Dalam suatu perusahaan, setiap produk, tentunya akan selalu mencapai titik jenuh. Sehingga hal ini mengharuskan setiap perusahaan melakukan inovasi atas produknya. Paling tidak hanya merubah bentuk, walaupun komposisi dan kontennya tetap. Bisa juga hanya dengan menggalakkan lagi promosi, memperbagus seni pengemasan, bahkan sampai melakukan merger atau joint venture dengan perusahaan lain hanya demi melakukan sebuah inovasi sebuah produk baru. Hal itu tentu saja bertujuan untuk menjaga keberlangsungan ‘hidup’ perusahaan ditengah persaingan yang menggila. Titik jenuh, itulah sebuah awal mula yang terkadang begitu mengerikan. Bisa saja seseorang jenuh, sehingga dengan kejenuhannya dia malah tidak berproduksi sama sekali. Jika tubuh diibaratkan sebagai sebuah perusahaan, dimana dia memproses input atau bahan baku menjadi output yang siap pakai. Maka kelangsungan dari tubuh ini haruslah dipertahankan. Sama seperti contoh perusahaan diatas. Manusia itu sendiri adalah makluk yang paling cepat bosan. Sehingga selalu mencari sensasi. Mulai dari hiburan yang rileks sampai hiburan yang begitu extreme.

Sebuah Perenungan

Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya…..
Akan sering merasa kangen sekali dengan Ibunya.

Lalu bagaimana dengan Ayah?
Mungkin karena Ibu lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari.
Tapi tahukah kamu, jika ternyata Ayah-lah yang mengingatkan Ibu untuk menelponmu?

Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Ibu-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng.
Tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Ayah bekerja dan dengan wajah lelah Ayah selalu menanyakan pada Ibu tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?

Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil……
Ayah biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda. Dan setelah Ayah mengganggapmu bisa, Ayah akan melepaskan roda bantu di sepedamu…
Kemudian Ibu bilang : “Jangan dulu Ayah, jangan dilepas dulu roda bantunya” ,
Ibu takut putri manisnya terjatuh lalu terluka….
Tapi sadarkah kamu?
Bahwa Ayah dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.

Rautmu begitu tenang ketika berada di atas pembaringan
Meski ku tahu dahsyatnya sakit yang kau rasa
Tatapan syahdu menyelinap pada setiap yang mencumbumu dalam bisik
Berharap doa menguatkan jasad yang terluka
Nyanyian cinta dan dekapan rasa tak kan pernah hilang ditelan senja
Karena ku tahu kau lah penyebab rasa kian berjiwa
Meski sakitmu mengundang sejuta gundah, namun tiada keluh yang mendesah
Meski lukamu terlihat parah namun semangat jiwamu tak pernah kalah

Mengawali langkah baru di awal tahun baru Islam bukanlah hal yang terlalu menarik untuk didiskusikan. Mengapa (?) Karena hampir disetiap peralihan tahun baru, baik Masehi maupun Hijriyah, setiap kita selalu memiliki harapan lebih baik dalam melangkah. Beralih dari hal tidak baik menuju yang lebih baik, dari kondisi menjenuhkan pada situasi yang penuh dengan inspiratif. Dan dari hal-hal yang berbau usang menuju kondisi serba anyar pula. Pola kerja, sistem kerja, dan hal-hal “kata kerja” inilah yang terlampau usang untuk dibicarakan. Tetapi yang patut dijadikan inspirasi dalam mengawali tahun baru justru berada pada kata sifat “Semangat.” Yah, bagaimana konteks semangat itu dapat menguasai setiap jejak yang akan terpijaki. Bukan hanya diawal tahun baru tentunya semangat itu harus tetap terjaga. Tetapi menjadikan tahun baru sebagai momentum Re-Charge Semangat Baru adalah sesuatu yang sejatinya berkobar di setiap mengawali tahun baru. Jika semangat telah terpatri, maka apapun yang dikerjakan akan sangat mudah dan penuh dedikasi. Itulah kenapa Umar bin Khattab mencetuskan ide pembuatan kalender Hijriyah, sepenuhnya karena dilandasi semangat keislaman yang sangat kuat.

