Mungkin ketika tema diatas terbaca. Maka apa yang ada dalam benak Anda adalah daya pikir yang jauh terbang menuju pemahaman absolut sesungguhnya, yakni tentang Dzat Mutlak yang hanya milik Allah SWT. Tetapi, sesungguhnya saya menarik segi absolut diatas dari segmentasi lain yang lebih membumi tentang kehidupan sosial (hubungan antar manusia). Secara definitif, absolut bermakna mutlak. Ada arti positif dan negatif dalam dua sisi bidang yang berbeda. Contohnya yang mengandung arti absolut negatif dalam pemerintahan, adalah seorang pemimpin negara yang diktator. Adapun absolut yang digunakan dalam bidang matematika, yakni untuk menyatakan nilai absolut, memiliki makna positif. Kedua bidang yang berbeda itu, membuat pemahaman absolut menjadi terbelah antara positif dan negatif. Tetapi saya tegaskan kembali, bahwa yang akan dibahas dibawah ini adalah absolut berkonotasi negatif.

Suatu ketika, saya mendapat teguran keras dari seorang teman karena menulis status “Gosip Positif” disalahsatu media komunikasi terkenal. Menurutnya, gosip ditinjau dari sejarah dan penggunaannya tidak pernah positif. Begitu tulisnya di sebuah instan mesengger. Hmm, benarkah, saya jadi sangat penasaran. Gosip atau isu adalah kabar yang validitasnya masih diragukan, sehingga banyak menimbulkan kegalauan dari objek yang tergosipkan. Contoh kasus (sebuah analogi). Suatu hari, istri saya memberitahu kalau tetangga rumah, Pak Dian (nama samaran) akan membangun rumah bertingkat. Kemudian istri saya menambahkan seperti yang ia dengar dari tetangga sekitar, kalau uang untuk membangun rumah itu dari hasil korupsi. Kabar tambahan itu tentu mengagetkan, karena saya tahu persis Pak Dian adalah seorang yang shaleh dan taat beribadah. Saya setengah tidak percaya, dan menganggap itu hanya isu atau gosip yang kurang terjamin keabsahannya. Saya harus membuktikan sendiri, tentu saja untuk langsung bertanya ke objek gosip, yakni Pak Dian rasanya sangat tidak etis.

Sedikit korelasi dengan artikel sebelumnya tentang “membaca”, bahwa diantara sebagian kecil manusia memiliki kemampuan untuk membaca apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tentunya kemampuan itu memiliki tingkatan perbedaan yang mendasar antara mempelajari ilmu bintang (nujum) atau sihir dengan sebuah prediksi dari pengetahuan ilmiah bahkan jauh bila disamakan dengan ramalan nubuwat (Prophecy). Seseorang yang “Membaca” dan meramal sesuatu yang akan terjadi sesungguhnya memiliki pemaknaan yang mendalam. Prediksi atau ramalan adalah pernyataan atau klaim bahwa kejadian tertentu akan terjadi pada suatu saat di masa mendatang. Secara etimologi, prediction berasal dari bahasa Latin: prae (sebelum) dan dicere (mengatakan). Kemampuan “mengatakan sebelum” sesuatu terjadi di masa mendatang.

Jika Anda mengikuti setiap artikel dalam web ini, saya yakin Anda ingin melihat, bertemu dan bersanding dengan hidden person Cordova yang selalu saya tempatkan sebagai sosok misterius. Jangan pernah bertanya, siapa dan darimana ia berasal, tapi apa dan bagaimana dampak pikir yang ia sembahkan untuk Islam akan memberikan lipatan motivasi setiap bertemu dengannya. Aura positif yang dipancarkan melalui ide-ide segarnya, membuat Anda merasa berada di arena pertempuran dengan semangat menjulang tinggi. Inovasinya yang tiada henti membuat pergerakan hidup semakin berwarna. Kali ini saya terkesima dengan paparan idenya tentang apa yang akan menghiasi website ini. Salah-satunya adalah analisisnya tentang wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW.

Menyoroti banyaknya anak didik yang mengalami stres, depresi hingga berujung kematiaan dengan membunuh diri akibat tidak lulus Ujian Negeri (UN), membuat semua pihak khawatir, terlebih para orangtua yang masih memiliki anak sekolahan. Ada apa sesungguhnya dengan dunia pendidikan kita (?) Apa sebenarnya tujuan pendidikan, dan benarkah UN satu-satunya gerbang menuju kesuksesan (?). Jika diperhatikan bahwa dari tujuan pendidikan umum menurut UU No 2 tahun 1985, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berbudi Pekerti luhur dst. Jelas bahwa pendidikan merupakan character building bangsa yang penuh dengan adab. Sehingga proses pendidikan formal –sejatinya- menjadi prioritas para stakeholder dalam menentukan kualitas anak didik.

Suatu ketika, saya mencoba menghubungi kawan menggunakan nomor telefon kantor. Sekali, dua kali hingga kesekian kalinya, tidak juga terangkat. Padahal sesaat sebelum saya coba kontak dia, jelas-jelas ia mengirim pesan singkat melalui nomornya, agar saya menghubunginya segera. Lepas beberapa detik, HP saya kembali bergetar tanda masuk pesan. Setelah saya buka ternyata teman saya yang kembali mengirim pesan (sms). Namun, isinya berbeda dengan pertama. Kali ini justru saya terhentak membaca sms itu, begitu singkat, padat dan pedas. “Maaf kawan, jika saya angkat telefon dari nomor barusan (kantor), sama saja saya mendorong mu pada jurang kehancuran”. Upss… ringan, tetapi dalam menusuk hingga ulu hati. Sejenak saya berhenti dari segala pikir yang berkecamuk, menangkap dan mengarah tepat pada apa yang baru saja saya baca. Kian fokusnya hingga melintas dalam benak sebuah kisah seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ketika menerima tamu diluar kepentingan negara, maka ia sengaja menggelapkan ruangannya. Pasalnya satu, karena minyak dan bahan mentah penerang itu adalah uang milik negara, dan sama-sekali pertemuan dengan tamunya itu tidak ada kaitan dengan urusan rakyat.

Terkesan emosional memang membaca tema diatas, seolah ingin menjelaskan bahwa Devide et Impera atau teori pecah belah, adalah sebuah teori licik yang dibangun atas dasar kelabilan seseorang dalam menggapai kepuasan diri. Meski teori ini dikenalkan oleh seorang orientalis Belanda, Christian Snouck Hurgronje, saat menjajah Indonesia, namun juga kerap ditiru oleh orang-orang yang dengki akan sebuah persatuan pada satu komunitas dimanapun berada, termasuk di Tanah Air tercinta. Secara definitif teori pecah belah ini adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi. Tujuannya ingin mendapat dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang mudah ditaklukan. Dewasa ini, teori pengecut itu selalu menjadi primadona tuk menggapai sebuah tujuan. Dan tentunya tidak hanya dilakukan para orientalis, tetapi juga kerap dilakukan oleh oknum intelektual ber-identitas muslim.

Besok sebagian besar masyarakat Indonesia merayakan sebuah hari fenomenal bagi kebangkitan kaum Hawa. Sebuah hari yang bertepatan dengan lahirnya sosok wanita pahlawan bangsa ini begitu layak dijadikan sebuah momen untuk re-definisi makna emansipasi wanita di era global ini. Bumi Jepara, Jawa Tengah, tempat kelahiran Raden Ajeng Kartini seolah menjadi pertiwi mulia pencetak asset bangsa. Dengan semangat revolusioner saat itu, Kartini menggagas untuk menerobos dari lorong-lorong diskriminatif penjajah terhadap kaum hawa. Mereka hanya mengeksploitasi tenaga dan sari ayu kecantikan wanita Indonesia. Kala itu, wanita negeri ini tidak layak untuk mendapatkan kebebasan dalam berbagai hal. Terlebih dunia pendidikan yang tercanang hanya untuk mereka kaum pria dan berdarah biru.

Menyaksikan tragedi berdarah dibeberapa sudut negeri belum lama ini, membuat setiap orang tersayat hatinya. Bagaimana dan kenapa peristiwa yang melanda Negeri ini seakan tak pernah usai. Ragam kepentingan membalut setiap insan yang penuh dengan ambisi. Meremukkan harmoni yang dibangun oleh pejuang negeri, meski harus tertatih mengembalikan jati diri. Tapi semuanya harus terberai dengan sangat keji. Karena memang pengendalian diri tak pernah terusik oleh nurani. Saya dan setiap orang tentu sangat menyayangkan setiap peristiwa berdarah itu terjadi. Entahlah kemana perginya sisi lembut manusia, kedamaian yang terasa kerap menjadi puing-puing kebencian. Tak ada lagi pandangan kasih yang terpancar, sebaliknya hanyalah sorot kecurigaan yang terus menerka. Damai telah terkeping menjadi suatu barang yang teramat mahal, sulit tuk dicari dan mudah tuk disulut.

Sungguh saya dan –mungkin- Anda yang pernah menyaksikan bangunan Ka’bah secara langsung, akan sangat takjub pada kekuatan Ka’bah, laiknya magnet raksasa yang menarik kekuatan positif pada gelombang manusia yang memutarinya. Saya banyak belajar dari “kebisuan” ka’bah. Yah, meski secara kasat mata saya memandang ka’bah sebuah bangunan ‘Bisu’ yang tak pernah berkata, namun jauh dalam jiwa manusia, bangunan kubus itu memiliki kekuatan super tuk menghempaskan sisi gelap manusia. Jauh sebelum Rasulullah membersihkan ka’bah dari praktik Jahiliyyah, mereka tetap menganggap Ka’bah adalah bangunan suci yang memiliki nilai historis yang dibangun leluhur mereka. Sesungguhnya, jika kita memandang Ka’bah dari sudut pandang bentuk, maka kita hanya melihat kubus sebagai kotak biasa yang terbalut kain hitam, titik. Tetapi jika kita melihat dari dimensi lain, kita akan melihat ka’bah yang berbentuk kubus sebagai bangunan ruang yang spesial.