Jika Anda mengikuti setiap artikel dalam website ini, -tentunya- Anda ingin melihat, bertemu dan bersanding dengan hidden person Cordova yang selalu kami tempatkan sebagai sosok misterius. Kembali (setelah sekian lama), tidak mengangkat ide-ide segarnya, kini kita bersama menyimak kemana dan bagaimana pikirnya bergerak. Jangan pernah bertanya, siapa dan darimana ia berasal, tapi apa dan bagaimana dampak pikir yang ia sembahkan untuk Islam akan memberikan lipatan motivasi setiap bertemu dengannya. Aura positif yang dipancarkan melalui ide-ide segarnya, membuat Anda merasa berada di arena pertempuran dengan semangat menjulang tinggi. Inovasinya yang tiada henti membuat pergerakan hidup semakin berwarna. Kali ini, kita akan me-record paparan idenya tentang apa yang akan menghiasi website ini. Salah-satunya adalah analisisnya tentang wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW.

Iqra” adalah kata perintah yang diterima oleh Nabi Muhammad saat menerima wahyu pertama. Iqra, atau “Bacalah” sepertinya hanya sebuah kata biasa. Tidak ada yang istimewa, seperti halnya ketika kita diperintah ibu guru untuk membaca. Namun ternyata jika kita masuk lebih dalam, tersimpan sebuah perintah yang begitu penting dan luarbiasa terhadap eksistensi dan perkembangan peradaban umat manusia. Tentu ALLAH SWT telah memperhitungkan saat perintah membaca pada Rasul yang jelas-jelas tidak bisa membaca. Namun ketika Jibril “Mentransfer” perintah itu, tidak lantas berwujud menyerupai bentuk tulisan untuk dibacanya. Tetapi hakikat perintah itu masuk melalui telinga dan menuju sel-sel otak untuk diteruskan ke relung hati sehingga berbuah pada sikap dan tindakan.

Iqra, (bacalah)”, kata Jibril. Dengan hati bergetar dan pikiran yang saat itu tidak bisa digambarkan dengan kata-kata, Nabi lantas menjawab, “Ma anaa bi qari (aku tidak bisa membaca)” Seketika itu pula beliau merasakan ada rasa dingin yang begitu tajam menusuk dan menjalar di sekujur tubuhnya. “Iqra (bacalah)”, Jibril kembali mengulangi kata-katanya. Nabi pun kembali menjawab dengan lirih, “Ma anaa bi qari (aku tidak bisa membaca)”. Lantas Jibril memeluknya, kemudian melepaskannya seraya mengatakan kalimat yang sama, “Iqra (bacalah)”! Dan lagi-lagi Nabi hanya bisa menjawab, “Ma anaa bi qari (aku tidak bisa membaca)”.

Sungguh ini merupakan sebuah perintah yang membingungkan dan justru ditujukan kepada seseorang yang tidak pernah membaca suatu tulisan apapun sebelumnya, seseorang yang bahkan tidak tahu apa itu menulis dan apa itu membaca. Lalu apa sebenarnya tujuan perintah “Iqra” tersebut (?). kata IQRA secara harfiah berasal dari kata ‘qara a’ yang memiliki arti “Menghimpun”. Seseorang dikatakan menghimpun, apabila ia mampu merangkai huruf demi huruf, kata demi kata serta kalimat demi kalimat dan kemudian mengucapnya.

Membaca tidak musti dengan mata, karena tanpa mata pun kita harus mampu membaca. Dan membaca adalah sebuah komponen yang meliputi beragam unsur. Antara mata, telinga, mulut, otak dan hati harus menjadi satu kesatuan yang menghasilkan output dari membaca, yakni tindakan. Karena tanpa tindakan hakikat membaca hanya akan membusuk dalam diri manusia. Oleh karenanya ALLAH memberikan wahyu pertama itu dengan bentuk “fi’il amr” (kata perintah) agar kita membaca, dan me-wejentahkannya untuk diikuti pula oleh umat manusia. Sehingga konsep inti Islam pun, yakni berbagi, menjadi klimaks dari indahnya wahyu ALLAH tersebut.

