Manusia adalah makhluk paling istimewa yang diciptakan ALLAH SWT. Betapa hebatnya keistimewaan itu, hingga para Malaikat dan iblis diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam AS. Sebagai manusia pertama ciptaan ALLAH SWT. Tingkat keimanan paling tinggi yang dimiliki Malaikat dapat diraih oleh manusia, bahkan tingkat pembangkangan iblis sekali pun dapat dijumpai pada diri manusia. Manusia bukanlah Malaikat dengan keimanan yang konstan dan juga bukan iblis yang selalu membangkang selamanya. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki manusia, rasa syukur –tentunya- wajib untuk selalu dipanjatkan. Selain tercipta dalam sebaik-baiknya bentuk, sempurna tak tertandingi dengan ciptaan makhluk lainnya di muka bumi. Sebagai khalifah dan makhluk ‘pilihan’.

Manusia juga memiliki suatu ‘ruang’ yang akan dibangga-banggakan ALLAH dihadapan semua makhluk langit. Di dengar dan di perhatikan setiap tetesan tangis dan butiran pasir yang melekat dalam langkah suci. Menjadi manusia yang ‘sempurna’ adalah saat ALLAH benar-benar bangga dihadapan hambanya. Amazing!

Namun perlu disadari, sebagian orang –bahkan- yang sudah mampu secara materi, tetapi masih berdalih ‘belum terpanggil’, sehingga belum juga melaksanakan Umrah maupun Haji ke tanah suci. Padahal –sesungguhnya- yang ikut andil dalam ‘menentukan’ terpanggil atau tidaknya oleh ALLAH SWT ke tanah suci-NYA adalah manusia itu sendiri.

Ibaratnya, untuk dapat berkunjung ke Istana Negara dan bertemu dengan Presiden saja, tentu hanya orang-orang tertentu, atau pilihan, atau yang mempunyai prestasi tertentu saja, yang mana akan mendapatkan undangan khusus bisa masuk ke Istana dan berjumpa langsung dengan Presiden.

Terlebih untuk dapat berkunjung ke Baitullah, tentunya kita juga harus ‘berprestasi’, dan menjadi pribadi-pribadi muslim pilihan dalam pandangan ALLAH. Sudah banyak mungkin cerita yang kita dengar dari orang-orang biasa tetapi ‘luar biasa’, yang pada akhirnya di ‘mampukan’ oleh ALLAH SWT dari jalan yang tak disangka-sangka, hingga dapat berkunjung ke tanah suci-Nya.

The priority adalah gelar yang disematkan ILAHI RABBI, menjadi tamu khusus dari Dzat Maha Segalanya. Menjadi sosok yang teramat dibanggakan, menjadi manusia yang terbebas dari segala kelusuhan dosa, kesemrawutan jiwa, dan keangkuhan raga. Karena the priority adalah celah meraih pintu mabrur!

Well, kepalan tangan kembali melingkar, lengan baju tersingsing dan langkah kembali terhentak. Bergerak menyusuri setiap alunan jiwa yang terlontar. Kembali jiwanya hinggap pada setiap sudut raga yang memancar. Jiwa dan rasa itu kembali lagi, yah sekian lama hening melanda, tiada gairah dan darah. Kini kembali merajut setiap asa yang terhempas. Bergerak bersama mengusung spirit yang melanda, ia telah kembali. Kembali mencengkram kepalan yang hampir putus. Bak seruling bambu, apa yang terlontar kembali menjadi ‘sound of heaven’. Kenapa harus heaven (?) yah, karena ungkapan yang terlontar dari founding father kami itu adalah sebuah komando ‘perang’ menggulung mental-mental tempe. Mental yang kerap menahan kami dari angin surga dunia, kesuksesan dalam setiap langkah. Mengayun setiap nafas yang berdetak, menjadi sebuah energi yang teramat besar dalam menciptakan sejarah.

Setiap kita adalah penjual. Menjual sesuatu yang menopang aktivitas bisnis kita. Lebih ekstrim –saya- menyebutkan bahwa saya ‘menjual diri’ untuk hal yang memberikan positif value. Kesadaran diri bahwa setiap gerak dan hal yang menyangkut diri saya, adalah sebuah peluang market tuk meraih cita yang terhimpun bersama. Ada semacam korelasi dengan sebuah perjalanan hidup yang senantiasa disaksikan Sang Kholik ALLAH SWT, setiap gerak menjadi bukti yang kan berbuah kelak. Pun demikian, dengan apa yang kini kami lakoni dalam lingkup dunia kerja, bahwa, selain kualitas pelayanan, performa dan adab dalam melayani tamu ALLAH adalah value yang tak terbantahkan.

