Jika saja sore itu tidak masuk kerja, maka kami akan kehilangan ‘jabaran’ penting tentang konsep Amar Ma’ruf, Nahi Munkar (Memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar) dari tokoh ‘central’ dan ‘otak’-nya Cordova. Unik dan asyik –tentunya- bekerja sambil belajar, ilmu yang ditelurkannya selalu menciptakan rasa tuk selalu berkembang dan berpikir. Yah, karena hidup tidak hanya tuk bekerja, namun lebih dari itu, hidup untuk berkarya. Apa yang diutarakannya tentang penghancuran secara sistemik, kami pahami dengan penghancuran konsep Nahi Munkar (Mencegah yang munkar) secara sistemik. Jika secara global, systemic damage ini kerap dilakukan oleh komunitas ‘pintar’ tuk menghancurkan sebuah gerakan, moralitas, bahkan tauhid sekalipun. Namun tidak salah jika dipahami tentang penghancuran secara sistematis di sebuah komunitas, company, tempat usaha kita bekerja misalnya.

Timbul lah sebuah pertanyaan, adakah seorang yang ‘hidup’ dan bekerja dalam perusahaan itu menghancurkannya (?) Melenyapkan sebuah tempat mengais rezekinya sendiri (?) Jawabannya Ada!, dan sangat mudah tanpa harus terpikir serta mengeluarkan energi banyak. Semua yang ada pada komunitas itu berpotensi melakukan penghancuran-nya secara sistemik tanpa terkecuali. Berbahayanya lagi penghancuran itu menjalar dengan cepat dan tak berasa, yah tak terasa seperti menghancurkan sebuah bangunan yang telah terbangun kokoh. Systemic Damage itu adalah Melakukan Pembiaran. Yah membiarkan suatu hal negatif yang dilakoni rekan satu tim-nya. Cuex dengan segala kesalahan yang tampak depan mata, -bisa jadi- hati memang berontak, namun tak tersalur melalui tindakan dan pelarangan (nahi munkar).

Boleh jadi, maraknya rasa cuex masyarakat kita dewasa ini karena sedang atau telah berada di sebuah tempat nyaman, atau yang sering disebut zona aman. Sehingga terlahir sebuah sikap individualistik akut, jika dalam kondisi sulit –rasanya- kepekaan hati akan sangat tergugah manakala melihat sesuatu yang salah dihadapan kita. Saya, Anda dan juga kita berpotensi untuk menghancurkan segala impian yang terbangun oleh kita sendiri, karena sikap pembiaran itu. Yah, membiarkan virus terus menjalar pada sendi-sendi kehidupan. Sikap dan mentalitas pembiaran pada hal yang salah adalah cerminan dari suatu kaum apatis, kaum yang kerap memusuhi sebuah perubahan akan kedinamisan hidup.

Dalam Islam, konsep Nahi Munkar (Melarang kemungkaran / membiarkan kesalahan) memiliki peran yang teramat besar dalam perkembangan Islam. Pun dalam dunia dakwah, karena memerintah lebih mudah dari melarang. Membiarkan sebuah kesalahan terjadi adalah bentuk pekerjaan yang abstrak, sehingga kehancuran tatanan bangunan-nya pun dengan sangat mudah ter-luluh-lantakkan. Karena hancurnya pun tak kan pernah terasakan. Secara tiba-tiba tatanan itu hancur, karena virusnya telah menjadi sebuah sikap dan mentalitas yang kebal dan meramu pada otak-otak yang apatis.

Sore itu, kita menerima sebuah ‘injection’ penawar tuk melawan sikap apatis kami terhadap apa yang terjadi. Mencoba untuk selalu peka pada hal sedetail mungkin bagi kejayaan Islam secara global.

Saat ini adalah masa-masa yang menjadi kecemasan bagi sebagian orangtua yang anaknya akan menghadapi Ujian Nasional (UN). Sebuah ‘ujian pembuktian’ bagi anak didik selama masa belajarnya. Tidak berlebih, -terkadang- banyak diantara orang tua kelewat cemas dengan ‘memperketat’ setiap gerak anaknya. Padahal sesungguhnya, masa ini adalah waktu dimana mereka (anak didik) untuk rileks dan menenangkan pikir, kalaupun belajar -itu sebatas- mengulang tanpa menguras keras energy. Masa belajar telah terlewati, saatnya memasuki ‘Medan Juang’ adalah pembenahan mental. Mental menghadapi sebuah evaluasi pembelajaran. Yah, jika pada artikel “Let’s Jump Over The UN” lebih menggaris bawahi tentang proses belajar tidak ditentukan oleh UN, sehingga kesuksesan bukan semata karena telah menyelesaikan UN dengan baik. Namun idealisme itu kita simpan terlebih dulu, karena realita yang dihadapi saat ini adalah menghadapi UN, kesuksesan besar selalu bermula dari langkah awal, maka fokus kita untuk mereka yang mengikuti ujian adalah memberikan support bagaimana menghadapi UN dengan penuh tanggungjawab. Tidak panik, rileks, fokus dan jujur.