Akhirnya kita bisa mengambil arti yang luas dari “Iqra” tersebut, diantaranya; Membaca, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, dsb. Tetapi setelah itu proses selanjutnya harus melahirkan sebuah bentuk amaliyah atau tindakan. So, membaca bukan sekedar menggoyang lidah untuk melantunkan huruf demi huruf, kata demi kata, dan kalimat demi kalimat. Namun lebih luas yakni untuk membaca ayat-ayat ALLAH yang tercipta dan terdapat di alam semesta dan membaca ayat-ayat ALLAH yang terdapat pada diri manusia. Sebagaimana firman ALLAH : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap wilayah Bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar” (QS. Fushilat: 53).

Pada intinya, kita harus mampu “membaca” sesuatu melalui otak dan hati, kata hidden person diatas. Sehingga kita mampu “membaca” dengan melihat, mendengar dan meraba. Karena memang “Membaca” adalah satu komponen yang meliputi beragam unsur yang dianugrahi ALLAH SWT pada manusia. Bahkan dengan “membaca”, Rasul mampu membaca dan menerawang sesuatu yang terjadi di masa yang akan datang. Nantikan artikel-artikel menarik lainnya hanya di website ini.

Saat ini adalah masa-masa yang menjadi kecemasan bagi sebagian orangtua yang anaknya akan menghadapi Ujian Nasional (UN). Sebuah ‘ujian pembuktian’ bagi anak didik selama masa belajarnya. Tidak berlebih, -terkadang- banyak diantara orang tua kelewat cemas dengan ‘memperketat’ setiap gerak anaknya. Padahal sesungguhnya, masa ini adalah waktu dimana mereka (anak didik) untuk rileks dan menenangkan pikir, kalaupun belajar -itu sebatas- mengulang tanpa menguras keras energy. Masa belajar telah terlewati, saatnya memasuki ‘Medan Juang’ adalah pembenahan mental. Mental menghadapi sebuah evaluasi pembelajaran. Yah, jika pada artikel “Let’s Jump Over The UN” lebih menggaris bawahi tentang proses belajar tidak ditentukan oleh UN, sehingga kesuksesan bukan semata karena telah menyelesaikan UN dengan baik. Namun idealisme itu kita simpan terlebih dulu, karena realita yang dihadapi saat ini adalah menghadapi UN, kesuksesan besar selalu bermula dari langkah awal, maka fokus kita untuk mereka yang mengikuti ujian adalah memberikan support bagaimana menghadapi UN dengan penuh tanggungjawab. Tidak panik, rileks, fokus dan jujur.

Setelah ikhtiar tergapai, maka kekuatan doa adalah penopang sejati dalam menyeimbangkan bangunan sukses. Karenanya, dalam memberikan support dan care bagi mereka yang akan melaksanakan UN, Cordova dengan tulus dan ikhlas, mencoba ambil salahsatu peran guna menyeimbangkan diantara ikhtiar mereka. Doa adalah senjata kami untuk mensupport mereka. Malam ini (9/04) Cordova mengundang para anak yatim dan keluarga Besar Cordova untuk melakukan pengajian Al-Quran dan doa bersama bagi mereka yang akan menghadapi UN.

Dengan untaian dan doa para Aytam (anak-anak Yatim) yang teramat ‘ajaib’ alias mustajab, diharapkan mampu memberikan kemudahan, kelancaran dan kesuksesan bagi mereka yang akan berjuang di ‘medan juang’. Diikuti dengan ‘wasilah’ air Zam-zam yang juga diberikan doa untuk kemudahan langkah mereka.

