Kini saatnya kita akan mengenal lebih jauh dengan salah satu team Cordova yang fasih berbahasa asing, terutama bahasa Inggris. English teacher adalah profesi yang ia geluti sebelum bergabung bersama Cordova. Tak jarang ia menggunakan bahasa Inggris dalam kesehariannya bersama team. Saking cintanya terhadap english language, mimpinya pun menggunakan english. Kesan pertama berjumpa dengannya, jangan pernah underestimate terhadap penampilannya yang cool, karena dibalik ‘ketawadluan’-nya tersimpan banyak progress skil individu yang fantastis.





Saatnya kita mengupas CAT Lady, atau wanita-wanita Cordova. Seperti sebuah pepatah; wanita adalah pilar sebuah negara. Pun demikian dalam tim ini, wanita-wanita yang berada di Cordova memiliki peranan sangat penting dalam membangun keluarga besar Cordova. Kali ini kita akan mengulas tuntas tentang sosok seorang ibu, sekaligus istri dari direktur muda tim kreatif Cordova, CAN (creative art network). Namanya Early Febiyanti, ibu muda berusia 30 tahun ini menjadi salahsatu perekat keharmonisan antara jemaah Cordova dengan team.





Salah satu sosok ‘the dream teamCAT yang akan kita kupas kali ini pernah juga dibahas beberapa waktu lalu, yah ketika dia menjadi guide inbound dari ‘Selayang Pandang’ rombongan Pak Ci – Mak ci dari Brunei Darussalam. Ia menjadi guide favorit para tamu Brunei. Namanya memang sedikit menyerupai ‘bule’, tetapi tidak dengan perangai-nya. Terlebih wajahnya. Pedro banyak digemari team dan jemaah Cordova, bukan hanya sebagai ‘penghangat suasana’ dia juga cekatan jika melakukan ‘inisiatif’ kerja.

Loyality & Totality

Pada malam itu, malam Jum’at 17 Ramadhan 2 H. Nabi Muhammad SAW lebih banyak mendirikan shalat di dekat pepohonan. Sementara ALLAH menurunkan rasa kantuk kepada kaum muslim sebagai obat agar mereka bisa beristirahat menjelang pertempuran hebat. Sedangkan di pihak lain, kaum musyrikin berada dalam keadaan cemas. ALLAH menurunkan rasa takut kepada mereka, memasuki relung jiwa dan persendian darah para musyrik, sehingga muncul rasa gelisah yang melanda. Sepanjang malam itu, Rasulullah SAW mengulang-ngulang doa yang beliau panjatkan; “… Ya ALLAH, jika ENGKAU berkehendak (orang kafir menang), tidak akan ada lagi yang menyembah-MU. Ya ALLAH, jika pasukan yang kecil ini ENGKAU binasakan pada hari ini, tidak akan ada lagi yang menyembah-MU…”

Terus menerus Beliau mengulang doa ini, sehingga selendangnya terjatuh karena lamanya berdoa. Kemudian datanglah Abu Bakar Shiddiq RA. Memakaikan kembali selendangnya yang terjatuh sambil memeluk beliau… “Cukup-cukup wahai Rasulullah…”. mengenai peristiwa itu, ALLAH mengabadikannya dalam Al-Qur’an (QS. Al-Anfal : 12-13).

Tangisan dan harapan Rasulullah SAW pada pertempuran perdana umat Islam ini bukanlah pada khawatir terbunuh atau tidaknya Beliau. Namun justru beliau khawatir pada sebagian umatnya yang baru saja hijrah dan masuk Islam, menghadapi pertempuran dahsyat tak berimbang pada bulan Ramadhan juga. Pada bulan pertama disyariatkannya puasa, umat Islam harus bertempur dengan kaum Musyrik yang telah mempersiapkan perlengkapan militer canggihnya. Rasul sedikit cemas tentang keimanan mereka, jangan sampai goyah dan terhempas oleh fakta yang mereka hadapi saat itu, yakni harus bertempur dengan kekuatan pasukan yang jumlahnya 3 – 4 kali lipat pasukan muslim. Juga tepat di bulan pertama disyariatkannya puasa.

