Belajar dari komunitas Preman

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata ‘Preman’ adalah kata dasar dari premanisme. Yang berarti sebutan untuk orang jahat (penodong, perampok dan sejenisnya). Kata ini juga –nampaknya- merupakan bantuan dari bahasa Belanda dan Ingris. Dalam bahasa Belanda berasal dari dua suku kata, yakni ‘Vrije Man’ dengan kata dasar Vrije yang berarti bebas, merdeka (bukan budak) sedangkan Man diartikan sebagai orang. Orang yang bebas melakukan kejahatan disebut sebagai preman. Premanisme (aktivitas kejahatan) adalah sesuatu yang –sebenarnya- menjadi watak manusia sebagai Khalifah, ingat bagaimana ketika Para Malaikat bertanya kepada ALLAH tentang penciptaan manusia yang akan membuat kehancuran di muka bumi. Tetapi dengan hak prerogatif ALLAH berfirman “Aku lebih tahu dari apa yang kau tidak ketahui”. Jelas bahwa dalam penciptaan manusia, ada watak-watak dalam jiwa manusia yang berpotensi menjadi ‘preman’, tetapi dengan Anugrah-Nya, manusia diberikan segumpal hati yang akan mengontrol daya ledak ‘Premanisme’ dalam diri setiap manusia. Ia yang akan menjadi barometer perbedaan antara manusia sebagai khalifah dengan makhluk lainnya di muka bumi.

Lepas dari semua itu, sebenarnya garis merah yang termaktub dalam tema di atas dengan sub tema kecil akan mudah dipahami kemana arah tulisan ini. Yah, setelah kita tahu bagaimana definisi ‘Preman’, kita akan lebih tahu bahwa komunitas itu adalah kelompok yang harus dijauhi, diperangi dan dilenyapkan. Karena hampir dari semua aktivitas kejahatan mereka sangat meresahkan kita. Akan tetapi, jangan berhenti disitu, jika kita telusuri dari perilaku mereka, ternyata ada hal yang menarik dari kumpulan itu untuk dijadikan sebagai ibrah bagi kita yang –mungkin- bukan seorang preman.

Saya sering mendengar ungkapan “Lebih baik berteman dengan preman, daripada dengan kalian”. Kalimat diatas jika dicermati bisa menjadi suatu otokritik yang membangun dalam diri kita. Tentu maksud ucapan itu jelas bahwa ada hal ‘positif’ jika kita menjadi bagian dari komunitas preman. Apalagi jika bukan dari sisi PEDULI. Saling mengerti dan peduli sering diungkapkan dengan bahasa ‘solider’ diantara kelompok mereka. Terlepas dari peduli dalam kejahatan atau perilaku bebas mereka, tetapi mereka bisa lebih menyatukan rasa dengan saling peduli akan kelompoknya. Seorang disakiti maka anggota lainnya pasang badan, tidak hidup dalam lingkup individualistik yang tidak mau tahu akan kondisi saudaranya.

Pelajaran dari sikap saling peduli itu tentunya merupakan kekuatan yang teramat dahsyat dalam kehidupan sosial. Bagaimana Rasulullah SAW setiap habis sholat membalikkan badannya dan melihat satu-satu sahabatnya. Jika ada yang absen, Dia tanyakan dan bergegas menjenguknya jika sakit. Bangunan utuh silaturahmi sesungguhnya terikat oleh rasa peduli, jangan pernah berbicara tentang kesolidan team, jika setiap kita masih enggan untuk memiliki rasa yang kini mahal itu, yah rasa peduli terhadap apa yang terjadi di sekitar kita.

Lalu, jika para preman bisa menerapkan konsep peduli itu dalam komunitasnya, dan kita yang –mungkin- bukan preman, melenyapkan rasa care terhadap sesama, bisakah pemaknaaan ‘Preman’ terbalik mengarah pada kita (?)

Masjid Kiblatain

Setelah beberapa pekan ‘Friday Story’ absen dari website kita tercinta ini, kini kembali dengan suguhan artikel yang tidak kalah menariknya. Bukan hanya dari cerita-cerita hikmah setiap hari Jum’at. Tetapi juga tentang sejarah situs-situs Islam sebagai penambah wawasan kita semua. Kali ini, ‘Friday Story’ akan menampilkan sejarah Masjid Kiblataini (Masjid dengan dua kiblat) yang terletak di Kota Nabi, Madinah Al-Munawarroh. Berikut sajiannya:
Dikisahkan ketika Rasulullah sedang melakukan shalat Dzuhur (riwayat lain menyebutkan shalat Ashar) berjamaah di Masjid Kiblatain, mendadak turun wahyu (Q.S. Al-Baqarah:114) yang memerintahkan mengubah arah kiblat dari Masjidil Aqsa di Palestina (utara) ke Ka’bah di Masjidil Haram di Mekkah (selatan).

