Nama aslinya Didi Darmadi, namun terkenal dengan sebutan Jantux. Wajahnya sedikit sangar, rambut panjang bergelombang, serta perawakannya subur namun berotot. Yah, Didi adalah sosok yang kerap kami jumpai di kawasan Cordova office. Meski terlihat ‘sangar’, namun –sesungguhnya- Didi memiliki hati yang mulia. Selain bekerja sebagai ‘tukang parkir’ di sebuah mini market, ia juga merangkap sebagai tukang ojek. Pelanggan ojeknya bukan hanya kalangan WNI, bahkan ia mengaku banyak juga orang ‘bule’ yang menjadi pelanggan setianya. “Setiap pagi saya mengantar ‘bule’ asal Inggris ke kantornya di daerah Sudirman, setelah itu kembali giliran sama teman-teman jaga parkir”, gumam Didi yang hobi menggunakan kacamata hitam kemana pun itu.

Sepintas, orang yang baru pertama melihat penampilannya, akan mengira bahwa Didi adalah seorang Preman. Yah, preman ‘kampung’ yang konon sering mengganggu kepentingan umum. Namun jika mengenal lebih dekat dengan Didi dan teman-teman ‘seperjuangannya’, maka penilaian itu salah. Didi bersama temannya itu, hanyalah sekelompok orang yang mencari nafkah dengan apa yang bisa mereka kerjakan. Bagi mereka, pekerjaan sebagai tukang parkir dan tukang ojek bukanlah suatu pekerjaan yang hina. Bahkan mereka menikmati pekerjaannya, bersemangat mendulang rezeki, -meski- harus berjuang lebih keras untuk survive di tengah geliat kehidupan masyarakat Kemang.

Jika ditelusuri lebih lanjut, tentunya kita akan salut dengan Didi ‘n’ the gank. Bagaimana tidak, dengan penghasilan seadanya, ternyata Didi bisa menyekolahkan adik-adiknya. Ia rela putus sekolah dan bekerja ‘serabutan’ hanya karena lebih memilih agar adik-adiknya lah yang melanjutkan sekolah. Pun demikian dengan M. Tisna, yang terkenal dengan sebutan Dede, atau juga Opick yang akrab di panggil Jawa. Nasibnya hampir sama dengan Didi, bedanya mereka sudah berkeluarga dan memiliki buah hati. Penghasilan mereka pun terfokus untuk mengepulkan dapur serta biaya pendidikan anak-anaknya.

Meski hidup dalam kesederhanaan, jika kita singgah ke tempat ‘nongkrong’-nya, maka akan tampak sebuah kencleng kuning, dibalik kaki besi antena Parabola milik mini market tempat mereka ‘bekerja’. Saat ditanya, ternyata kencleng itu adalah uang rembukan sisa dari uang parkir. Setiap harinya mereka menyisihkan sepuluh persen dari pendapat uang parkir. Lalu setelah terkumpul banyak, mereka serahkan uang itu kepada anak-anak yatim yang berada disekitarnya. Penanggungjawabnya adalah Opick, atau ‘Jawa’. Sosok yang pertama kami kenal di daerah itu, bahkan nyaris menganggap sebagai Preman Kemang Timur saat itu.

Ternyata setelah dekat dan mengenal mereka, banyak sisi positif yang kami dapatkan dari mereka yang nampak ‘terpinggirkan’ oleh kehidupan ibukota. Jiwa yang senantiasa bersyukur, tidak mengeluh, solidaritas, serta apa-adanya. Terkadang kami harus banyak belajar kepada mereka tentang arti kehidupan. Tentang sebuah mental manusia ‘pekerja’, manusia yang penuh rasa, manusia yang terlepas dari zona nyaman.

Kami hanya bisa menatap tawa lepas mereka di balik jendela ber-krey kayu.