Value suci yang berputar di setiap pojok tempat kita mengaji menambah ‘keajaiban’ air Zam-zam semakin mengkristal tuk memberikan kekuatan pada setiap sel yang dilampauinya. Sebagaimana sabda Rasul, bahwa air Zam-zam akan mengikuti apa yang kita niatkan. Seperti halnya air putih biasa pun ketika kita berbaik sangka -dengan niatan yang baik- diawali rangkaian doa’ maka molekul-molekul yang terdapat dalam air itu akan menjadi untaian kristal yang teramat indah. Untaian yang akan memberikan energi positif bagi yang meminumnya. Terlebih dengan air Zam-zam, ia akan sangat menjadi penopang setiap awal kesuksesan, termasuk dalam menghadapi Ujian Nasional, pekan depan. So’ Mari kita rangkai langkah hidup ini melalui UN dengan penuh bahagia! With Love From Cordova

Berpetualang ke Green Canyon

Cerita akhir pekan kali ini, kami akan mengajak Anda ke Pantai Selatan Jawa, suatu tempat yang tak kalah menariknya dengan tempat wisata di luar negeri. Jika Amerika memiliki Grand Canyon, maka kita (Indonesia) mempunyai Green Canyon. Tempat ini menyimpan pesona luar biasa.

Mengenal Pulau Onrust

Setelah kita ‘menjajaki’ kota Lombok, dengan keindahan alamnya minggu lalu, kini Weekend Story akan mengenalkan kepada Anda tentang Pulau Onrust. Pulau yang sarat dengan sejarah ini kami rekomendasikan untuk Anda yang senang dengan wisata sejarah. Bukan hanya menikmati keindahan alam di salahsatu Kepulauan Seribu, namun juga mendapatkan perjalanan yang penuh dengan sejarah.

Menyaksikan sebuah film Life of Pi garapan Ang Lee, yang mendapatkan 4 penghargaan bergengsi yang sekaligus menempatkan dirinya sebagai sutradara terbaik pada ajang Grammy Awards 2013 kali ini, memang sudah di perkirakan. Bagaimana tidak, film yang menggambarkan petualangan seorang bocah India yang hidup selama 8 bulan di lautan luas bersama seekor Harimau Benggala bernama Richard Parker, memberikan pelajaran yang penuh arti. Pelajaran tentang sebuah cinta, sebuah persahabatan, keberanian, dan perjuangan untuk terus bertahan hidup. Yah, bagaimana bisa survive dalam kondisi yang terburuk sekalipun. Sebuah film yang bukan saja menyuguhkan keindahan audio visual, alur cerita-nya pun sarat dengan makna yang teramat dalam. Sesungguhnya, bukan hanya Life of Pi satu-satunya film tentang ‘Survival’, sebut saja film 127 Hours, yang menceritakan seorang pemanjat tebing bernama Aron Ralston. Ia jatuh dan terjebak di lembah Blue Jhon Canyon, dan tangannya tergantung pada sebuah batu yang menghimpitnya. Selama 5 hari ia tak berdaya untuk makan dan minum, hingga akhirnya untuk terus berjalan hidup, ia harus memutuskan tulang lengannya sendiri yang terjepit batu. Itupun ia lakukan dengan susah payah, karena tidak ada alat yang bisa memudahkan untuk memutusnya.

Masih banyak tentunya, kisah mengenai bagaimana seseorang bisa berjuang untuk terus bertahan hidup ketika kondisi terburuk menimpanya. Namun, rasa-rasanya, –tanpa menyaksikan film-film seperti diatas pun- kekuatan yang ada dalam diri kita akan selalu tampak jika keadaan yang mengancam diri sudah berada pada titik nadzhir. Semisal banyak yang kita dengar bagaimana seorang yang tadinya tidak bisa berlari cepat, ketika di kejar anjing, dengan sangat meyakinkan ia bisa menjadi pelari yang tangguh, bahkan dapat meloncat pagar yang tinggi sekalipun. Seperti umumnya, manusia akan sangat kuat atau sengaja menjadi kuat ketika dihadapkan pada kondisi yang menurutnya akan mengancam keberlangsungan hidup. Ada semacam kekuatan diluar nalar manusia, untuk melawan semuanya. Yah, kekuatan untuk bertahan.

