Rasanya tema ini akan sedikit membuat confused saat mengartikannya, yah betapa tidak mayoritas pola pikir kita sudah ter-setting bahwa kesalahan adalah sesuatu yang akan membuat manusia terperosok, dalam ranah duniawi maupun ukhrowi. Bahwa kesalahan merupakan sebuah dosa yang harus ditebus mahal oleh sebuah amalan baik, bagaimana ketika Nabi Adam As. Saat melakukan kesalahan, ia menjadi sosok yang merasa ‘terhina’ ketika melakukannya. Kesalahan juga membuat khalayak orang cenderung pasif tuk melanjutkan langkah. Sebisa mungkin kesalahan-kesalahan harus selalu dihindari guna mencapai jalan terbaik yang di idamkannya. Masih banyak orang yang menganggap bahwa kesalahan demi kesalahan merupakan mimpi buruk yang sewajibnya dihempaskan dalam setiap proyek kehidupan yang dijalani. Banyak yang terpuruk ketika seseorang terlanjur melakukan kesalahan-kesalahan kecil ataupun besar, ia merasa terporosok pada sebuah hole yang teramat dalam dan sulit tuk kembali bangkit dari rasa sesalnya yang mendalam. Karenanya tema di atas semacam suguhan anti-tesis pada artian banyak manusia dewasa ini. Sikap perfeksionis adalah anti-tesis dari penggambaran Power of Mistakes.

Pengertian detail Power of Mistakes adalah sesuatu energi yang akan merubah kehinaan menjadi sebuah kemuliaan yang tiada tara. Bagaimana dengan NabiyuLLAH Musa AS. Atas sikapnya yang sedikit merasa sombong, diberikan pelajaran berharga oleh manusia sholeh Khidzir AS. Bagaimana pula dengan kelemahan NabiyuLLAH Harun AS saat berhadapan dengan Bani Israel, namun akhirnya dengan kesalahan-kesalahan itu, mereka mengubahnya menjadi sebuah kemuliaan yang dirasakan keindahannya bukan hanya di dunia, bahkan akhirat sekali pun.

Power of Mistakes adalah memaafkan diri sendiri atas sesuatu kesalahan yang kita lakukan. Menyadari suatu kesalahan bahkan mengakui sebuah kekalahan adalah awal kemenangan. Jika segala rasa terpuruk itu dinikmati dan disyukuri, itu –tentunya- adalah bagian dari rasa sayang ILAHI kepada kita. Laiknya sakit jasmani, sakit rohani pun adalah belaian kasih sayang-Nya. Terlebih ALLAH sangat memberikan reward kepada hati yang tersungkur namun tetap bersyukur serta tafakur meski itu karena terdzolimi. Akhirnya kesalahan menjadi suatu kekuatan doa yang sangat luarbiasa. Power of Mistakes akan ada, jika ada rasa mengakui, menyesali dan akhirnya mensyukuri segala yang pernah terjadi.

Saat ini jutaan manusia berada di Tanah Suci-Nya, membawa sejuta rasa salah dengan harap menjadikannya kekuatan tuk mengubah kesalahan itu dengan kemuliaan Mabrur. Mengakui dan menyesali kehinaan-nya dihadapan Dzat Maha Mulia, adalah prosesi menuju Power of Mistakes. Karena tanpa pengakuan dosa, se-sholeh apapun ia, di Sisi ALLAH adalah orang yang paling terhina. So, mari kita temukan kekuatan dibalik setiap salah kita.

Berbuat baik sebelum segalanya berakhir, adalah pertanda manusia visioner yang selalu mengedepankan aksi sebelum sesuatunya hancur tak bermakna. Salah satu hikmah kenapa kematian dirahasiakan adalah memberikan pilihan manusia agar selalu melakukan yang terbaik setiap hal yang dikerjakannya. Karena ia tidak tahu kapan kematian itu menyapa langkahnya. Kapan, dimana dan sedang apa ia menghembuskan nafasnya. Kematian itu adalah gerbang pertama manusia menghadapi masa depan abadinya. Sebab melakukan yang terbaik sebelum ajal tiba adalah satu pilihan tuk men-genggam kunci kenikmatan abadi di kampung akhirat.

Dikisahkan seorang lelaki kaya ingin bunuh diri karena kehidupan dan hartanya gagal membuat ia bahagia. Semua yang ia hasilkan dari jerih-payahnya seolah memusuhi dan menjadi faktor utama dalam merusak segala kebahagian hidup. Hidupnya terasa sesak dengan segala problematika yang ia ciptakan sendiri. Istrinya terasa semakin jauh dan melelahkan berhadapan dengannya, masalah kecil selalu menjadi ‘perang besar’ dengan bumbu teramat pedas tuk diucapkan.

Gagal dalam mendidik buah hati, anak-anaknya semakin terasa durhaka dan tiada hormat kepadanya. Setiap saat selalu muncul masalah dikarenakan ulah sang anak. Perkelahian, tawuran, hingga terjerat kasus narkoba. Semuanya menjadi sangat menyakitkan, terlebih mereka –sesungguhnya- adalah asset yang paling indah dalam kehidupannya. Di lingkungan kantor, ia tidak lagi dihormati, karena –memang- ia jarang pula menghormati atasan maupun bawahannya. Tertekan dengan suasana yang menghimpit dada, ia tak kuasa tuk menjalani kehidupannya lagi. Ia lebih memilih untuk segera mengakhiri hidupnya, namun sebelum waktu eksekusi itu dilaksanakan, ia ingin yang terakhir kalinya mengadu ke salahsatu ustadz terpandang di desanya.

