Bag. Pertama

Selasa, 18 Mei 2010

Lepas shalat subuh, saya menunggu pukul 6 pagi. Karena angkutan transportasi di Istanbul mulai beroperasi pukul 6 pagi. Tujuan di pagi yang masih tertutup kabut itu adalah Bandara Internasional At-Tatruk (bandara Internasional di Istanbul-Turki). Letak bandara yang lumayan jauh dari tempat tinggal, menyebabkan saya harus berangkat pagi sekali untuk menjemput rombongan Umroh plus Turki dari Cordova-Indonesia. Selang beberapa menit saya di halte bis, HP saya berbunyi dan tertulis panggilan dari Rudy-Cordova, segera saya angkat, dan ternyata Pak Ruddy (Project Manager) rombongan Srikandi, bidan Sari Husada yang pada gelombang pertama berjumlah 46 orang itu, memberitakan bahwa dia dan rombongan baru keluar dari pesawat.

Sewaktu kecil, saya masih ingat bagaimana ‘prosesi pen-sucian’ itu terjadi. Mungkin dalam benak saya saat itu, hampir sama dengan umumnya anak-anak yang ingin di sunat (khitan). Karena faktor bujuk rayu orangtua dan kolega, akhirnya bukan takut yang ada, malah saya ingin segera di khitan. “Nanti kalau disunat, kamu punya banyak uang, bisa beli sepeda, beli ice cream, chiki dan makan enak”, rayu para orangtua. Akhirnya, meski harus menahan rasa sakit dan berjalan sedikit renggang beberapa hari, apa yang dijanjikan memang terkabul, saya mendapat banyak amplop, meski untuk memiliki sepeda, adalah cerita lain. Yah, seperti itulah sebuah tradisi yang sebetulnya merupakan kewajiban setiap anak laki-laki untuk di khitan, dengan pesta ataupun tidak. Mungkin pesta atau apapun bentuknya adalah suatu bumbu agar si anak menjadi senang saat akan di khitan. Terlebih menjelang masa-masa libur sekolah, tentu para orangtua memiliki banyak strategi untuk mulai merayu agar si buah hati segera di khitan.

Jika Anda IT mania, atau pecinta teknologi, tentu Anda tahu dua sosok fenomenal Steve Jobs dan Bill Gates yang hingga kini bagai seteru abadi dalam memperebutkan tahta dunia IT. Banyak gosip yang beredar diantara keduanya, Windows mencotek Mac, Mac dibeli Windows, dan lain sebagainya. Tetapi tahukah Anda, bahwa akar utama dari ‘Bratayudha’ ini adalah masalah dua orang luarbiasa yang sukses mengubah cara orang hidup di dunia modern. Mengubah cara pandang manusia untuk hidup lebih praktis, efesien dan mutakhir. Tentu dengan cinta teknologi, Anda satu langkah telah berhasil menyamakan daya pikir Anda seperti yang ada dalam benak kedua orang hebat itu, yakni menciptakan kemudahan pada manusia dalam beraktifitas dan membentuk sesuatu yang sulit menjadi sangat mudah dan simple. Rasulullah SAW pun memberikan isyarat beribu tahun silam, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan kemudahan pada saudaranya. Namun demikian, saya juga tidak mempungkiri bahwa teknologi memiliki dua mata; ia mengandung aspek manfaat, tetapi juga berbahaya bila tidak digunakan sebagaimana mestinya.

Umat Islam dimana pun berada, tentunya pernah dan –mungkin- sering mendengar ayat-ayat Al-Qur’an mengenai kematian, kehancuran dan kefana-an bumi yang kita pijak. Banyak buku dan artikel tentang kematian telah kita baca, banyak pula gambaran serta fenomena manusia yang berakhir ajalnya secara tiba-tiba. Namun, semua itu terkadang hanya sebatas intermezzo yang melintasi benak kita, jarang terpikir dan mudah terlupakan. Karena memang kita tak pernah merasakan sebuah kematian. Ketika nyawa dan jiwa telah tiada, maka manusia hanya sesosok jasad yang tak berarti. Manusia yang meninggal hanya dapat dikatakan jenazah atau –maaf- bangkai, dan tidak lagi disebut manusia seutuhnya. Jasad memang tidak memiliki kinerja, jasad akan berhenti ketika nyawa telah tiada di badan. Andai saja ada teori yang bisa menjelaskan semua tentang bagaimana cara kita mati, bagaimana rasanya mati, dan apa yang terjadi ketika kita mati. Tapi sampai saat ini tak ada satu logika dan pemikiran manusia yang dapat memastikan jawaban itu.

Semua orang pasti tahu, bahwa kondisi Tanah Suci disetiap waktunya selalu mengalami perubahan. Dinamis, terus bergerak tuk menyeimbangi kondisi yang berlaku. Semuanya terjadi di semua sektor. Baik perluasan Haram (Masjidil Haram) maupun sektor akomodasi dan transportasi. Semuanya bergerak tuk berlomba menciptakan pelayanan istimewa bagi tamu-tamu istimewa. Namun efek dari semua itu, tentunya berimbas pada cost yang harus dikeluarkan. Semakin mendekati puncak haji, maka harga-harga di Tanah Suci akan semakin meningkat tajam. Tetapi pastinya fasilitas yang kan diraih pun sangat luar biasa tuk mendapatkan “peluang” khusyuk dalam beribadah. Mencoba memberikan yang terbaik, adalah setapak jalan Cordova tuk melayani para duta negeri di Tanah Suci.