“Sungguh Kami melihat mukamu, menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya dan ALLAH sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”

Padahal, ketika turun wahyu tersebut shalat telah berlangsung dua rakaat. Maka begitu mendengar wahyu tersebut, serta merta Rasulullah dan diikuti oleh para sahabat langsung memindahkan arah kiblatnya atau memutar arah 180 derajat. Peristiwa perpindahan kiblat itu dilakukan sama sekali tanpa membatalkan shalat. Juga tidak dengan mengulangi shalat dua rakaat sebelumnya. Ayat itu sendiri adalah ayat yang diturunkan kepada Rasulullah yang telah lama mengharapkan dipindahkannya kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram.

Peristiwa yang terjadi pada tahun 2 H, atau tepatnya 17 bulan setalah nabi Muhammad hijrah ke Madinah itulah yang menjadi cikal bakal pemberian nama Masjid Kiblatain yang berarti dua kiblat. Sebelum dinamai Kiblatain karena perubahan arah kiblat itu, masjid yang terletak di atas bukit kecil di utara Harrah Wabrah, Madinah, itu bernama Masjid Bani Salamah.

Tadinya di dekat Masjid Kiblatain ada telaga yang diberi nama Sumur Raumah, sebuah sumber air milik orang Yahudi. Mengingat pentingnya air untuk masjid, maka atas anjuran Rasulullah, Usman bin Affan kemudian menebus telaga tersebut seharga 20 ribu dirham dan menjadikannya sebagai wakaf. Air telaga tersebut hingga sekarang masih berfungsi untuk bersuci dan mengairi taman di sekeliling masjid, serta kebutuhan minum penduduk sekitar. Hanya bentuk fisiknya sudah tidak kelihatan, karena ditutup dengan tembok.

Dalam perkembangannya, pemugaran Masjid Kiblatain terus-menerus dilakukan, sejak zaman Umayyah, Abbasiyah, Utsmani, hingga zaman pemerintahan Arab Saudi sekarang ini. Pada pemugaran-pemugaran terdahulu, tanda kiblat pertama masih jelas kelihatan. Di situ diterakan bunyi QS. AlBaqarah: 114, ditambah larangan bagi siapa saja yang shalat agar tidak menggunakan kiblat lama itu.

Berziarah ke Masjid Kiblatain mengandung banyak hikmah. Selain ibadah shalat wajib dan sunat di sana, jamaah dapat juga memetik ibrah (suri teladan) dari para pejuang Islam periode awal (as-sabiqunal awwalun) yang begitu gigih menyebarkan risalah Islamiyah, melaksanakan perintah ALLAH SWT baik dalam segi ibadah mahdlah (ritual), seperti berjamaah, mengganti kiblat, dan menyucikan diri, maupun dalam segi ibadah ghair mahdlah (sosial) seperti menyisihkan harta untuk kepentingan umat, untuk memugar masjid dan lain sebagainya.

Artikel ringan kali ini, mengupas tentang sebuah cerita yang mungkin sudah tidak asing lagi, kalaupun kita sering membacanya, mungkin bisa menjadi sebuah pengingat tentang arti sebuah kepedulian. Cerita yang mengajarkan kita bahwa manusia tercipta komplit dengan seperangkat penopang yang membuat hidupnya survive. Cerita ini dimulai ketika sepasang suami istri petani pulang ke rumah setelah berbelanja. Saat membuka barang belanjaan, seekor tikus memperhatikan dengan seksama sambil menggumam, “Hmmm…makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar (?)”. Ternyata, salah satu yang dibeli oleh petani ini adalah perangkap tikus. Tentunya sang tikus kaget bukan kepalang. Ia segera berlari menuju kandang ayam dan berteriak. “Ada perangkap tikus di rumah!….di rumah sekarang ada perangkap tikus!….”

Sang Ayam berkata, “Tuan Tikus, aku turut bersedih, tapi itu tidak berpengaruh terhadap diriku”. Sang Tikus lalu pergi menemui seekor Kambing sambil berteriak ketakutan. Sang Kambing pun berkata, “Aku turut bersimpati…tapi tidak ada yang bisa aku lakukan.”
Tikus lalu menemui Sapi. Malang, ia mendapat jawaban yang sama. ” Maafkan aku, tapi perangkap tikus tidak berbahaya buat aku sama sekali”.

Ia kemudian lari ke hutan dan bertemu ular. Sang ular berkata, “Ahhh…Perangkap Tikus yang kecil tidak akan mencelakai aku”. Akhirnya Sang Tikus kembali ke rumah dengan pasrah mengetahui jika ia akan menghadapi bahaya sendiri. Semua hewan yang ia kunjungi tiada respect terhadap kendala yang dia rasakan. Tak peduli mara bahaya yang akan dihadapinya. Mereka merasa aman dari sebuah perangkap tikus yang tiada hubungannya dengan krisis keamanan dirinya. Bersembunyi mencari aman.

Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara keras perangkap tikusnya berbunyi menandakan telah memakan korban. Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular berbisa. Buntut ular yang terperangkap membuat ular semakin ganas menyerang dan menggigit istri pemilik rumah. Walaupun sang Suami sempat membunuh ular berbisa tersebut, sang istri tidak sempat diselamatkan.

