Sebelum membahas kenapa tahun baru Islam, atau bulan Muharam identik dengan lebarannya anak yatim, kita telusuri terlebih dulu tentang Tahun Baru Islam ini. Penggunaan sistem perhitungan Islam ini –sesungguhnya- belum dilakukan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Juga tidak dilakukan di masa khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Secara singkat sejarah digunakannya sistem perhitungan tahun Islam bermula sejak kejadian di masa Umar bin Al-Khattab ra. Salah satu riwayat menyebutkan yaitu ketika khalifah mendapat surat balasan yang mengkritik bahwa suratnya terdahulu dikirim tanpa angka tahun. Beliau lalu bermusyawarah dengan para shahabat dan singkat kata, mereka pun berijma’ (bersepakat) untuk menjadikan momentum tahun di mana terjadi peristiwa hijrah nabi sebagai awal mula perhitungan tahun dalam Islam. Sedangkan sistem kalender Qamariyah berdasarkan peredaran bulan konon sudah dikenal oleh bangsa Arab sejak lama. Demikian juga nama-nama bulannya serta jumlahnya yang 12 bulan dalam setahun. Bahkan mereka sudah menggunakan bulan Muharram sebagai bulan pertama dan Dzulhijjah sebagai bulan ke-12 sebelum masa kenabian.

Orang tua dulu pernah bilang “Jika ingin tahu seberapa besar rasa persaudaraan yang terjalin, maka lakukanlah perjalanan beberapa hari bersama saudaramu.” Falsafah diatas memang benar adanya. Bahkan para pecinta alam yang sering naik gunung sekalipun selalu menggunakan falsafah itu. Setelah berada di atas puncak melewati malam dan siang, mereka akan merasakan bagaimana sifat asli yang kerap tumbuh disaat kenikmatan rasa kian terancam. Ego diri kian tampak sejalan dengan putaran waktu, watak asli semakin tampak diantara guratan citra yang terus rontok. Hanya kebersamaanlah yang mengkikis segala rasa yang timpang. Begitupun dengan sebuah komunitas yang melakukan traveling beberapa hari ke suatu negeri, bersama orang yang tak pernah ia kenal, dengan ragam watak dan sifat yang terbentuk. Terasa asing bagi mereka yang sulit tuk menekukkan rasa agar terjalin suatu kebersamaan yang jujur. Maka satu-satunya jalan yang paling indah adalah saling peduli atas kebersamaan yang terjalin. Pun demikian bagi smartHAJJ Cordova, setelah melakukan perjalanan suci berhari-hari, tentunya banyak cerita yang dirasa. Suka maupun duka menjadi kisah yang tak terhindarkan.

Udara sejuk menyelimuti kota Nabi. Semilir angin halus menerpa langkah smartHAJJ menuju Masjid Suci Nabawi. Cuaca yang awalnya terkira ekstrim, ternyata sangat bersahabat. Mungkin saat malam tiba saja dingin terasa menusuk tulung, namun tidak mengganggu prosesi ibadah di Masjid Nabawi. Grup Platinum mengawali langkah di pelataran Suci sejak tiga hari lalu. Tentunya banyak cerita yang dikisahkan di awal perjalanan ini. Terlebih ketika airmata membasahi muka saat menatap Masjid Nabawi dan Raudhah. Kerinduan akan hangatnya cinta Rasul pada umatnya, kian terbakar dan mendesir melalui aliran darah saat berada dihadapan makam Baginda Rasulullah SAW. Shalawat serta Salam terus dipanjatkan seraya berharap syafaatnya, Kepadatan jemaah haji dari pelosok bumi tidak menyoroti langkah untuk terus berada di taman surga itu. Air mata menjadi sebuah saksi rasa dalam jiwa. Ia mengalir diantara hangatnya diri dalam belaian suci Nabawi.