Suatu barang yang –awalnya- berharga mahal, akan sangat bernilai rendah ketika si penjual tak mampu membingkainya dengan sangat indah. Atau membiarkannya menjadi sangat tak berharga, terlebih ketika punggawa product itu seolah tak mengerti akan nilai product yang dijualnya, yang mahal tak selamanya bernilai. Ada hal yang menyurutkan nilai kemahalannya. So’ jadilah penjual yang smart! Begitulah sound of heaven yang kami dengarkan hari itu. Ada semacam intonasi yang menguatkan tutur dari ritme yang bergelora.

Suaranya begitu mempengaruhi, tatapannya begitu tajam, sehingga langkah terkendali tuk menggapai semua asa yang tercita. Pengaruh bisa kita temukan dimana saja. Film, musik, selebritis, ulama, cendikiawan, orator, politikus, bahkan seorang koruptor saja bisa dengan sangat mempengaruhi seseorang. Ia masuk dan menyerap pada darah dan sukma. Menyelinap pada aktivitas otak untuk beraksi sesuai arahannya. Pengaruh bisa diciptakan dari nilai kecintaan pada objek yang dihadapinya. Semakin kita mencintai sesuatu yang positif maka pengaruh dari yang ia hadapinya akan begitu besar masuk dalam dirinya. Begitu sebaliknya. Betapa dahsyatnya dunia ini, ketika masing-masing manusia bisa memberikan positive influence kepada manusia lainnya, tentu pengaruh kepositifan yang dapat dirasakan manfaatnya secara universal.

Totalitas, integritas dan dedikasinya terhadap jemaah, tidak akan mungkin terlampaui oleh kami, terlebih dengan sound of heaven-nya.

Kesungguhan dan potensi diri adalah master keys dalam menciptakan kesuksesan nyata” –Cordova Founding Father

Kami selalu diajarkan untuk senantiasa stand by dalam menjalankan tugas, memberikan service detail yang excelent. Namun juga kami selalu diberikan kesempatan untuk meng-Upgrade diri serta mengelola potensi yang ada dalam diri setiap kami. Menikmati teknologi serta kosmetik yang membuat kinclong diri. Terkadang semua kemampuan tergadai oleh sikap ‘kasih’ yang teramat jembar. Meski –sedikit- jika tidak dikatakan tanpa kontribusi bagi roda Company, namun semuanya kami nikmati dengan penuh rasa. Dalam kacamata bisnis, -tentunya- semua hal itu membutuhkan konsekwensi yang tidak murah bagi sebuah company. Betapa tidak, di saat company membutuhkan result matang dari setiap skill yang terlahir dari background semua individu –kemampuan akademis-, tetapi ladang menuju pembenahan diri begitu luas. Kesempatan yang merata tuk menata jiwa dikala dunia kerja di depan mata.

Diperlukan sikap tanggungjawab pada setiap episode yang terlakoni. Jika para ahli agama bilang ‘Gusti ALLAH ora sare’ dalam menyikapi keikhlasan kerja, maka cukuplah bagi kita selain keyakinan itu dengan mempatrikan diri bahwa semua yang kita lakoni bermanfaat bagi diri kita sendiri. Permasalahannya, bagaimana menyeimbangi potensi diri dengan tuntutan kewajiban yang terus update, menuntut perkembangan inovasi yang terlahir dari jiwa kreativitas. Merangkak, berjalan atau berlarikah kita tuk menggapainya (?). Disinilah substansi sebenarnya, ketika skill –senantiasa- menjadi komando diri dalam menciptakan kemandirian kerja. Merancang strategi yang membumi dengan kualitas skill yang mumpuni. Tiada lagi menampakkan muka memelas belas kasih untuk diberdayakan, kini eranya skill yang bermain. Meng-upgrade diri atau tergilas zaman.

Itulah yang Rasulullah SAW ajarkan kepada umatnya, bahwa hidup dikasihani tidak lebih mulia dari hidup yang mengkasihani diri sendiri, menyayangkan diri jika tak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi hidup. Sehingga ia tergerak dan melakukan up-grade tuk menghadapi segala tantangan zaman yang digelutinya. Tidak hanya menanti belas kasih tuk meng-survive-kan hidup hanya karena telah melakukan ‘kewajiban’ biasanya. Namun enggan tuk melakukan terobosan ‘kewajiban’ luarbiasa.