Setelah ikhtiar tergapai, maka kekuatan doa adalah penopang sejati dalam menyeimbangkan bangunan sukses. Karenanya, dalam memberikan support dan care bagi mereka yang akan melaksanakan UN, Cordova dengan tulus dan ikhlas, mencoba ambil salahsatu peran guna menyeimbangkan diantara ikhtiar mereka. Doa adalah senjata kami untuk mensupport mereka. Malam ini (9/04) Cordova mengundang para anak yatim dan keluarga Besar Cordova untuk melakukan pengajian Al-Quran dan doa bersama bagi mereka yang akan menghadapi UN.

Dengan untaian dan doa para Aytam (anak-anak Yatim) yang teramat ‘ajaib’ alias mustajab, diharapkan mampu memberikan kemudahan, kelancaran dan kesuksesan bagi mereka yang akan berjuang di ‘medan juang’. Diikuti dengan ‘wasilah’ air Zam-zam yang juga diberikan doa untuk kemudahan langkah mereka.

Value suci yang berputar di setiap pojok tempat kita mengaji menambah ‘keajaiban’ air Zam-zam semakin mengkristal tuk memberikan kekuatan pada setiap sel yang dilampauinya. Sebagaimana sabda Rasul, bahwa air Zam-zam akan mengikuti apa yang kita niatkan. Seperti halnya air putih biasa pun ketika kita berbaik sangka -dengan niatan yang baik- diawali rangkaian doa’ maka molekul-molekul yang terdapat dalam air itu akan menjadi untaian kristal yang teramat indah. Untaian yang akan memberikan energi positif bagi yang meminumnya. Terlebih dengan air Zam-zam, ia akan sangat menjadi penopang setiap awal kesuksesan, termasuk dalam menghadapi Ujian Nasional, pekan depan. So’ Mari kita rangkai langkah hidup ini melalui UN dengan penuh bahagia! With Love From Cordova

Tidak lebih dari sepuluh hari lagi, bagi orang tua yang memiliki anak SMA kelas akhir, akan menghadapi ujian Nasional. Bagitu pun bagi siswa SMP dan SD, tidak lebih dari sebulan akan menghadapi semacam ujian ‘penentuan’. Yah, sebuah exam yang konon menjadi semacam pengujian kualitas selama mereka belajar di sekolah tersebut. Di kalangan masyarakat, UN (Ujian Nasional) seolah menjadi ‘momok’ yang menyeramkan. Bila gagal UN, maka ia akan sangat terpukul, dan ‘terhakimi’ oleh pandangan sosial ditempat mereka berada. Ditambah lagi kepanikan orangtua yang anaknya akan melakukan UN, sebagian dari mereka cenderung khawatir dan terkesan panik akut bagaimana menghadapi hari-hari itu. Dogma negatif bagi peserta UN yang gagal kerap menghantui mereka, padahal ‘pertarungan’ masih belum dihadapannya. Padahal –sesungguhnya- UN hanyalah sebuah sistem evaluasi belajar yang samasaja dengan exam-exam lainnya. Bedanya, UN berada di akhir ajaran sebelum mereka naik ke proses pendidikan lainnya.

Menyoroti banyaknya anak didik yang mengalami stres, depresi hingga berujung kematiaan dengan membunuh diri akibat tidak lulus Ujian Negeri (UN), membuat semua pihak khawatir, terlebih para orangtua yang masih memiliki anak sekolahan. Sebuah fakta yang teramat miris dan menyayat hati. Sering ditemukan kasus anak didik menebas segala cita dan harapannya dengan mengakhiri hidup hanya karena tak lulus ujian nasional. Alasannya –tentu- beragam, bisa karena malu oleh teman sekitar, takut dimarahi orang tua, hingga masalah ekonomis yang sulit tuk di tepis. Siapa yang salah (?) Pembuat kebijakankah, orang tua siswa, para pengajar, siswa sendiri, lingkungan sosial, ekonomi (?) Tentu semua pihak enggan tuk dipersalahkan, terlebih menjadi kambing hitam dalam kasus ini. Tetapi –sejatinya- ada beberapa faktor yang saling berkaitan untuk mencegah kondisi seperti ini. Diantaranya, sikap dan dorongan mental dari lingkungan sekitar anak didik dalam menghadapi UN. Baik keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan dimana siswa itu berada.

