Mutiara Di balik Karang

Nama aslinya Didi Darmadi, namun terkenal dengan sebutan Jantux. Wajahnya sedikit sangar, rambut panjang bergelombang, serta perawakannya subur namun berotot. Yah, Didi adalah sosok yang kerap kami jumpai di kawasan Cordova office. Meski terlihat ‘sangar’, namun –sesungguhnya- Didi memiliki hati yang mulia. Selain bekerja sebagai ‘tukang parkir’ di sebuah mini market, ia juga merangkap sebagai tukang ojek. Pelanggan ojeknya bukan hanya kalangan WNI, bahkan ia mengaku banyak juga orang ‘bule’ yang menjadi pelanggan setianya. “Setiap pagi saya mengantar ‘bule’ asal Inggris ke kantornya di daerah Sudirman, setelah itu kembali giliran sama teman-teman jaga parkir”, gumam Didi yang hobi menggunakan kacamata hitam kemana pun itu.

Sepintas, orang yang baru pertama melihat penampilannya, akan mengira bahwa Didi adalah seorang Preman. Yah, preman ‘kampung’ yang konon sering mengganggu kepentingan umum. Namun jika mengenal lebih dekat dengan Didi dan teman-teman ‘seperjuangannya’, maka penilaian itu salah. Didi bersama temannya itu, hanyalah sekelompok orang yang mencari nafkah dengan apa yang bisa mereka kerjakan. Bagi mereka, pekerjaan sebagai tukang parkir dan tukang ojek bukanlah suatu pekerjaan yang hina. Bahkan mereka menikmati pekerjaannya, bersemangat mendulang rezeki, -meski- harus berjuang lebih keras untuk survive di tengah geliat kehidupan masyarakat Kemang.

Jika ditelusuri lebih lanjut, tentunya kita akan salut dengan Didi ‘n’ the gank. Bagaimana tidak, dengan penghasilan seadanya, ternyata Didi bisa menyekolahkan adik-adiknya. Ia rela putus sekolah dan bekerja ‘serabutan’ hanya karena lebih memilih agar adik-adiknya lah yang melanjutkan sekolah. Pun demikian dengan M. Tisna, yang terkenal dengan sebutan Dede, atau juga Opick yang akrab di panggil Jawa. Nasibnya hampir sama dengan Didi, bedanya mereka sudah berkeluarga dan memiliki buah hati. Penghasilan mereka pun terfokus untuk mengepulkan dapur serta biaya pendidikan anak-anaknya.

Meski hidup dalam kesederhanaan, jika kita singgah ke tempat ‘nongkrong’-nya, maka akan tampak sebuah kencleng kuning, dibalik kaki besi antena Parabola milik mini market tempat mereka ‘bekerja’. Saat ditanya, ternyata kencleng itu adalah uang rembukan sisa dari uang parkir. Setiap harinya mereka menyisihkan sepuluh persen dari pendapat uang parkir. Lalu setelah terkumpul banyak, mereka serahkan uang itu kepada anak-anak yatim yang berada disekitarnya. Penanggungjawabnya adalah Opick, atau ‘Jawa’. Sosok yang pertama kami kenal di daerah itu, bahkan nyaris menganggap sebagai Preman Kemang Timur saat itu.

Ternyata setelah dekat dan mengenal mereka, banyak sisi positif yang kami dapatkan dari mereka yang nampak ‘terpinggirkan’ oleh kehidupan ibukota. Jiwa yang senantiasa bersyukur, tidak mengeluh, solidaritas, serta apa-adanya. Terkadang kami harus banyak belajar kepada mereka tentang arti kehidupan. Tentang sebuah mental manusia ‘pekerja’, manusia yang penuh rasa, manusia yang terlepas dari zona nyaman.

Kami hanya bisa menatap tawa lepas mereka di balik jendela ber-krey kayu.

Related Post

One Comment

  • Wonderful Story…memang terkadang manusia hanya memandang sebelah mata apa yang dilihat dihadapannya,tetapi manusia tidak pernah mencari tahu kalau di balik ketidak tahuan itu ada hikmah besar yang patut direnungi

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *