Limited Edition

Mohon maaf, sangat disayangkan untuk tahun ini, program HJE (Holiday Journey Edition) telah closed. Banyaknya peminat program liburan Cordova, sehingga bagi Anda sekeluarga jika ingin bersama menikmati liburan yang berkualitas bersama Cordova tahun besok, bisa mendaftarkan diri dari sekarang. Sebagai hadiah kasih sayang anak dan keluarga, kita bisa menikmatinya bersama di Tanah suci dan dua kota kaya di Timur Tengah, Abudhabi dan Dubai. Program Holiday Journey yang ditawarkan Cordova memiliki perbedaan tersendiri dengan Holiday Journey yang pernah ada. Liburan yang mencangkup aspek ukhrawi dan duniawi ini dirancang khusus memenuhi permintaan jemaah yang setiap tahun memiliki agenda libur bersama sanak keluarga. Setelah khusyuk melaksanakan umrah di Baitullah, Anda dan keluarga akan menyaksikan kehebatan negeri kaya di UEA, Dubai dan Abu Dhabi. Salahsatunya, anak kita tercinta dapat merasakan secara langsung bagaimana wahana bermain terbesar dan tercanggih di dunia dengan Ferrari World-nya. Ferrari bukan hanya mobil, tetapi sudah menjadi gaya hidup dan seni. Ia Merupakan manifestasi dari kecepatan, kemewahan dan rasa yang baik. Inilah berbagai kreasi yang luar biasa dari team ferari yang paling terkenal di seantero Bumi.

Ferrari tak melulu memikirkan bagaimana caranya untuk memproduksi mobil-mobil cepat, namun pabrikan berlambang kuda jingkrak ini mewujudkan sebuah wahana hiburan yang super canggih. Arena hiburan seluas 200.000 meter persegi ini, menyuguhkan puluhan atraksi dan game-game yang membuat kita dan anak-anak berdecak kagum. Di antaranya Roller coaster berbentuk mobil Ferrari itu bisa melesat hingga 240 km/jam dan seakan-akan membawa terbang pengunjung yang menaikinya. Ada juga atraksi yang memungkinkan para pengunjung merasakan efek G-Force, seperti yang biasa dialami oleh para pembalap Formula 1, ketika kendaraan mereka melayang ke udara. Untuk menikmati G-force, pengunjung menaiki menara dan naik di kursi yang terinspirasi dari Ferrari Enzo itu, kemudian ditembakkan ke atas sampai ketinggian 62 m. Tujuannya adalah untuk menawarkan kekuatan gravitasi seperti yang dialami di dalam kendaraan Ferrari. Tentunya untuk beberapa permaianan di Dunia Ferrari terbatas hanya untuk orang dewasa dan orang yang memiliki adrenalin tinggi.

Inilah taman hiburan yang membuat pengunjung benar-benar bisa menikmati “Si Kuda Jingkrak”. Ferrari world di Abu Dhabi akan memberikan pengalaman yang memikat dan menarik semua khalayak, termasuk keluarga dan penggemar Ferrari. So, jangan lupakan pengalaman indah yang menyenangkan bersama keluarga di liburan nanti.

Selain itu, kita bisa pula merasakan permainan ski. Di Dubai ada salju (?) Yah’ di sebuah mall besar, disamping hotel yang akan kita tinggali disulap menjadi arena ski yang sangat besar. Plus dengan kereta gantung dan arena bola salju beserta perlengkapan ski-nya. Dijamin Anda akan terpuaskan dengan hiburan bersama anak-anak tercinta. Belum lagi merasakan bagaimana naik ke sebuah menera tertinggi di dunia, Burj Al-Khalifa, menyaksikan diatasnya bulatan bumi yang jelas terpampang. Juga merasakan bagaimana keindahan dunia air di dalam mall terbesar di Timur Tengah. Sebuah pengalaman yang fantastis, pengalaman yang tidak akan pernah dilupakan.

Jika diperhatikan, dewasa ini banyak aktifitas negatif berselimut indah. Racun yang tertutupi madu, maksudnya hal yang sebenarnya buruk namun di modifikasi sedemikian rapih oleh hal yang baik. Diantara sekian aktivitas negatif, sedikit kita ambil contoh bagaimana rasa malas terselimuti oleh ungkapan excuse yang meyakinkan diri bahwa hal itu adalah optimisme akan apa yang terjadi. Orang malas apapun bisa menjadi alasan. Bahkan alasan yang tampak seperti optimisme, padahal hanya sebagai dalih agar dia tidak perlu bertindak. Tentunya hal demikian sangat berbahaya, sebab akan terdengar baik dan benar padahal –sesungguhnya- dapat menghancurkan diri sendiri dan khalayak ramai.

Pernah suatu saat saya menumpang sebuah bus. Sebagai standar keselamatan sebuah bus ac harus menyediakan minimal satu tabung pemadam kebakaran seandainya terjadi apa-apa seperti kebakaran. Mungkin kita pernah mendengar banyak korban akibat terjebak di bus yang terbakar, alasannya beraneka ragam, salahsatunya –bisa jadi- karena tidak ada tabung alat pemadam kebakaran. Dari percikan api menjadi membesar karena sulit untuk dipadamkan. Untuk itu, salahsatu standar keselamatan harus ada tabung pemadam kebakaran agar bisa ter-antisipasi percikan api tersebut.

Saya melihat ke tempat tabung itu, tempat sanggahan dan tulisannya ada, namun tabungnya tidak ada. Salahsatu penumpang bus bertanya kepada kondektur, Pak tabung pemadamnya dimana (?) Dia melihat tempat sanggahan tabung, kemudian menjawab, “Ah…tidak akan terjadi apa-apa Pak” Jawabnya enteng. Seperti sebuah optimisme tidak akan terjadi apa-apa. Adakah yang bisa menjamin (?) Apa yang dia katakan itu baik-baik saja, tetapi itu hanya alasan atas kemalasan dia menyiapkan perlengkapan bus sebelum berangkat. Jika terjadi apa-apa, semisal percikan apa, apakah akan selamat hanya dengan ucapan itu (?).

Benar bahwa semua kita dianjurkan untuk bersikap optimis atas segala hal, namun usaha tetap perlu diperlukan. Optimis yang benar adalah saat kita yakin akan menghasilkan yang baik di saat kita sudah berusaha. Malas memperbaiki diri dengan dalih akan baik-baik saja. Ungkapan kondektur itu adalah salahsatu dari ribuan alasan untuk tidak menuntut diri agar berusaha mengadakan tabung pemadam tersebut. Sedangkan berusaha adalah musuh terbesar bagi orang yang malas.

Berkaitan dengan alasan-alasan ‘pemalas’ yang bisa berselimut dari kalimat ‘suci’ lainnya adalah syukur. Hal ini juga seperti kata-kata bijak, padahal hanya untuk menutupi kemalasannya meraih pencapaian yang lebih tinggi. Misalnya dengan mengatakan mensyukuri yang ada saja tanpa harus meraih yang lebih besar lagi. Padahal –sesungguhnya- kita bisa tetap bersyukur sambil tetap berusaha meraih yang lebih baik. Wong usaha kita tuk mencapai yang lebih baik tidak akan merusak syukur kita.

Ah saya mah, syukuri apa yang ada saja”, adalah –bisa jadi- ungkapan rasa malas untuk meraih kembali apa yang belum dapat diraih dengan bekerja keras. Syukur adalah urusan hati, sementara usaha adalah urusan fisik. Karenanya, syukur dan ikhtiar tidak akan saling mengganggu. Artinya, kita bisa menyukuri yang ada sambil tetap berusaha untuk mendapatkan yang lebih baik.

Di sebuah tempat nan jauh dari kota, di Jawa Barat, tampak seorang pemuda bergegas menuju surau kecil. Wajahnya menampakkan kegelisahan dan kegamangan. Ia seperti mencari sesuatu di surau itu. “Assalamu’alaikum, ustadz ” ucapnya ke sosok ustadz yang selama ini menjadi guru spritual di kampung itu. Spontan, ustadz yang rendah hati itu menghentikan kesibukannya. Ia menoleh ke si pemuda dan senyumnya pun mengembang. “Wa’alaikumussalam. Mangga. Mari masuk!” ucapnya sambil membukakan gerbang kayu surau yang sudah teramat tua. Setelah itu, ia dan sang tamu pun duduk bersila. “Ada apa, Kang (?)” ucapnya dengan senyum yang tak juga menguncup. “Ustadz, saya diterima kerja di kota!” ungkap sang pemuda kemudian. “Alhamdulillah, Syukurlah,” timpal Ustadz muda itu dengan penuh bahagia. “Ustadz, jika tidak keberatan, berikan saya petuah agar bisa berhasil!” ucap sang pemuda sambil menunduk.

Ia pun menanti ucapan sang ustadz di hadapannya yang sudah ia anggap seperti saudara kandungnya. “Kang, Jadilah seperti air. Dan jangan ikuti jejak awan,” untaian kalimat singkat meluncur tenang dari mulut sang Ustadz. Pemuda itu masih belum bereaksi. Ia seperti berpikir keras memaknai kata-kata sang ustadz. Tapi, tak berhasil. “Maksud, Ustadz (?)” ucapnya kemudian. “Kang, Air mengajarkan kita untuk senantiasa merendah. Walau berasal dari tempat yang tinggi, ia selalu ingin ke bawah. Semakin besar, semakin banyak jumlahnya, air kian bersemangat untuk bergerak kebawah. Ia selalu mencari celah untuk bisa mengaliri dunia dibawahnya,” jelas sang Ustadz dengan tenang.

“Lalu dengan awan, Ustadz (?)” tanya si pemuda penasaran. “Jangan sekali-kali seperti awan, Kang. Perhatikanlah! Awan berasal dari tempat yang rendah, tapi ingin cepat berada di tempat tinggi. Semakin ringan, semakin ia tidak berbobot; awan semakin ingin cepat meninggi,” terang sang Ustadz dengan penuh bijak. “Tapi Kang,” tambahnya kemudian. “Ketinggian awan cuma jadi bahan permainan angin.”