Manusia berkualitas adalah manusia yang menghargai segala yang terjadi dalam kehidupannya. Kualitas diri mencerminkan daya pikir yang smart untuk tidak angkuh dalam setiap interaksi. Tidak lantas ‘mentang-mentang’merasa dalam kelas yang beda, ia layak disanjung, di junjung dan di berlakukan laiknya pejabat kakap. Sungguh tragis menyaksikan polah manusia dewasa ini, dimana praktik pengokohan diri kerap disematkan oleh dirinya, hanya karena memiliki ruahan harta yang dipastikan akan hilang jua ditelan bumi. Saat ini, bukan ilmu dan attitude lagi yang akan menjadi sample penghargaan manusia, tetapi semakin banyak orang yang memilih harta dan jabatan sebagai media penghargaan. Atas nama kualitas diri, atas nama harta yang dimiliki, manusia yang memiliki sifat angkuh itu akan berdiri tegak menyaksikan ‘kehebatan’ dirinya, seraya memandang rendah segala yang dilakukan manusia lain. Semoga sifat seperti itu, tak kan pernah ada pada sosok haji yang pernah merasakan perjalanan di lembah suci. Karena, edukasi diri dalam penyucian hati menjadi prioritas perjalanan haji dalam meraih kemabruran.

Inklusifitas hati seorang manusia sesungguhnya menjadi dasar untuk selalu menerima keadaan dengan istiqomah. Seburuk apapun yang terjadi, ketika hati memiliki sikap ‘terbuka’ maka ia akan selalu siap menjadi pribadi yang dinamis. Pribadi yang menerima perbedaan, pribadi yang tidak terkurung oleh sekat-sekat eksklusifitas, pribadi yang dapat keluar dari kerasnya hati. Hati adalah kunci kejujuran, ia merupakan cerminan hidup dalam beraktifitas. Setiap gerak yang terlakoni, adalah pangkal dari hati yang bergejolak, semuanya selalu bermula dari hati. Setiap manusia –sesungguhnya- memiliki hati yang bernurani, karena nurani adalah sifat asli dari hati, ia selalu terbalut oleh kebersihan, kesucian dan kejujuran. Karenanya, seorang sahabat pernah mengatakan bahwa sesuatu pekerjaan yang bertolak belakang dengan hati nurani, atau menimbulkan resah dalam jiwanya, maka dipastikan hal demikian adalah suatu yang mengandung cela atau dosa. Tetapi, jika tidak merasa sedikit pun gejolak dalam hatinya, maka –sesungguhnya- Allah telah menutup hatinya dengan suatu penyakit (QS: Albaqarah:10).

Orang tua dulu pernah bilang “Jika ingin tahu seberapa besar rasa persaudaraan yang terjalin, maka lakukanlah perjalanan beberapa hari bersama saudaramu.” Falsafah diatas memang benar adanya. Bahkan para pecinta alam yang sering naik gunung sekalipun selalu menggunakan falsafah itu. Setelah berada di atas puncak melewati malam dan siang, mereka akan merasakan bagaimana sifat asli yang kerap tumbuh disaat kenikmatan rasa kian terancam. Ego diri kian tampak sejalan dengan putaran waktu, watak asli semakin tampak diantara guratan citra yang terus rontok. Hanya kebersamaanlah yang mengkikis segala rasa yang timpang. Begitupun dengan sebuah komunitas yang melakukan traveling beberapa hari ke suatu negeri, bersama orang yang tak pernah ia kenal, dengan ragam watak dan sifat yang terbentuk. Terasa asing bagi mereka yang sulit tuk menekukkan rasa agar terjalin suatu kebersamaan yang jujur. Maka satu-satunya jalan yang paling indah adalah saling peduli atas kebersamaan yang terjalin. Pun demikian bagi smartHAJJ Cordova, setelah melakukan perjalanan suci berhari-hari, tentunya banyak cerita yang dirasa. Suka maupun duka menjadi kisah yang tak terhindarkan.