Sang suami harus membawa istrinya ke rumah sakit dan kemudian diperbolehkan pulang, namun beberapa hari kemudian istrinya tetap demam. Ia minta dibuatkan sop ceker ayam oleh suaminya (sop ceker ayam sangat bermanfaat untuk menghangatkan tubuh dan mengurangi demam). Suaminya dengan segera menyembelih ayamnya untuk dimasak cekernya. Sudah beberapa hari, sakitnya tidak kunjung reda. Seorang teman menyarankan untuk makan hati kambing. Ia lalu menyembelih kambingnya untuk mengambil hatinya.

Masih, istrinya tidak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dunia. Banyak sekali orang bertakziah datang pada saat pemakaman. Sehingga sang Petani harus menyembelih sapinya untuk memberi makan orang-orang yang melayat. Dari kejauhan…Sang Tikus menatap dengan penuh kesedihan. Beberapa hari kemudian ia melihat Perangkap Tikus tersebut sudah tidak digunakan lagi.

Nilai yang dapat kita simpulkan dari cerita ini adalah ‘Suatu hari, ketika kita mendengar seseorang dalam kesulitan dan mengira itu bukan urusan kita, maka mari kita pikirkan sekali lagi…’

Suatu saat Rasulullah SAW didatangi seorang pemuda yang hatinya telah mantap untuk memeluk Islam, namun syahwatnya masih belum bisa terkendali. Ia pun mengutarakan maksudnya dengan dibumbuhi syarat yang ‘aneh’. “Wahai Rasulullah, aku ingin masuk Islam, tapi izinkan aku tetap berzina”. Seperti biasa, Rasulullah tidak marah, beliau tersenyum dan meng-iya-kan permintaannya dengan hanya memberikan satu pesan “Tapi kamu jangan berdusta!”. Syarat dilawan pesan. Pemuda itu pun menyanggupi dan menepatinya. Siapa sangka, ternyata belakangan pesan itu adalah strategi ‘penyembuhan’ bagi si pemuda yang kadung terjebak oleh putaran nafsu. Lalu Rasul pun mulai ‘menyerang’ dan memainkan strategi itu sedikit demi sedikit. Di lain hari, Rasul mendatangi dan menyapanya “Bagaimana kabarmu (?)” Sapa Rasulullah SAW. “Alhamdulillah ya Rasulullah”, jawabnya singkat. “Apakah kamu masih berzina hari ini (?)” pertanyaan Rasul yang langsung menohok pada si pemuda itu. “Masih Ya Rasulullah” sebuah jawaban jujur yang membuat merah semua mukanya karena rasa malu yang besar.

Pertanyaan yang terus menerus di ‘mainkan’ Rasul kepadanya. Bagi hati yang masih memiliki nurani, pemuda itu menghentikan ‘kegiatan’ zinanya hanya karena tidak ingin berdusta pada Rasulullah SAW. Awal yang mudah, dan diakhiri dengan niatan luhur sehingga terlepas dari belenggu nafsu yang menjerat. Lalu timbul sebuah pertanyaan; Kenapa Rasulullah membiarkan pemuda itu terus berzina (?) Dan apa hubungan syarat itu dengan pesan Rasul yang melarang berdusta (?). itulah strategi ‘berperang’ tanpa memerangi secara langsung. Politik dakwah yang tidak membidik kebathilan tepat di kepala. Dalam sebuah sumber, bahwa gelitikan di telapak kaki pun dapat membuat lawan mati kejang.

Artikel ringan ini, sebenarnya mengajak kita untuk bersama membenahi diri, melakukan otokritik terhadap apa yang telah kita lakukan untuk Islam serta bagaimana menyuguhkan Islam yang indah. Bukankah hancurnya keindahan budaya Islam disebabkan oleh banyaknya paradigma yang bergelut dengan pola pikir Islam itu sendiri. Banyak sesuatu kewajiban yang sudah sangat jelas, namun dipelintirkan atau disesuaikan dengan kondisi kita sendiri. Sebut saja dengan penggunaan (pemakaian) jilbab (kerudung) yang selalu saja dihubung-hubungkan dengan permasalahan siap atau tidak siap. Atau masalah zakat yang melulu menunggu harta kita bertambah. Sampai pada akhirnya, melaksanakan ibadah haji selalu tak kunjung terealisasi lantaran selalu berlindung pada kata jika mampu.

Memang disadari, kini dunia Islam terjangkit budaya hedonis dan akut berpola hidup kapitalisme. Pola kapitalisme yang benar-benar hanya diarahkan ke duniawi saja. Padahal sesungguhnya pola hidup kapitalisme itu tidak selalu negatif. Andai saja konsep balance bisa diterapkan, yakni; Dalam mengejar dunia kita seolah akan hidup 1000 tahun lagi, dan ketika ingat akherat seolah mati esok hari, maka kapitalisme with Qalbu akan bisa terwujud. Juga Andai para ‘juru dakwah’ memiliki kemampuan komunikasi yang canggih terhadap umat, maka apa yang dikatakan tentang kebenaran Islam, akan mudah diserap tanpa tendeng aling-aling, tanpa alasan. Karena memiliki strategi dakwah tanpa ‘berperang’.

