir’aun, kaum Luth dan lain sebagainya, telah banyak mengajarkan kita tentang arti pentingnya sebuah proses –thinking– untuk ‘return‘ kelak.

Membahas tentang hidup setelah mati (mungkin) bagi sebagian orang memilih untuk bersikap apriori. Atau karena keseringan, mereka akan me‘reject’ secara halus, mereka tahu dan yakin akan masa ‘return’ itu, namun perlahan akan menguap dalam rutinitas kesehariannya. Padahal proses melihat, mengingat dan berpikir tentang kematian itu justru kekuatan dibalik tindakan kita dalam keseharian. Karena ‘return’ adalah keniscayaan. Seperti salah satu Firman Allah yang membahas masalah ini “Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberikan kepadamu apa yang telah kamu lakukan” (QS. Al-Jumuah :8 )

Kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Tapi merupakan awal dari sebuah babak kehidupan baru, kematian ibarat stasiun atau terminal, tempat manusia berhenti sejenak untuk selanjutnya ‘return’ pada fase keabadian. Mayoritas kita (rasanya) sudah sangat tahu dan hapal tentang peristiwa ini. Namun, terkadang ada sikap ‘pen-cuek-an’ dalam mengingatnya. Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk selalu mengingat kematian sama halnya dengan ingat dan memperjuangkan kehidupan.

Semua makhluk sadar, bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti, sesuatu yang tidak dapat di tawar. Namun tidak semua menyadari dan meyakini bahwa ia kan ‘kembali’ setelahnya. Karenanya, terdapat perbedaan yang mendasar antara orang yang mempersiapkan diri untuk masa ‘return’ kelak dengan orang yang sama-sekali -apatis- terhadap masa itu. Kekuatan ‘return’ terdapat pada sikap manusia yang menjadikan kehidupan dunia sebagai ladang dan tempat menabung. Karena di masa ‘return’ itulah kita akan memetik dan menuai. Ahh, saya rasa semua orang sudah tahu, namun semua orang pun membutuhkan reminder untuk menyegarkan ingatannya.

Setiap melihat, mendengar dan membaca tentang kematian, rasanya saya dan mungkin kebanyakan orang, malas untuk mendalaminya secara detail. Lebih baik merencanakan sesuatu yang indah selagi ruh masih menemani raga. Selagi kesempatan masih terasa untuk dinikmati. Padahal mengingat proses kematian itu sendiri adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya, selain untuk men-drive langkah kaki, juga sebagai planning for the next journey yang tiada akhir, alias never ending. Mengingat panggilan ketiga untuk kematian yang kedua itu, rasanya ada sesuatu yang sulit dibayangkan. Bagaimana tidak, ketika rasa bersatu dalam jiwa, semua keindahan dunia menjadi kekuatan besar untuk membuang ingatan tentang sebuah kematian. Banyak hal-hal yang menyebabkan lidah menjadi kelu, bagaimana harus meninggalkan anak istri, makhluk dunia yang paling di cinta, persiapan spritual yang –siapa pun- baik orang saleh ataupun orang salah merasa belum cukup untuk menanggung semua yang akan dihadapinya setelah mati. Dan 1001 kenikmatan dunia lainnya yang akan dicabut dan dikembalikan kepada-Nya.

Jika ada sebuah metode pintas untuk menghadapi kematian, rasanya akan banyak kelas yang tertarik mengikutinya. Pelajaran bagaimana ketika ruh meregang dan terhempas dari jiwa, juga teori dan praktik mengenai apa yang terjadi di alam kubur sebelum dibangkitkan terakhir dan berkumpul di alam masyhar. Bahkan mengenai seperti apa perencanaan kita saat akan mati dan dimana tempatnya, menjadi mata kuliah yang sangat spesial untuk dipelajari. Namun sesungguhnya, ternyata metode itu memang ada dan telah lama diajarkan oleh Rasulullah SAW. Hanya waktu saja yang semua makhluk tidak akan pernah tahu kapan waktunya akan tiba.

Mari sama-sama kita sibak bagaimana manusia yang masih hidup di dunia masuk pada etape ‘ghaib’ tentang sebuah kematian. Meski bukan ruh dan jasadnya yang mengarungi, tetapi value perjalanan itu yang digambarkan sebagai perjalanan menuju sebuah kematian. Bagi Anda yang sering mendengar uraian ini, kita sama-sama jadikan kembali sebagai pengingat dan charge untuk terus berbenah diri, karena tidak ada seorang manusia pun di muka bumi yang terlepas dari lupa dan dosa.

Banyak orang yang mengira bahwa panggilan Allah yang ke-2 (umrah maupun haji) itu hanya sebatas bagi yang mampu. Bagi yang kurang mampu tidak ada kewajiban melaksanakannya, selesai. Padahal banyak kasus dan fakta orang yang tidak memiliki harta untuk berangkat haji maupun umrah, ternyata bisa juga melaksanakannya. Jika kita bedah “Panggilan” itu secara bahasa, maka sangat jelas bahwa Rasulullah diperintahkan untuk memanggil seluruh manusia (baik yang mampu atau tidak) agar melaksanakan haji. Tentu panggilan itu harus dipandang secara kontekstual, agar tidak ada alasan bagi orang yang kekurangan harta (tidak mampu), terlepas dari niatan hatinya untuk beribadah ke Tanah Suci. Ketika niatan itu ada, meski sampai akhir hidupnya ia tidak pernah menuju Baitullah, maka secara ‘ruhiyyah’ ia telah menuju pada Panggilan-Nya.