Five Years Cordova

Lima tahun sudah kami bersama. Mengemban misi kejayaan Islam sebagaimana leluhur kami, muslim Cordova di Spanyol. Sebagaimana dakwah kekasih kami, Muhammad SAW. Sebagaimana perintah Allah kepada kami untuk beribadah kepada-Nya.

Lima tahun sudah kami telah menjelajah dunia. Ke dua Tanah suci, kami antarkan saudara seiman tuk penuhi undangan Penciptanya. Berharap cemas semoga dapatkan haji yang mabrur dan umrah yang makbul.
Penjelajahan berlanjut, berkembang, dan berharap semoga Allah mengasihani kami. Dari bumi Palestina yang tercemari, hingga ujung misi Islam sahabat Rasulullah, Saad bin Waqqash ra. di negeri Cina. Tahun demi tahun, satu persatu belahan dunia di singgahi. Turki. Australia. Mesir. Thailand. Uni Emirat Arab. Singapore. Qatar. Malaysia. Yordania.

Kabar dari Tanah Suci

Jabal Uhud, termasuk salah satu bukit yang sangat memiliki nilai sejarah penting dalam sejarah Islam. Di bukit ini, terjadi peperangan yang sangat memilukan dalam sejarah Islam. Pasukan kaum Muslimin yang dipimpin langsung Nabi Muhammad SAW, bertempur habis-habisan dengan kaum musyrikin Kota Makkah. Kisah pilu ini, digambarkan oleh Rasul dengan menyebut bukit ini sebagai bukit yang nantinya akan bisa dilihat di Surga. Jadi, umat Islam yang kini akan melaksanakan ibadah haji dan menyempatkan diri untuk berziarah ke Bukit Uhud, insya Allah saat berada di Surga juga akan menyaksikan kembali bukit ini. Kepiluan Nabi Muhammad di Bukit Uhud, tak lepas dari kisah pertempuran yang terjadi di kawasan ini. Dalam pertempuran itu, ratusan sahabat nabi gugur. Termasuk juga paman Rasul, Hamzah bin Abdul Muthalib, gugur dan dimakamkan di bukit ini. Bahkan, Nabi Muhammad SAW mengatakan, kaum Muslimin yang gugur dan dimakamkan di Uhud tak memperoleh tempat lain kecuali ruhnya berada pada burung hijau yang melintasi sungai Surgawi. Burung-burung itu memakan makanan dari buah-buahan yang ada di taman surga, dan tak akan pernah kehabisan makanan.

Mari sejenak berandai. Suatu hari menjelang bulan Ramadhan malaikat Izrail mendatangi kita tuk menyampaikan kabar bahwa pada awal bulan Syawal nanti, ia akan datang untuk mencabut nyawa kita, kira-kira apa dampak yang akan timbul pada diri kita (?) Saya yakin kita akan memanfaatkan sisa usia yang ada untuk melakukan segala hal yang produktif. Kita akan awali Ramadhan dengan menyungkur sujud kepada-Nya, menangisi segala khilaf dan dosa yang telah kita kerjakan. Kita akan mendatangi orang-orang yang pernah kita sakiti dan dzalimi. Kita akan berusaha sekuat tenaga untuk menuntaskan segala tanggungan dunia, baik utang-utang yang belum terbayar, amanah-amanah yang masih menjadi beban, maupun tugas dan kewajiban yang belum ditunaikan.