Strategi yang membumi adalah sebuah konsep yang terurai dari manusia-manusia cerdas tuk mempetakkan segala permasalahan yang dihadapi. Memberikan solusi atau jalan tuk memuluskan misi kebersamaan. Tentunya dengan menyimak semua aspek riil yang mendukung jalannya misi tersebut. Tanpa mengada-ngada, terlebih terjebak pada sebuah retorika komunikasi yang selalu mentok dengan aksi.

So’ mari bersama-sama tuk menjemput anugerah ALLAH SWT tuk membuka, menggali, mengenali, mengembangkan dan memanfaatkan potensi diri yang –sejatinya- telah lama berada dalam diri setiap kita.

Lebih dari 4000 tahun lalu, tiga anak manusia, dengan bekal secukupnya, berjalan kaki sejauh 2000 km melintasi gurun pasir dari Syam menuju lembah tandus yang tak berpenghuni, Bakkah. Mereka adalah satu keluarga: Ibrahim, sang ayah, Ismail, sang anak yang masih bayi, dan Hajar, sang ibu. Dapatkah kita menghitung bahwa jarak tempuh mereka mungkin -saat ini – sebanding dengan jarak antara Sulawesi – Jakarta. Di lembah Bakkah, mereka memulai kehidupan baru tanpa siapa-siapa. Ya, cuma mereka bertiga. Tidak lama setelah itu, sang ayah mendapat perintah dari Dzat Mahakuasa untuk kembali ke negeri asalnya serta melanjutkan tugas-tugas sucinya di sana. Sungguh, ia tak kuasa memberitahukan perintah itu kepada istrinya. Namun, harus bagaimana (?) Dengan terbata-bata, akhirnya, disampaikannya juga perintah itu.

“Apakah Kakanda akan meninggalkan kami di sini, di gurun gersang tak berpenghuni ini, tanpa siapa-siapa (?)”, tanya istrinya dengan sendu. Nabi Ibrahim hanya terdiam karena sungguh -memang- ia tidak memiliki jawabannya dari sudut pandang manusiawi. “Atas perintah ALLAH-kah ini wahai Kakanda (?)”
“Ya…”, jawab sang suami dengan lirih.

Menurut kita, logika mana yang dapat menerima seorang ayah harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih merah di sana (?) Dapat dibayangkan, jika saja saat itu sudah berdiri Komnas HAM, tentunya NABIYULLAH Ibrahim As sudah diseret ke pengadilan HAM karena dakwaan pelanggaran HAM berat. Namun begitulah, tidak semua hal dan peristiwa di dunia ini dapat dilogikakan oleh manusia. Yang dapat menerima rumus logika hanyalah yang sifatnya “rasional”, sedangkan hal-hal yang suprarasional, bukan menjadi wilayah garapannya

Sebelum meninggalkan mereka di lembah itu, Nabi Ibrahim menengadah ke langit. Dengan tangan terangkat, ia menggumamkan beberapa penggal doa, bukan untuk menunjukkan kegalauan hatinya, melainkan sebaliknya. Untaian munajat itu justru untuk mempertegas keyakinannya akan kepastian jaminan yang diberikan oleh ALLAH SWT, Sang Pembuat Skenario, yang memilih ia dan keluarganya sebagai pemeran utama.

“Ya, RABB”, demikian orang tua suci itu memulai doanya, “Sungguh aku telah menempatkan dzurriyat (istri dan anak)-ku untuk menetap di lembah yang tak tertumbuhi tanaman apa pun, di sisi rumah-MU yang disucikan. Yaa RABBANAA, semua itu kulakukan agar mereka mendirikan salat. Maka penuhilah hati sebagian manusia dengan cinta kepada mereka dan rezekikan kepada mereka buah-buahan agar mereka bersyukur” (Q.S. Ibrahim: 37).

Sungguh sebuah doa yang visioner dari seorang visioner! Dan, lihatlah, bagaimana ia menjadikan “rezeki buah-buahan” sebagai prioritas terakhir dalam permohonannya itu.

Dalam bagian munajat-munajatnya yang lain, lelaki suci ini kembali menunjukkan visi futuristiknya yang cemerlang. Saat itu, ia telah meng-install di alam bawah sadarnya bahwa sebentar lagi lembah Bakkah yang gersang, tandus, dan tidak berpenghuni itu akan menjadi kawasan yang makmur, aman, dan sejahtera. Lihatlah, bagaimana visi itu dituangkan dalam doa.