Mengapa semua ini terjadi (?) Mengapa umat Islam masih saja terpuruk (?) jawabannya, karena kita selaku muslim masih setengah-setengah dalam mengaplikasikan hukum dan budaya Islam yang indah. Karena kita selalu enggan untuk saling mengingatkan. Karena kita selalu merasa yang paling benar. Karena kita selalu saja merasa besar.

Ungkapan total footbal yang menganggap menyerang adalah pertahanan yang ideal nampaknya sangat beralaskan, sebatas penyerangan itu tak berpotensi ‘perang’. Kini saatnya kita meniupkan semangat untuk menyerang tanpa melakukan peperangan. Tentunya dengan menyentuh sendi-sendi kehidupan Islam dengan syariat yang berlaku. Selagi jiwa masih mendekap badan, selagi nafas berteman jiwa, selagi rasa berkawan raga. Kita bisa, karena Allah berkenan…

Sebenarnya ada benang merah antara tulisan ini dengan artikel beberapa hari lalu, ‘The Power of Reading’. Korelasi antara kekuatan membaca dengan apa yang akan di ulas dalam artikel ini, akan semakin menjelaskan bagaimana kekuatan pikir dalam mengolah setiap hal yang kita ‘baca’. Diantara sebagian kecil manusia memiliki kemampuan untuk membaca apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tentunya kemampuan itu memiliki tingkatan perbedaan yang mendasar antara mempelajari ilmu bintang (nujum) atau sihir dengan sebuah prediksi dari pengetahuan ilmiah bahkan jauh bila disamakan dengan ramalan nubuwat (Prophecy). Seseorang yang “Membaca” dan meramal sesuatu yang akan terjadi sesungguhnya memiliki pemaknaan yang mendalam. Prediksi atau ramalan adalah pernyataan atau klaim bahwa kejadian tertentu akan terjadi pada suatu saat di masa mendatang. Secara etimologi, prediction berasal dari bahasa Latin: prae (sebelum) dan dicere (mengatakan). Kemampuan “mengatakan sebelum” sesuatu terjadi di masa mendatang.

Jika kemarin adalah sejarah (history), hari ini adalah hadiah (gift), maka besok adalah misteri (mistery). Begitu kata Joan Rivers, seorang komedian terkenal di awal abad 21. Bahkan kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi sedetik ke depan. So, mengutip peraih Nobel Fisika, Niels Bohr, mengatakan “Prediction is very difficult, especially if it’s about the future.”, (Memprediksi sesuatu sangat sulit, terlebih mengenai masa depan).

Seiring dengan kemajuan teknologi dan keberhasilan penemuan serta pemecahan berbagai fenomena alam semesta, memang menjadikan apa yang dulu dianggap sulit diprediksi, kini hal itu bisa dengan mudah dihitung dan diperkirakan. Kapan gerhana matahari dan bulan terjadi, hisab awal bulan Komariah, dan hal-hal lain yang terjadi di planet luar. Tentu saja semua itu berangkat dari data historis yang telah dimiliki atau ditemukan sebelumnya melalui “Membaca” dan meneliti. So, fenomena di masa depan boleh jadi bisa diprediksi hanya yang bersifat countable (bisa dihitung).

Tetapi kecendrungan meramal tanpa data ilmiah yang otentik, yang hanya menggunakan bola kristal, atau guratan anggota tubuh misalnya. Bukan sebuah ramalan yang diperbolehkan dalam Islam, karena dengan meramal dan mempercayai sesuatu menggunakan ilmu magic akan mendamparkan kita pada sebuah harapan semu. Sehingga dimensi waktu yang tertapak, hanya akan tersia karena percaya menunggu takdir yang diramalkannya esok.

Lalu bagaimana jika sebuah prediksi atau ramalan tercetus seketika, tanpa data historis sebelumnya, dan tak terbayangkan sebelumnya (?) seperti halnya Rasul sering mengeluarkan ramalan pada sahabat dan peristiwa-peristiwa yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Seperti contoh ketika Rasul hendak melakukan perjalanan hijrah bersama Abu Bakar ke Madinah. Saat itu, para pemuka Quraisy akan menghadiahi bagi yang berhasil menangkap Rasulullah dalam keadaan hidup ataupun mati dengan 100 ekor sapi. Mendengar sayembara itu seorang pemuda badui berbadan kurus, bernama Suraqah bin Balik bin Ja’tsam Al-Mudallij, segera mengejar Rasul dan Abu Bakar yang terlihat bagai satu titik bergerak di padang yang begitu luas.

Karena kelihaian dalam memacu kuda, dengan tangan di tombak, Suraqah semakin mendekati jarak Rasul. Abu Bakar pun merasa cemas, tetapi Rasulullah segera menenangkan “Jangan bersedih sahabatku, ALLAH bersama kita”, tidak beberapa lama Suraqah sudah berada dibelakang Rasul, baginda Rasul pun berdo’a “Yaa ALLAH, lindungilah kami dari bahayanya sekehendak-MU”. Seketika itu, tiba-tiba kuda yang ditunggangi Suraqah tergelincir, dan ia terpelanting ke tanah berpasir. Dengan susah payah Suraqah bangkit dan kembali mengejar Rasulullah. Semakin mendekat Rasul kembali berdoa, dan kembali Suraqah terjatuh dari kudanya, hingga tiga kali berturut-turut.