Dan si pemuda pun tampak mengangguk pelan.

Sebenarnya kandungan artikel ini ada korelasi dengan artikel beberapa waktu lalu (The Power of Optimism). Namun tidak salah jika kita sedikit mengulas bagaimana kekuatan harap itu bisa membuat peristiwa yang sulit menjadi sangat mudah dilakoni. Nabi Nuh belum tahu banjir akan datang ketika ia membuat kapal dan ditertawai kaumnya. Nabi Ibrahim belum tahu akan tersedia Domba ketika pisau nyaris memenggal buah hatinya. Nabi Musa belum tahu laut akan terbelah saat dia diperintah memukulkan tongkatnya ke air laut. Nabi Muhammad SAW pun belum tahu jika Madinah adalah kota tersebarnya ajaran yang dibawanya saat beliau diperintahkan berhijrah. Yang mereka tahu adalah bahwa mereka harus patuh pada perintah Allah SWT dan tanpa berhenti berharap yang terbaik. Setiap kita –tentunya- memiliki harapan dari setiap apa yang kita jalani. Harapan (ar-rajaa) tidak boleh sirna selama manusia masih menjalani hidup. Ia harus tetap tumbuh seiring dengan rasa optimis dalam menghadapi kehidupan. Harapan adalah oksigen bagi jiwa yang masih menjalani kehidupan. Tanpa adanya kekuatan harap, derasnya gelombang kehidupan akan menghanyutkan manusia dalam keputus-asaan. Dengan sebuah harapanlah manusia akan berani menjalani hidup, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya, karena harapanlah kita menanam pohon meski kita tahu, kita tidak akan sempat memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun. Sekali kita kehilangan harapan, maka kita akan kehilangan seluruh kekuatan untuk menghadapi dunia, begitu pelajaran yang sering saya dengar dari sosok guru sekaligus Bapak di Cordova.

Harapan bisa membuat warna, membuat apa yang ada di dunia ini menjadi dinamis, dan harapan telah membuat perkembangan peradaban manusia sampai pada titik yang kita rasakan saat ini. harapan telah membuat yang mustahil menjadi mungkin. Adanya harapan untuk mempermudah manusia bepergian telah memunculkan berbagai alat transportasi yang semakin canggih dan cepat. Adanya harapan untuk mempermudah manusia berinteraksi dan berkomunikasi telah memunculkan alat komunikasi yang beraneka ragam. Berbicara mengenai harapan tentunya akan selalu terkait dengan kekecewaan dan kepuasan. Semuanya itu tergantung pada bagaimana cara manusia memandang atau menyikapinya. Kekecewaan akan didapatkan bilamana manusia telah diperbudak oleh harapan itu sendiri, yaitu ketika manusia memandang bahwa harapan-harapannya harus menjadi kenyataan, inilah salahsatu hal yang bersifat destruktif yang merupakan penyebab kehancuran hidup.

Sedangkan kepuasaan akan didapatkan bila manusia tidak diperbudak oleh harapan-harapan, tetapi manusia itu sendiri yang memegang kendali atas harapan-harapannya. Yang terpenting adalah bagaimana manusia menyikapi dan memandang sebuah harapan. Tidak dipungkiri bahwa harapan sebenarnya adalah sebuah “Energi”. Manusia seharusnya memandang bahwa harapan adalah sumber energi yang dapat memotivasi mereka untuk berbuat lebih dan berbuat yang terbaik tanpa tendensi apapun. Sehingga di kemudian hari akan didapatkan kepuasaan pada diri mereka karena menyadari telah melakukan hal besar yang tentunya memiliki manfaat yang besar bagi orang lain atau kehidupan.

Pun demikian dengan jemaah haji yang memiliki harapan untuk berangkat ke Tanah Suci pada tahun ini, namun terkendala dengan batasan kuota, masih memiliki harapan yang besar untuk tidak putus asa memohon dan berharap dengan segala kebajikan yang diamalkan. Karena itu juga sebagai bentuk pengharapan untuk menggapai sebuah cita-cita mulia.

Setelah harapan itu dikelola sebaik mungkin, maka –biasanya- “tangan-tangan” ALLAH bekerja di detik-detik terakhir usaha hamba-Nya. so’ Never Give up! Tetap Khusnudzon pada-Nya apapun yang terjadi.