“Wahai RABB, jadikanlah kawasan ini negeri yang aman dan berikanlah rezeki kepada penduduknya berupa buah-buahan yang banyak…” (Q.S. al-Baqarah: 126).

Visi yang dilandasi skill individu dan spirit keagamaan tentunya akan menghasilkan visi yang Mardho TILLAH. Karenanya, jangan pernah bermain-main dengan visi, sebab itulah yang akan menampakkan kehidupan kita selanjutnya, setelah langkah saat ini tertapak.

“Tanpa mimpi, event sebesar apapun hanya akan berlangsung dengan sangat datar, kosong dari kreativitas dan inovasi” –Cordova Founding Father

Banyak sekali berita atau artikel-artikel motivasi mengenai kekuatan mimpi. Bahkan bukan hanya artikel, mungkin diantara kita selalu hadir mengikuti kelas-kelas motivator Indonesia. Membahas dan mendiskusikan tentang peran ‘mimpi’ dalam aktivitas keseharian. Bagaimana mimpi dapat membangun sebuah kekuatan raga dalam menyusun lego-lego kehidupan. Bagi sebagian orang hidup adalah perjuangan. Tetapi bagi kami, hidup adalah sebuah mimpi, mimpi yang harus di ‘nyata-kan’ dalam segala bentuk kehidupan. Dengan mimpi manusia akan mempunyai keinginan untuk berbuat dan bertindak. Klasik memang ungkapan tersebut, bukan karena sering terdengar dan hadir dalam diskusi keseharian tentang mimpi dan kekuatannya, namun demikian lah nyatanya, bahwa mimpi memiliki peran dalam menentukan kehidupan kita di masa yang akan datang. Manusia tanpa mimpi bak hidup dalam pasungan. Terpasung dan terhalang oleh benteng kokoh yang menghimpitnya. Tiada detak dalam titik.

Bermimpi bukan buah dari kemalasan, namun mimpi adalah rongga menuju kedinamisan hidup. Mimpi adalah suatu kekuatan yang akan mendorong manusia agar hidup tak mudah nyerah, pasrah dengan ‘nasib’ yang diberi, dan legowo ketika asa memutuskan rasa. Berkhayal dan bermimpi adalah dua kosakata yang kerap disandingkan kepada mereka yang –konon- ‘terdakwa’ sebagai manusia irasional. Namun sesungguhnya, peristiwa-peristiwa yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, muncul dari mereka yang menjiwai setiap pekerjaannya dengan berhayal dan bermimpi.

“Jangan bermimpi di siang bolong” Meski kalimat ini mengajarkan kita untuk realistis dalam menjalani hidup, tetapi makna optimisme-nya perlu ditingkankan menjadi “Gapailah mimpi mu meski hari menjelang siang”. Tiada batasan waktu untuk menciptakan mimpi menjadi nyata. Karena tiada manusia yang tahu kapan waktunya kan berhenti.

Terbang menuju mimpi adalah suatu yang awalnya imposible, tetapi jika dijalani secara konsisten dengan melibatkan jiwa yang sungguh tuk menggapainya, niscaya akan muncul beragam jalan tuk mendapatkannya. Bukankah semua yang ada disekitar kita berawal dari mimpi dan imaginasi belaka (?) berkhayal dengan cukup mengutarakan pertanyaan ‘HOW’, dilanjutkan dengan pencarian jalan menuju mimpi yang menurut banyak orang mustahil tuk di gapai.

Itulah sebabnya, kenapa setiap akan menuju satu event, kami selalu diajarkan untuk berkhayal dan bermimpi terlebih dulu. Meraba dan merangkai khayalan tuk menciptakan sebuah bangunan yang nyaris sempurna. Bangunan kehidupan yang hampir menyamai impian kita di alam fikir.

Nama aslinya Didi Darmadi, namun terkenal dengan sebutan Jantux. Wajahnya sedikit sangar, rambut panjang bergelombang, serta perawakannya subur namun berotot. Yah, Didi adalah sosok yang kerap kami jumpai di kawasan Cordova office. Meski terlihat ‘sangar’, namun –sesungguhnya- Didi memiliki hati yang mulia. Selain bekerja sebagai ‘tukang parkir’ di sebuah mini market, ia juga merangkap sebagai tukang ojek. Pelanggan ojeknya bukan hanya kalangan WNI, bahkan ia mengaku banyak juga orang ‘bule’ yang menjadi pelanggan setianya. “Setiap pagi saya mengantar ‘bule’ asal Inggris ke kantornya di daerah Sudirman, setelah itu kembali giliran sama teman-teman jaga parkir”, gumam Didi yang hobi menggunakan kacamata hitam kemana pun itu.