Pandangan bahwa lulus UN adalah akhir dari episode sebuah proses pendidikan adalah Salah Besar. Dokrin-dokrin seperti itu hanyalah akan memperburuk mental siswa jika kelak tidak meraih kelulusan dalam menghadapi ujian nasional. Sikap orangtua, guru dan teman sekitar pun menjadi tameng segitiga dalam menjaga mental anak didik agar tidak drop menerima hasil apapun paska UN. Kelas hanyalah satu ruang kecil dalam membentuk karakter dan proses transfer ilmu dari guru pada anak didik. Sebaliknya diluar sana terbentang kelas-kelas besar tuk meraih segala cita dan tujuan hidup. Pendidikan formal dari satu tahap menuju tahapan lain adalah proses dari sebuah kesuksesan.

Contoh kecil, tidak selamanya orang yang lulus UN atau seorang sarjana sekalipun dapat dikatakan sukses. Karena kesusksesan terjadi ketika seseorang mampu merealisasikan ilmu yang didapat pada realita hidup sesungguhnya, bukan –hanya- tertuang dalam lembaran UN. Karena banyak ditemukan lulusan sebuah sekolah atau sarjana suatu universitas, tak berdaya melawan arus keras kehidupan nyata. Namun demikian, tidak lantas dijadikan alasan untuk tidak bersungguh-sungguh menghadapi ujian tersebut. Intinya bagaimana kita menyikapi UN itu sebagai salahsatu pintu menuju kesuksesan.

Jika Anda atau teman-teman membuka jendela dunia, maka banyak ditemukan tokoh-tokoh sukses top dunia, yang pernah mengalami kegagalan disekolahnya. Baik tidak lulus dalam ujian maupun drop-out dari sekolahnya. Diantaranya, Thomas Alfa Edison. Seorang ilmuwan dan penemu sepanjang masa. Bola lampu listrik, film kamera dll. ia temukan justru diluar bangku sekolah. Bill Gates, salah seorang yang menempati rangking terkaya di dunia, ia salahsatu pendiri raksasa perangkat lunak Microsoft, dan ia menemukannya setelah di drop-out dari kampusnya. Albert Einstein, ilmuwan yang terkenal dengan teori relativitas dan kontribusi kepada teori kuantum serta mekanika statistik justru harus putus sekolah saat masih usia 15 tahun.

Belum lagi dengan kisah perjalanan “Si Anak Batu”, atau Ibnu Hajar As-Qolani. Seorang ulama besar yang karyanya memperkaya khazanah ilmu dibelahan dunia. Saat sekolah ia tak lulus ujian, dan akhirnya harus putus sekolah. Namun dalam perjalanan pulang, ia istirahat disebuah hutan. Tak sengaja matanya melihat air yang menetes pada batu alam yang keras. Ia tertarik menyaksikan fenomena itu, hingga terus dipelajari begitu lama. Sampai akhirnya batu-batu yang tertetesi air itu sedikit demi sedikit berlubang hanya oleh setitik air yang terus menerus. Dari sana ia mendapatkan pelajaran hidup bahwa dengan keuletan dan sungguh-sungguh ia akan mampu mendapatkan kesuksesan, laiknya setetes air yang melubangi batu keras. Ia mulai belajar kembali dengan otodidak dan penuh keseriusan, hingga ilmunya terkenal sangat luas, dan para gurunya dulu berbalik menimba ilmu pada “Si anak batu itu”.

Well, kisah-kisah diatas adalah suatu perumpamaan untuk selalu berpikir positif pada setiap langkah terpijak, sesungguhnya tidak lulus UN bukanlah akhir dari segalanya. Kiamat sama sekali tidak ditentukan oleh Ujian Nasional. Pantang mati sebelum ajal, akhiri kisah tragis dengan senyum manis. Karena memang obat selalu pahit, namun sebagai manusia kita selalu memerlukannya. Tetap semangat, jangan pernah kalah oleh paradigma-paradigma semu!