Setiap orang berpotensi menggengam kunci surga. Banyak cara mendapatkan kunci kebahagiaan itu, terlebih bagi setiap alumni haji yang telah merasakan bagaimana gugurnya semua dosa saat di Arafah. Jalan menuju surga telah dihadapannya, akankah mampu digenggam selamanya, atau dibiarkan berkarat begitu saja, hingga sulit untuk membuka pintu surga yang sudah di depan mata. Semuanya terletak pada kesungguhan kita dalam meraihnya. Surga bukan milik penguasa, surga tidak dipatenkan untuk orang kaya, juga bukan persembahan untuk mereka yang menderita karena miskin harta. Tetapi surga milik Sang Maha Kuasa yang diberikan khusus pada semua makhluk atas rahmat-Nya. Semua manusia berpeluang mendapatkan kunci surga, tetapi tidak semua manusia meraih kebahagiaan surga. Hanya manusia yang kosong dari rasa angkuh lah yang berpotensi hidup dalam keabadian surga. Seperti halnya iblis yang terusir dari surga, karena angkuh merasa lebih mulia dari manusia. Kekafiran, kemusyrikan, keserakahan dan segala aktivitas yang menutupi jalan surga selalu bermula dari rasa angkuh, merasa lebih dari sekelompok manusia.

Meneruskan komitmen Arafah

Ada yang tak biasa terjadi di Bandara Soekarno Hatta Senin malam lalu (22/11). Malam yang beranjak pagi itu masih terlihat ramai, biasanya pukul 23.00 WIB toko dan restoran di Bandara sudah tutup, namun malam itu, beberapa dari toko masih terlihat beraktivitas. Yah, mungkin karena banyaknya schedule kepulangan jemaah haji yang mengalami keterlambatan, sehingga banyak dari keluarga jemaah yang bertahan menunggu di bandara. Kekacauan jadwal penerbangan maskapai milik BUMN itu, dijadikan lahan ‘meraup’ rezeki oleh sebagian toko dan restoran. Belum lagi pedagang asong yang berada di lahan parkir, seolah tak henti melayani ‘order’ para supir dan keluarga yang menunggu kedatangan jemaah haji. Kendati demikian, tidak sedikit penumpang dan penunggu yang kecewa dengan rasa yang hancur akibat peristiwa tersebut. Sebuah ironi yang terjadi pada maskapai sekelas Garuda. Penerbangan domistik maupun internasional mengalami penundaan bahkan pembatalan terbang. Secara langsung ataupun tidak, hal ini sangat merugikan setiap calon penumpang baik materi maupun imateri. Semoga upaya pembangunan citra oleh Garuda yang telah mendapat penghargaan sebagai World’s Most Improved Airline dari Skytrax World Airline ini tidak berdampak lanjut pada pasar yang dibidik Garuda untuk meraih Predikat maskapai Bintang 5 dunia.

Kekacauan penerbangan yang dialami Garuda Airline akhir-akhir ini sangat dirasa oleh sebagian besar jemaah haji, baik reguler maupun haji khusus. Delayed penerbangan dari 9 jam ke-atas membuat schedule Garuda berantakan. Awalnya, staf Garuda di Airport Jeddah, Saudia Arabia mengabarkan alasan ‘klasik’ ini diakibatkan kepadatan penerbangan di Airport King Abdul Aziz, sehingga gate yang akan digunakan take-off mengalami antrian. Mengingat banyaknya jemaah haji yang akan kembali ke Tanah Air-nya di belahan dunia. Namun belakangan, diketahui bahwa penyebabnya yakni, Garuda Indonesia tengah menerapkan sistem baru yang disebut dengan sistem kendali operasi terpadu (integrated operasional control system/IOCS). Menurut Kepala Komunikasi Perusahaan PT Garuda Indonesia, Pujobroto dalam sebuah media online, sebelumnya sistem yang digunakan terpisah dan berdiri sendiri, yakni sistem untuk memantau pergerakan pesawat, awak kabin, dan penjadwalan. Sistem tersebut kemudian diintegrasikan. Sistem kendali terpadu ini telah diuji coba berkali-kali, tetapi pada Ahad kemarin 21/11 pelaksanaan sistem tersebut bermasalah.