Pergi melancong di seputar Eropa tentu berbeda dalam soal mengisi perut dibanding dengan Tanah Air. Di Indonesia, mencari makanan relatif lebih mudah. Warung, restoran, kafe bahkan pedagang kaki lima menjual aneka makanan bercita rasa nusantara. Pun demikian di kota-kota di Eropa, meski banyak ditemukan restoran-restoran sepanjang jalan dengan ragam menu yang terhidang. Tetapi kita sering ragu dengan kehalalan makanannya. Karena yang paling terpenting adalah asupan makan bergizi tetapi juga terjaga kehalalannya.

Jika Anda niat berhaji, jangan pernah menunda ketika kesempatan itu ada. Meski hanya terbetik dalam jiwa. Tuangkan segala niat dengan usaha, doa dan prasangka baik pada Allah Ta’ala. Jangan pernah berpikir harta yang dibelanjakan haji kan terbuang sia, justru Allah menjamin kan menggantinya dengan lipatan rizki di dunia maupun akherat. Tak pernah ada cerita usai melaksanakan haji, usaha dan bisnis-nya kan gulung tikar saat semuanya telah diserahkan total pada Dzat Maha Kaya. Dalam mengawali tahapan ibadah paripurna ini, ada dua aspek yang saling mendukung untuk diketahui dan dijalankan. Pertama aspek religius, seperti yang tertuang diatas mengenai niat, berserah diri dan hal lainnya yang kan tertuang dalam setiap kesempatan manasik haji. Kedua, aspek birokrasi menuju Kota Suci. Aspek inilah yang terkadang mengalami sendatan informasi kepada calon jemaah haji. Sehingga berpotensi untuk saling curiga antara lembaga dan –mungkin- juga antara jemaah dengan biro perjalan haji.

Save our Generation

Seperti biasa, setiap bertemunya, saya selalu mendapatkan kejutan-kejutan segar dari buah pikirnya yang brilian. Bukan hanya sebagai aset bangsa, saya pikir beliau juga adalah aset Islam yang teramat berharga, tuk merealisasikan cita-cita dan rasa rindu pada kejayaan Islam yang kan berkibar dibelahan Bumi manapun. Pada suatu ketika, saya ditanya dengan sebuah pertanyaan klasik. “Kenapa Islam terkenal sebagai agama yang kejam, sadis dan seram (?)”, “Kenapa setiap orang di planet ini yang ingin belajar dan tahu tentang Islam, mereka justru menemukan image yang berlawanan dengan misi Islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin (?)”. Sejenak saya berpikir dan hanya menyalahkan para “Oknum Islam” yang membuat image Islam sangat buruk dikalangan non-muslim. Yah, para “teroris” yang mengatas-namakan Islam sebagai media jihadnya tuk memerangi musuh-musuh Islam. Yah, mereka yang sudah membuat citra Islam buruk di dunia international, pikirku kembali menyeruak.

Mungkin ketika tema diatas terbaca. Maka apa yang ada dalam benak Anda adalah daya pikir yang jauh terbang menuju pemahaman absolut sesungguhnya, yakni tentang Dzat Mutlak yang hanya milik Allah SWT. Tetapi, sesungguhnya saya menarik segi absolut diatas dari segmentasi lain yang lebih membumi tentang kehidupan sosial (hubungan antar manusia). Secara definitif, absolut bermakna mutlak. Ada arti positif dan negatif dalam dua sisi bidang yang berbeda. Contohnya yang mengandung arti absolut negatif dalam pemerintahan, adalah seorang pemimpin negara yang diktator. Adapun absolut yang digunakan dalam bidang matematika, yakni untuk menyatakan nilai absolut, memiliki makna positif. Kedua bidang yang berbeda itu, membuat pemahaman absolut menjadi terbelah antara positif dan negatif. Tetapi saya tegaskan kembali, bahwa yang akan dibahas dibawah ini adalah absolut berkonotasi negatif.

Suatu ketika, saya mendapat teguran keras dari seorang teman karena menulis status “Gosip Positif” disalahsatu media komunikasi terkenal. Menurutnya, gosip ditinjau dari sejarah dan penggunaannya tidak pernah positif. Begitu tulisnya di sebuah instan mesengger. Hmm, benarkah, saya jadi sangat penasaran. Gosip atau isu adalah kabar yang validitasnya masih diragukan, sehingga banyak menimbulkan kegalauan dari objek yang tergosipkan. Contoh kasus (sebuah analogi). Suatu hari, istri saya memberitahu kalau tetangga rumah, Pak Dian (nama samaran) akan membangun rumah bertingkat. Kemudian istri saya menambahkan seperti yang ia dengar dari tetangga sekitar, kalau uang untuk membangun rumah itu dari hasil korupsi. Kabar tambahan itu tentu mengagetkan, karena saya tahu persis Pak Dian adalah seorang yang shaleh dan taat beribadah. Saya setengah tidak percaya, dan menganggap itu hanya isu atau gosip yang kurang terjamin keabsahannya. Saya harus membuktikan sendiri, tentu saja untuk langsung bertanya ke objek gosip, yakni Pak Dian rasanya sangat tidak etis.