Lalu, bagaimana kita mengolah kondisi survive ditengah kondisi yang berada pada ‘zona aman’. Maksudnya disaat kita berada pada puncak kenikmatan yang –menurut kita- masih jauh dari kondisi buruk yang dihadapi. Padahal sunatu tadawul atau siklus perputaran yang alami adalah kondisinya akan terus berputar, bisa saja saat ini kita berada di puncak, mungkin selanjutnya akan berada pada kerendahan. Hal inilah yang kerap melupakan kita untuk terus melakukan perjuangan hidup dalam kondisi apapun. Bagaimana kekuatan untuk survive itu tidak terus mengendur dikala zona terburuk telah usai terlakoni.

Karenanya, Islam telah dulu mengantisipasi akan hal itu. Rasulullah SAW bersabda mengenai bagaimana kita mempersiapkan mental ‘survive’ sebelum masa terburuk melanda dengan harus berpikir tentang 5 perkara sebelum perkara ‘terburuk’ menimpanya. (HR. Al Hakim)

Pertama, adalah masa muda sebelum datangnya hari tua. Masa muda adalah sebaik-baiknya masa untuk mencapai kebaikan, kesuksesan dan keberhasilan. Karena pada masa itu, kita masih memiliki ambisi yang kuat, keinginan dan cita-cita yang ingin diraih. –tentunya- bukan berarti masa tua akan menghalangi kita untuk tetap berusaha mencapai impian kita, namun tentunya masa tua akan berbeda halnya dengan usaha saat kita masih muda.

Kedua, masa sehat sebelum sakit. Hal ini juga anjuran agar kita senantiasa waspada pada segala kemungkinan yang sifatnya diluar prediksi manusia, seperti halnya sakit. Sakit disini bukan sebatas sakit jasmani, tapi juga sakit rohani.

Ketiga adalah, masa kaya sebelum masa miskin. Tidak terlalu jauh berbeda dari penjelasan di atas, ketika kekayaan ada pada kita, baik itu berupa materi atau lainnya, maka hendaknya kita memanfaatkannya sebaik-baiknya.

Keempat, masa lapang sebelum waktu sibuk. Disini Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk menghargai waktu, agar bisa diisi dengan hal-hal yang bermanfaaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Terakhir adalah, masa hidup sebelum datangnya saat kematian. Yang terakhir ini merupakan cakupan dari empat hal diatas. Ketika kita diberi kehidupan maka hidup yang diberikan pada kita itu sebenarnya merupakan kesempatan yang tiada duanya. Karena kesempatan hidup tidak akan datang untuk kedua kalinya. Kehidupan harus dijalani sesuai tuntutan kemaslahatannya.

Lima hal tersebut merupakan inti misi dan visi hidup manusia, karena kunci kesuksesan itu terletak pada bagaimana kita “mempergunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya”. Anjuran Survive tidak hanya saat kita berada pada kondisi yang terburuk, namun kondisi terbaik pun kita harus terus bisa mengolah konsep survive itu.

Akhir Pekan di Kota Lombok

Di setiap akhir pekan, Cordova akan menyuguhkan destinasi-destinasi impian Anda sekeluarga. Bukan hanya di negeri sendiri, kedepannya akan dipersembahkan juga destinasi mancanegara yang kami rekomendasikan untuk dikunjungi. Sehingga menjadi pertimbangan disetiap akan merencanakan liburan bersama Cordova. Rekomendasi kami tidak terlepas dari kualitas yang selama ini kami terapkan dalam pelayanan eksklusif dengan akomodasi yang membuat liburan Anda benar-benar berkualitas, nyaman dan menyimpan sejuta kenangan manis.