So’ Let’s Jump Over The ‘UN’

Menyaksikan sebuah film Life of Pi garapan Ang Lee, yang mendapatkan 4 penghargaan bergengsi yang sekaligus menempatkan dirinya sebagai sutradara terbaik pada ajang Grammy Awards 2013 kali ini, memang sudah di perkirakan. Bagaimana tidak, film yang menggambarkan petualangan seorang bocah India yang hidup selama 8 bulan di lautan luas bersama seekor Harimau Benggala bernama Richard Parker, memberikan pelajaran yang penuh arti. Pelajaran tentang sebuah cinta, sebuah persahabatan, keberanian, dan perjuangan untuk terus bertahan hidup. Yah, bagaimana bisa survive dalam kondisi yang terburuk sekalipun. Sebuah film yang bukan saja menyuguhkan keindahan audio visual, alur cerita-nya pun sarat dengan makna yang teramat dalam. Sesungguhnya, bukan hanya Life of Pi satu-satunya film tentang ‘Survival’, sebut saja film 127 Hours, yang menceritakan seorang pemanjat tebing bernama Aron Ralston. Ia jatuh dan terjebak di lembah Blue Jhon Canyon, dan tangannya tergantung pada sebuah batu yang menghimpitnya. Selama 5 hari ia tak berdaya untuk makan dan minum, hingga akhirnya untuk terus berjalan hidup, ia harus memutuskan tulang lengannya sendiri yang terjepit batu. Itupun ia lakukan dengan susah payah, karena tidak ada alat yang bisa memudahkan untuk memutusnya.

Masih banyak tentunya, kisah mengenai bagaimana seseorang bisa berjuang untuk terus bertahan hidup ketika kondisi terburuk menimpanya. Namun, rasa-rasanya, –tanpa menyaksikan film-film seperti diatas pun- kekuatan yang ada dalam diri kita akan selalu tampak jika keadaan yang mengancam diri sudah berada pada titik nadzhir. Semisal banyak yang kita dengar bagaimana seorang yang tadinya tidak bisa berlari cepat, ketika di kejar anjing, dengan sangat meyakinkan ia bisa menjadi pelari yang tangguh, bahkan dapat meloncat pagar yang tinggi sekalipun. Seperti umumnya, manusia akan sangat kuat atau sengaja menjadi kuat ketika dihadapkan pada kondisi yang menurutnya akan mengancam keberlangsungan hidup. Ada semacam kekuatan diluar nalar manusia, untuk melawan semuanya. Yah, kekuatan untuk bertahan.

Lalu, bagaimana kita mengolah kondisi survive ditengah kondisi yang berada pada ‘zona aman’. Maksudnya disaat kita berada pada puncak kenikmatan yang –menurut kita- masih jauh dari kondisi buruk yang dihadapi. Padahal sunatu tadawul atau siklus perputaran yang alami adalah kondisinya akan terus berputar, bisa saja saat ini kita berada di puncak, mungkin selanjutnya akan berada pada kerendahan. Hal inilah yang kerap melupakan kita untuk terus melakukan perjuangan hidup dalam kondisi apapun. Bagaimana kekuatan untuk survive itu tidak terus mengendur dikala zona terburuk telah usai terlakoni.

Karenanya, Islam telah dulu mengantisipasi akan hal itu. Rasulullah SAW bersabda mengenai bagaimana kita mempersiapkan mental ‘survive’ sebelum masa terburuk melanda dengan harus berpikir tentang 5 perkara sebelum perkara ‘terburuk’ menimpanya. (HR. Al Hakim)

Pertama, adalah masa muda sebelum datangnya hari tua. Masa muda adalah sebaik-baiknya masa untuk mencapai kebaikan, kesuksesan dan keberhasilan. Karena pada masa itu, kita masih memiliki ambisi yang kuat, keinginan dan cita-cita yang ingin diraih. –tentunya- bukan berarti masa tua akan menghalangi kita untuk tetap berusaha mencapai impian kita, namun tentunya masa tua akan berbeda halnya dengan usaha saat kita masih muda.

Kedua, masa sehat sebelum sakit. Hal ini juga anjuran agar kita senantiasa waspada pada segala kemungkinan yang sifatnya diluar prediksi manusia, seperti halnya sakit. Sakit disini bukan sebatas sakit jasmani, tapi juga sakit rohani.

Ketiga adalah, masa kaya sebelum masa miskin. Tidak terlalu jauh berbeda dari penjelasan di atas, ketika kekayaan ada pada kita, baik itu berupa materi atau lainnya, maka hendaknya kita memanfaatkannya sebaik-baiknya.

Keempat, masa lapang sebelum waktu sibuk. Disini Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk menghargai waktu, agar bisa diisi dengan hal-hal yang bermanfaaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Terakhir adalah, masa hidup sebelum datangnya saat kematian. Yang terakhir ini merupakan cakupan dari empat hal diatas. Ketika kita diberi kehidupan maka hidup yang diberikan pada kita itu sebenarnya merupakan kesempatan yang tiada duanya. Karena kesempatan hidup tidak akan datang untuk kedua kalinya. Kehidupan harus dijalani sesuai tuntutan kemaslahatannya.