“Wanita akan sempurna, ketika mereka tahu bagaimana cara bersikap seorang wanita”

Saya rasa semua orang, baik wanita maupun pria, setuju bahwa R.A Kartini adalah sosok yang cukup inspiratif. Ide-idenya tentang persamaan hak dalam bidang pendidikan, sosial dan politik antara wanita dan pria sedikit banyak telah berpengaruh bagi perkembangan kultur sosial di Indonesia. Meski –sesungguhnya- tidak hanya Kartini yang menjadi ibroh maupun contoh bagi para wanita muslim dunia, jika ditelusuri sejarah kekuatan wanita, maka jauh lebih besar sosok Siti Khodijah Ra, Siti Aisyah dan wanita-wanita lainnya yang tegar, berani dan berjasa dalam membela agama dan bangsanya. Namun, tidak salah pada kesempatan ini, kita sedikit membahas pahlawan local yang –bisa saja- jasanya memberikan influance secara massif tentang dimana posisi wanita berada. Emansipasi wanita, begitulah mungkin tema besar yang kerap dibahas setiap hari Kartini tiba. Sayangnya, tujuan mulia kartini, selalu mentok pada sebuah perayaan seremoni saja. Padahal sesungguhnya ia berjuang dengan kerangka yang lebih luas. Dasar perjuangannya adalah menempatkan perempuan sebagai sosok yang bermartabat. Dengan demikian, cita-cita dan perjuangan Kartini adalah sebagai way of life. Cita-cita Kartini tidak pernah berhenti pada sebuah seremoni yang –saat ini- hanya menjadi siklus tahunan saja.

Rasanya, agar apa yang dicita-citakan Kartini tidak kebablasan dari emansipasi yang berubah wujud menjadi liberalisasi, kesamaan gender dll, maka tidak salah kita sedikit melirik bagaimana Kartini bersentuhan dengan Islam sebagai pola dasar pemikirannya yang segar, dan menjadi inspirasi jutaan manusia. Hidup dalam kubangan feodal, dan kungkungan adat jawa, Kartini mencoba untuk terus mencari jawaban agar dia beserta kaum wanita lainnya memiliki dasar perubahan yang ‘memberontak’ adat istiadatnya.

Akhirnya ia menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selalu bergolak di dalam pemikirannya. Terutama dalam menemukan Islam yang paripurna, sehingga ia mencoba mendalami ajaran Islam dengan menuangkan dalam tulisan surat-menyurat kepada sahabat dan orang sekitarnya. Awalnya, ajaran-ajaran Islam tak mendapat temapat dalam benak Kartini. Hal ini karena pengalamannya yang pahit dengan Sang Ustadzah. Ustadzahnya menolak menjelaskan makna ayat yang sedang diajarkan.

Dalam suratnya kepada Stella, sahabatnya, pada tahun 6 November 1899. Ia menuliskan “Mengenai agamaku Islam, aku harus menceritakan apa (?) Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya. Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Sedangkan disini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab.

Disini orang diajar membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya.”

Dalam waktu pencariannya itu, Kartini bertemu dengan Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Semarang telah merubah segalanya. Kartini tertarik pada terjemahan surat Al-Fatihah yang disampaikan sang Kyai. Kartini pun mendesak salahsatu paman untuk menemaninya bertemu sang Kyai. Mari kita ikuti bagaimana petikan dialog Kartini dengan Kyai Sholeh, yang ditulis Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh.

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya (?)”. Tertegun Kyai Sholeh mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian (?)” Kyai balik bertanya. “Kyai, selama hidupku baru kali ini aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan main rasa syukur hatiku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Sejak itulah Kyai Sholeh menterjemahkan Al-Qur’an ke bahasa Jawa, dan dihadiahkan kepada Kartini. Dari sanalah perubahan mendasar terlahir dari setiap ide dan pemikirannya. Karenanya dalam menerjemahkan perjuangan dan spirit Kartini seharusnya dipelajari juga bagaimana filosopis buah pikir itu. Sehingga tidak terwejawantahkan dengan melampaui batas. Sebagaimana surat Kartini kepada Prof. Anton, salahseorang gurunya, 4 oktober 1902. “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya. Menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”

Tak ada sepatah katapun dalam surat tersebut yang mengajarkan wanita untuk mengejar persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran agar sejajar dengan kaum pria. Kartini memahami bahwa kebangkitan seseorang ditandai oleh kebangkitan cara berfikirnya. Kartini mengupayakan pengajaran dan pendidikan bagi wanita semata-mata demi kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai seorang wanita.

Atas nama perjuangan Kartini, sebagian wanita kini, justru terjebak pada nilai-nilai liberalisasi dan ide-ide Barat yang justru ditentang oleh sang pahlawan. Perjuangan yang kini dilakukan oleh para feminis, pembela hak-hak wanita sangat jauh dari ruh perjuangan Kartini. Kartini tidak menuntut persamaan hak dalam segala bidang. Kartini hanya menuntut agar kaum wanita diberi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tak lebih dari itu.

Kartini telah mati, yah jasadnya telah puluhan tahun di perut bumi. Namun nama besarnya masih menjadi acuan hidup sebagian besar wanita negeri ini. Namun, entahlah sesuai atau tidak tujuan yang ia bangun dengan apa yang terjadi saat ini (?) Semoga (cita-cita) Kartini tidak mati juga!

Selamat Hari Kartini, untuk wanita Indonesia!