Sepintas, orang yang baru pertama melihat penampilannya, akan mengira bahwa Didi adalah seorang Preman. Yah, preman ‘kampung’ yang konon sering mengganggu kepentingan umum. Namun jika mengenal lebih dekat dengan Didi dan teman-teman ‘seperjuangannya’, maka penilaian itu salah. Didi bersama temannya itu, hanyalah sekelompok orang yang mencari nafkah dengan apa yang bisa mereka kerjakan. Bagi mereka, pekerjaan sebagai tukang parkir dan tukang ojek bukanlah suatu pekerjaan yang hina. Bahkan mereka menikmati pekerjaannya, bersemangat mendulang rezeki, -meski- harus berjuang lebih keras untuk survive di tengah geliat kehidupan masyarakat Kemang.

Jika ditelusuri lebih lanjut, tentunya kita akan salut dengan Didi ‘n’ the gank. Bagaimana tidak, dengan penghasilan seadanya, ternyata Didi bisa menyekolahkan adik-adiknya. Ia rela putus sekolah dan bekerja ‘serabutan’ hanya karena lebih memilih agar adik-adiknya lah yang melanjutkan sekolah. Pun demikian dengan M. Tisna, yang terkenal dengan sebutan Dede, atau juga Opick yang akrab di panggil Jawa. Nasibnya hampir sama dengan Didi, bedanya mereka sudah berkeluarga dan memiliki buah hati. Penghasilan mereka pun terfokus untuk mengepulkan dapur serta biaya pendidikan anak-anaknya.

Meski hidup dalam kesederhanaan, jika kita singgah ke tempat ‘nongkrong’-nya, maka akan tampak sebuah kencleng kuning, dibalik kaki besi antena Parabola milik mini market tempat mereka ‘bekerja’. Saat ditanya, ternyata kencleng itu adalah uang rembukan sisa dari uang parkir. Setiap harinya mereka menyisihkan sepuluh persen dari pendapat uang parkir. Lalu setelah terkumpul banyak, mereka serahkan uang itu kepada anak-anak yatim yang berada disekitarnya. Penanggungjawabnya adalah Opick, atau ‘Jawa’. Sosok yang pertama kami kenal di daerah itu, bahkan nyaris menganggap sebagai Preman Kemang Timur saat itu.

Ternyata setelah dekat dan mengenal mereka, banyak sisi positif yang kami dapatkan dari mereka yang nampak ‘terpinggirkan’ oleh kehidupan ibukota. Jiwa yang senantiasa bersyukur, tidak mengeluh, solidaritas, serta apa-adanya. Terkadang kami harus banyak belajar kepada mereka tentang arti kehidupan. Tentang sebuah mental manusia ‘pekerja’, manusia yang penuh rasa, manusia yang terlepas dari zona nyaman.

Kami hanya bisa menatap tawa lepas mereka di balik jendela ber-krey kayu.

Rasanya kita pernah mendengar istilah ‘Harakiri’, baik melalui artikel atau berita-berita di layar kaca. Atau bahkan melalui aksi laga film-film Jepang. Adegan ‘Harakiri’ selalu menggambarkan sebuah patriotisme para pelakunya. Harakiri atau bunuh diri ala jepang menjadi salah satu tradisi negeri Sakura. Harakiri dilakukan dengan cara menusukkan samurai ke perut sang pelaku hingga tewas. Akan tetapi dewasa ini, tradisi Harakiri berkembang dengan beragam cara, mulai dari menusukkan samurai, menenggak racun, gantung diri, menabrakkan diri di kereta, hingga loncat dari ketinggian tertentu yang mematikan. Harakiri, suatu aksi yang dilakukan oleh masyarakat Jepang karena mereka tahu malu. Semangat Harakiri ini –tentunya- memiliki nilai filosopis yang mencerminkan sebuah budaya pekerja keras, yang sarat dengan rasa malu ketika mereka gagal mengemban amanah kerja, atau failed dalam mengemban tugas. Mungkin kita masih ingat bagaimana Menteri Kesehatan Jepang yang mengundurkan diri karena melakukan kesalahan. Atau pejabat yang akhirnya bunuh diri karena telah melakukan korupsi. Atau pelajar yang bunuh diri karena nilainya jelek. Dan semua peristiwa itu menjadikan orang Jepang menjadi nomor wahid dalam kasus bunuh diri.