Lima hal tersebut merupakan inti misi dan visi hidup manusia, karena kunci kesuksesan itu terletak pada bagaimana kita “mempergunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya”. Anjuran Survive tidak hanya saat kita berada pada kondisi yang terburuk, namun kondisi terbaik pun kita harus terus bisa mengolah konsep survive itu.

The Chapter inside Raudhah

Pagi itu di kota Nabi, udaranya segar dan lumayan dingin, temperaturnya sekitar 19-21 Celcius, hampir sama dengan suhu pagi di kota Bandung. Saat sholat Subuh, perjalanan spritualku kembali terlangkah di pelataran SuciNya. Memulai perjalanan yang kuharapkan menjadi tambal dari kegelisahan hidup. Perjalanan jiwa berbalut rasa, dan perjalanan yang teramat penting dari nilai langkahku. Journey of my life, sarat dengan dinamika. Laksana waktu yang berpacu, semuanya tak pernah henti, begitu pun dengan langkah ini kuharapkan ada cerita cinta yang tak kan pernah padam pada perjalanan ini.

Entah siapa yang memulai –dalam waktu sekejap- terbentuk kerumunan. Jemaah sholat merangsek maju menuju Raudhah, satu sisi terdepan di Masjid Nabawi. Di Masjid Rasul ini, beragam wajah berbeda bangsa, termasuk kami berharap sempat untuk merasakan nikmatnya ibadah di Raudhah, satu dari Taman-Taman Surga yang dikatakan Rasulullah SAW. “Antara rumahku (Makam Nabi) dan mimbarku terdapat taman dari taman-taman surga”.

Raudhah menyimpan rapi kenangan perjuangan Nabi-Nya. Mengejarnya, seperti napak tilas perjuangan Baginda Rasul. Di tempat barokah itu, barisan sahabat Nabi di tempa. Hamparan ketakwaan senantiasa menghiasi Raudhah, dari hari ke hari, dari waktu ke waktu. Dada terasa sesak. Airmata tumpah di Surga-Nya, tak mampu menyimpan kenangan dan keindahan sejarah tanah ini.

Bagi jemaah pria, bisa lebih merasakan bagaimana getaran nafasnya berdetak, ketika menyentuh tirai makam manusia agung berada. Rasulullah bersama dua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Desahan dan gejolak rasanya sangat terasa meski terhalang tembok berukiran indah.

Keindahan yang di rasakan pagi itu benar-benar menyeruak dalam jiwa. Di luar kesadaran, tangisan tersedu sembari berdoa kepada Pencipta Alam dengan keberkahan makhluk termulia Rasulullah SAW, agar suatu saat kami dan keluarga diperkenankan kembali dan kembali merasakan deraian cinta yang penuh berkah di tempat ini.

Masjid ini benar-benar masjid cinta. Tak ada lagi sesuatu yang indah, selain keindahan yang dirasakan saat Allah mencintai hamba-Nya. Masjid yang menyatukan gairah cinta, kepada-Nya, kepada kekasih-Nya dan letupan cinta kepada manusia yang menemani langkah hidup kami.

Yaa Rasulullah…
Engkaulah yang menjadi permata hati kami
Engkaulah yang menjadi mutiara akal ini
Engkaulah yang menerangi kegelapan jiwa ini
Engkaulah yang menunjuki jalan keselamatan

Yaa Nabiyallah…Yaa Rasulallah…Yaa Habiballah
Sholawat dan salam untukmu
Semoga kami dapat bertemu denganmu
Nanti di Yaumil akhir

Perencanaan adalah awalan yang menentukan. Perencanaan juga bisa mengindikasikan langkah yang diayunkan terkonsep dengan baik. Rencana adalah ‘makhluk’ yang masih berada dalam dunia khayal, bayangan yang terkontrol oleh alam pikir. Ia masih hal ghaib yang sulit terdeteksi oleh dunia riil, masih terkesan liar dan meletup-letup. Sebagian keberadaannya masih berada di luar kawasan otak. Perencanaan akan semakin fokus menjadi ‘makhluk utuh’ ketika tergiring pada sebuah ketetapan hati, yakni; niat. Dengan diikat oleh hati, maka keliaran-nya menjadi lunak dan cenderung taat. Hati menjadi komandan ‘makhluk’ yang bernama rencana. Sehingga memiliki spirit tuk segera bermetamorfosa menjadi nyata. Semua karya manusia awalnya dari sebuah perencanaan yang liar, sampai terikat oleh kekuatan niat tuk merubahnya. Sehingga dalam Islam, ALLAH menilai dan memberikan apresiasi (pahala) ketika sebuah kebaikan masih berada dalam dunia khayal (perencanaan). Jika rencana kebaikan –meski- tanpa aksi saja ALLAH memberikan apresiasi, lalu bagaimana jika semua itu berwujud menjadi aksi (?)