Bertemulah dua pasukan yang tak berimbang jumlahnya di tempat yang bernama; Badar. Pasukan Islam 313 orang dan pasukan Musyrik berjumlah 1200 orang lebih. Kembali lagi Rasulullah sempat merasa khawatir akan hal ini, beliau juga belum menyaksikan loyalitas penduduk (pasukan) Madinah di tengah masa-masa sulit. Adapun sahabat (pasukan) Muhajirin yang bersama-sama dari Makkah, beliau sangat mengetahuinya. Sehingga, -meski- Abu Bakar dan Umar ibnu Khattab meyakinkan Rasulullah, beliau belum merasa puas. Rasulullah SAW menunggu reaksi sahabat yang berasal dari Madinah (penduduk asli/ kaum Anshor). Akhirnya menghadaplah seorang Anshor, Al-Miqdad bin ‘Amr seraya berkata; “Wahai Rasulullah, majulah terus sesuai apa yang diperintahkan ALLAH kepada mu. Kami akan selalu bersama mu. Demi ALLAH, kami tidak akan mengatakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: ‘Pergi saja kamu, wahai Musa bersama Rab-mu (ALLAH) berperanglah kalian berdua, biar kami duduk menanti di sini saja.”

Kemudian al-Miqdad melanjutkan: “Tetapi pergilah kamu bersama Rabb mu (ALLAH), lalu berperanglah kalian berdua, dan kami akan ikut berperang bersama kalian berdua. Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, andai engkau pergi membawa kami ke dasar sumur yang gelap sekalipun, kami pun siap bertempur bersama mu hingga Engkau bisa mencapai tempat itu.”

Setelah mendengar pernyataan itu, Rasulullah SAW merasa lebih tenang dan segera menyiapkan pasukan di Medan Juang. Beliau berjalan di tempat pertempuran dua pasukan. Kemudian berisyarat, “Ini lokasi tempat terbunuhnya fulan, itu tempat matinya fulan, disana tempat terbunuhnya fulan….”
Dan tidak satupun orang kafir yang beliau sebut namanya, kecuali meninggal tepat di tempat yang diisyaratkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain itu, ini pun menjadi pertempuran pertama umat Islam dengan kemenangan yang gemilang. Tak di ayal, Ramadhan bukan alasan untuk tidak bisa memanggul senjata dan bermalas-malas, itu semua terbukti dengan kegigihan, umat Islam mampu berjuang dengan semangat yang luar biasa. Ditambah dengan loyalitas dan ketaatan terhadap pimpinan, menjadikan keridhoan ALLAH dalam membantu pasukan muslim memukul mundur pasukan musuh, yang secara logika perang sulit terkalahkan.

Sudah sepekan Ramadhan berlaju tanpa rehat, tiada henti keagungannya bersinar pada jiwa setiap hamba. Cahayanya tak pernah padam walau banyak manusia yang menyiakan-nya. Ia kan terus berpacu dengan keberkahan yang menyelimuti seantero bumi. Bulan yang sesungguhnya memberikan multi education pada setiap muslim yang menghirupnya. Kedamaian, kehangatan dan ragam kemulian lainnya, hanya akan diraih pada bulan ini. “Cuci gudang dosa” tahunan ini, sejatinya memberikan spirit tuk membenahi segala tindak yang terpatri. Melakukan ekplorasi kebaikan tuk merayakan selebrasi fitri dikemudian hari. Terkhusus bagi calon tamu ALLAH yang berapa saat lagi akan menunaikan ibadah haji, Ramadhan menjadi satu-satunya kesempatan yang layak tuk dikemas menuju jalan kemabruran. Tentunya bukan ‘kebetulan’ atau tak sengaja ALLAH menciptakan Ramadhan berada dalam urutan waktu sebelum musim haji. Bisa jadi, ALLAH memberikan Ramadhan sebagai space prepare menjelang peribadatan paripurna 9 Dzulhijjah kelak. Sebab, semua dimensi ketaatan manusia pada Sang Khalik berada pada bulan suci ini.