Rasanya untuk saat ini, saya harus keluar terlebih dulu dari lingkaran fikih mengenai hukum merayakan Maulid Nabi. Satu hal yang –mungkin- selalu menjadi diskusi alot antara yang boleh dan tidak. Saya hanya ingin membangunkan rasa cinta pada idol sesungguhnya, kekasih –yang seharusnya- menjadi paling sejati diantara cinta dan kasih terhadap manusia lainnya. Rasulullah SAW, Muhammad bin Abdullah. Yah, keagungan cintanya kepada kita, tidak akan pernah tersaingi oleh makhluk yang pernah ada dalam jagad ini. Sejujurnya, jika bukan karena tanggal merah, atau tulisan-tulisan besar pada baliho di jalanan mengenai Maulid Nabi, Saya –mungkin- akan semakin melupakan-mu duhai Rasul. Mungkin juga, ungkapan shalawat yang setiap hari terlontar hanya sebuah kelayakan dzikir usai ibadah shalat, tanpa mendalami betapa hidupmu penuh dengan rasa cinta kepada kami. Maafkan kami yang meninggalkanmu dalam buku-buku sejarah yang entah sudah chapter keberapa, karena luput dari ingatan. Serta merasa cukup dengan memajang namamu pada hiasan dinding rumah dan masjid yang begitu indah. Maafkan kami ya Rasulallah yang ternyata masih saja ingat kepadamu karena sebuah momentum, karena sebuah baliho dan tanggal merah, masih teramat jauh dengan cinta kasihmu yang teramat besar.

Semua orang –mungkin- pernah merasakan bagaimana rasanya ketika dihinggap perasaan rindu, asa yang menggebu. Jiwa yang meronta karena ingin segera berjumpa. Siang malam gelisah, pasrah menunggu saat yang begitu dinanti. Terlebih jika penantian itu terhadap sosok mulia pembawa risalah, jangankan menatap dan menyentuh makamnya, mendengar nama mulia-nya saja, hati terasa bergetar, shalawat menggema dalam jiwa. Dan rasa melebur dalam raga. Semua partikel mengalir dalam tubuh. Tak akan pernah ada seorang muslim –sejati- luntur dari rasa cinta dan rindu kepada Rasulullah SAW. Meski tak pernah jumpa dan menatapnya, hati kan selalu merindu.

Dalam sebuah syair Arab disebutkan; Bagaimana mungkin dapat diimbangi seorang insan terbaik yang hadir di muka Bumi. Semua orang yang terpandang tidak akan mampu mencapai ketinggian derajatnya. Semua orang yang mulia tunduk dihadapannya. Para penguasa Timur dan Barat rendah disisi-nya. Abdullah bin Mas’ud (sahabat Rasul), mengungkapkan; Sampai sekarang masih terlintas dalam ingatanku saat Rasulullah SAW mengisahkan seorang Nabi yang dipukul kaumnya hingga berdarah-darah. Nabi tersebut mengusap darah pada wajahnya seraya berdo’a “Ya ALLAH, ampunilah kaumku, karena mereka kaum yang jahil.

Shalawat dan salam bagimu duhai Rasulullah, kekasih ALLAH yang sangat kami rindu. Izinkan kami tuk selalu berada di samping pusaran Rasul-MU, sebelum jiwa meregang kehadirat-MU Yaa Rabb. Mudahkan dan berikan limpahan rezeki umat Islam yang tak kuasa membendung luapan rindu dalam diri. Kami mohon jangan ENGKAU matikan hati dan jasad terlebih dulu sebelum berada di tanah suci-MU dan dekat dengan kekasih-MU