Fenomena Harakiri –menurut saya- menarik untuk dikaji, yah terlepas dari tindakan yang “Tidak normal” dengan bunuh dirinya, atau keluar dari batasan norma agama. Bagi –saya- banyak values yang terkandung dalam Harakiri, mengingat peristiwa bunuh diri acap kali muncul di berbagai negeri, pun demikian di negeri kita, Indonesia. Namun aksi ‘Harakiri’ masih sangat menarik untuk dibahas. Tentunya, kita menyadari bahwa ada motif dan spirit yang ‘berbeda’ dalam aksi Harakiri, berbeda dengan kasus-kasus bunuh diri yang kerap terjadi di negeri kita.

Selain motif rasa malu, dalam Harakiri ada juga motif harga diri. Tindakan kamikaze (yang berarti; angin besar. Sebuah gerakan para pilot yang menabrakkan dirinya ke kapal-kapal sekutu untuk menghambat pergerakan musuh yang mendekati Jepang) ini tiada lain adalah bentuk super heroik. Mereka menunjukkan heroismenya tentara Jepang yang melakukan pertempuran hingga titik tenaga dan titik darah terakhir.

Jika boleh disamakan tindakan para Kamikaze ini dengan gerakan Bom mati syahid di Palestina (Al-‘Amalatu Istishadiyyah), bom bunuh diri, menghancurkan musuh dengan menghantamkan dirinya yang telah dililitkan dengan bahan peledak. Tentu substansinya berbeda, namun motifnya sama. Mempertahankan harga diri tanah dan Bangsanya.

Bunuh diri yang teramat unik ini. Memiliki spirit yang –sepatutnya- menjadi pelajaran untuk kita semua. Pesan dari Harakiri ini –tentunya- bukan mengajarkan kita untuk bunuh diri, namun lebih kepada pesan moral “Tahu Malu-lah”, yang kemudian menjadi semangat untuk berintropeksi agar berbuat lebih baik lagi.

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya kisaran bulan April – Mei tahun ini, media massa banyak mengangkat tentang spanduk-spanduk yang bertuliskan ‘Negeri Auto Pilot’ yang dipasang di beberapa titik keramaian Ibukota. Karena pesannya begitu ‘dalam’ dan –mungkin juga- banyak membuat ‘panik’ beberapa pihak, maka spanduk-spanduk itu tak bertahan lama. Dalam pandangan kami, kalimat Auto Pilot itu sendiri memiliki dua pemahaman yang teramat dalam, dan menarik untuk dibahas, hingga ruang lingkup dunia bisnis sekalipun. Yah, ada dua sisi positif dan negatif jika kita melihat penggalan kata ‘Auto Pilot’ itu sendiri. Kita tidak akan membahas tentang persoalan spanduk-spanduk bertuliskan ‘Auto Pilot’ di titik ramai Ibukota seperti bahasan diatas. Namun lebih mengangkat tentang persoalan baik dan buruknya sebuah Perusahaan Auto Pilot. Seperti dua mata sisi yang terdapat dalam uang logam, keduanya akan membentuk sebuah perspektif ketika gambar mana yang akan digunakan.

Jika ‘gaya’ perusahaan menggunakan ‘Auto pilot’ tanpa goal, atau tanpa sebuah tujuan, maka inilah yang akan membawa ‘Auto pilot’ itu akan hancur berkeping. Tiada arah tanpa landasan, tiada tujuan tanpa arah. Semua terombang dalam kebingungan. Entah kemana langkah itu kan tertuju. Tiada kebersamaan dalam komando, bersatu dalam kepentingan individu, beratap dalam skill individu yang tak bersinergi. Ia terbang kemana arah angin meniupnya, tanpa landasan yang akan menyelamatkan dalam kubangan besar bernama company. Tidak jelasnya arah itulah yang membuat sistem ‘Auto Pilot’ menjadi tidak berguna sedikit pun.

Berbeda jika sistem ‘Auto Pilot’ itu memiliki visi yang jelas dalam melangkah, mungkin perjalanan itu akan sangat berbeda, bahkan menghasilkan suatu wish coming true. Dengan balutan visi yang jelas dalam menggunakan systemAuto Pilot’ maka bangunan perusahaan itu akan terhindar dari siklus negatif yang kerap melanda dunia bisnis; Generasi pertama membangun, generasi kedua menikmati, sedangkan generasi ketiga menghabiskan.