Dalam setiap pengambilan sikap, kita dianjurkan untuk menyatakannya dengan tegas dan lugas. Hitam atau putih, maju atau mundur. Pun demikian dalam sebuah komando, sikap prajurit harus menyatakan kesiapannya menyambut tugas dengan sangat respek. Begitupula dalam Islam, Rasulullah SAW mengajarkan untuk selalu tegas dalam mengambil sebuah keputusan. Terlebih antara haram dan halal. Terbebas dari sebuah ketidak jelasan. Menghindar dari posisi abu-abu, antara iya dan tidak, tampak siap namun ragu. Hal demikianlah yang kerap menjadikan peran musuh mudah melakukan apa yang mereka inginkan. Hal demikian pula dapat menggelincirkan sikap serta watak manusia pada suatu sikap yang patut dihindari, yakni kemunafikan. Atau terlampau nyaman dengan zona ‘nyaman’ sehingga sikap yang ‘tampak’ respek terlihat seolah-olah bereaksi, namun pada kenyataannya tiada aksi yang tereksekusi. Kalaupun terjalani atau tereksekusi, itupun hanya berjalan beberapa saat saja, setelah suasana kembali normal, maka ‘perintah’ itu akan kembali terabaikan. Kontinyuitas dan komitmen itulah yang kini menjadi harga mahal bagi kebanyakan masyarakat kita.

Yah dewasa ini, kita kerap dihadapkan dengan kondisi yang kurang jelas, abal-abal atau selalu berhadapan dengan sikap yang tidak lugas. Baik dalam tataran kepemimpinan nasional, maupun dalam scoop yang lebih kecil, antara pimpinan dan bawahan pada sebuah company. Pernyataan ‘siap’ yang terlontar dalam kesiapan kerja –terkadang- hanya merupakan sikap reaksi, namun terkendala dengan aksi riil. Terlepas dari skill yang mumpuni, masalah ini akan memunculkan stigma buruk bagi individu yang terbiasa melakukan reaksi tanpa aksi tersebut.

Namun –tentunya- tidak bisa dikatakan buruk juga, karena ia telah bereaksi, respek terhadap suatu permasalahan (tidak ‘membatu’ alias apatis), tetapi karena kosong dari aksi itulah yang menyebabkan reaksi itu menjadi tidak berguna. Jika kita masih kabur dalam memahami ‘Reaksi tanpa aksi’, marilah sedikit kita ambil sepenggal contoh mengenai banjir yang kerap melanda di setiap sudut kota saat ini. Setiap akan banjir kita sudah bereaksi untuk mencegah banjir itu, baik dengan bersiap untuk di evakuasi dari tempat banjir, atau menyiapkan penghalang agar air tidak masuk ke dalam rumah. Namun aksi untuk mencegah agar banjir itu tidak melanda kembali, menjadi hal yang teramat sulit dilakukan. Biarlah aksi untuk menangani masalah itu dibebankan kepada orang. Bereaksi namun tanpa aksi.

Contoh lain, ketika seorang pemimpin perusahaan memberikan perintah untuk memberikan pelayan yang terbaik kepada setiap client-nya, dengan sigap kita menyatakan kesiapannya. Bereaksi menyambut perintah tersebut, namun disisi lain ternyata kita tidak memberikan pelayanan terbaik bagi dirinya sendiri. Penampilan, performance dan body langunge yang kerap mengendurkan kualitas layanan tersebut. Bukankah hal demikian juga sebagai pertanda reaksi tanpa aksi (?).

Tentunya, tulisan ini bukanlah sebuah ajang men-judge bahwa kita hanya bisa bereaksi namun kosong dari aksi, terlampau lembut dari bahasa ‘OMDO’. Namun menjadi semacam intropeksi diri bahwa untuk menciptakan sesuatu bernilai tinggi, ternyata tidak bisa hanya dengan sikap reaksi atau cukup dengan respect, namun perlu lebih riil dengan aksi yang telah kita rencanakan.