Atas nama seni, teman saya membiarkan rambutnya gondrong dan berantakan (baca; acak-acakan), atas nama seni juga teman saya menggambar tubuhnya dengan tato, semua perihal kebebasan selalu di sandarkan dengan aktivitas seni. Seni tak terbatas oleh norma, komentarnya. Namun, tahukah dia bahwa seni memiliki kekuatan yang terbesar dalam mengubah semua pola pikir kita (?) watak dan aktivitas hidupnya kan terpengaruhi oleh kekuatan seni yang mengalir dalam darahnya. Bahkan dengan seni tingkat Tinggi, ALLAH menciptakan bumi ini untuk dinikmati semua makhluk yang juga tak luput dari bentuk seni yang menawan. Para ahli seni, sering dibilang seniman, dan saya meyakini, bahwa setiap manusia, termasuk saya dan Anda bisa dikategorikan sebagai seniman. Sebab kita bisa merasakan suatu keindahan dan merangkainya dalam bentuk sebuah karya di dalam kehidupan. Yang berbeda –tentunya- hanya kadar dari kepiawaian jiwa seninya itu sendiri. Sehingga melahirkan penamaan seniman asli atau aspal. Dalam beberapa waktu lalu, di smartBLOG ini, saya sempat menulis, bagaimana kekuatan seni dalam perkembangan Islam. Bahkan hampir 100 persen, Islam dapat dirasakan di seluruh dunia melalui seni. Baik seni arsitektur, ataupun seni dalam menerapkan strategi dakwah.

Semuanya selalu berawal dari seni, mengkolaborasikan ide dan tindakan sekalipun tetap membutuhkan insting seni yang mendalam. Seni itu indah, keindahan dan sesuatu yang menjadikan orang yang merasanya menjadi indah. Dan naluri manusia itu sangat suka pada sesuatu yang indah dan mengindahkan. Seperti hal-nya ALLAH Ajja wa Zalla, Dzat yang indah dan mencintai orang yang indah. Bukan malah karena mengaku, atau mengatasnamakan seni, ia malah bebas membiarkan rambut atau anggota tubuhnya berantakan.

Contoh sederhana seni yang membuat orang terhanyut adalah sebuah film Perancis, bertajuk Les Choristes. Meski kurang paham dalam bahasanya, tapi sangat jelas adegan setiap scene-nya menggambarkan suatu prilaku ‘seni’ yang teramat dahsyat. Film jadul ini, banyak menggunakan adegannya di sebuah asrama sekolah. Film ini secara tegas menggambarkan bahwa penegakkan disiplin tidak harus melalui hukuman fisik, jewer kuping, memukul meja, dan efek suara lainnya. Namun si guru cukup menggunakan strategi nyanyi –yang tentunya- kental dengan nuansa seni yang berkembang. Setelah menerapkan strategi itu, maka luluh lah ‘kebrutalan’ anak-anak sekolah dasar di sebuah asrama sekolah itu. Strategi itu pun diterima, maka terbentuklah paduan suara satu kelas yang awalnya dikenal sebagai ‘kelas brutal’ menjadi anak-anak yang patuh dan memiliki rasa satu dengan yang lainnya.

Bukan hanya itu, rasanya dalam berbisnis pun diperlukan insting seni yang memadai. Sehingga dalam melakukan suatu karya, kita bisa maksimal dalam mengolahnya. Terlebih jika ingin menciptakan karya-karya inovasi dalam segala aspek dan bidang bisnis. Jelas akan tampak bagaimana kekuatan seni yang terbangun dari karya-karya itu. Seperti halnya kita bisa membedakan mana inovator, mana follower. Disanalah letak perbedaan antara seni yang dijiwai dengan seni plagiat tokh.

Saya sedikit memahami, bahwa bisnis yang mapan adalah bisnis yang mampu mempelajari selak beluk serta turun naiknya volume bisnis. Jika boleh saya mengibaratkan seni bagai sebuah melodi. Dimana tempo yang dimainkan sangat dinamis sekali, terkadang kita harus memainkan tempo dengan sangat cepat, namun terkadang kita harus memperlambat tempo permainan. Jika kita merasakan tempo bisnis berjalan lambat, bagaimana seni kita untuk mempercepat permainan kita, sehingga kita dapat mengatur ritme dan alur sebuah bisnis.