Akhirnya setelah itu, Suraqah berteriak “Wahai Rasulullah! Aku Suraqah bin Balik, lihatlah aku, aku akan berbicara, aku akan melakukan apa yang kalian sukai dan tidak akan mendatangkan bahaya. Lalu Rasul pun menghentikan kudanya dan Abu Bakar bertanya, “Apa yang kamu inginkan” (?). Suraqah lalu meminta maaf atas ulahnya, setelah ia menceritakan tentang sayembara yang diadakan pemuka Quraisy tentang pembunuhan Rasul, Suraqah melanjutkan perkataanya. “Aku tahu bahwa dakwahmu akan tersebar pada orang banyak, kumohon tulislah jaminan untukku, jika suatu saat aku mendatangimu, engkau akan memuliakanku. Rasulullah tersenyum, dan memberikan jaminan itu. Lalu beliau bersabda “Hai Suraqah, bagaimana perasaanmu, jika suatu saat kelak engkau akan berpakaian dan berhiasan gelang-gelang emas yang biasa dipakai Kisra (?)”

Suraqah, badui Arab itu tampak linglung. “Kisra bin Hurmuz, Yaa Rasulullah (?) Rasulullah tersenyum, “Ya benar”. Bagaimana dapat memahaminya, saat janji Rasul itu diucapkan, kaum muslimin masih dalam keadaan tertindas. Jumlahnya hanya segelintir orang, sementara Suraqah adalah pemuda kampung, kurus kering hitam legam, dan belum memeluk Islam. Sedangkan Kisra adalah sebuah imperium kuat yang telah berdiri berabad-abad.

Itulah nubuwat (prophecy). Sebuah berita dari mulut seorang utusan-Nya tentang suatu peristiwa di masa depan. Nubuwat sebagai tanda nubuwah (kenabian). Maka tidaklah apa yang diprediksikannya kecuali pasti datang dari Sang Pengutus, ALLAH SWT. yang Maha Mengetahui “Tidaklah apa yang dikatakan utusan-Nya kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya (QS. Al-Anam: 4).

Hingga akhirnya tiba waktu saat Islam ber-khalifah Umar bin Khattab, sekian tahun setelah Rasul wafat, Islam dapat menghancurkan Kisra. Dan peristiwa yang dikatakan Rasul terjadi, dimana Umar memakaikan pakaian kerajaan dengan berhiasan gelang-gelang indah dan mahkota raja kepada Suraqah sebagai panglima perang Islam yang handal. Kedua pelupuk matanya pun basah mengambang air, isaknya pecah, dan airmatanya mengalir deras, ingatannya kembali melayang ke sebuah peristiwa saat berjumpa Rasulullah SAW. Subhanallah…

Masih banyak tentunya Rasulullah meramalkan sesuatu yang akan terjadi pada sahabat dan umatnya. Tentu sebuah ramalan atau prediksi spontan yang dituntun Dzat Kuasa tanpa data atau historis yang melatar belakanginya. Karena memang beliau adalah manusia pilihan dan kekasih ALLAH SWT.

Umat yang di Rindu

Pada suatu hari terjadi percakapan di antara Rasulullah SAW dengan Abu Bakar As-Siddiq, dan Sahabat-sahabat yang lain pun mendengarnya. “Wahai Abu Bakar, begitu rinduku untuk bertemu dengan saudara-saudaraku (ikhwan)”, Sabda Rasul. Wahai Rasulullah, bukankah kami ini saudara-saudaramu juga (?) Jawab Abu Bakar. Rasulullah SAW menjawab, “Kamu sekalian adalah sahabat-sahabatku”. Keterangan Rasulullah itu sungguh mengherankan Abu Bakar, juga sahabat-sahabat lain yang hadir. Apakah bedanya antara sahabat dan ikhwan, siapakah yang dimaksudkan Rasulullah SAW itu dengan penuh kerinduan (?). Apa yang disampaikan Rasulullah SAW mampu membuat alam pikir sahabat saling bertanya, suasana percakapan pun menjadi lebih serius, karena masing-masing ingin tahu mengenainya.

Rasulullah SAW segera memahami suasana itu, maka segera Rasul menjelaskan apa yang disabdakannya. Ikhwan (saudara-saudara) ku yang dimaksud adalah generasi yang belum muncul. Mereka beriman kepadaku, walaupun mereka tidak melihatku. Mereka benarkan aku tanpa pernah melihatku. Mereka temukan tulisan (Al Qur’an dan Hadits) dan beriman kepadaku. Mereka amalkan apa yang ada dalam tulisan (Al Qur’an dan Hadits) itu. Mereka bela aku seperti kalian membela aku. Alangkah inginnya aku berjumpa dengan mereka”..

Lalu Rasulullah kembali bersabda, “Berbahagialah orang yang melihatku dan beriman kepadaku”. Beliau mengucapkannya satu kali. Kemudian Beliau meneruskan sabdanya,
“Berbahagialah orang yang beriman kepadaku padahal tidak pernah melihatku”. Dan mengulanginya sebanyak tujuh kali. Subhanallah.