Dengan sedikit tergesa, ia menceritakan keinginan untuk membunuh dirinya kepada sang ustadz. Dengan sangat detail ia juga menceritakan semua alasan untuk sebuah niatan besar dalam hidupnya itu, mengakhiri dirinya. “Bagaimana Ustadz, saya sudah letih, tidak tahan dengan semua kehimpitan ini, bisakah ustadz memberikan cara mengakhiri hidup namun tetap dalam koridor khusnul khotimah” (happy ending).

Dengan bijak sang Ustadz memahami kondisi dia, dan mengganggukan keinginnannya. Setelah itu ia mohon izin ke belakang untuk membawakan obat atau racun untuk diminum oleh si lelaki yang sudah ngebet mengakhiri hidupnya dengan paksa. “Ini saya bawakan racun ter-keras di kota ini, minumlah”, seru Sang Ustadz dengan membawa botol kecil berwarna putih dengan penutupnya. Tanpa menunggu lama-lama, si lelaki langsung menegaknya sampai habis.

“Karena unik dan kerasnya racun ini, maka efeknya akan timbul setelah 24 jam dari sekarang. Maka, jika kau ingin khusnul khotimah, mati dalam keadaan baik, selamat atau happy ending, maka lakukanlah kebaikan sekecil apapun dengan sempurna, lakukan yang terbaik, karena kematian mu akan tiba esok hari tepat jam 8 pagi ini”, seru sang ustadz dengan serius ke lelaki yang akan menghadapi kematian ini. “Baiklah ‘Stadz, terimakasih, saya mohon izin pulang”. Jawabnya dengan sedikit lemas.

Selama diperjalanan menuju rumah, semua yang ada dalam pikirnya menerawang dan mengingat apa yang terjadi sejak ia kecil. Memorinya terus merayap kepada sosok-sosok yang telah mengisi kehidupannya selama ini. Ia menjadi ingat pada kakek-neneknya yang sudah belasan tahun meninggal. Ia juga mendadak ingat ketika kakeknya marah dan memukul kakinya dengan sejadah karena susah dibangunkan untuk sholat subuh. Hingga terus menerawang ingatannya menuju kenyataan yang ia hadapi saat ini.

Setiba di rumah, ia langsung menemui istrinya dan memeluknya erat. Seraya kaget, sang istri terperanjat “Ada apa seh!” Tanya istrinya dengan ketus. Karena memang sudah lama mereka tak pernah bersua dengan mesra. “Mah, maafkan papah. Selama ini papah tak pernah merhatikan mamah, papah gak peduli dengan perasaan yang mamah rasakan. Papah minta maaf sayang, mungkin hari ini adalah hari terakhir papah memeluk dan melihat mamah, maafkan papah sayang”.

Kontan saja dengan ketulusan itu, sang istri yang awalnya merasa heran, kini malah lebih meledak akan tangisannya yang masih dalam pelukan suaminya. “Maafin mamah juga Pah, mamah yang gak bisa buat papah bahagia di rumah, mamah banyak nuntut ke papah, banyak maunya, maafin mamah yang belum bisa jadi istri sholehah pah, maafin mamah”, tangisnya meledak dalam hangatnya cinta suci.

Setelah saling memaafkan, lelaki yang nyawanya kian habis termakan detik waktu itu, segera menghampiri anak-anaknya. Memeluknya dengan sangat erat, airmatanya mengalir dengan deras, seolah enggan tuk melepas dari sentuhan kulit orang yang ia sayangi. Bertubi-tubi ia menciumi kening, wajah dan kepalanya. Semakin erat cengkraman tangannya memeluk, jangankan ditinggalkan, meninggalkannya pun tak kuasa ia hadapi. Sayangnya teramat besar, terlebih ia telah lama menyia-kan anak-anaknya tanpa pendidikan baik dalam rumahtangga. Kesedihan yang mendalam teramat ia rasakan, saat maut kan segera menjemput dengan meninggalkan mereka seperti kondisi sekarang.

Lama ia mendekap anak-anaknya seraya enggan melepaskannya. Persis yang dilakukan ibunya. Si anak, yang awalnya kaget kini tenggelam dengan tangisan airmata, bersatu dengan hangatnya cinta ayah dan anak.

Dalam sisa waktunya ini, ia enggan tuk melepas sesuatu dari mulutnya terkecuali dzikir dan perkataan baik kepada setiap orang yang akan ditemuinya. Meski enggan tuk melangkah dan berangkat kantor yang terakhir kalinya dalam hidup, karena masih kurang cukup waktu perjumpaan terakhirnya dengan keluarga tercinta.

Ia berjalan dengan segala kerendahan, menyapa setiap orang yang dilaluinya, dan memperbanyak sedekah. Semuanya ia kerahkan demi Best for Last yang sudah di depan mati. Melakukan –sekuat tenaga- apa yang terbaik pada detik-detik kehidupannya. Setelah melakukan kebaikan dengan totalitas yang terbangun dari hati, dengan cepatnya ia mendapatkan keindahan hidup yang sesungguhnya. Keluarganya kembali dalam dekapan romantisme hidup, lingkungan kerjanya menjadi orang-orang yang sebaliknya memberikan kebahagiaan kepadanya, tetangganya dan semua orang menjadi sangat bersahabat dengannya.

