Ada Apa Dengan Visa Umrah (?)

Sejatinya, jika masing-masing pihak atau stakeholder dalam menangani para tamu agung ke Tanah Suci mengedepankan kepentingan jemaah, maka permasalahan yang timbul belakangan ini akan sedikit diminimalisir. Meski –tentunya- tidak dinafikan bahwa mengais rezeki dari usaha tersebut tak bisa dielakkan. Tetapi sedikit disayangkan, jika hanya terlalu money orientied dengan seribu kepentingan meraup pangsa pasar yang menjanjikan, ternyata berakibat kisruh dan kekecewaan dari setiap calon jemaah umroh, lebih parah lagi visa umroh terlambat keluar dari schedule dan perencanaan setiap orang yang merindu Baitullah. Re-schedule bukan hal mudah bagi mereka yang telah memetakan agenda kesehariannya. Untuk masalah ini -baik batalnya ribuan orang berangkat ke Tanah Suci atau yang harus menunggu keluarnya visa- kita tidak lagi memiliki stock “Apologi” bahwa Allah belum saatnya mengundang kita ke Tanah Suci. Sebab semua itu adalah perangkat yang bisa dilakukan oleh para pemegang kebijakan baik di Indonesia maupun di Arab Saudi. Hakikatnya panggilan Allah untuk mengundang hamba-Nya sudah dijawab dengan hati dan perbekalan yang mantap. Hanya birokrasi duniawi yang memuluskan rencana suci tersebut. Sedikit kita merangkai teka-teki kenapa visa umrah tahun 2010 ini sedikit alot diterbitkan.

Menjelang keberangkatan jemaah umrah awal Maret ini, banyak kalangan yang merasa khawatir akan “Kisruh” Visa yang melanda hampir di seluruh agen penerbitan visa. Niat menggapai kemudahan dalam melangkah ke Tanah Suci, sedikit terganggu oleh birokrasi yang terkesan memonopoli kepentingan bisnis. Adanya suatu persyaratan mengenai prioritas penerbitan visa akan lebih mudah di proses, jika menggunakan salahsatu maskapai yang menjadi mitra bisnis dari salahsatu agen resmi penerbit visa tersebut, adalah suatu hal yang sangat disayangkan. Terlebih bagi jemaah yang memiliki style untuk dapat mendapatkan suatu perjalanan menggunakan maskapai pilihannya. Terjadi semacam “pemasungan” pilihan untuk mendapat fasilitas –yang sejatinya- dimiliki jemaah untuk menikmati perjalanan suci-nya. Betul jika masuknya kembali salahsatu maskapai penerbangan dalam rute Jakarta-Jeddah, menambah pilihan lebih semarak dan menguntungkan sebagian jemaah, tetapi dengan mensyaratkan “Harus” dengan maskapai tertentu, jika ingin mendapatkan visa umrah, inilah yang akan mengancam tradisi ‘Rahmatan Lil’alamin’ semakin pudar disetiap perjalanan haji maupun umrah.

Menjelang keberangkatan jemaah umrah awal Maret ini, banyak kalangan yang merasa khawatir akan “Kisruh” Visa yang melanda hampir di seluruh agen penerbitan visa. Niat menggapai kemudahan dalam melangkah ke Tanah Suci, sedikit terganggu oleh birokrasi yang terkesan memonopoli kepentingan bisnis. Adanya suatu persyaratan mengenai prioritas penerbitan visa akan lebih mudah di proses, jika menggunakan salahsatu maskapai yang menjadi mitra bisnis dari salahsatu agen resmi penerbit visa tersebut, adalah suatu hal yang sangat disayangkan. Terlebih bagi jemaah yang memiliki style untuk dapat mendapatkan suatu perjalanan menggunakan maskapai pilihannya. Terjadi semacam “pemasungan” pilihan untuk mendapat fasilitas –yang sejatinya- dimiliki jemaah untuk menikmati perjalanan suci-nya. Betul jika masuknya kembali salahsatu maskapai penerbangan dalam rute Jakarta-Jeddah, menambah pilihan lebih semarak dan menguntungkan sebagian jemaah, tetapi dengan mensyaratkan “Harus” dengan maskapai tertentu, jika ingin mendapatkan visa umrah, inilah yang akan mengancam tradisi ‘Rahmatan Lil’alamin’ semakin pudar disetiap perjalanan haji maupun umrah.