Neil Amstrong telah membuktikan bahwa kota Mekah adalah pusat dari planet Bumi. Fakta ini telah di diteliti melalui sebuah penelitian Ilmiah. Ketika Neil Amstrong untuk pertama kalinya melakukan perjalanan ke luar angkasa dan mengambil gambar planet Bumi, dia berkata, “Planet Bumi ternyata menggantung di area yang sangat gelap, siapa yang menggantungnya (?).” Para astronot telah menemukan bahwa planet Bumi itu mengeluarkan semacam radiasi, secara resmi mereka mengumumkannya di Internet, tetapi sayang nya 21 hari kemudian website tersebut raib yang sepertinya ada alasan tersembunyi dibalik penghapusan website tersebut. Setelah melakukan penelitian lebih lanjut, ternyata radiasi tersebut berpusat di kota Mekah

Ketika kembali dari Bandung menuju Jakarta tuk bekerja. Kereta Argo Parahyangan yang saya tumpangi dari Stasiun Cimahi perlahan-lahan memasuki stasiun Jatinegara. Para penumpang yang akan turun di Jatinegara saya lihat sudah bersiap-siap di depan pintu, suasana Jatinegara penuh sesak seperti biasa. Sementara itu, dari jendela, saya lihat beberapa orang porter/buruh angkut berlomba lebih dulu masuk ke kereta yang masih melaju. Mereka berpacu dengan kereta, persis dengan kehidupan mereka yang terus berpacu dengan tekanan kehidupan kota Jakarta. Saat kereta benar-benar berhenti, kesibukan penumpang yang turun dan porter yang berebut menawarkan jasa kian kental terasa. Sementara di luar kereta saya lihat kesibukan kaum urban yang akan menggunakan kereta. Mereka kebanyakan berdiri, karena fasilitas tempat duduk kurang memadai. Sebuah lagu lama PT. KAI yang selalu dan selalu diputar dengan setia.

Ora Bakal Misah…!

Ada satu moment yang sangat special bagi keluarga besar Cordova akhir pekan lalu. Terlebih untuk dua staf Cordova yang akan mengakhiri masa lajangnya. Yah, siapa yang tidak mengenal Brahma alias Bram dan Febiyanti Erly alias Erly di kalangan keluarga besar Cordova. Kiprahnya dalam berkarya menjadikan Cordova semakin berwarna. Bangunan kokoh yang dikaitkan oleh pilar-pilar Cordova itu menjadi ikatan yang sulit dipisahkan dari persaudaraan yang telah menyatu. Persaudaraan adalah segalanya dalam berbagai hal, ia tak terkukung oleh waktu dan tempat. Begitulah Islam mengajarkan umatnya untuk saling memberi sesama muslim, laiknya seperti kesatuan anggota tubuh yang memiliki rasa sama ketika sakit dan senang. Pun demikian bagi Cordova, atmosfir persaudaraan dalam kesatuan team sangat kental terasa. Meski –tentunya- kadang rasa marah, sebel, bete, senang, bangga, haru, sedih kerap bercampur dalam wadah persaudaraan.

Suatu ketika, saya mencoba menghubungi kawan menggunakan nomor telefon kantor. Sekali, dua kali hingga kesekian kalinya, tidak juga terangkat. Padahal sesaat sebelum saya coba kontak dia, jelas-jelas ia mengirim pesan singkat melalui nomornya, agar saya menghubunginya segera. Lepas beberapa detik, HP saya kembali bergetar tanda masuk pesan. Setelah saya buka ternyata teman saya yang kembali mengirim pesan (sms). Namun, isinya berbeda dengan pertama. Kali ini justru saya terhentak membaca sms itu, begitu singkat, padat dan pedas. “Maaf kawan, jika saya angkat telefon dari nomor barusan (kantor), sama saja saya mendorong mu pada jurang kehancuran”. Upss… ringan, tetapi dalam menusuk hingga ulu hati. Sejenak saya berhenti dari segala pikir yang berkecamuk, menangkap dan mengarah tepat pada apa yang baru saja saya baca. Kian fokusnya hingga melintas dalam benak sebuah kisah seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ketika menerima tamu diluar kepentingan negara, maka ia sengaja menggelapkan ruangannya. Pasalnya satu, karena minyak dan bahan mentah penerang itu adalah uang milik negara, dan sama-sekali pertemuan dengan tamunya itu tidak ada kaitan dengan urusan rakyat.