Hingga tibalah satu jam waktu yang ditentukan, waktu obat itu akan segera bereaksi dan mematikan rasa. Ia terlanjur bergairah dengan kehidupan barunya, ia kembali bergegas menuju rumah ustadz untuk meminta penawar obat yang telah ia tegak kemarin. Ia masih ingin berbuat baik sebelum segalanya berakhir.

Best for Last, demikianlah kisah seorang yang secara yakin hari kematiannya akan segera tiba. Kebaikan demi kebaikanlah yang akan ia perbuat. Meski ia tak sadar bahwa yang ia minum itu –sebenarnya- adalah air putih biasa. Namun ketika hati dan pikirnya telah terbentuk pada suatu keyakinan bahwa kematiannya akan segera tiba, maka semua prilaku dengan sangat cepat merubah apa yang biasanya ia kerjakan.

Best for Last menjadi sebuah keniscayaan akan sebuah pilihan hidup. Now or never, kerjakan kebaikan sebaik mungkin, sekarang atau tidak selamanya.

So’ menghadapi Grand Manasik kali ini, Cordova menyongsong tema “Best For Last” dengan sebuah tujuan bahwa kita jadikan pengabdian dan peribadahan haji ini, seolah yang terakhir dari kehidupan kita.

“Jika pikir bekerja, pasti ada lelahnya. Namun jika Qolbu yang bekerja, tak pernah cukup tinta menggurat lembar karya yang tercipta” –Cordova Founding Father-

Setiap kita –tentunya- pernah merasakan bagaimana langkah hidup tersendat hanya karena tiada ‘move’ dalam dirinya. Tak ada rasa tuk melanjutkan hamparan medan yang menghadang. Seperti filosopi sepeda yang kan terjatuh kala berhenti dalam putaran jeruji rodanya. Seperti bumi yang kan hancur ketika porosnya tak berfungsi untuk diputar dan memutarinya. Semisal ka’bah yang tak kan pernah berhenti dari putaran thawaf sebelum segalanya musnah. Begitulah ternyata langkah manusia. Fitrahnya terus bergerak dan bergerak, melangkah dan meloncat, menari dan ber-ritme. Terkecuali saat jasad terkujur kakulah ia kan berhenti dari segala pergerakan raga.

Hidup untuk bekerja dan berkarya, melangkah dan bergerak adalah bukti dari kerja dan proses berkarya. Namun terkadang semua itu menemui titik dimana segala komponen berhenti dari jalur alami manusia, sedang ia masih kokoh berdiri hidup dengan kenyataannya.

Suatu saat, saya bercerita pada sosok yang menjadi guru sekaligus orangtua kami di Cordova. “Saya benar-benar stuck dalam berkarya, tidak produktif dalam bekerja”, layaknya gerobak sayur yang mogok ditengah jalan, padahal banyak manusia di Pasar yang sudah menunggu kedatangannya. Atau ibarat pisau yang tumpul, tidak bisa digunakan untuk kepentingan apapun. Saya benar-benar menjadi ‘thing’ yang mudah dan kapan saja di ‘campakkan’ ke sebuah tempat yang teramat rendah.

Merosotnya gairah dan spirit saya menjadi penghambat aliran ‘rizki’ yang kan mengalir pada mulut-mulut mungil penerus estafeta hidup. Bahkan bukan hanya mereka yang berada di rumah, imbasnya –bisa jadi- mengganggu derasnya ‘aliran’ ke puluhan bahkan ratusan jiwa yang menanti hasil proses karya kami. Karena –memang- kami adalah satu yang bersinergi. Satu terhambat, semuanya kan merasakan dampak hambatan tersebut. Itulah sebuah team yang kami pelajari di Cordova.

Mati sebelum ajal. Berhenti ditengah jalan, dan lembut sebelum menjadi bubur. Saat itulah adigium diatas terasa menjadi semacam pelita ditengah gelapnya malam. “Jika pikir bekerja, pasti ada lelahnya. Namun jika Qolbu yang bekerja, tak pernah cukup tinta menggurat lembar karya yang tercipta”. Kalimat itulah yang –sejatinya- menjadi pengobar jiwa tuk kembali menyuntikan rasa menghadapi kenyataan yang ada.

kita bisa sedikit membedakan apa yang dikatakan dengan bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas. Yah’ bekerja keras selalu berorientasi dengan kerjaan fisik yang mudah melelahkan, begitupun dengan bekerja cerdas, meski positif dan menghasilkan lebih dari apa yang mereka kerjakan total dengan fisik. Namun terkadang akan selalu menghadapi titik lelah dalam berfikir. Tetapi dengan kerja ikhlas yang terlahir dari hati, ia akan selalu menempatkan kerja dan karyanya sebagai bagian dari kewajiban ibadah kepada Rabb-nya. Sehingga menjalaninya dengan penuh tanggungjawab, penuh konsentrasi, dan penuh dengan pengabdian.

Jika dirumuskan, mungkin bisa seperti ini; Bekerja keras itu menghasilkan, bekerja cerdas itu melipatgandakan, dan bekerja ikhlas itu menentramkan.

Karena segala sesuatunya bermula dari hati yang menjadi komandan setiap aksi gerak manusia.