Ahh… khawatir menjadi sotoy yang berlebihan, intinya seni adalah kekuatan yang teramat dahsyat dalam semua aspek kehidupan kita. Orang yang ‘ber-seni’ selalu berhati nurani. Benarkah (?)

Lebih dari 4000 tahun lalu, tiga anak manusia, dengan bekal secukupnya, berjalan kaki sejauh 2000 km melintasi gurun pasir dari Syam menuju lembah tandus yang tak berpenghuni, Bakkah. Mereka adalah satu keluarga: Ibrahim, sang ayah, Ismail, sang anak yang masih bayi, dan Hajar, sang ibu. Dapatkah kita menghitung bahwa jarak tempuh mereka mungkin -saat ini – sebanding dengan jarak antara Sulawesi – Jakarta. Di lembah Bakkah, mereka memulai kehidupan baru tanpa siapa-siapa. Ya, cuma mereka bertiga. Tidak lama setelah itu, sang ayah mendapat perintah dari Dzat Mahakuasa untuk kembali ke negeri asalnya serta melanjutkan tugas-tugas sucinya di sana. Sungguh, ia tak kuasa memberitahukan perintah itu kepada istrinya. Namun, harus bagaimana (?) Dengan terbata-bata, akhirnya, disampaikannya juga perintah itu.

“Apakah Kakanda akan meninggalkan kami di sini, di gurun gersang tak berpenghuni ini, tanpa siapa-siapa (?)”, tanya istrinya dengan sendu. Nabi Ibrahim hanya terdiam karena sungguh -memang- ia tidak memiliki jawabannya dari sudut pandang manusiawi. “Atas perintah ALLAH-kah ini wahai Kakanda (?)”
“Ya…”, jawab sang suami dengan lirih.

Menurut kita, logika mana yang dapat menerima seorang ayah harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih merah di sana (?) Dapat dibayangkan, jika saja saat itu sudah berdiri Komnas HAM, tentunya NABIYULLAH Ibrahim As sudah diseret ke pengadilan HAM karena dakwaan pelanggaran HAM berat. Namun begitulah, tidak semua hal dan peristiwa di dunia ini dapat dilogikakan oleh manusia. Yang dapat menerima rumus logika hanyalah yang sifatnya “rasional”, sedangkan hal-hal yang suprarasional, bukan menjadi wilayah garapannya

Sebelum meninggalkan mereka di lembah itu, Nabi Ibrahim menengadah ke langit. Dengan tangan terangkat, ia menggumamkan beberapa penggal doa, bukan untuk menunjukkan kegalauan hatinya, melainkan sebaliknya. Untaian munajat itu justru untuk mempertegas keyakinannya akan kepastian jaminan yang diberikan oleh ALLAH SWT, Sang Pembuat Skenario, yang memilih ia dan keluarganya sebagai pemeran utama.

“Ya, RABB”, demikian orang tua suci itu memulai doanya, “Sungguh aku telah menempatkan dzurriyat (istri dan anak)-ku untuk menetap di lembah yang tak tertumbuhi tanaman apa pun, di sisi rumah-MU yang disucikan. Yaa RABBANAA, semua itu kulakukan agar mereka mendirikan salat. Maka penuhilah hati sebagian manusia dengan cinta kepada mereka dan rezekikan kepada mereka buah-buahan agar mereka bersyukur” (Q.S. Ibrahim: 37).

Sungguh sebuah doa yang visioner dari seorang visioner! Dan, lihatlah, bagaimana ia menjadikan “rezeki buah-buahan” sebagai prioritas terakhir dalam permohonannya itu.