Awalnya, auto pilot berarti sistem mekanikal, elektrikal, termasuk hidraulik yang memandu sebuah pesawat atau kapal tanpa campur manusia. Namun karena terlihat efisien dan efektif, lama-kelamaan, ini digunakan juga dalam dunia bisnis. Salahsatunya menuangkan visi-visi suatu company, baik dalam bentuk road map dalam jangka waktu panjang ataupun pemaparan kerja selama beberapa waktu ke depan (visi-Misi).

Dengan sistem auto pilot yang dilengkapi dengan arah yang jelas, maka semua perangkat yang memfasilitasi ‘penerbangan’ company itu, dapat melintasi antariksa sekalipun, -tentunya- dengan sangat mudah terjangkau. Semua skill ‘awak’ penerbangan itu bersinergi dalam mengawal dan mensukseskan perjalanan bisnis perusahaan tersebut.

Karenanya, apapun yang terlontar dari ungkapan Cordova Founding Father beberapa waktu lalu senantiasa mengandung arti dalam mensukseskan pijakan Cordova selanjutnya.

So’ Auto Pilot adalah dua perspektif yang akan mengubah pandangan kita tentang kinerja dan loyalitas kerja.

Setiap akan tiba tahun baru, mindset kita sudah terfokus pada suasana yang meriah, aneka kembang api, pesta pora, dan sejumlah hiburan lainnya akan mengawali langkah di tahun baru. Yah, itulah fenomena pesta Tahun Baru Masehi, yang gebyar-nya selalu terasa bersamaan dengan hari natal sebelumnya. Berbeda dengan pergantian tahun baru Islam, -meski- gebyarnya dirasa kurang ‘merasuk’ pada setiap masyarakat muslim, namun –sesungguhnya- substansi hijrah itulah yang diharapkan mampu menjadikan kita memiliki harap yang lebih besar dibanding dengan perayaan Tahun baru Masehi. Harapan baru tentang bagaimana –sejatinya- seorang muslim melangkah, tentang bagaimana seorang Haji mempertahankan kemabrurannya. Dan tentang bangsa yang harus keluar dari jeratan sakit yang berkepanjangan. Harapan baru di awal berkahnya Hijriyyah.

Hampir disetiap peralihan tahun baru, setiap kita selalu memiliki harapan lebih baik dalam melangkah. Beralih dari hal tidak baik menuju yang lebih baik, dari kondisi menjenuhkan pada situasi yang penuh dengan inspiratif. Dan dari hal-hal yang berbau usang menuju kondisi serba anyar. Pola kerja, sistem kerja, dan hal-hal “kata kerja” inilah yang –sesungguhnya- terlampau usang untuk dibicarakan. Tetapi yang patut dijadikan inspirasi dalam mengawali tahun baru justru berada pada kata sifat ‘Semangat’ dan ‘Harapan’. Yah, bagaimana konteks semangat dan harapan itu dapat menguasai setiap jejak yang akan terpijaki.

Bukan hanya diawal tahun baru tentunya semangat dan harap itu harus tetap terjaga. Tetapi menjadikan tahun baru sebagai momentum Re-Charge Semangat Baru adalah sesuatu yang sejatinya berkobar di setiap mengawali tahun baru. Jika semangat telah terpatri, maka apapun yang dikerjakan akan sangat mudah dan penuh dedikasi. Itulah kenapa Umar bin Khattab mencetuskan ide pembuatan kalender Hijriyah, sepenuhnya karena dilandasi semangat keislaman yang sangat kuat.

Begitu pula dengan Sultan Shalahudin Al-Ayubi, ketika menjadi Panglima perang Islam saat menghadapi kaum salibis, ia membakar semangat umat Islam yang pada saat itu terkesan berada pada titik stagnan. Sultan Shalahudin menabuh perang dengan mencetuskan sebuah perayaan ‘Maulid Nabi’ yang tak pernah ada sebelumnya. Dengan perayaan itu, Sang Sultan berharap semangat Umat Islam kembali naik dengan mengenang sekaligus merefleksi bagaimana perjuangan Rasulullah dalam menegakkan agama Islam. Begitu juga dengan Panglima Thariq bin Ziyad yang mampu menguasai Spanyol dengan membakar satu-satunya kapal laut milik umat Islam setelah di kepung oleh tentara Nasrani di pesisir pantai. Ide pembakaran itu tiada lain mengobarkan semangat juang tentara Islam untuk menghadapi musuh yang sudah di depan mata. Walhasil Islam berhasil masuk dan menguasai Andalusia.