Kesinambungan waktu itulah yang menjadi modal bagi calon tamu ALLAH SWT, tuk dijadikan preparing menghadapi penutup segala rukun yang membalut identitas seorang muslim. Haji adalah klimaks dari segala ketaatan seorang muslim, hingga wajar –bahkan- sepatutnya, jika bulan yang kental dengan nuansa pembenahan jiwa ini, dijadikan sebagai tolak ukur untuk menyusun agenda kemabruran kita. Rasa kepedulian, sabar, ikhlas, jujur, disiplin, dan semua karakter dalam perjuangan haji terdapat pada bulan ini. Maka, manasik jiwa menghadapi haji sesungguhnya telah berada dihadapan kita.

Melaksanakan tahapan ibadah haji sebenarnya sangat mudah dipelajari, manasik teori maupun praktik bukan hal yang teramat sulit tuk dihapal, tetapi yang terlampau sulit adalah bagaimana kita mengendalikan jiwa saat berada di medan haji nanti. Watak dan karakter manusia yang tidak kebal dosa, akan menjadi bumerang saat detik-detik haji kan terpijak. Oleh karenanya, proses pembentukan haji mabrur menjadi sangat dominan di bulan suci ini. Sebab jalan menuju mabrur tidak mudah tercipta oleh waktu yang instan.

So, segala aspek pendidikan Ramadhan menjadi teramat penting tuk menggaet predikat tertinggi haji ‘Mabrur’. Selain kembali fitri selepas perjuangan 30 hari puasa, para tamu Agung kan kembali berkesempatan meraih tiket Mabrur. Yaa Rabb! So, mari kita jadikan Ramadhan sebagai ‘Manasik Jiwa’.

Teruntuk Soulmate Tercinta

Bila kutahu ini akan menjadi terakhir kalinya kulihat dirimu terlelap tidur, Aku akan menyelimutimu dengan lebih rapat dan berdoa kepada ALLAH agar menjaga jiwamu.
Bila kutahu ini akan menjadi terakhir kalinya kulihat dirimu melangkah keluar pintu, Aku akan memelukmu erat dan menciummu dan memanggilmu kembali untuk melakukannya sekali lagi.

Bila kutahu ini akan menjadi terakhir kalinya kudengar suaramu memuji, Aku akan merekam setiap kata dan tindakan dan memutarnya lagi sepanjang sisa hariku.
Bila kutahu ini akan menjadi terakhir kalinya, aku akan meluangkan waktu ekstra satu atau dua menit, Untuk berhenti dan mengatakan “Aku mencintaimu” dan bukannya menganggap kau sudah tahu.

Jadi untuk berjaga-jaga seandainya esok tak pernah datang dan hanya hari inilah yang kupunya, Aku ingin mengatakan betapa aku sangat mencintaimu dan kuharap kita takkan pernah lupa.

Esok tak dijanjikan kepada siapa pun, baik tua maupun muda. Dan hari ini mungkin kesempatan terakhir kita untuk memeluk erat orang tersayang.
Jadi, bila kita sedang menantikan esok, mengapa tidak melakukannya sekarang (?)

Karena bila esok tak pernah datang, kita –mungkin- akan sangat menyesali hari ini.
Saat kita tidak meluangkan waktu untuk memberikan sebuah senyuman, pelukan atau ciuman. Dan saat kita terlalu sibuk untuk memberi seorang yang ternyata merupakan permintaan terakhir mereka.

Jadi, dekap erat orang-orang tersayang hari ini dan bisikkan di telinga mereka, bahwa kita sangat mencintai mereka dan akan selalu menyayangi mereka.
Luangkan waktu untuk mengatakan “Maafkan aku”, Terima kasih”, atau “I love u”

Dan bila esok tak pernah datang, kau takkan menyesali hari ini.

(Norma Cornett Marek)

Manusia hidup dalam lingkaran sejarah, setiap aspek kehidupannya tak lepas dari ruang sejarah yang akan terus berkelanjutan. Sadar atau tidak, manusia adalah makhluk sejarah. Ia bisa dibesarkan dan juga ditenggelamkan oleh sejarah. Sejarah adalah ‘tonggak’ suatu peradaban, bisa memihak yang menang, tetapi tidak selamanya membunuh yang kalah. Setiap kita akan menjadi sejarah, bagi keluarga, handai taulan bahkan untuk sebuah peradaban yang kelak terbangun dari sikap dan buah karya kita, baik maupun jelek. Di setiap langkah kaki terdapat pijakan yang menjadi buncahan history. Terekam dalam suara alam yang –mungkin- tak pernah kita sadari. We Will Be History, yah kita akan menjadi sejarah. Sejarah bagi siapapun, sejarah yang tak kan pernah luput dari pembelajaran, bahkan –kelak- kujur kaku tubuh kita pun akan menjadi sejarah bagi mereka yang berfikir. Merubah sejarah menjadi pelajaran penting harus disertai dengan kejujuran dan nurani, sebab jika tidak, sejarah kelam bukan malah ditinggalkan, tetapi menjadi pengulangan yang kelam.