Rasanya kita pernah mendengar istilah ‘Harakiri’, baik melalui artikel atau berita-berita di layar kaca. Atau bahkan melalui aksi laga film-film Jepang. Adegan ‘Harakiri’ selalu menggambarkan sebuah patriotisme para pelakunya. Harakiri atau bunuh diri ala jepang menjadi salah satu tradisi negeri Sakura. Harakiri dilakukan dengan cara menusukkan samurai ke perut sang pelaku hingga tewas. Akan tetapi dewasa ini, tradisi Harakiri berkembang dengan beragam cara, mulai dari menusukkan samurai, menenggak racun, gantung diri, menabrakkan diri di kereta, hingga loncat dari ketinggian tertentu yang mematikan. Harakiri, suatu aksi yang dilakukan oleh masyarakat Jepang karena mereka tahu malu. Semangat Harakiri ini –tentunya- memiliki nilai filosopis yang mencerminkan sebuah budaya pekerja keras, yang sarat dengan rasa malu ketika mereka gagal mengemban amanah kerja, atau failed dalam mengemban tugas. Mungkin kita masih ingat bagaimana Menteri Kesehatan Jepang yang mengundurkan diri karena melakukan kesalahan. Atau pejabat yang akhirnya bunuh diri karena telah melakukan korupsi. Atau pelajar yang bunuh diri karena nilainya jelek. Dan semua peristiwa itu menjadikan orang Jepang menjadi nomor wahid dalam kasus bunuh diri.

Fenomena Harakiri –menurut saya- menarik untuk dikaji, yah terlepas dari tindakan yang “Tidak normal” dengan bunuh dirinya, atau keluar dari batasan norma agama. Bagi –saya- banyak values yang terkandung dalam Harakiri, mengingat peristiwa bunuh diri acap kali muncul di berbagai negeri, pun demikian di negeri kita, Indonesia. Namun aksi ‘Harakiri’ masih sangat menarik untuk dibahas. Tentunya, kita menyadari bahwa ada motif dan spirit yang ‘berbeda’ dalam aksi Harakiri, berbeda dengan kasus-kasus bunuh diri yang kerap terjadi di negeri kita.

Selain motif rasa malu, dalam Harakiri ada juga motif harga diri. Tindakan kamikaze (yang berarti; angin besar. Sebuah gerakan para pilot yang menabrakkan dirinya ke kapal-kapal sekutu untuk menghambat pergerakan musuh yang mendekati Jepang) ini tiada lain adalah bentuk super heroik. Mereka menunjukkan heroismenya tentara Jepang yang melakukan pertempuran hingga titik tenaga dan titik darah terakhir.

Jika boleh disamakan tindakan para Kamikaze ini dengan gerakan Bom mati syahid di Palestina (Al-‘Amalatu Istishadiyyah), bom bunuh diri, menghancurkan musuh dengan menghantamkan dirinya yang telah dililitkan dengan bahan peledak. Tentu substansinya berbeda, namun motifnya sama. Mempertahankan harga diri tanah dan Bangsanya.

Bunuh diri yang teramat unik ini. Memiliki spirit yang –sepatutnya- menjadi pelajaran untuk kita semua. Pesan dari Harakiri ini –tentunya- bukan mengajarkan kita untuk bunuh diri, namun lebih kepada pesan moral “Tahu Malu-lah”, yang kemudian menjadi semangat untuk berintropeksi agar berbuat lebih baik lagi.

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya kisaran bulan April – Mei tahun ini, media massa banyak mengangkat tentang spanduk-spanduk yang bertuliskan ‘Negeri Auto Pilot’ yang dipasang di beberapa titik keramaian Ibukota. Karena pesannya begitu ‘dalam’ dan –mungkin juga- banyak membuat ‘panik’ beberapa pihak, maka spanduk-spanduk itu tak bertahan lama. Dalam pandangan kami, kalimat Auto Pilot itu sendiri memiliki dua pemahaman yang teramat dalam, dan menarik untuk dibahas, hingga ruang lingkup dunia bisnis sekalipun. Yah, ada dua sisi positif dan negatif jika kita melihat penggalan kata ‘Auto Pilot’ itu sendiri. Kita tidak akan membahas tentang persoalan spanduk-spanduk bertuliskan ‘Auto Pilot’ di titik ramai Ibukota seperti bahasan diatas. Namun lebih mengangkat tentang persoalan baik dan buruknya sebuah Perusahaan Auto Pilot. Seperti dua mata sisi yang terdapat dalam uang logam, keduanya akan membentuk sebuah perspektif ketika gambar mana yang akan digunakan.