“Jika banyak sasaran besar yang tak tercapai, itu karena kita menghabiskan waktu untuk mengerjakan hal yang kurang penting dulu”
–Cordova Founding Father-

Road to Grand Manasik

Pernahkah Anda merasa stuck (?), daya pikir seolah membeku dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, luput dari schedule pekerjaan, lebih parah terjadi semacam disorientasi akan realita dihadapan kita. Diri merasa hina, rendah dan tak berguna untuk berjuang menebang semua rasa itu. Seolah terdekap oleh balutan kuat yang membungkus jiwa tuk berkreasi, pikir tumpul menembus benteng kokoh kepenatan. Tak mampu berbuat baik dengan karya sekecil apapun, tidak berkontribusi pada sel tubuh team yang saling merangkai. Bak luka yang memutus jaring salahsatu kekuatan team. Roboh tak berdaya. Mati kelaparan ditengah lumbung padi. Tenggelam di kolam kering, dan terluka ditengah pesta. Saat seperti itulah sesungguhnya kita benar-benar membutuhkan semacam miracle, yah keajaiban yang –sejatinya- muncul dan –memang- terdapat pula dalam diri kita. Mengenang, melihat dan nostalgia akan apa yang dulu sempat terjadi. Juga membangun kembali kerangka fikir akan sebuah karya hidup.

Setiap hari hidup, mulai dari membuka mata, bekerja, bercengkrama hingga kembali istirahat, tentu akan mengalami berbagai peristiwa. Namun, dari setiap peristiwa itu, selalu ada ungkapan simple nan jujur yang ‘mengganggu’, “Sudah kita isi dengan apa hari ini (?) Satu hal yang konon katanya, membuat kita hidup bahagia adalah mengisi hari dengan berbuat baik. Sesederhana apapun itu, sekecil apa pun, ketika dilakukan dengan tulus dan ikhlas, maka perbuatan baik itu akan menumbuhkan kebaikan demi kebaikan. Begitu pesan bapak, sekaligus guru kami di Cordova. Mengangkat batu yang menghalang jalan, menghibur orang yang sedih, bahkan sekedar memberi makan burung liar disekitar tempat tinggal kita sekalipun, ketika dilakukan dengan penuh keikhlasan maka hal itu akan terus memberikan kebahagiaan hidup, termasuk menjadi salahsatu solusi kepenatan ‘berkarya’.

Hal demikian juga menjadi pintu masuk untuk mengatasi sebagian masalah yang menggelayut dalam ‘eksistensi’ karya kita. Karena awal kesuksesan selalu akan menjadi bekal untuk mencapai kesuksesan-kesuksesan berikutnya. Orang kaya menjadi lebih kaya bukan karena harta yang dimilikinya, namun karena arah yang benar dalam usaha dan kehidupannya, yakni tindakan yang on the track dalam langkahnya, sehingga kesuksesan itu akan muncul berulang-ulang.

Pun demikian jika kita menilik dan memperhatikan disekitar kita, bahkan –mungkin- kita sering mendengar kalimat, “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” think, act, change –sejatinya- bisa merubah paradigma yang tertuang dari istilah diatas, jika kita melihat diri sendiri, apakah kita semakin kaya atau semakin miskin (terlepas apakah kaya atau miskin harta maupun kaya dan miskin jiwa). Jika ternyata kita semakin miskin, maka tiada lain kita bersegera berbalik arah, karena pastinya kita melakukan kesalahan baik disadari ataupun kebodohan yang sebenarnya dirasakan. Atau karena salah menyusun konsep, terperosok akan peta kerja yang tak terkonsep.

Orang kaya yang semakin kaya, ternyata bukan karena dia memiliki harta lebih banyak, namun karena dia sudah berada pada langkah dan arah yang benar. Kesuksesan yang dia capai telah membuat efek domino untuk kesuksesan berikutnya.

Jika kita melakukan kebaikan, minimal satu kali setiap hari. Jika setiap kita terbiasa melakukan, bagaimana kita membayangkan terjadinya sebuah keindahan yang bisa terjadi dari jutaan kebaikan yang rutin dikerjakan. Sebuah harmoni yang pasti akan membawa keberkahan dan keberlimpahan pada setiap makhluk.

Do the best, Bismillah

Dalam tataran teori, makna ikhlas sangat mudah untuk dipresentasikan, terlebih dijadikan semacam buah bibir. Lalu apa dalam konteks praktis, rasa ikhlas mudah pula diaplikasikan (?) Hanya kita tentunya yang mampu menjawab semua itu. karena ikhlas adalah sesuatu yang hanya bisa dikerjakan oleh kekuatan hati. Sehebat apapun nilai postif dari pekerjaan, jika pesona ikhlas tak bersemi dalam jiwa, maka yakinlah segala sesuatunya akan terasa berat. Jangankan untuk melakukan hal-hal besar, untuk tersenyum saja, jika keikhlasan tak pernah ada, maka mulut ini akan sulit digerakkan. Padahal tersenyum adalah hal yang paling ringan dalam beribadah.