Setiap orang yang melakukan perjalanan ke suatu tempat, tentu berharap menikmatinya dengan suasana hati yang tenang, bahagia dan aman. Tidak dikejar oleh kondisi yang sebaliknya, takut, khawatir dan cemas. Kemanapun plesirnya, dan apapun rasa cemasnya. Jika ia pergi ke luar kota, maka harus jelas bagaimana kondisi kendaraan yang dipakai, apakah bahan bakarnya mencukupi, apakah ban, rem serta gasnya berfungsi dengan baik, lalu apakah supirnya berpengalaman dan tahu jalan, dan satu lagi –meski hanya bersifat wanti-wanti- apakah kendaran dan orangnya memiliki asuransi atau tidak, serta pernik-pernik persiapan lainnya yang harus diperhatikan saat kita melakukan suatu perjalanan. Khusus masalah asuransi, Bukan untuk mendahului takdir yang ditentukan Allah SWT, tentang musibah yang akan terjadi pada setiap hamba, tetapi usaha manusialah yang menjadikan asuransi sebagai modal ikhtiar sebelum akhirnya bertawakal pada-Nya sebagai Penentu setiap peristiwa. Mengikuti program asuransi tidak bertentangan dengan kaidah tawakal, yang diharuskan berserah diri pada Allah secara total, namun sebaliknya, dengan asuransi, suasana hati seperti diatas, menjadi point pe-legalan asuransi sebagai salahsatu ikhtiar manusia dalam menggapai tujuannya.

Satu diantara bagian yang membuat kita nyaman dalam suatu perjalanan adalah pelayanan yang istimewa. Menyatu, berbaur dan tak segan menceritakan seputar yang terjadi di sebuah destinasi yang belum kita tahu secara detail. Pelayan yang sigap dan cerdas akan sangat memperhatikan situasi dan kondisi agar perjalanan kita benar-benar terasa menyenangkan. Tidak hanya dalam kondisi stabil, saat perjalanan terancam pahit pun, ia kan utarakan dengan proporsional tanpa rasa panik. Terlebih jika perjalanan itu menuju Tanah Suci, tentunya para pelayan menjadi sangat dominan untuk membimbing dan mengarahkan jemaah agar tujuan sucinya tergapai dengan sempurna. Karenanya, kerjasama antara pelayan dan jemaah guna mencapai tujuan mulia itu menjadi hal yang sangat urgent. Mindset bahwa sebagai tamu adalah raja dalam mendapatkan pelayanan sempurna adalah benar, tetapi proses mendapatkan pangkat tersebut di tanah suci harus melalui tahapan “Kesucian hati”. Artinya, sejak awal menuju titik suci Baitullah, kita merancang hati agar menjadikan pelayan (muthawif) sebagai partner menggapai kemabruran. Menaklukan sisi keegoisan diri, menjawab jujur “Who I am” dihadapan Rabbi, dan menanggalkan segala pernik jabatan duniawi. Sehingga proses menuju kemabruran akan lebih mudah tergapai. Tak aneh jika seorang raja Arab menyatakan dirinya sebagai pelayan dua kota suci, ini menandakan bahwa melayani tamu agung adalah sebuah tugas mulia.

Jakarta– Mengakhiri perseteruan, organisasi penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) akhirnya AMPHURI (Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Indonesia) pimpinan Baluki Ahmad merubah nama menjadi HIMPUH (Himpunan Penyelenggarara Umrah dan Haji). “Kami sepakat merubah nama, yang penting kondisi organisasi berjalan baik,” kata Ketua Umum HIMPUH, Baluki Ahmad kepada wartawan pada Musyawarah Kerja ke-1 HIMPUH di Jakarta, Kamis (11/2). Seperti diketahui, AMPHURI adalah organisasi PIHK dahulu ONH Plus yang didirikan 15 Oktober 2006, sebagai wadah tunggal dari tiga organisasi PIHK, yaitu AMPUH (Asosiasi Muslim Penyelenggara Umrah dan Haji), AMPPUH (Asosiasi Muslim Penyelenggara Perjalanan Umrah dan Haji) dan SEPUH (Serikat Penyelenggara Umrah dan Haji). Menteri Agama saat itu, Muhammad Maftuh Basyuni meminta ketiga organisasi tersebut melebur menjadi satu, para pengusaha haji plus sepakat membentuk AMPHURI. Namun muncul perpecahan dalam tubuh AMPHURI ada yang dipimpin Baluki Ahmad, dan satu lagi dikomandoi Fuad Hassan Masyhur.

Lokasinya yang berada di kawasan pecinan membuat masjid ini begitu strategis untuk warga etnis tionghoa yang ingin tahu lebih dalam tentang Islam. Tidak heran, masjid ini menjadi wadah masuk Islamnya warga etnis cina di Jakarta. Namanya masjid Lautze. Nama itu mengikuti tempat lokasi masjid yang terletak di jalan Lautze nomor 87 sampai dengan 89, belakang gedung Pasar Baru Jakarta Pusat. Letaknya di antara ruko yang berjejer di jalan itu. Kalau dilihat dari luar, Masjid Lautze nyaris tidak seperti masjid umumnya. Tanpa kubah, tanpa kaligrafi, dan bangunannya berbentuk ruko yang lebih mirip toko atau kantor bisnis lainnya. Warna pintu pun merah solid yang hampir tidak satu masjid pun memilih warna itu untuk ornamen bangunannya. Hanya bentuk pintunya saja yang menyerupai masjid umumnya: berbentuk elips di bagian atas. Begitu pun ketika memasuki masjid. Warna merah dan kuning keemasan bertaburan di mana-mana, layaknya kelenteng. Bahkan di dekat mimbar, terdapat tulisan kaligrafi ayat-ayat Alquran dari bahan kertas yang dibuat dengan teknik kaligrafi Tionghoa klasik. Hal ini –tentunya- dimaksudkan agar jamaah masjid yang sebagian besar mualaf tionghoa tidak merasa asing dengan suasana masjid.

Menjelajah Negeri Ribuan Kubah

Selain Kairo, Jordania, Palestina, Dubai, Hongkong, Bangkok dll. Cordova juga konsen dengan program Spritual Journey, plus Istanbul. Negeri Ribuan Kubah ini menjadi destinasi yang sangat fantastik. Suatu negeri impian yang kerap mengundang decak kagum setiap orang menyaksikan keindahannya. Meski mengidentikkan diri sebagai Negara sekuler, nuansa keislaman di Turki sangat kental terasa. Letak geografi yang berada di dua wilayah benua Asia dan Eropa ini, menjadi kawasan Turki sangat strategis untuk dikunjungi wisatawan dunia. Negeri tua yang sempat menjadi kejayaan Islam selama rentang 1300 – 1918 Masehi itu, menempatkan Turki sebagai punggawa arsitektur keislaman yang sejajar dengan Negara ber-peradaban tua lainnya. Ankara adalah ibukota Turki, tetapi kota terpadat dan banyak dijadikan destinasi para pengunjungnya adalah kota Istanbul. Kota damai yang terbentang sebuah selat indah membelah dua perairan antara Asia dan Eropa, Bosphorus itu begitu indah. Pun saat kaki Anda melangkah, arahkan pada satu fenomena keindahan bangunan masjid berarsitek canggih. Sebuah masjid yang kesohor itu adalah masjid Sultan Ahmet, atau Blue Mosque (Masjid Biru). Masjid dengan enam menara itu menjadi monument paling terkenal diseantero Turki dan Dunia.