Pernahkah Anda berhenti sejenak dari suatu perjalanan (?) Atau menoreh sesaat kebelakang untuk melihat sejauh mana perjalanan yang telah tertapak (?) Simple, kecil dan hal yang teramat mudah tentunya untuk kita lakukan, namun terkadang hal sederhana itu urung kita lakukan hanya karena enggan tergerus oleh kehidupan yang terus berlaju. Padahal sejatinya, berhenti sejenak itu adalah sebuah Sunatullah, sebuah keniscayaan yang tiada mungkin luput dari gerak nafas manusia dalam menapaki perjalanannya. Semua yang ada di Bumi ini memiliki kapasitas maksimal, dan agar mampu melakukan perjalanan nan panjang, ia harus selalu dipulihkan setelah mencapai kapasitas tertentu. Demikian dengan kondisi jiwa manusia, setelah mencapai perjalanan tertentu, ia perlu berhenti sejenak untuk muhasabah, menghitung dan menganalisis kualitas dirinya dalam mengemban hidup sejauh ini. berhenti sejenak sangat diperlukan dalam hidup, bukan untuk selamanya, tetapi hanya untuk melihat kebelakang tentang sejarah apa yang telah kita torehkan dalam skenario hidup, menapaki jejak langkah yang telah kita buat, mengatur langkah yang terseok, mengatur nafas yang tersenggal, untuk kemudian kembali berlari, lebih cepat, lebih terarah dan lebih mampu memikul beban.

Puncak berhenti yang terorganisir dengan teramat cantik di muka Bumi ini, hadir dalam prosesi Wukuf, yah berhenti sejenak untuk mengenali diri, instropeksi, dan mengatur bagaimana alur kehidupan yang telah dilaluinya selama ini. Hingga akhirnya efek dari pemberhentian itu menjadikan jiwa mengenali raga, jiwa memahami rasa, dan berujung kepada siapa Penggenggam raga serta siapa Pembulak-balik rasa.

Betapa mujarab-nya stopping effect, sehingga sahabat Rasulullah SAW, Muadz bin Jabal RA berkata kepada sahabatnya dengan ungkapan yang menyejukkan hati “Mari duduk sesaat untuk beriman”. Berhenti sejenak untuk menengok kondisi keyakinan kita terhadap apa yang kita lakukan ini agar tetap terjaga. Dengan berhenti sejenak yang berkualitas, akan serta merta mendorong kekuatan yang berlipat untuk melakukan perjalanan panjang.

Guna menghindari keragu-raguan dan mengokohkan semangat perjalanan, berhenti sejenak di tempat yang semestinya adalah langkah positif dan bermanfaat, seolah tampak merupakan langkah mundur, namun ketahuilah dengan selangkah ‘mundur’ itu, bisa dihasilkan seratus hingga seribu kali lipat langkah. Terkecuali bagi mereka yang memang lebih nikmat untuk berhenti selamanya.

Pun demikian dengan apa yang kerap Anda temukan dalam artikel di Website ini, ada jeda kosong dalam beberapa saat, namun kami tetap disini, berpijak di Bumi ini untuk kembali mensyiarkan apa yang semestinya disyiarkan. Semoga pemberhentian sejenak ini, bisa lebih memberikan suguhan baca yang berkualitas bagi pikir dan iman kita semua.

Seperti biasanya, untuk mengawali langkah baru di awal tahun baru Islam bukanlah hal yang terlalu menarik untuk didiskusikan. Mengapa (?) Karena hampir disetiap peralihan tahun baru, baik Masehi maupun Hijriyah, setiap kita selalu memiliki harapan lebih baik dalam melangkah. Beralih dari hal tidak baik menuju yang lebih baik, dari kondisi menjenuhkan pada situasi yang penuh dengan inspiratif. Dan dari hal-hal yang berbau usang menuju kondisi serba anyar pula. Pola kerja, sistem kerja, dan hal-hal “kata kerja” inilah yang terlampau usang untuk dibicarakan. Tetapi yang patut dijadikan inspirasi dalam mengawali tahun baru justru berada pada kata sifat “Semangat.” Yah, bagaimana konteks semangat itu dapat menguasai setiap jejak yang akan terpijaki. Bukan hanya diawal tahun baru tentunya semangat itu harus tetap terjaga. Tetapi menjadikan tahun baru sebagai momentum Re-Charge Semangat Baru adalah sesuatu yang sejatinya berkobar di setiap mengawali tahun baru. Jika semangat telah terpatri, maka apapun yang dikerjakan akan sangat mudah dan penuh dedikasi. Itulah kenapa Umar bin Khattab mencetuskan ide pembuatan kalender Hijriyah, sepenuhnya karena dilandasi semangat keislaman yang sangat kuat.