Bila setiap helaan nafas nyaris kosong oleh satu rencana pun, maka dapat dipastikan kita berada dalam langkah kerugian yang nyata. Karenanya, tidak salah jika hati ini di sesakkan oleh rencana kebaikan itu, siapa tahu jika telah penuh akan meluber menjadi aksi. Kekuatan Islam dalam melaksanakan hidup terdapat pada niat, dan niat –seperti telah dijelaskan di atas- adalah corong yang mengingat semua rencana yang ada. Aksi tergantung oleh niat, begitu sabda Rasul dalam menyoal amalan (aksi) dalam setiap langkah.

Rencana yang baik memang harus jelas, matang, mantap, tertata, dan terperinci setiap langkahnya, sehingga memudahkan untuk proses selanjutnya. Namun jika hidup hanya penuh rencana dan rencana terus menerus hingga meluber sekalipun tanpa aksi, tindakan dan gerak nyata, maka rencana itu hanya akan berakhir di tempat sampah, terbuang percuma.

Pada umumnya, gagasan dan pikiran-pikiran yang mendukung ke arah tujuan kita, berdampingan dengan tantangan dan masalah yang pasti muncul di lapangan, namun berbarengan dengan itu pula segala jalan keluar akan menghampiri dengan bergerak secara ajaib.

Setiap mengawali perencanaan-perencanaan –tentunya- selalu berhadapan dengan kondisi yang sesuai dengan keinginan kita atau tidak sama sekali. Perubahan alamiah yang terjadi dari fase ‘liar’ menuju sebuah konsep, dilanjutkan aksi maka akan ada semacam ‘transisi’ dari sikap yang berubah. Seperti halnya, tidak ada di dunia ini yang menginginkan perubahan tanpa melalui trubulensi (perguncangan) yang terjadi. Baik dirasakan dalam jiwa ataupun tapak yang melangkah. Permasalahan lama tidaknya, besar kecilnya ‘guncangan’ itu selalu tergantung pada pola pikir kita sendiri.

“Walaupun aku adalah generasi yang datang paling ujung, aku akan melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh para pendahulu”. Ini adalah penggalan syair Arab yang menceritakan sosok khalifah muda yang menaklukan Konstantinopel. Ketika anak muda berusia 16 tahun itu diangkat menjadi seorang Khalifah, para senior dan ‘sesepuh’ di kerajaan itu meremehkan dan merendahkan, seolah tak percaya dengan kemampuan si anak muda. Maka dengan spirit yang kuat dan percaya diri, khalifah muda ini melakukan ‘loncatan’ yang membuat semua orang terdiam, yakni membebaskan Konstantinopel, wilayah yang tidak bisa dilakukan oleh para senior dan pendahulunya. Hal ini juga merupakan janji Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa suatu saat nanti Konstantinopel akan dikuasai tentara Islam. Meski peristiwa penaklukan itu jaraknya telah 700 tahun dari sabda Rasul. Namun terdapat value yang jelas dalam kisah itu, yakni; Bagaimana kita menulis cerita kita sendiri, menentukan langkah hidup atas dasar pilihan yang kita tentukan. Tidak pernah membiarkan orang lain menentukan masa depan kita, justru tangan dan langkah kita lah yang bertanggungjawab atas diri kita, untuk menulis jalan hidup kita sendiri, untuk menulis sejarah kita sendiri.

Sejarawan dapat menulis apapun tentang sejarah orang, tentang peristiwa yang pernah terjadi, bahkan dengan piawai –bisa saja- para penulis membuat karangan cerita sejarah palsu dari peristiwa sesungguhnya. Sesuai kepentingannya, alur cerita itu bisa ditulis kemana pun ia mau. Sebanding pesanan pula, ia bisa memutar balikkan sejarah yang terjadi. Sebelum sejarah kita digoreskan oleh orang, -rasanya- lebih baik kita menuliskan sejarah kita dengan kekuatan dan tangan kita sendiri. Tidak membiarkan orang lain yang menentukan sejarah dan masadepan kita. Kitalah yang bertanggung-jawab atas diri kita, untuk menulis jalan hidup kita sendiri, untuk merangkai alur sejarah kita sendiri.

Untuk menulis dan merangkai cerita hidup, Cordova Founding Father, kerap mengajarkan kami, untuk menulisnya dengan berimajinasi, menghayal semua cerita yang akan kita wariskan kepada anak-anak tercinta, kepada orang yang datang sesudah kita semua. Mungkin apa yang kita goreskan ini akan menjadi catatan sejarah yang dibaca oleh puluhan tahun generasi yang akan datang.