Allahumma shalli ala Muhammad wa ala alihi Muhammad

Shalawat dan salam untuk beliau, suri tauladan kita Muhammad SAW. Semoga kita termasuk hamba-hamba ALLAH yang dirindukan Beliau.

Amiin Yaa Rabb

Bagaimana Malaikat Izrail Mencabut Nyawa

Cara malaikat Izrail mencabut nyawa tergantung dari amal perbuatan orang yang bersangkutan, bila orang yang akan meninggal dunia itu durhaka kepada ALLAH SWT, maka malaikat Izrail mencabut nyawanya dengan kasar. Sebaliknya, bila terhadap orang sholih, cara mencabutnya dengan lemah lembut dan hati-hati. Namun demikian peristiwa terpisahnya nyawa dengan raga tetap teramat menyakitkan. Rasulullah SAW bersabda: ‘Sekiranya sakaratul maut itu, kira-kira tiga ratus kali sakitnya dipukul pedang”. (HR.Ibnu Abu Dunya). Di dalam kisah Nabi Idris AS., beliau adalah seorang ahli ibadah, dan selalu berdzikir di dalam kesibukannya sehari-hari. Catatan Sholih Nabi Idris AS sangat menarik perhatian malaikat maut (Izrail). Maka bermohonlah Ia kepada ALLAH SWT, agar di perkenankan mengunjungi Nabi Idris AS di dunia. ALLAH SWT mengabulkan permohonan malaikat Izrail, maka turunlah ia ke dunia dengan menjelma sebagai seorang lelaki tampan, dan bertamu kerumah Nabi Idris AS.

Assalamu’alaikum, ya Nabi ALLAH”. Salam malaikat Izrail. “Wa’alaikum salam wa rahmatullah” jawab Nabi Idris AS. Beliau sama sekali tidak mengetahui, bahwa lelaki yang bertamu kerumah-nya itu adalah malaikat Izrail. Seperti tamu yang lain, Nabi Idris AS melayani malaikat Izrail, dan ketika tiba saat berbuka puasa, Nabi Idris AS mengajaknya buka bersama, namun ditolaknya oleh malaikat Izrail. Selesai berbuka puasa, seperti biasanya ia mengkhususkan waktunya “menghadap” ALLAH SWT sampai keesokan harinya. Semua itu tidak lepas dari perhatian Malaikat Izrail.

Pagi harinya nabi Idris AS mengajak jalan-jalan “tamunya” itu ke sebuah perkebunan dimana pohon-pohonnya sedang berbuah. “Izinkan saya untuk memetik buah-buahan ini untuk kita” pinta malaikat Izrail (menguji Nabi Idris AS). “Subhanallah“, kata Nabi Idris AS. “kenapa (?)” Malaikat Izrail berpura-pura terkejut. “Buah-buahan ini bukan milik kita” ungkap Nabi Idris AS. kemudian beliau berkata: “Semalam anda menolak makanan yang halal, kini anda menginginkan makanan yang haram”.

Malaikat Izrail tidak menjawab. Beliau penasaran dengan tamunya itu, karena selama berjalan dengannya, banyak hal yang membuat heran Nabi Idris atas tamunya. Kemudian beliau bertanya: “Siapakah engkau sebenarnya (?)”. ‘Aku malaikat Izrail’ jawab tamunya. Spontan, nabi Idris terkejut, hampir tidak percaya, seketika tubuhnya bergetar tak berdaya. “Apakah kedatanganmu untuk mencabut nyawaku (?)” tanya Nabi Idris AS dengan serius. “Tidak” Senyum malaikat Izrail penuh hormat. “Atas izin ALLAH, aku sekedar berziarah kepadamu” jawab malaikat Izrail.

Nabi Idris AS manggut-manggut, beberapa lama kemudian beliau hanya terdiam. “Aku punya keinginan kepadamu” tutur Nabi Idris AS. “Apa itu (?) Katakanlah!” jawab malaikat Izrail. “Aku mohon engkau bersedia mencabut nyawaku sekarang, lalu mintalah kepada ALLAH SWT untuk menghidupkan ku kembali, agar bertambah rasa takut ku kepada-Nya dan meningkatkan amal ibadahku.” pinta Nabi Idris AS.

“Tanpa seizin ALLAH SWT, aku tak dapat melakukannya.” tolak malaikat Izrail. Pada saat itu pula ALLAH SWT memerintahkan malaikat Izrail agar mengabulkan permintaan Nabi Idris AS. Dengan izin ALLAH malaikat Izrail segera mencabut nyawa beliau, sesudah itu beliau wafat. Malaikat Izrail pun menangis, ia memohon kepada ALLAH SWT agar menghidupkan Nabi Idris kembali. ALLAH SWT mengabulkan permohonannya. Setelah dikabulkan nabi Idris pun hidup kembali.

“Bagaimanakah rasa mati itu, sahabatku (?)” Tanya malaikat Izrail. “Seribu kali lebih sakit dari binatang hidup yang dikuliti” jawab Nabi Idris AS. “Caraku yang lemah lembut itu, baru kulakukan terhadapmu”. kata malaikat Izrail.