Jika ‘gaya’ perusahaan menggunakan ‘Auto pilot’ tanpa goal, atau tanpa sebuah tujuan, maka inilah yang akan membawa ‘Auto pilot’ itu akan hancur berkeping. Tiada arah tanpa landasan, tiada tujuan tanpa arah. Semua terombang dalam kebingungan. Entah kemana langkah itu kan tertuju. Tiada kebersamaan dalam komando, bersatu dalam kepentingan individu, beratap dalam skill individu yang tak bersinergi. Ia terbang kemana arah angin meniupnya, tanpa landasan yang akan menyelamatkan dalam kubangan besar bernama company. Tidak jelasnya arah itulah yang membuat sistem ‘Auto Pilot’ menjadi tidak berguna sedikit pun.

Berbeda jika sistem ‘Auto Pilot’ itu memiliki visi yang jelas dalam melangkah, mungkin perjalanan itu akan sangat berbeda, bahkan menghasilkan suatu wish coming true. Dengan balutan visi yang jelas dalam menggunakan systemAuto Pilot’ maka bangunan perusahaan itu akan terhindar dari siklus negatif yang kerap melanda dunia bisnis; Generasi pertama membangun, generasi kedua menikmati, sedangkan generasi ketiga menghabiskan.

Awalnya, auto pilot berarti sistem mekanikal, elektrikal, termasuk hidraulik yang memandu sebuah pesawat atau kapal tanpa campur manusia. Namun karena terlihat efisien dan efektif, lama-kelamaan, ini digunakan juga dalam dunia bisnis. Salahsatunya menuangkan visi-visi suatu company, baik dalam bentuk road map dalam jangka waktu panjang ataupun pemaparan kerja selama beberapa waktu ke depan (visi-Misi).

Dengan sistem auto pilot yang dilengkapi dengan arah yang jelas, maka semua perangkat yang memfasilitasi ‘penerbangan’ company itu, dapat melintasi antariksa sekalipun, -tentunya- dengan sangat mudah terjangkau. Semua skill ‘awak’ penerbangan itu bersinergi dalam mengawal dan mensukseskan perjalanan bisnis perusahaan tersebut.

Karenanya, apapun yang terlontar dari ungkapan Cordova Founding Father beberapa waktu lalu senantiasa mengandung arti dalam mensukseskan pijakan Cordova selanjutnya.

So’ Auto Pilot adalah dua perspektif yang akan mengubah pandangan kita tentang kinerja dan loyalitas kerja.

Hidup adalah berpikir. Karena segala perjuangan hidup tak lepas dari aktivitas pikir. Dengan pikiran, Islam pun tegak dalam peradaban yang penuh adab, pikiran juga mampu menciptakan segala sesuatu berjalan sesuai dengan buah pikirnya. Islam datang bermula dari kata verbal yang connecting jua dengan aktivitas berpikir. Setelah Islam menyebar ke-seantero Bumi, intisari pelajarannya banyak diserap dan digunakan justru oleh pihak yang ingin merebut peradaban Islam yang sudah sangat terkenal dengan kekuatan pikir serta spirit ke-islamannya. Pikiran adalah anugerah ALLAH yang paling besar dan terindah. Dengan memahami cara bekerja dan mengetahui bagaimana cara mendayagunakan kekuatan pikiran, kita dapat menciptakan hal-hal terbaik bagi kehidupan. Dengan melatih dan mengembangkan kekuatan pikiran, selain kecerdasan intelektual dan kecerdasan kreatif kita meningkat, juga secara bertahap kecerdasan emosional, bahkan kecerdasan spiritual kita akan bertumbuh dan berkembang ke tataran yang lebih tinggi.