Sejarah hidup tak akan pernah berubah, jika apa yang kita goreskan benar-benar dinantikan oleh semua orang tercinta. Mereka akan menjaga dan mengabadikan keabsahan sejarah yang kita ukir. Menangkis setiap tangan jahil yang akan merubah alur cerita sesungguhnya, berbekal dari apa yang ia rasakan dari result yang kita ukir sendiri.

Intinya, disaat kita mengukir sejarah dengan tangan kita sendiri, maka biarkan pikiran menerawang tuk apa yang kita impikan itu terjadi. Menjadi sebuah ‘product’ yang dinantikan banyak orang.

Semua manusia tentunya ingin selalu menjadi yang spesial di mata siapapun. Anak dimata orangtua, istri di mata suami, murid di mata guru, dan seterusnya. Terlebih jika spesial itu di hadapan ALLAH SWT, Rabb dan Dzat yang memberikan segalanya kepada makhluk. Tentunya akan sangat berharga, karena setiap perlakuan spesial akan dirasa kenikmatan yang tiada tara. Diberikan layanan yang prima, layanan kasih serta sayang dari apa yang kita inginkan. Semua yang spesial berawal dari pemberian layanan yang spesial juga. ALLAH akan sesuatu yang spesial, ketika kita memberikan persembahan (layanan) total kepada-NYA. Pun demikian dalam dunia bisnis, pelayanan berhubungan dengan kualitas produk yang berupa barang ataupun jasa. Jika untuk meningkatkan kualitas produk, maka kini telah dikembangkan konsep Total Quality Management. Adapun untuk meningkatkan kualitas pelayanan (service) telah dikembangkan konsep Total Quality Service. Dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan perlu diidentifikasikan ‘Siapa pelanggan kita (?)’, ‘Apa kebutuhan pelanggan kita (?)’ dan apa ‘produk’ yang kita tawarkan (?). Pelayanan prima merupakan terjemahan dari istilah ‘Excellent Services’ yang secara harfiah berarti pelayanan yang sangat baik, atau pelayanan yang terbaik. Itulah result yang akan diraih dari identifikasi-identifikasi diatas tersebut.

Pelayanan prima bermula dari hal detail yang tak luput dari perhatian. Selain ‘hardware’, ‘software’, -tentunya- brainware juga harus diperhatikan. Yah, jika dalam ilmu komputer ada perangkat lunak dan keras, maka brainware adalah orang yang terlibat dalam kegiatan pemanfaatan komputer tersebut. Tanpa adanya brainware, mustahil hardware dan software yang canggih sekalipun dapat dimanfaatkan secara maksimal. Demikian pula dalam dunia pelayanan jasa, jika semua alat dan product sudah tersedia, tetapi orang yang mengendalikannya luput dari upgrade (pembenahan) diri, maka goal yang dituju akan lepas atau jauh api dari panggang.

Dalam pelayanan prima terdapat dua elemen yang saling berkaitan, yakni pelayanan dan kualitas. Kedua elemen itu sangat penting untuk dimiliki oleh setiap kita yang menjadi ‘brainware’ dalam sebuah perusahaan jasa. Dengan kata lain, pelayanan yang memenuhi standar kualitas adalah suatu pelayanan yang sesuai dengan harapan dan kepuasan costumer.

Untuk memenuhi semua itu, Cordova mencoba terus berbenah dalam segala hal. Road to Excellent, pengertiannya adalah proses menuju kesempurnaan, yah karena kita meyakini bahwa setiap apa yang kita berikan dengan total, tidak akan pernah ada kata sempurna, karena kesempurnaan hanya milik-NYA. Terus melangkah dalam kenyamanan pelayanan terbaik. Merangkai tangga kesempurnaan dengan segala kerendahan hati.

(to be continued)

Sejak pengujung abad yang lalu hingga kini, diskursus mengenai pemimpin atau kepemimpinan mencuat ke permukaan. Ada dua penyebabnya. Pertama, banyak pemimpin dalam berbagai bidang terlibat pelanggaran moral. Kedua, mungkin karena usianya yang makin menua, dunia kita sekarang tak kuasa lagi melahirkan pemimpin-pemimpin besar (great leader) seperti pada masa-masa terdahulu. Kenyataan ini dikeluhkan oleh Jeremie Kubicek (2011) dalam bukunya yang kontroversial, “Leadership is Dead: How Influence is Riviving it” (kepemimpinan telah mati: bagaimana pengaruh yang merupakan inti kepemimpinan bisa dihidupkan kembali). Dikatakan, pemimpin sekarang lebih banyak menuntut (getting), bukan memberi (giving), menikmati (senang-senang), bukan melayani (susah-payah), dan banyak mengumbar janji, bukan memberi bukti. Dalam fikih politik Islam, moral yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan pemimpin adalah kemaslahatan bangsa.