MASYA ALLAH, lemah lembutnya malaikat maut (Izrail) itu terhadap Nabi Idris AS….
Bagaimanakah jika sakaratul maut itu, datang kepada kita (?) Siapkah kita untuk menghadapinya (?)

“Orang cerdas adalah orang yang mengingat kematian. karena dengan
kecerdasannya dia akan mempersiapkan segala perbekalan untuk menghadapinya”

Photo by : www.IslamicThinkers.com

Kita sering mendengar ungkapan ‘Jangan Saling Mendahului…”, baik dalam lingkup normatif birokrasi, atau dalam peraturan lalulintas, bahkan sering juga kita lihat tulisan besar-besar dibelakang bus antar kota misalnya. Atau dibelakang truk-truk besar, selain tulisan-tulisan unik, lucu dan menggelitik seperti; ‘Sesama kendaraan umum jangan saling mendahului’, ‘Pergi karena tugas, pulang karena beras’, atau ‘The me anak is 3 (demi anak istri –maksudnya-)’ dan lain-lain. Pesan-pesan lugas yang terpampang didepan mata kita itu, terkadang membuat kita tersenyum lucu. Message-nya sampai, namun hanya selintas dalam benak kita. Selanjutnya akan hilang dan lenyap dalam fokus pikiran kita. Tetapi, message yang dimaksud tema diatas akan selalu ada dalam ‘naskah suci’, kendati nyaris hampa dalam aplikasi. Yah ‘Harap Saling Mendahului’ atau antonim dari tulisan-tulisan besar di belakang truk ‘Jangan saling mendahului’ adalah sebuah pesan dari agama untuk saling mendahului dalam kebajikan. Jika ‘berlomba dalam kebaikan’ adalah sebuah bentuk motivasi untuk melakukan kebaikan, maka ‘mendahului kebaikan’ yang akan dikerjakan adalah sebuah gerbang menuju jalur kebaikan yang lebih besar.

Untuk meringankan bahasan diatas, mari kita ber-anologi. Misalnya, ketika kaki mulai melangkah untuk mengais rezeki, maka sebelum kita mendapatkan rezeki dari hasil pekerjaan tersebut, kita terlebih dulu mendahulukan amalan yang akan memberkahi rezeki kita nanti. Amalan itu adalah sedekah. Sedekah adalah suatu ‘gerbang’ menuju samudra rezeki yang penuh berkah. Kongkritnya, sebelum menerima, kita memberi terlebih dulu. Niscaya, selain mendapatkan rezeki yang lebih dahsyat, apa yang akan kita kerjakan pun terasa mudah dan ringan.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh Ra. Berkata: Seseorang datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah yang bagaimanakah yang paling besar pahalanya” (?) Beliau bersabda; “Engkau bersedekah dalam keadaan sehat, dan sangat membutuhkannya, dan berangan-angan menjadi kaya. Janganlah menunda-nunda sedekah. Sehingga jika ajal telah sampai ke kerongkongan engkau berkata, ‘untuk si fulan sekian, untuk si fulan sekian’.padahal hakikatnya memang harta itu untuk si fulan.”

Filosopi ‘memberi’ makhluk (manusia) dan Kholik (ALLAH) sangat berbeda. Ketika kita sering meminta kepada manusia, satu-dua kali akan biasa, namun jika terlalu sering maka ia akan sangat membencinya. Berbeda dengan ALLAH SWT, semakin sering dipinta, DIA akan semakin mendekap, tetapi semakin jarang meminta dan memohon, maka DIA akan semakin menjauhinya. ‘Gerbang’ menuju permohonan dan permintaan kita kepada ALLAH itulah yang diidentikan dengan sedekah.

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada ALLAH, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan ALLAH), maka ALLAH akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipatan ganda yang banyak. Dan ALLAH-lah Yang menyempitkan serta melapangkan (rezeki). Dan kepada-NYA lah kamu dikembalikan” (QS: Al-Baqarah :245).

So’ dahului-lah pekerjaan kita dengan sedekah!

Berkah Pemimpin Adil

Suatu masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, salah seorang Kisra (Raja) Persia yang adil bijaksana sedang berburu di hutan belantara. Karena asyiknya mengejar buruan, sang Raja terpisah dari pasukannya, padahal saat itu hujan mulai turun. Ia melihat sebuah gubug sederhana dan minta ijin berteduh, yang segera saja diijinkan. Penghuni gubug itu, seorang wanita tua dan anak gadisnya tidak mengenal sang raja, karena saat itu tidak memakai pakaian kebesarannya. Di salah satu sudut gubug itu ada seekor lembu, sang gadis memerah susunya dan memperoleh hasil yang melimpah (banyak sekali), untuk menjamu tamunya tersebut. Sang Raja minum dan ia langsung merasakan kesegarannya. Melihat keadaan itu, terbersit dalam hati sang Raja untuk menerapkan aturan pemungutan cukai (pajak) bagi pemilik lembu. Hal itu akan menjadi sumber pemasukan yang sangat lumayan bagi kerajaan.