Begitu pula dengan Sultan Shalahudin Al-Ayubi, ketika menjadi Panglima perang Islam saat menghadapi kaum salibis, ia membakar semangat umat Islam yang pada saat itu terkesan berada pada titik stagnan. Sultan Shalahudin menabuh perang dengan mencetuskan sebuah perayaan ‘Maulid Nabi’ yang tak pernah ada sebelumnya. Dengan perayaan itu, Sang Sultan berharap semangat Umat Islam kembali naik dengan mengenang sekaligus merefleksi bagaimana perjuangan Rasulullah dalam menegakkan agama Islam. Begitu juga dengan Panglima Thariq bin Ziyad yang mampu menguasai Spanyol dengan membakar satu-satunya kapal laut milik umat Islam setelah di kepung oleh tentara Nasrani di pesisir pantai. Ide pembakaran itu tiada lain mengobarkan semangat juang tentara Islam untuk menghadapi musuh yang sudah di depan mata. Walhasil Islam berhasil masuk dan menguasai Andalusia.

Sejarah dan pembelajaran di atas, tentunya mengandung hikmah yang sangat dalam di mata umat Islam. Betapa pentingnya mencipta dan memelihara semangat, karena tanpa semangat, mustahil Islam akan berada di belahan bumi yang secara letak geografis sangat sulit tuk disinggahi.

Jika kita kaitkan makna hijrah dengan konteks kekinian khususnya Indonesia, apa yang dilakukan Rasul ‘yakni hijrah dari Mekkah ke Madinah’ mungkin tidak perlu kita lakukan, tetapi jelas hijrah mengandung hikmah yang luar biasa. Beberapa ulama menjelaskan bahwa makna hijrah adalah; meninggalkan negeri/daerah (syirik) menuju negeri tauhid, meninggalkan kondisi bid’ah menuju kondisi sunnah, serta hijrah (meninggalkan) kondisi yang tidak baik menuju kondisi yang relatif baik atau terwujudnya amalan yang baik sama sekali.

Setidaknya hijrah yang dilakukan berkaitan dengan hijrah nafsiyah (individu) dengan berusaha menjauhkan diri dari melakukan perbuatan yang menyimpang dan berusaha memperbaiki diri untuk bersih dari segala perbuatan kotor, sehingga hati, jiwa dan raga serta segala perbuatan menjadi suci. Setelah itu mulailah dengan berusaha menghijrahkan keluarga, kerabat, tetangga, lingkungan dan masyarakat sekitar, hingga pada akhirnya membentuk komunitas yang siap melakukan hijrah secara utuh dan keseluruhan.

Sehingga, benarlah pendapat yang mengatakan bahwa hijrah adalah momentum perjalanan menuju tegaknya nilai-nilai Islam yang membentuk tatanan masyarakat yang baru, yakni masyarakat Islam.

Internet dan jejaring sosial telah menjadi bagian penting dari kehidupan kita. Sejak pagi kita berangkat ke kantor sudah online untuk sekedar lihat situs berita. Sebagian kita memanfaatkan push email, facebook, atau twitter agar tetap eksis 24 jam. Setiap kawan dan kerabat dapat mengikuti juga mobilitas kita via foursquare. Idealnya, kita perlu sempatkan diri secara rutin berkumpul bersama, menjadikan keshalihan massif dengan me-recharge rohani yang kerap menjadi kering. Tapi mungkinkah menciptakan komunitas shaleh secara massif dengan rutinitas yang ‘seabreg’ (?) Jawabnya mungkin saja, namun –tentunya- harus dengan niat yang kuat. Bila ternyata tidak bisa juga, ada banyak alternatif dengan memanfaatkan gadget dan cyberspace. Kita dapat mulai dari tahapan download atau mengcopy CD-CD keislaman ke gadget. Di situs 4shared.com kita bisa download banyak konten keIslaman. Mulai dari ceramah, murattal/ tilawah Al Qur’an sampai dengan lagu-lagu Islami. Kemudian simpan file-file tersebut di HP, BB, iPod, iPad, DVD, atau MP3 player dan komputer tablet lain yang Anda punya. Sehingga di manapun dan kapanpun Anda dapat mendengarkannya.

Anda dapat memperdengarkannya di waktu-waktu “emas” bagi orang supersibuk seperti saat berangkat atau pulang kantor, menunggu pesawat, atau saat makan. Dulu, saking sibuknya mengkaji ilmu, seorang ulama, Muhammad bin Sahnun (256 H) sampai disuapi makan oleh pembantunya sementara tangannya sibuk menulis.

Bagi Anda yang menunaikan ibadah haji atau umrah, saat-saat boarding, perjalanan dengan bus, dan saat di Mina dapat dimanfaatkan untuk menambah wawasan dan keimanan kita. Bila terjadi delay, maka pastikan anda meraih kesempatan berharga untuk “nyantri” via gadget. Jangan lupa membawa earphone agar tidak mengganggu saudara kita yang sedang istirahat. Anda dapat pula memantau kepadatan jemaah haji yang sedang tawaf di Masjidil Haram melalui liputan Live Mecca dengan Galaxy Tab atau iPad. Demikian juga dengan Masjid Nabawi. Sehingga kita dapat menyesuaikan jadwal ideal untuk melakukan tawaf, atau menuju Raudhah.

Masih tidak puas dengan sekadar mendengarkan file-file audio (?) Mari kita coba dengan bertatap muka dengan sang ustadz di Youtube. Telah banyak video keIslaman diupload oleh saudara-saudara kita dari seluruh dunia. Apalagi bila kita lancar berbahasa Inggris dan Arab.