Terlebih jika konsep ikhlas ini kita tarik ke ruang lingkup pelaksanaan haji yang benar-benar membutuhkan keikhlasan super hebat. Bayangkan saja, mulai dari niatan haji, pengeluaran biaya yang tak sedikit, menghadapi prihal crowded di tanah suci, meninggalkan keluarga, dan 1001 masalah teknis maupun non-teknis lainnya. Ikhlas adalah satu-satunya kunci yang akan menjadikan setiap perjalanan haji menjadi lebih mudah dan bermakna. Sahabat dekat ikhlas adalah sabar, berbeda dengan sabar, terkadang tidak selamanya orang sabar akan mengikhlaskan segala sesuatu, namun dengan keikhlasan, ia akan meliputi rasa sabar yang tak terhingga.

Ikhlas adalah sesuatu yang sangat berharga menjadi bekal perjalanan haji. Tanpa jiwa ikhlas, semuanya benar-benar akan menjadi ancaman pelebur pahala mabrur. Setiap orang meyakini bahwa pelaksanaan haji selalu saja memberikan cerita yang tidak selamanya indah tuk dirasa. Seorang teman yang juga pakar bahasa Arab, memberikan plesetan mengenai kata ikhlas. Ikhlas hampir sama dengan makna kholas, yakni “sudahlah”. Menyudahi segala perkara yang terjadi dengan perasaan ikhlas terhadap segala sesuatu yang telah terjadi. Selain itu penyerahan diri yang total menjadikan jiwa semakin mantap adalah bagian makna ikhlas.

Menjelang bulan-bulan haji, rasa ikhlas harus benar-benar diolah kembali. Menjadi sesuatu yang berharga laiknya sebuah senjata kala maju ke medan perang. Tanpa senjata di laga pertempuran, kita akan sulit menembus panji kemenangan, tidak mustahil tanpa senjata kita juga akan mati konyol di medan laga. Ikhlas adalah senjata dan bekal perang di medan haji yang sangat “buas”. Ia akan meng-cover segala kemungkinan serangan hati saat berada di tanah suci. Karena dari sanalah, segala point haji kita ditentukan. Ikhlas memang segalanya.

Ikhlas tak perlu belajar namun perlu dibiasakan. Ikhlas adalah komandan hati dalam merangkai ibadah lainnya. Dengan ikhlas pula manusia akan mudah mendapatkan apa yang diinginkan. Karena klunya satu, Allah SWT hanya menerima peribadatan hamba-Nya atas dasar keikhlasan jiwa.

Sebuah kontemplasi

Menjelang senja di hari libur, biasanya kami menghabiskan waktu di depan rumah yang ditumbuhi beragam tanaman di teras yang tak terlalu luas. Terlebih saat ramadhan, ritual ini menjadi semacam ngabuburit menunggu adzan maghrib. Selepas mencuci sepeda motor, selang air yang saya pegang, diminta anak sulung saya untuk menyiram beberapa tanaman yang sudah tumbuh beberapa bunganya. –Memang- anak kecil paling senang jika harus bermain air, apalagi jika mendapatkan ‘restu’ dari ibunya, sungguh akan semakin menjadi ia bermain dengan air. Sewaktu menyiram tanaman sansevieria, atau nama terkenalnya “Lidah mertua” setinggi kurang lebih setengah meter, dikiranya akan kuat, ternyata begitu di semprot 3-4 kali, tanaman ini tumbang. Padahal beberapa kawan-nya masih tampak kokoh, ternyata bukan hanya “Lidah mertua” yang melilit disamping pagar tadi saja yang tumbang, kembang Telang, tanaman yang secara khusus dirawat istri saya pun sangat mudah tumbang, bahkan hanya dengan satu kali semprot. Anak saya begitu bangga, karena seolah telah mudah menumbangkan tanaman-tanaman mungil orangtuanya. Namun –justru- ibunya heran kenapa tanaman-tanaman itu begitu mudah jatuh hanya karena semprotan air selang. Ternyata ohh ternyata masalahnya terletak pada akar, kenapa akar (?)

Baik, kita lupakan cerita senja diatas. Kini kita masuk pada inti permasalahan besar di setiap kita, di setiap rumah yang kita hidupi, di setiap tempat mencari nafkah kita. Sesungguhnya peristiwa kecil diatas bisa menjadi besar ketika hal itu terwujud dalam kehidupan kita yang lebih besar, terlebih ketika cita dan impian-impian kita mudah sekali tumbang, jatuh dan mati justru ketika bangunan cita dan impian itu tampak kokoh.

Awalnya, ketika kita sering melihat peristiwa pohon besar rubuh dan menghantam kendaraan bahkan banyak pula yang menjadi korban jiwa, kita tidak menyangka pohon sebesar itu bisa tumbang, padahal tampak sebelum diterpa angin, pohon itu sangat kokoh. Penyebabnya ada beberapa kemungkinan, bisa saja karena anginnya memang besar, atau karena akar dari pohon itu sudah tidak bisa menyambat dan mencengkram bumi dengan kuat lagi. Seperti layaknya pohon, ketika sebatang pohon sebelum tumbuh dan menjadi tunas, maka pohon itu akan menancapkan akarnya sedalam-dalamnya di bawah tanah. Akar itu tiada lain adalah untuk mencari dan mendapatkan air, vitamin, mineral dan zat-zat lain yang digunakan untuk mewujudkan sebatang pohon yang akan menghasilkan dahan dan daun, pun demikian, dahan yang dihasilkan batang itu akan menghasilkan bunga atau buah yang dapat dinikmati.