Sejarah dan pembelajaran di atas, tentunya mengandung hikmah yang sangat dalam di mata umat Islam. Betapa pentingnya mencipta dan memelihara semangat dan memiliki harap, karena tanpa semangat dan harapan, mustahil Islam akan berada di belahan bumi yang secara letak geografis sangat sulit tuk disinggahi.

Jika pada peralihan tahun baru hijriyyah ini, kita tidak memiliki harap dan semangat dalam melangkah, maka peristiwa besar dalam dunia Islam itu kita lewatkan seperti hari biasa saja, flat dan tak bergairah. Tidak menjadikan momentum Hijriyyah sebagai tolak ukur perubahan sikap. Setidaknya, -pada kesempatan itu- kita berharap bahwa tahun depan semua langkah kita masih tetap terjaga dan terberkahi.

Kemana kita setelah berhaji (?) Sebagai seorang “Pak Haji” atau orang biasa yang pernah berhaji -bila tak ingin disebut “Pak Haji”-, gerak kita seolah dibatasi oleh tembok-tembok norma. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Harus bisa ini, harus bisa itu. Citra Pak Haji sebagai “orang suci” masih erat melekat di mata masyarakat. Di pelosok-pelosok daerah, Pak Haji sepertinya kurang pas kalau kemana-mana tidak memakai kopiah dan berdiri di shaf pertama saat shalat berjamaah. Meski tidak sekuat di daerah, di perkotaan citra Pak Haji tetap masih bertahan di benak masyarakat. Namun lebih ke arah substansinya seperti bagaimana akhlak dan ibadah sepulang haji menjadi sorotan. Bila yang melakukan maksiat adalah orang awam, sepertinya masyarakat sudah menganggap biasa. Tapi kalau Pak Haji pelakunya, bakal jadi berita heboh bak kejahatan luar biasa.

Oleh karena itu rasanya kita patut lebih berhati dalam melangkah. Mabrur diraih bukan tanpa perjuangan. Dari pada merasa terkungkung dengan batasan norma lebih baik nikmati saja karena menjaga norma Islam adalah wujud ketaatan kepada sang Khalik. Fokus pada kebebasan berlimpah pasca haji. Kita bebas berperan lebih banyak bagi umat karena takkan khawatir dibilang sok alim seperti kala belum ke tanah suci. Wajar jika ‘bu haji’ melarang karyawannya memakai pakaian ketat padahal dahulu bisa jadi beliau salah satu penggiatnya. Pak haji tidak akan ditertawakan bila menggagas majlis taklim karyawan klub malam, meski sudah tidak lagi clubbing. Atau mungkin menjadi pendiri gerakan wakaf Al Qur’an se Asia Tenggara.

Kemanakah kaki kita melangkah (?) Karena ia akan menjadi saksi di akhirat kelak. Pergi belanja ke Mall menjadi ladang tarbiyah saat si kecil diminta mencari permen berlabel halal. Pergi dinas ke Macau, jadi ladang amal, kala kita malah berhasil membuat direktori restoran halal di Macau.

Tantangan berikutnya adalah bagaimana mempertahankan kemabruran kita. Air mata yang senantiasa deras mengalir saat shalat tahajud di depan Ka’bah, apakah akan tetap mengalir setelah 4 bulan kembali berjibaku dengan padatnya pekerjaan kantor. Ketawadhu’an, keikhlasan, kesabaran, keramahan, dan semangat menebar salam kala berinteraksi dengan jutaan jemaah haji, janganlah sirna ditelan waktu. Bergabung dengan komunitas orang-orang sholeh. Bagi setan, kita laksana banteng yang sendirian padahal singa takkan berani memangsa banteng yang berkerumun. Lagian sederhana saja rumusnya. Bergaul dengan tukang minyak, maka kita akan ikut wangi.

Kemanakah Pak Haji melangkah (?) Mari sesekali kita singgah ke bantaran kali ciliwung, sekedar mengantar sebungkus fried Chicken atau gado-gado untuk sang dhuafa yang menahan lapar. Atau rutin bertamasya ke pusara untuk mengingat maut yang pasti datang meski bekal belumlah cukup. Bisa juga Cicipi mahalnya kesehatan lewat jendela ruang ICCU.

Mari kita simak, kemana kaki kita melangkah (?).