Koneksi internet yang tak selamanya lancar bisa disiasati dengan mendownload video tersebut saat koneksi sedang lancar. Caranya mudah. Cukup dengan mengkopi alamat web di address bar. Kemudian di paste ke software atau situs yang menyediakan fasilitas download seperti keepvid.com.

Bergabung dengan group-group pengajian virtual via facebook/ twitter juga bisa jadi sarana menstabilkan naik turunnya iman. Tentunya pengajian yang tidak ‘aneh-aneh’. Saat hati gundah, tak perlu menunggu sang ustadz datang di pengajian bulanan. Di situs lidwa.com anda dapat mencari rujukan Al Qur’an dan Hadits yang menjawab segala problematika kehidupan.

Sementara Tanzil.net menyajikan Al Qur’an digital mulai dari teks arab, hingga audio dengan suara qari yang dapat kita pilih. Sebuah situs yang cocok untuk tilawah dan belajar membaca Al Qur’an. Seakan kita dibimbing langsung ayat per ayat oleh sang syeikh.

Untuk para penggemar iPad, Anda dapat mendownload Daily Dua. Sebuah aplikasi yang memudahkan kita membaca do’a harian. Dahulu para “pemburu” hadits seperti imam Muslim, Tirmidzi, Abu Daud berkelana berhari-hari ke berbagai negeri hanya untuk mendengar hadits dari sumbernya. Kini di era informasi kita cukup mengaksesnya via gadget dengan aplikasi seperti Daily Hadits, Al Muslim (kumpulan hadist Sahih Muslim).

Selain itu masih terdapat banyak lagi software KeIslaman lainnya yang menunggu gairah kita untuk menimba ilmu selagi masih ada umur. Anda dapat mengarungi samudra ilmu dengan ‘Riyadus Saliheen’, khusyuk bermunajat dengan Dua Qurani (kumpulan do’a yang berasal dari Al Quran). Dan mengajarkan anak-anak kita tentang tingginya perabadan Islam dengan Islamic invention.

Tak lupa pula beberapa aplikasi untuk membantu keseharian ibadah seperti Qibla untuk menentukan arah kiblat dan berbagai aplikasi Adzan. Selamat ‘meraih surga’ berbekal gadget.

Agar tidak hilang dan percuma begitu saja, kami akan selalu menjadi ‘pemungut’ serakan ilmu yang abadi dan bermanfaat di suatu saat nanti. Jika Anda kurang mengerti apa maksud dari awal tulisan ini, maka baiknya coba membaca postingan artikel sebelumnya ‘Today For Tomorrow’. Setelah jelas maksudnya, maka Anda akan paham, bahwa serakan ilmu yang dimaksud itu adalah status profile dari sosok yang kami banggakan. Dalam dan merangsang otak untuk belajar memahami apa yang ia maksud disetiap status yang diposting dalam BBM-nya. Kala itu tulisannya adalah ‘Sky to Sky’ –yang- mungkin saat ini sudah berubah lagi. Sebelum saya menanyakan langsung apa maksud Sky to Sky, saya coba mengeksplor seharian untuk mencari tahu apa yang ia maksud ‘dari langit ke langit’. Rasanya sulit untuk dimengerti, meski dibantu klu dengan gambar gumpalan langit, tetapi pikiran saya –tetap- tidak bisa menjelajahinya. Padahal jawabannya sangat simple, yang dimaksud sky to sky adalah pikiran dan –tentunya- ide sebagai buah dari pikir yang harus seluas dan sedalam langit. Dalam dan luasnya laut tidak sedalam dan seluas langit. Secara tidak langsung, status itu mengajarkan kita untuk terus berpikir tanpa henti, mendalami segala arus yang berkecamuk dalam riak alam pikir. Karena satu-satunya yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah pikiran.

ALLAH SWT menciptakan sesuatu selalu berpasang-pasangan. Ada siang ada malam, ada langit dan juga bumi. Posisi otak diatas, sedangkan hati berada di bawah. Sangat logic bila sky to sky adalah perumpamaan luasnya domain otak untuk berpikir. Jika kita andaikan otak itu langit, maka hati adalah bumi. Di langit ada petir berbentuk listrik, sedangkan di bumi terdapat medan magnet, karena penetral listrik yang baik adalah bumi. Hubungan antara otak dan hati sangat erat, karena keduanya memegang peranan penting dalam segala aktivitas hidup.

Otak merupakan simbol pengetahuan, kecerdasan dan kekuasaan. Sedangkan hati adalah simbol kebajikan. Bila otak selalu di atas, maka hati menariknya ke bawah, tujuannya agar manusia selalu mengingat asal-muasalnya yang terbuat dari tanah dan akan kembali ke tanah. Adakalanya posisi otak dan hati selaras, kita dapat menjumpainya ketika seorang hamba bersujud sewaktu shalat. Jika kita lukiskan hubungan itu, suatu hubungan yang sangat bersahaja. Hal ini tercipta karena seorang hamba bersujud merendahkan dirinya. Bahkan, merendahkan dirinya sampai ke titik nadir di hadapan sang Khalik. Penyerahan yang ikhlas ini menunjukan betapa tidak berdayanya manusia di saat tengah bersujud di hadapan ALLAH Yang Maha Tinggi.