Begitupun dengan manusia, -dan- atau bangunan masadepan yang tercipta dari kebersamaan mimpi mewujudkannya. Masadepan bersama berupa tempat mencari nafkah pun bisa diibaratkan sebagai batang yang kokoh. –Meski- kesuksesan batang itu bisa tampak gemerlap dari luar dan dari kejauhan sudah tampak menjulangnya, namun jika kekokohan pohon itu tidak dikuatkan pula oleh akarnya, maka tidak mustahil kemewahan pohon itu tidak menunggu lama untuk jatuh, tumbang, dan mati. Padahal orang tak menyangka, pohon kuat itu bisa tumbang dan luput dari tanda-tanda ketumbangannya. Hanya cerita saja yang akan menjadi sejarah, bahwa pohon istimewa itu tumbang tiba-tiba, semuanya kaget tidak mengira, yang tahu hanyalah jalaran akar yang saling mengikat bumi itu.

Kitalah akar yang menguatkan bangunan kokoh itu, kitalah yang akan mengairi air, vitamin dan mineral terhadap pertumbuhan dan keberlangsungan pohon tersebut. Semakin kita lebih dalam menggali bumi, semakin menjalar dan semakin kuat menancap pada bumi dengan cengkraman-cengkraman baru, maka semakin istimewa pohon masadepan kita.

So, mari bersama mengokohkan cengkraman akar kita, demi masadepan yang lebih bermakna.

Sinkronisasi ruh & jasad

Setiap tahun dalam satu bulan, sesungguhnya ada sebuah peristiwa besar yang luput menjadi perhatian manusia di Alam raya. Disebut perhatian manusia, karena –manusia- memiliki ruh dan jasad. Jika tidak memiliki salah-satunya, maka makhluk itu tidak bisa dikatakan sebagai manusia. Tanpa ruh, jasad itu hanya berupa mayat yang tak berdaya. Pun sebaliknya, tanpa jasad, ruh hanya bagian abstrak yang hidup diluar dunia materi. Peristiwa besar yang terus berulang, memutar dan bersinergi dari satu tempat menuju tempat lainnya di Bumi ini. Selama satu bulan itu, letupan dahsyat sesungguhnya telah terjadi ditengah-tengah kita, bahkan dalam diri kita sendiri. Ketika ruh dan jasad melakukan balutan rasa yang mencengkram satu sama lain, bersatu padu bak gelombang yang sulit dipisahkan. Menyatu erat selama satu bulan di waktu yang terus menerus berputar. Hari ini di Jakarta, peristiwa itu akan kembali terjadi pada pukul 17.57. dan akan terus diikuti dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu individu manusia, ke individu manusia lainnya. Yah, ketika dua tujuan antara ruh dan jasad itu bersatu untuk melepaskan dahaga usai puasa seharian. Jasad membutuhkan makan, secara otomatis ruh mengamini apa yang digerakkan jasad.

Hampir dipastikan menjelang waktu berbuka, setiap muslim yang berpuasa menanti dengan penuh kesenangan, dengan segenap rasa, sehingga dimana dan bagaimana pun, preparing penyambutan beduk maghrib menjadi yang paling dinanti oleh umat Islam di manapun berada. Yang dijalan, segera mencari gelombang radio didalam kendaraan, jika bisa ingin segera me-request tembang hits lagunya diganti adzan maghrib, atau yang di rumah, segera mencari chanel televisi yang mengumandangkan adzan, -untuk didaerah- terpaksa harus mencari saluran televisi lokal yang –tentunya- tidak sama waktu kumandang adzannya. Bahkan di berbagai desa, peristiwa besar itu ditandai dengan dentuman bom bamboo atau meriam pertanda telah tiba waktunya berbuka puasa, telah sinkron-nya needed ruh dan jasad.

Seperti jasad, ruh pun memerlukan makanan. Setiap yang hidup perlu makan, dan makanan ruh yang baik adalah cahaya-cahaya Ilahiyah dan ilmu-ilmu Rabbaniyah yang tercermin dalam setiap kemuliaan syariat. Termasuk cahaya Ilahiyah dalam bentuk doa, dzikir, shalat, puasa, zakat, haji dll. Di bulan Ramadhan ini, manusia muslim berusaha menerangi ruh dengan beragam makanan ruhani. Memandikannya dengan proses pencucian batin, seperti istigfar, mengendalikan hawa nafsu dan semua aktifitas mulia di bulan yang juga penuh dengan kemuliaan.

Seperti tubuh, ruh pun memiliki rupa yang bermacam-macam; buruk atau indah, juga mempunyai bau yang berbeda; busuk atau harum. Rupa ruh lebih beragam dari rupa tubuh yang tampak secara kasat mata. Berkenaan dengan rupa atau wajah secara jasadiyah (atau lahiriah), kita dapat saja menyebut wajahnya mirip binatang, tapi –pastinya- ia bukan seekor binatang. Namun ruh, dapat benar-benar berupa binatang jika ia memiliki sifat binatang. (QS: Al-Maidah: 60). Lalu dapatkah kita bayangkan bagaimana indahnya rupa ruh kita saat berada dalam dekapan jasad yang bersamaan di saat berbuka nanti (?) Subhanallah, mungkin saja lebih indah dari rupa jasad sesungguhnya.

So, 17.57 waktu Jakarta sore ini adalah waktu dimana rasul memberikan salahsatu janji kesenangan bagi mereka yang berpuasa, yakni indahnya berbuka. Dan –tentunya- waktu dimana merekahnya keindahan rupa ruh dalam jasad manusia.

“Ketika batin tulus tuk memberi, kala itulah ALLAH akan bantu membuka jalan terbaik-Nya tuk memberi”

–Cordova Founding Father-

Semakin kita banyak memberi, semakin berlimpah nikmat yang teraih. Karena memberi adalah salahsatu cara manusia bersyukur. Dengan bersyukur ALLAH berjanji akan terus menambah nikmatnya yang tiada henti. Memberi sesungguhnya merupakan pangkal kebahagian. Sebaliknya, meminta atau menuntut merupakan sumber keresahan. Jika memberi, tanpa rasa yang dipaksa, kita akan merasa lega dan gembira. Sedangkan jika kita menuntut, terlebih jika tuntutannya besar dan tak terpenuhi, hasil akhirnya kita kan merasa jengkel dan kecewa. Demikianlah sebabnya, Islam mengajarkan kita agar memberi bukan meminta. Karena -memberi juga- merupakan sunatullah dan watak dari alam semesta. Perhatikan; Matahari, bumi, tumbuh-tumbuhan, sungai dan lautan mereka semuanya hanya memberi dan memberi, tak pernah meminta apa pun dari kita sebagai manusia dan sesama makhluk. Bagaimana kita –manusia- yang hina dan teramat kecil bisa kikir dengan apa yang kita dapatkan, sedangkan Pencipta kita, ALLAH SWT adalah Dzat Maha Pemberi. (QS. Ali Imran: 8).

Narayanan Krishnan, seorang chef terkenal di India yang hampir menggenggam puncak karirnya, memutuskan untuk berhenti sebagai chef dan memilih menjadi pelayan bagi orang-orang miskin. Saat ditanya tentang alas an keputusannya itu, jawabannya sangat singkat. “Ada ribuan manusia yang menderita di sekitar kita. Apakah makna hidup sesungguhnya jika bukan untuk memberi (?) Mulailah memberi dan rasakan kebahagiaannya…”

Hukum memberi (the law of giving) ini mengajarkan kepada kita paling tidak ada tiga hal. Pertama, apa yang kita tanam, itu pulalah yang kita tuai. Kata pepatah Arab “Man Zara’a Hashada,”. Adagium lama yang menyatakan, “Siapa menabur angina, ia akan menuai badai”, ini merupakan ketetapan ALLAH (Sunatullah) yang tidak akan pernah berubah. Kedua, kalau kita memberi, pasti kita akan mendapat. Diakui, manusia sering berpikir pendek dan terjebak pada logika materialism sempit, yang seolah-olah jika kita memberi, ada sesuatu yang hilang dari sisi kita. Padahal sebenarnya tidak demikian, apa yang diberikan tidak pernah hilang, ada semacam kekekalan energi di situ. Ketiga, rasanya tidak salah jika kita mulai membudayakan kebiasaan memberi bukan meminta. Memberi dahulu, baru kemudian mendapat. Ungkapan take and give (mendapat dan lalu memberi) yang popular dalam masyarakat kita, mungkin bisa diganti dengan ungkapan “give and receive” (memberi dan lalu mendapat).

Apa yang kita berikan –tentu- tidak selamanya berarti harta dan kekayaan kita (fisik-material). Kita bisa memberikan hal-hal lain yang dimiliki. Semisal tenaga, pikiran, ide, kasih saying, cinta, perhatian serta doa. Pemberian yang seperti inilah yang sejatinya menjadi pemberian yang besar dan penuh makna. Tidak selamanya, memberi dilakukan karena pertimbangan kebaikan, atau mencari solusi menang-menang (win-win solution), melainkan jalan keluar menuju kebesaran dan kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat.

Pun demikian, Cordova ada dan berdiri karena memiliki konsep memberi yang menjadi basic atas segala langkah yang tertapak. Semoga ‘ketulusan-nya’ senantiasa terus mengalirkan limpahan berkah bagi kita semua.

Sebuah Otokritik – ‘Ibda Binafsika’

Hampir di setiap tahun, di penghujung Ramadhan, airmata tumpah dalam penyesalan yang mendalam. Bukan karena Ramadhan kan segera sirna laiknya para ulama yang larut dalam kesedihan, karena mendamba Ramadhan tiba setiap saat. Atau karena tangisan anak yang merengek ingin dibelikan baju lebaran seperti yang dipakai teman-temannya, atau karena tidak punya dana untuk mudik. Namun airmata yang biasa tercurah saat itu adalah rasa sesal karena menyiakan tamu yang entah akan kembali jiwa ini menyapanya, atau tidak. Tamu yang telah lama dinanti, namun sering lupa akan keagungannya. Tamu yang memberikan kesempatan peleburan genangan nista dan dosa. Menghancurkan segala kotor yang kita luluri sekujur diri di bulan-bulan lainnya. Perencanaan shaum tanpa dusta, shaum tanpa paksa, dan shaum tanpa dosa, sulit direalisasikan dalam praktiknya. Bukan menyanggah sabda Rasul yang menyebutkan Ramadhan ini pintu surga di buka lebar-lebar, pintu neraka di kunci dan syetan-syetan di ikat kencang. Benar bahwa syetan dalam bentuk jin itu di ikat pengaruhnya agar tidak mendominasi keburukan di muka Bumi, namun bagaimana dengan syetan yang berjenis manusia, atau yang memiliki watak itu, bisa saja menjadi ‘influence’ virus keburukan. Sehingga ‘mengkambing-hitamkan’ ramadhan dengan dalil itu, padahal dirinya adalah perwujudan tabiat syetan yang sulit di ikat oleh aturan Ramadhan. Begitulah sisi gelap manusia yang kadang perencanaan amal baik-nya kerap tersita dan cenderung amblas, hingga tak terasa Ramadhan berakhir.