Dikatakan tasharruf al-imam `ala al-ra`iyyah manuthun bi al-mashlahah (tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh kepentingan atau kemaslahatan umum). Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan bangsa, bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata. Kaidah ini diturunkan dari moral kepemimpinan Nabi SAW seperti disebutkan dalam Alquran. Firman ALLAH, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS: At-Taubah : 128). Ada tiga sifat (moral) kepemimpinan Nabi SAW berdasarkaan ayat di atas.

Pertama, azizin alaihi ma anittum (berat dirasakan oleh Nabi penderitan orang lain). Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sense of crisis, yaitu kepekaan atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung. Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Empati dengan sendirinya mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun material, untuk mengurangi derita orang yang mengalami kesulitan.

Kedua, harishun `alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain aman dan sentosa). Dalam bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat yang mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa meraih kemajuan. Tugas pemimpin, antara lain, memang menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan politik menuju cita-cita dan harapan itu.

Ketiga, raufun rahim (pengasih dan penyayang). ALLAH SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nabi Muhammad SAW adalah juga pengasih dan penyayang. Orang-orang beriman wajib meneruskan kasih sayang ALLAH dan Rasul itu dengan mencintai dan mengasihi umat manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik. Kata Nabi, “Orang yang tak memiliki kasih sayang, tak bisa diharap kebaikan darinya.” Bagi ulama besar dunia, Rasyid Ridha, tiga moral ini wajib hukumnya bagi pemimpin. Karena, tanpa ketiga moral ini, seorang pemimpin, demikian Ridha, bisa dipastikan ia tidak bekerja untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya saja. Maka, betapa pentingnya moral pemimpin.

(Sumber: Republika)

Syukur tiada henti terus terucap menghantar smartUMRAH perdana di tahun 2013. Hari Rabu 06 Februari ini menjadi momentum awal keberangkatan smartUMRAH Cordova. Masih pada momentum Maulid Nabi, smartUMRAH yang kali ini mayoritas mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan, termasuk Prof. Arief Rahman, Pakar pendidikan, yang tampak sangat antusias dalam persiapan keberangkatan ke Tanah Suci. Berkah yang mengiringi smartUMRAH ini adalah dengan turunnya kembali hujan, semoga air hujan yang mengguyur bumi kali ini menjadi keberkahan yang tidak mengakibatkan bencana. Juga sebagai penyubur kegersangan yang melanda sebagian jiwa bangsa tercinta. Semoga juga perjalanan ini memberikan semangat berlapis untuk semua smartUMRAH dalam melaksanakan ibadah umrah. Kembali dengan membawa predikat maqbul, terampuni segala dosa dan terkabul setiap doa yang terpanjat.

Mengawal tema tentang Maulid Nabi tercinta Muhammad SAW, para smartUMRAH yang berkarakter di dunia pendidikan. Baik para pendidik ataupun wali siswa menjadi sangat relevan jika dikaitkan dengan peran Rasul sebagai pendidik dan pengajar. Sebagaimana firman ALLAH (QS: Az-Zumar – 9) “Katakanlah (Muhammad) ‘Apakah sama orang-orang yang tahu (berilmu) dengan orang-orang yang tidak berilmu (?) Sesungguhnya orang-orang berilmu / (berakal) lah yang akan dapat menerima pelajaran”. Oleh karenanya belajar tiada kata akhir. Terbebas dari dimensi waktu dan tempat.

Pendidik atau pengajar sesungguhnya juga saling melakukan simbiosis dengan anak didik untuk selalu belajar. Dunia belajar mengajar itulah yang diwajibkan bagi setiap muslim hingga akhir hayat. Mencontoh bagaimana Rasulullah SAW yang sampai akhir hayatnya adalah pengajar dan pendidik yang sangat baik. “Tuntutlah ilmu sedari kecil hingga akhir hayat” begitu pesan agama yang kerap terdengar oleh kita.

Rasulullah SAW adalah sebaik-baiknya teladan dalam belajar dan mengajar. Beliau belajar kepada Jibril, dan mengajar beragam ilmu kepada para sahabat. Semoga perjalanan suci ini smartUMRAH akan lebih mendapatkan value ibadah bersama Rasul, bukan hanya sebagai pendidik tetapi bagaimana akhlaq nya yang begitu antusias dalam mencari ilmu.

Wal akhir, semoga momentum maulid ini bukan hanya mengingatkan kita pada sejarah kehidupan Rasul saja, tetapi lebih mendalami dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata kita. Yaa Rabb