Child Abuse tiba-tiba saja menjadi isu santer seantero Indonesia. Sebuah kejahatan “biasa” – karena saking sering nya terjadi. Sering kali pula ditanggapi biasa-biasa saja oleh masyarakat kita. Tidak lebih penting dari berita politik. Padahal dampaknya demikian besar bagi anak. Sebagian kasus bahkan bersifat permanen terhadap mental anak hingga ia dewasa. Sistem pendidikan Barat dengan segala kelebihannya dalam melindungi anak dari kekerasan, ternyata masih juga kecolongan.

Beliau adalah Abbad bin Bisyr yang termasuk di antara ahli ibadah, tetapi juga ia termasuk golongan para pahlawan yang gagah berani dalam menegakkan Islam. Ketika Islam mulai tersiar di Madinah, usia Abbad bin Bisyr belum mencapai 25 tahun. Dia mendekatkan diri kepada seorang da’i dari Makkah yang bernama Mush’ab bin Umair. Dalam tempo singkat saja, hati keduanya telah terikat dalam ikatan iman yang sangat kokoh. Abbad mulai belajar membaca Al Qur’an kepada Mush’ab. Suaranya merdu, menyejukkan hati serta menawan. Oleh karena itu, ia terkenal di kalangan para sahabat sebagai imam dan pembaca Al Qur’an.

Setelah perang Badar selesai, banyak kaum musyrik Quraisy yang menyesal dan marah karena banyak keluarganya yang ditawan umat Islam. Pun demikian dengan Umair, kaum kafir yang sangat benci terhadap Rasulullah SAW. Ia sangat marah, karena anaknya yang bernama Wahb menjadi tahanan umat Islam di Madinah. Suatu pagi ia berbincang dengan Sofwan bin Umayyah. Umair berkata “Demi Latta seandainya bukan karena hutang-hutangku, dan keluargaku yang aku takutkan nasib mereka sepeninggalku, tentulah aku akan datangi Muhammad dan membunuh dia, sebab aku memiliki anak yang sekarang ditawan mereka.

Andalusia yang awalnya meliputi Cordova, Sevilla, Toledo, Granada hingga Portugal, terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan Granada pun lambat laun semakin lemah karena sengketa keluarga kerajaan. Bila tak kuat iman, harta dan tahta memang akan menjauhkan kita dari nilai kekeluargaan, terlebih ukhuwah Islamiyah dan jihad fi sabilillah. Sultan Muhammad XII Abu Abdillah an Nashriyyah, raja terakhir Bani Ahmar, tidak berhasil mempertahankan kerajaannya saat diserang dua buah kerajaan Kristen yang bersatu,

Rasanya sudah lama sekali saya tidak menulis esai tentang sosok yang ‘sempat’ hilang dalam denyut aktivitas kami. Lenyap menghilang atau bisa saja ‘dihilangkan’ dengan sadar oleh kami sendiri. Spirit-nya, legacy-nya, petuahnya, warning-nya dan bahkan soul-nya. Seolah tabu tak pernah ada, diulang dan mengulang kami melenyapkannya. Jiwa yang telah hidup dalam setiap episode kehidupan kami itu, benar-benar nyaris hilang dalam setiap sanubari kami.

Manusia hidup dalam lingkaran sejarah, setiap aspek kehidupannya tak lepas dari ruang sejarah yang akan terus berkelanjutan. Sadar atau tidak, manusia adalah makhluk sejarah. Ia bisa dibesarkan dan juga ditenggelamkan oleh sejarah. Sejarah adalah ‘tonggak’ suatu peradaban, bisa memihak yang menang, tetapi tidak selamanya membunuh yang kalah. Setiap kita akan menjadi sejarah, bagi keluarga, handai taulan bahkan untuk sebuah peradaban yang kelak terbangun dari sikap dan buah karya kita, baik maupun jelek.

Pernahkah kita berhenti sejenak dari suatu perjalanan (?) Atau menoreh sesaat kebelakang untuk melihat sejauh mana perjalanan yang telah tertapak (?) Simple, kecil dan hal yang teramat mudah tentunya untuk kita lakukan, namun terkadang hal sederhana itu urung kita lakukan hanya karena enggan tergerus oleh kehidupan yang terus berlaju. Padahal sejatinya, berhenti sejenak itu adalah sebuah Sunatullah,

Suatu ketika Rasulullah SAW menugaskan kepada sahabatnya, Abu Hurairah untuk menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan. Saat malam tiba, ketika Abu Hurairah bertugas, ternyata ada seseorang datang dan mengambil sebagian makanan, lalu Abu Hurairah menangkapnya. Ia pun menangkap dan berkata pada si pencuri itu “Sungguh, saya akan melaporkanmu kepada Rasulullah”, Si pencuri pun memelas dengan berkata, “Sungguh, saya orang yang sangat membutuhkan.

Sejak pengujung abad yang lalu hingga kini, diskursus mengenai pemimpin atau kepemimpinan mencuat ke permukaan. Ada dua penyebabnya. Pertama, banyak pemimpin dalam berbagai bidang terlibat pelanggaran moral. Kedua, mungkin karena usianya yang makin menua, dunia kita sekarang tak kuasa lagi melahirkan pemimpin-pemimpin besar (great leader) seperti pada masa-masa terdahulu.