Dari ‘Sky to Sky’ kita dapat menjelajah, betapa peranan otak, dalam hal ini pikiran, mampu menciptakan segala hal yang diinginkan manusia untuk melakukan apa saja. Buah karya yang akan dinikmati oleh jutaan manusia selalu bermula dari lintasan pikir. Ia (otak) tidak akan bekerja, jika kita sengaja mengubur kreativitas otak dengan malas untuk (dipaksa) berpikir. Dari ‘Sky to Sky’ mengajarkan kita, bahwa otak itu harus dibuat bekerja agar pikiran ini menjadi tajam. Otak ibarat raksasa, karena dengan otak, manusia bisa membuka sedikit demi sedikit rahasia alam semesta. So’ mari bersama belajar untuk tidak membiarkan otak menjadi malas, karena raksasa itu sudah harus dibangunkan kembali.

Selalu ada hal yang menarik ketika saya memperhatikan status profile dari list contacts BlackBerry, terlebih status itu berasal dari orang yang sangat saya kagumi. Di dalamnya, banyak pembelajaran yang tak pernah ditemukan di ruang-ruang publik, dan teramat sayang jika dilewatkan begitu saja. Karena, setiap berapa waktu, status itu akan terganti oleh kalimat lain yang maknanya tak kalah dahsyat dari sebelumnya. Jika dikumpulkan, saya yakin, ‘catatan sakti’ itu akan menjadi buku kehidupan yang akan berharga bagi generasi setelahnya. Goresan yang mewakili pikirannya melalui status itu, membuat influence positif bagi setiap orang yang melihat, menelaah dan mempelajarinya. Malam itu, -seperti biasa- saya selalu melihat setiap status yang terpampang dari list contacts BBM. Seketika, jari tangan saya berhenti sedikit lama melihat apa yang ditulis oleh sosok yang kerap membuat kagum dengan ide dan joke-joke segarnya. Sederhana namun sangat dalam. Jika dibaca hanya dengan mata telanjang, sekilas tidak ada yang spesial dari apa yang ditulisnya. Tapi cobalah sedikit meluangkan waktu untuk lebih mendalami tulisan itu. Apa yang melatarbelakangi tulisan itu, bagaimana perasaanya ketika itu dan tentunya apa makna tulisan “Today for Tomorrow” itu. Makna tentu berbeda dengan arti, karena untuk memaknai kalimat tersebut, kita harus sedikit memberikan ruang pikir untuk mendalaminya. Tidak hanya sebatas mengartikan.

Setiap membuka lembaran hari, selalu ada tekad baru, semangat baru dan harapan baru untuk terus merayakan hidup. Hari esok kan tiba karena hari ini ada. Menjalani kehidupan di hari ini untuk bekal di hari esok. Jujur, saat saya melihat status itu, saya hanya terfokus pada kalimat yang tertera, tidak dengan image yang beliau padukan dengan kalimat statusnya. Setelah dijelaskan olehnya, bahwa setiap menulis status, ia senantiasa melaraskan dengan image atau photo yang menopangnya, maka kini sangat jelas bahwa apa yang dirangkainya semakin mudah memahami apa maksud yang diinginkannya.

Yah, image itu menggambarkan hitungan jarum jam yang tiada akhir. ‘Langkah hidup’ yang terus berjalan. Jam itu menunjukkan untuk sesuatu yang tak pernah habis, meski oleh kematian. Karena memang perjalanan tidak akan henti hanya oleh sebuah kematian. Ruh akan terus berjalan menembus ruang yang tak pernah kita rasakan sebelumnya. Makna today for tomorrow inilah yang lebih mendeskripsikan tentang pentingnya perjuangan di hari ini. Sebelum esok tiba, hari inilah yang menjadi penentu esok seperti apa.

Hingga mentari esok hari terbit, kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Kita tidak bisa melakukan apa-apa esok hari. Kita tidak mungkin sedih, atau ceria di esok hari. Karena esok belum –tentu- ada kita dunia, meski pasti esok kan tiba. Namun hari ini kita dapat mengerjakan lebih banyak hal di hari ini, tentunya jika kita mampu memaafkan hari kemarin dan melepas segala ketakutan pada esok hari.

Today For Tomorrow, menjadikan hidup semakin bermakna. Persiapan menyambut esok adalah suatu yang logis untuk setiap manusia yang akan berlanjut pada tahapan hidup selanjutnya.

Thanks’ ‘status saktimu’ selalu memberikan arti untuk kami. Semoga setiap ‘esok’ tiba kita selalu berada dalam kebersamaan. Merangkai hidup melalui detik waktu yang tiada henti. Bisa saja, setelah saya menulis artikel ini, status profile beliau telah berubah dan berganti dengan ‘pembelajaran’ berikutnya.