Dalam bagian munajat-munajatnya yang lain, lelaki suci ini kembali menunjukkan visi futuristiknya yang cemerlang. Saat itu, ia telah meng-install di alam bawah sadarnya bahwa sebentar lagi lembah Bakkah yang gersang, tandus, dan tidak berpenghuni itu akan menjadi kawasan yang makmur, aman, dan sejahtera. Lihatlah, bagaimana visi itu dituangkan dalam doa.

“Wahai RABB, jadikanlah kawasan ini negeri yang aman dan berikanlah rezeki kepada penduduknya berupa buah-buahan yang banyak…” (Q.S. al-Baqarah: 126).

Visi yang dilandasi skill individu dan spirit keagamaan tentunya akan menghasilkan visi yang Mardho TILLAH. Karenanya, jangan pernah bermain-main dengan visi, sebab itulah yang akan menampakkan kehidupan kita selanjutnya, setelah langkah saat ini tertapak.

“Cinta itu laksana pohon dalam jiwa, akarnya adalah ketundukan, dan buahnya adalah ketaatan, tanpa pohon Bumi kian gersang” –Cordova Founding Father

Banyak syair yang menceritakan tentang kekuatan cinta. Tentang sesuatu yang dapat merubah segala hal mustahil menjadi nyata. Tentang rasa yang mendorong raga tuk melakukan segala asa, dan masih banyak hal yang terungkap dari cerita cinta. Namun sering juga cinta menjadi absurd, dari dan untuk siapa rasa cinta tertinggi itu diberikan. “Jangan terlampau besar mencinta, karena dapat terjatuh pada jurang kebencian”, adigium yang sering terdengar dari pujangga cinta itu –tentunya- hanyalah sepenggal cinta sesama makhluk. Namun berbeda ketika rasa cinta itu tertuangkan kepada Dzat Maha Pen-Cinta. Bahkan seorang sufi selalu memposisikan dirinya sebagai ‘Pengemis’ cinta Ilahi, bahwa cinta tertinggi itu hanyalah untuk ALLAH SWT.

Jika dicermati dengan nurani, maka puncak perjalanan hidup manusia –sesungguhnya- adalah mahabbah atau cinta, dan yang berhak untuk menerima cinta tertinggi kita hanyalah ALLAH SWT. DIA lah satu-satunya Mustahiq cinta. DIA hanya berlaku diskriminatif dalam urusan agama dan cinta saja. IA hanya mencintai orang yang mencintai-NYA. Dan IA memberikan kepada siapa saja kasih sayang-NYA, tetapi tidak dengan cinta (hubb)-NYA. Semakin kita mendekat, maka IA akan semakin merapat kepada kita, pun demikian semakin jauh kita pada-NYA, maka kenestapaan yang teramat dahsyat bagi manusia. Sebab DIA tidak akan pernah mendekat kepada kita.

Seorang sufi wanita terkenal dari Bahsrah, Rabi’ah Al- Adawiyah (w. 165H) ketika berziarah ke makam Rasul Saw. pernah mengatakan: “Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu, tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang lain, karena telah penuh cintaku pada ALLAH SWT”. Tentang cinta itu sendiri, Rabiah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Bukan berarti Rabiah tidak cinta kepada Rasul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada ALLAH adalah bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasul. Jadi mencintai Rasulullah Saw. sudah terhitung dalam mencintai ALLAH SWT. Seorang mukmin pecinta ALLAH pastilah mencintai apa-apa yang di cintai-NYA pula. Rasulullah pernah berdoa: “Ya ALLAH karuniakan kepadaku kecintaan kepada-MU, kecintaan kepada orang yang mencintai-MU dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-MU.

Jiwa para pencinta, tak kan pernah mengemis cinta kepada selain kekasihnya. Ia terus memberikan cinta kepada Mustahiq cinta hakiki, tak peduli harus berkorban hidup yang berupa materi. Karena dengan mencintai-NYA, ia kan terjamin oleh kekasihnya yang MAHA segalanya.