Ketika malam menjelang, sang gadis akan memerah susu lembu seperti biasanya, tetapi ia tidak mendapatkan setetes pun, maka ia berseru, “Wahai ibu, sepertinya raja di Istana mempunyai niat jahat terhadap rakyatnya!” Ibunya berkata, “Mengapa engkau berkata seperti itu (?)”. Sang gadis berkata, “Karena lembu ini tidak mengeluarkan susunya walau hanya setetes!” Sang ibu berkata, “Sabarlah, ini masih malam, nanti menjelang subuh, cobalah lagi untuk memerahnya”

Sang raja yang tengah beristirahat di atas tumpukan jerami itu dengan jelas mendengar pembicaraan ibu dan anak tersebut. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Begitu besarkah pengaruhnya dari apa yang aku putuskan dari niatan ini (?)” Ia berkutat dengan pikirannya sendiri, dan akhirnya membatalkan niatnya untuk menarik pajak (cukai) bagi pemilik lembu, yang kehidupan mereka umumnya sangat sederhana. Menjelang subuh, sang gadis mencoba memerah susu lembunya, dan ia memperoleh hasil yang melimpah seperti sebelumnya. Maka ia berseru, “Wahai ibu, rupanya niat jahat sang raja telah hilang, lembu ini telah mengeluarkan susunya lagi!”

Sang ibu mengucap syukur, begitu juga dengan tamu (raja) yang ikut mendengarnya. Ketika hari telah terang, tamu yang juga -sebenarnya- raja, berpamitan dan mengucap terima kasih, tetapi tetap tidak membuka jati dirinya. Tidak lama berselang, datang serombongan pasukan yang membawa ibu dan anak penghuni gubug sederhana itu ke istana raja. Mereka diperlakukan dengan hormat dan penuh penghargaan.

Ketika mereka dihadapkan kepada sang Raja, barulah mereka menyadari kalau tamunya semalam adalah penguasa yang sempat dibicarakan (di ghibah). Mereka berdua meminta maaf, tetapi raja yang bijaksana itu berkata, “Tidak mengapa, tetapi bagaimana engkau bisa mengetahui hal itu (?)”

Sang ibu berkata, “Kami telah tinggal puluhan tahun lamanya di tengah hutan itu. Jika raja yang memerintah berlaku adil dan baik, maka bumi kami ini subur, kehidupan kami luas dan lapang, serta ternak kami banyak menghasilkan. Tetapi jika raja yang memerintah berlaku kejam dan buruk, maka bumi kami ini kering, tanah dan ternak-ternak kami tidak menghasilkan apa-apa, sehingga kehidupan kami menjadi sempit!!”

(Dari berbagai sumber)

Ketika ALLAH Mengingatkan

Seorang pekerja pada proyek bangunan memanjat ke atas tembok yang sangat tinggi. Pada suatu saat ia harus menyampaikan pesan penting kepada teman kerja yang ada di bawahnya. Pekerja itu berteriak, namun temannya tidak dapat mendengar, karena suara bising dari mesin-mesin yang berbunyi. Sehingga usahanya sia-sia saja. Untuk menarik perhatian orang yang ada di bawahnya, ia mencoba melemparkan uang logam di depan orang tersebut. Orang itu berhenti bekerja, mengambil uang itu lalu bekerja kembali. Pekerja itu mencoba lagi, tetapi usahanya yang kedua pun memperoleh hasil yang sama. Tiba-tiba ia mendapat ide. Ia mengambil batu kecil, lalu melemparkannya ke arah orang itu. Batu kecil itu tepat mengenai kepalanya, dan karena merasa sakit, orang itu menengadah ke atas. Sekarang pekerja itu dapat menjatuhkan catatan yang berisi pesan pentingnya.

ALLAH terkadang menggunakan cobaan-cobaan ringan untuk membuat kita menengadah kepada-NYA. Seringkali ALLAH melimpahi kita dengan rahmat, tetapi itu tidak cukup untuk membuat kita menengadah kepada-NYA. Karena itu, agar selalu mengingat kepada-Nya, ALLAH sering menjatuhkan “batu kecil” kepada kita. Seandainya orang yang dilempari uang logam itu “menyadari” bahwa uang tersebut ‘jatuh dari atas’, tentunya dia akan menengadah ke atas sehingga pekerja tadi dapat menjatuhkan catatan pesan pentingnya dan ‘tidak perlu’ menjatuhkan ‘batu kecil’ tersebut.

Demikian dengan kita, seandainya setiap rahmat yang diberikan ALLAH kepada kita, cukup mampu membuat kita menengadah kepada-NYA. Tentunya ALLAH tidak perlu menjatuhkan ‘batu-batu kecil’ kepada kita. Tubuh kita, kesehatan kita, pengetahuan dan ilmu yang ada di pikiran dan hati kita, harta kita, dan semua yang kita anggap milik kita sesungguhnya adalah milik ALLAH, titipan dan amanah dari-NYA.

Semua adalah rahmat yang diberikan ALLAH kepada kita. Seyogyanya kita (kami dan Anda) cukup mampu untuk ‘menengadah kepada-NYA’. Senantiasa bersyukur dan selalu ingat kepada “catatan penting” dari ALLAH SWT.

(Dari berbagai sumber)