Jika kita perhatikan ada yang menarik untuk sedikit ditelusuri antara perkataan “Melihat” dan “Mempelajari” masa lampau sebagai sejarah. Karena banyak kalangan yang selalu mendoktrin untuk meninggalkan masa lampau, lepas dan tataplah masa depan. Tetapi –sejujurnya- bagi saya langkah kedepan dengan tatapan optimis –tentunya- tidak lantas meninggalkan sejarah. Bukan hanya melihat tokh, tetapi mempelajari dengan seksama bagaimana sejarah itu berlangsung. Bagaimana puing-puing sejarah itu berserakan, dan bagaimana sejarah itu menjadi inspirasi yang akan menentukan langkah kita selanjutnya.

Namun –jika kita mau jujur- ketika perubahan datang dengan kecepatan yang tidak kita sadari, mayoritas umat Islam (kita) justru terkesan berhenti. Bahkan tak sedikit yang kemudian mengambil sikap lari ke belakang. Sehingga banyak kalangan menatap sejarah secara parsial, bukan “Peace” Perjuangan Islam-nya yang disebarkan, tetapi ‘tajamnya pedang’ Umar bin Khattab yang digembor-gemborkan. Bukannya kedermawanan yang di kembangkan, malah keserakahan yang sengaja di biakkan.

Lepas dari semua itu, ternyata sejarah yang selalu dilirik untuk dijadikan pembelajaran senantiasa berpegang pada konsep-konsep persitiwa yang unik. Karena salahsatu sifat sejarah -yang banyak direkam- adalah sesuatu yang mengandung keunikan. Setiap kita akan menjadi sejarah, tetapi tidak setiap jejak kita akan menjadi pelajaran. Oleh karenanya, menentukan kita sebagai sejarah yang baik adalah sebuah pilihan. Semakin banyak berbuat kebaikan –yang tidak umum/unik- maka semakin tinggi bangunan sejarah terangkai.

Setelah itu, maka jasad kita yang terkubur akan selalu memberikan manfaat edukatif, inspiratif, rekreatif dan juga instruktif. So, jangan biarkan jasad kita hanya bermanfaat untuk binatang tanah yang melahap habis daging dan tulang-belulang kita. Semuanya adalah pilihan!

Doa Tak Bermakna

Pada suatu malam yang sangat dingin, seorang pemuda duduk di dekat perapian dirumahnya untuk menghangatkan badan. Saat pandangannya menatap jendela rumahnya, dilihatlah seorang kakek sedang berjalan ditengah salju yang putih. Sang Pemuda kemudian berpikir, “Malangnya kakek itu, dia harus berjalan ditengah badai salju seperti ini. Baiklah aku akan mendoakan dia saja agar dapat tempat berteduh.” Pemuda itu lalu berdoa kepada Tuhan : “Tuhan bantulah agar orang tua di depan rumahku ini mendapatkan tempat untuk berteduh. Kasihan Tuhan dia kedinginan.”

Ketika si pemuda mengakhiri doanya dilihatnya sang kakek berjalan mendekati rumahnya, dan diapun sempat mendengar suara rintihan sang kakek yang kedinginan ketika sang kakek bersandar di dekat jendela rumahnya. Mendengar itu sang pemuda berdoa lagi kepada Tuhan. “Tuhan lihatlah sang kakek di luar rumah itu. Kasihan sekali dia Tuhan, biarlah engkau membantunya agar dia tidak kedinginan lagi. Bantulah agar dia mendapatkan tempat berteduh yang hangat.” Setelah itu si pemuda pun tidur lelap.