Katanya Ramadhan bulan Qur’an, tapi tak sebaris pun mushaf terbaca. Konon Ramadhan bulan berkah, namun rezeki cepat hilang, dan terus merasa kurang. Sejatinya Ramadhan adalah bulannya silaturahmi terjaga, tetapi justru keadaan sosial dan keluarga bak neraka. Direncana sunat terawih tak terlewat, eksekusinya bolong setengah bulan. Direncana khatam Qur’an dalam Ramadan, act-nya kosong, bahkan satu Juz pun butuh sebulan membacanya. Direncana setiap Ramadhan tiba, ingin menjadi orang yang gemar shodaqah, buktinya jangankan infak shodaqah, zakat fitrah pun harus berapa kali diingatkan.

Seringkali di Ramadhan manusia menjadi lihai dalam perencanaan, -meski- sebenarnya di bulan lainnya pun demikian (pawai dalam perencanaan saja). Yah mungkin airmata yang mengalir deras di setiap penghujung Ramadhan itu, diakibatkan oleh banyaknya perencanaan yang aksinya tak sebanding dengan prosentasi gairahnya. Kalaupun tidak ‘tekor’ minimal merugi dalam menuai berkah di Ramadhan. Sehingga wajar jika Rasul bersabda “Berapa banyak orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Arafah sebuah makna kata yang teramat indah. Arafah juga suatu tempat yang paling dirindu umat muslim dibelahan bumi. Pesonanya tak terbendung oleh pelukan bukit yang melingkar, tak tertahan oleh jarak yang membentang, sinar keindahannya menyeruak menelusuri jutaan hati manusia. Mengusik khusyuk raga yang tak berdaya, menggerakkan ratusan juta bibir tuk bergetar saat hari itu tiba. Takbir, Tahmid, Tasbih, Tahlil dan kalimat cinta lainnya bergemuruh memutar, melingkar dan menembus tujuh langit serta jutaan benda langit hingga menggetarkan Arsy Rabbul Izzati. Jutaan miliyar malaikat merengkuh, mendamba dan mendoa hamba-hamba suci di Arafah. Berdoa tuk mengguliti dosa yang menggunung. Mensucikan noda yang bersimbuh, dan memuliakan manusia dari kehinaannya. Arafah… tempat manusia mengenal jati dirinya, ruang manusia mengenal Rabbi-nya, dan kala manusia sadar akan kehinaannya. Bukan hanya jiwa manusia yang wukuf saat Arafah, bukan hanya bibir manusia pula yang bergetar bersenandung doa dan cinta, gunung-gunung batu menirukan tasbih, pasir dan pepohonan meringkih syahdu dibawah langit biru tuk bertahmid, dan jutaan makhluk lainnya yang bersama wirid atas ke-agungan-Nya.

Di Arafah, setiap orang berpotensi mengenggam kunci surga. Karena banyak cara mendapatkan kunci kebahagian itu, terlebih bagi mereka yang merasakan bagaimana gugurnya semua dosa saat di Arafah. Jalan menuju surga telah dihadapannya, akankah mampu digenggam selamanya, atau dibiarkan berkarat begitu saja, hingga sulit tuk membuka pintu surga yang telah di pelupuk mata. Semua terletak pada kesungguhan manusia dalam meraihnya. Surga bukan milik penguasa, surge tidak dipatenkan hanya untuk orang kaya, juga bukan persembahan untuk mereka yang menderita karena miskin harta. Surga milik Sang Maha Kuasa yang diberikan khusus pada semua makhluk atas rahmat-Nya. Semua manusia berpeluang mendapatkan surga, tetapi tidak semua manusia meraih kebahagian surga. Hanya manusia yang kosong dari rasa angkuh lah yang berpotensi hidup dalam keabadian surga. Seperti Iblis yang terusir dari surga, karena angkuh merasa lebih mulia dari manusia.

Semua dosa kan terampuni di Arafah. Hanya satu dosa yang sulit lebur oleh kemulian Arafah, dosa yang –mungkin- hanya sebuah rasa biasa akan kehinaan manusia yang serba ‘tak enak’ jika diberikan kenikmatan yang luar-biasa. Namun karena hal demikian lah, ternyata kesakralan Arafah tiada terbekas, alias gugur dan malah berbalik menjadi dosa yang teramat besar di sisi Allah. Apakah itu, dialah RASA RAGU akan ampunan ALLAH yang kan diraih. Bertanya pada batinnya, “Apakah dosa ku diampuni Gusti Allah” adalah sebuah keraguan jiwa akan kebesaran ALLAH dan Ke-Maha Pengampunannya ALLAH SWT.

So’ The Day of Arafah adalah suatu hari yang tak pernah ada menyamai keindahan dan kesakralannya. Hari Agung umat manusia di muka bumi, karena di sana jua lah gambaran manusia kan terbentang laiknya Masyhar tempat persaksian abadi.