Selain itu, Islam dengan tegas ingin memperlihatkan bahwa perjalanan haji itu memiliki aspek pembelajaran dalam menghadapi panggilan ke-3 yaitu kematian. So’ before the last call, Allah dengan Kasih Sayang-Nya membuat ‘Skenario’ haji sebagai miniatur proses kematian. Sekali lagi, pandangan kematian ini harus kita pahami value-nya. Sehingga pelajaran-pelajaran dari ibadah ini menjadi jawaban dari metode dan teori tentang kematian di atas.

Dari rangkaian singkat di atas, semua kita semakin yakin bahwa panggilan haji ini sesuatu yang serius dan harus mendapat perhatian besar. Tanpa keinginan kuat dan usaha yang keras, pergi haji hanya menjadi angan-angan belaka. Logikanya, jika orang yang kurang mampu secara materi saja sepatutnya memiliki niatan luhur menjadi Tamu-Nya, bagaimana dengan orang secara finansial mampu, namun tak kunjung memenuhi panggilan-Nya (?)

Jika jiwa ini besar, maka raga tak kan pernah lelah mengikuti kehendaknya. Namun jika jiwa ini kerdil, maka tak ada raga yang mampu melewati batas-batas dirinya.

Masih terekam dalam benak saya, ketika awal saya berada di sebuah komunitas yang penuh harap. Di tempat kerja sekaligus “Lab Intelektual” yang penuh dengan mimpi. Berjuta rasa terbang menyelinap pada sel-sel darah yang menghembus pada sebuah harap dan mimpi besar. Menerjang meleburkan pikiran yang kaku, menggebrak tindakan yang layu, dan mengepung jiwa tuk berpikir besar dengan tindakan yang detail. Salah satu yang terus terngiang dalam langkah ini, adalah ‘desakan’ untuk terus memiliki sebuah HARAP dan MIMPI. Yah, tentunya semua harap itu harus terbungkus oleh suatu tindakan riil yang menghasilkan karya, karena kerja tanpa karya sulit tuk menembus suatu harap dan mimpi besar. Yang perlu saya tegaskan lagi, adalah ketika jiwa tak memiliki harap, atau sebuah mimpi yang besar, maka perjalanan ini akan penuh dengan rasa lelah, bosan dan berakhir putus akan asa. Yah, point itulah yang kerap menggerakkan ritme langkah ini. Ketika saya dan keluarga memiliki sebuah keinginan atau mimpi memiliki sebuah rumah asri, yang terdapat paviliun segar, dan halaman teduh dibelakangnya, tempat bermain serta berkumpul keluarga. Tempat merangkai cita dan bersenda gurau sembari menikmati teh hangat di pagi hari, di garasi depan sudah terparkir kendaraan yang siap menghantar anak dan istri berlibur, dan semua keindahan yang terlukis dalam cita dan mimpi. Namun, tentunya saya harus mengubur jauh-jauh mimpi itu, ketika daya pikir dan kerja saya masih terus seperti biasa tanpa daya jangkau yang lebih ‘meledak’. Masih terus merangkak dan berjalan apa adanya tanpa sebuah Harap.

Rasanya setiap kita pernah melihat bagaimana angin tornado bergerak menghempaskan segala yang ada disekitarnya. Tanpa arah jelas, angin besar yang menggumpal mirip corong itu merangsek kemana saja angin mengarahkannya, tak ada tujuan akhir hendak kemana angin besar itu kan beranjak. Sehingga kita bisa mengatakan bahwa tornado, puting beliung atau apapun jenis angin itu, selalu bergerak tanpa visi yang jelas, menghantam sekenanya, mengguras seadanya. Demikian gambaran kecil ketika suatu aksi tanpa visi, namun –tentunya- analogi ini tidak akan pernah bisa sama dengan pergerakan manusia yang memiliki kekuatan nalar yang jelas. Lebih sederhananya, saya mencoba menguraikan dengan cerita tiga orang tukang batu yang sedang menyusun batu bata. Tukang batu pertama, ketika ditanya, kamu sedang apa (?) Dia menjawab, saya sedang menyusun batu dan merekatnya dengan semen. Tukang batu kedua ketika ditanya, ia menjawab sedang membangun dan mendirikan tembok. Adapun tukang batu ketiga, ia menjawab sedang membangun sebuah rumah dengan tiga kamar tidur, 1 dapur, 1 ruang tamu, dan akan bercat warna putih. Seperti itulah benak setiap orang menjelaskan apa yang sedang dikerjakannya.

Entah mengapa setiap kami berada disampingnya, atau berhadapan langsung dengannya, selalu saja ada celah ide yang merasuki pikiran dengan skala yang tidak menentu. Seolah ingin meloncat dari alam pikir, ide itu terus bergelayut ingin segera masuk pada ranah realitas. Yah, apalagi jika bukan karya, karya dan karya. Sudah lama rasanya, kami menyiakan kesempatan untuk membangun ide-ide yang terlintas dari alam pikirnya. Entahlah, apakah kami segan untuk memulai, atau memang ada perbedaan jauh dari pola pikirnya dengan kami, namun –setidaknya- untuk mengikuti langkahnya, kami hanya harus berbekal rasa needed, that its. Karena dengan modal needed saja, segala sesuatunya akan berkembang melalui pembenahan mental yang kerap kami rasakan. Begitulah sekilas gambaran yang ada dalam benak pimpinan kami, selalu berpikir cepat, how, what next, what solution dan hal-hal strategis lainnya dalam berinovasi. Kita sangat menyadari, semakin cepat tuntutan zaman untuk berubah, semakin sering kita mendengar kata “Inovasi”, nampaknya para ahli dan konsultan manajemen modern sekalipun, secara tertulis atau yang sering tampil di media sulit menghindar dari kata inovasi. Kata itu kini telah menjadi kata kunci bagi suatu organisasi besar atau kecil untuk melakukan perubahan.