Keesokan harinya si pemuda terbangun karena suara gaduh masyarakat sekitarnya. Dia keluar rumah dan menemukan sang kakek telah meninggal bersandar di dekat jendela rumahnya.

Si pemuda kemudian berdoa lagi kepada Tuhan. “Tuhan mengapa engkau membiarkan kakek itu meninggal kedinginan padahal aku sudah mendoakannya agar dia selamat.” Tuhan pun menjawab si pemuda itu. “Aku mendengar doamu hai pemuda. Aku sudah membimbing kakek itu agar mendekati rumahmu. Akan tetapi engkau tak menghiraukannya bahkan ketika kakek itu merintih di depan jendela rumahmu.”.

(Sumber: Kisah inspiratif)

Belajar dari komunitas Preman

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata ‘Preman’ adalah kata dasar dari premanisme. Yang berarti sebutan untuk orang jahat (penodong, perampok dan sejenisnya). Kata ini juga –nampaknya- merupakan bantuan dari bahasa Belanda dan Ingris. Dalam bahasa Belanda berasal dari dua suku kata, yakni ‘Vrije Man’ dengan kata dasar Vrije yang berarti bebas, merdeka (bukan budak) sedangkan Man diartikan sebagai orang. Orang yang bebas melakukan kejahatan disebut sebagai preman. Premanisme (aktivitas kejahatan) adalah sesuatu yang –sebenarnya- menjadi watak manusia sebagai Khalifah, ingat bagaimana ketika Para Malaikat bertanya kepada ALLAH tentang penciptaan manusia yang akan membuat kehancuran di muka bumi. Tetapi dengan hak prerogatif ALLAH berfirman “Aku lebih tahu dari apa yang kau tidak ketahui”. Jelas bahwa dalam penciptaan manusia, ada watak-watak dalam jiwa manusia yang berpotensi menjadi ‘preman’, tetapi dengan Anugrah-Nya, manusia diberikan segumpal hati yang akan mengontrol daya ledak ‘Premanisme’ dalam diri setiap manusia. Ia yang akan menjadi barometer perbedaan antara manusia sebagai khalifah dengan makhluk lainnya di muka bumi.

Lepas dari semua itu, sebenarnya garis merah yang termaktub dalam tema di atas dengan sub tema kecil akan mudah dipahami kemana arah tulisan ini. Yah, setelah kita tahu bagaimana definisi ‘Preman’, kita akan lebih tahu bahwa komunitas itu adalah kelompok yang harus dijauhi, diperangi dan dilenyapkan. Karena hampir dari semua aktivitas kejahatan mereka sangat meresahkan kita. Akan tetapi, jangan berhenti disitu, jika kita telusuri dari perilaku mereka, ternyata ada hal yang menarik dari kumpulan itu untuk dijadikan sebagai ibrah bagi kita yang –mungkin- bukan seorang preman.

Saya sering mendengar ungkapan “Lebih baik berteman dengan preman, daripada dengan kalian”. Kalimat diatas jika dicermati bisa menjadi suatu otokritik yang membangun dalam diri kita. Tentu maksud ucapan itu jelas bahwa ada hal ‘positif’ jika kita menjadi bagian dari komunitas preman. Apalagi jika bukan dari sisi PEDULI. Saling mengerti dan peduli sering diungkapkan dengan bahasa ‘solider’ diantara kelompok mereka. Terlepas dari peduli dalam kejahatan atau perilaku bebas mereka, tetapi mereka bisa lebih menyatukan rasa dengan saling peduli akan kelompoknya. Seorang disakiti maka anggota lainnya pasang badan, tidak hidup dalam lingkup individualistik yang tidak mau tahu akan kondisi saudaranya.

Pelajaran dari sikap saling peduli itu tentunya merupakan kekuatan yang teramat dahsyat dalam kehidupan sosial. Bagaimana Rasulullah SAW setiap habis sholat membalikkan badannya dan melihat satu-satu sahabatnya. Jika ada yang absen, Dia tanyakan dan bergegas menjenguknya jika sakit. Bangunan utuh silaturahmi sesungguhnya terikat oleh rasa peduli, jangan pernah berbicara tentang kesolidan team, jika setiap kita masih enggan untuk memiliki rasa yang kini mahal itu, yah rasa peduli terhadap apa yang terjadi di sekitar kita.

Lalu, jika para preman bisa menerapkan konsep peduli itu dalam komunitasnya, dan kita yang –mungkin- bukan preman, melenyapkan rasa care terhadap sesama, bisakah pemaknaaan ‘Preman’ terbalik mengarah pada kita (?)

Masjid Kiblatain

Setelah beberapa pekan ‘Friday Story’ absen dari website kita tercinta ini, kini kembali dengan suguhan artikel yang tidak kalah menariknya. Bukan hanya dari cerita-cerita hikmah setiap hari Jum’at. Tetapi juga tentang sejarah situs-situs Islam sebagai penambah wawasan kita semua. Kali ini, ‘Friday Story’ akan menampilkan sejarah Masjid Kiblataini (Masjid dengan dua kiblat) yang terletak di Kota Nabi, Madinah Al-Munawarroh. Berikut sajiannya:
Dikisahkan ketika Rasulullah sedang melakukan shalat Dzuhur (riwayat lain menyebutkan shalat Ashar) berjamaah di Masjid Kiblatain, mendadak turun wahyu (Q.S. Al-Baqarah:114) yang memerintahkan mengubah arah kiblat dari Masjidil Aqsa di Palestina (utara) ke Ka’bah di Masjidil Haram di Mekkah (selatan).

“Sungguh Kami melihat mukamu, menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya dan ALLAH sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”

Padahal, ketika turun wahyu tersebut shalat telah berlangsung dua rakaat. Maka begitu mendengar wahyu tersebut, serta merta Rasulullah dan diikuti oleh para sahabat langsung memindahkan arah kiblatnya atau memutar arah 180 derajat. Peristiwa perpindahan kiblat itu dilakukan sama sekali tanpa membatalkan shalat. Juga tidak dengan mengulangi shalat dua rakaat sebelumnya. Ayat itu sendiri adalah ayat yang diturunkan kepada Rasulullah yang telah lama mengharapkan dipindahkannya kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram.

Peristiwa yang terjadi pada tahun 2 H, atau tepatnya 17 bulan setalah nabi Muhammad hijrah ke Madinah itulah yang menjadi cikal bakal pemberian nama Masjid Kiblatain yang berarti dua kiblat. Sebelum dinamai Kiblatain karena perubahan arah kiblat itu, masjid yang terletak di atas bukit kecil di utara Harrah Wabrah, Madinah, itu bernama Masjid Bani Salamah.

Tadinya di dekat Masjid Kiblatain ada telaga yang diberi nama Sumur Raumah, sebuah sumber air milik orang Yahudi. Mengingat pentingnya air untuk masjid, maka atas anjuran Rasulullah, Usman bin Affan kemudian menebus telaga tersebut seharga 20 ribu dirham dan menjadikannya sebagai wakaf. Air telaga tersebut hingga sekarang masih berfungsi untuk bersuci dan mengairi taman di sekeliling masjid, serta kebutuhan minum penduduk sekitar. Hanya bentuk fisiknya sudah tidak kelihatan, karena ditutup dengan tembok.

Dalam perkembangannya, pemugaran Masjid Kiblatain terus-menerus dilakukan, sejak zaman Umayyah, Abbasiyah, Utsmani, hingga zaman pemerintahan Arab Saudi sekarang ini. Pada pemugaran-pemugaran terdahulu, tanda kiblat pertama masih jelas kelihatan. Di situ diterakan bunyi QS. AlBaqarah: 114, ditambah larangan bagi siapa saja yang shalat agar tidak menggunakan kiblat lama itu.

Berziarah ke Masjid Kiblatain mengandung banyak hikmah. Selain ibadah shalat wajib dan sunat di sana, jamaah dapat juga memetik ibrah (suri teladan) dari para pejuang Islam periode awal (as-sabiqunal awwalun) yang begitu gigih menyebarkan risalah Islamiyah, melaksanakan perintah ALLAH SWT baik dalam segi ibadah mahdlah (ritual), seperti berjamaah, mengganti kiblat, dan menyucikan diri, maupun dalam segi ibadah ghair mahdlah (sosial) seperti menyisihkan harta untuk kepentingan umat, untuk memugar masjid dan lain sebagainya.