Pikiran adalah sebuah kerajaan terkadang tanpa tuan. Dikatakan kerajaan tanpa tuan karena mahkota tampuk kerajaan berpindah-pindah dari kekuasaan satu ke kekuasaan lain dalam tempo sesingkat-singkatnya, atau bahkan bercokol agak lumayan lama bertahan tergantung dari mood. Suasana kerajaan ini sering terjadi hingar-bingar, sunyi, sepi, silih berganti.

Bayangkan jika kita berada dalam situasi dimana tempat tinggal kita tanpa ada kekuasaan yang jelas. Tentu banyak saja sisi empuk untuk duduk di tempat tersebut. Maksudnya, karena kekosongan temporary, pikiran ini mudah berganti fokus perhatian seperti memutar pita kaset saat menekan fwd. Isi pikiran atau perhatian mudah berganti-ganti secara cepat dan random.

Imaginasikan sesuatu hal yang indah, menajubkan, dalam benak lalu bayangkan kita terlibat di dalamnya. Bagaimana kondisi perasaan saat itu (?) Boleh jadi kita dalam keadaan nyaman, kondusif, positif, dan PeDe. Boleh percaya boleh tidak. Sesungguhnya imajinasi adalah awal proses awal penciptaan di dunia maya. Semakin dan berulang imajinasi muncul dalam pikiran dan perasaan, maka dunia universal/alam semesta akan menerjemahkan imajinasi tersebut dalam dunia nyata.

Sisi paradigma orang-orang suci, bijak, leader memang agak berbeda dengan kebanyakan umumnya. Mereka melihat dunia bukan berarti aneh, tetapi penuh dengan daya kreatifitas, dan unik. Perpaduan selaras, harmoni antara pikiran, perasaan, alam semesta yang didukung dengan penuh kebahagian akan menarik daya khayal ke dunia realita secara cepat, terkadang sangat cepat dan tak terduga. Demikianlah orang-orang unik yang mungkin di Bumi ini hanya berjumlah hitungan jari.

Essai Palestina

Masih sulit untuk dibayangkan, ketika pijar api itu menggulung rumah yang bertahun-tahun mereka pertahankan. Dengan keringat, bangunan batu-bata itu tersusun, kini tinggalah ponggahan dan puing yang mengenaskan. Mereka memasang sebuah rumah dalam lekuk aliran darah di mana kepergian adalah juga kepulangan. Di sana, berlapis-lapis musim senantiasa menemuinya dalam hujan. Kisah-kisah tentang bangsa yang mencari rumahnya kembali di ujung tangisan. Barangkali, kepiluan adalah batu-batu yang dirawat oleh sejarah tempat kebanggaan menjadi masa lalu. Sebuah bangsa yang hilang dalam egoisme yang tak berujung. Di sana rumah mereka benar-benar berangkat dalam pengembaraan panjang di antara pekuburan tanpa jeda. Begitu panjang dan melirih.

Namun kami masih saja mempercayai sebuah rumah tetap mengalir dalam mimpi panjang sebuah bangsa yang terus terusir. Tanah-tanah yang memasang pijaran lampu di mana kanak-kanak menatapnya dalam gairah. Mereka berlari kesana-kemari memutari bangunan rumah yang luasnya hanya sepetak, bermain petak umpat dengan anak-anak tetangga. Tertawa lepas, terseyum manis dengan kepangan rambut yang membuat setiap orang gemas dan rindu. Kini rumah itu telah menjadi lubang jagal bagi mereka. Anak-anak harus petak umpat dengan martil dan peluru yang entah muncul dari mana. Rumah tempat merebahkan diri dan berlindung dari panas dan dingin itu, kini telah menjadi bangunan yang menghancurkan tubuh mungil itu. Mematahkan tulang-tulang kecil, meremukkan susunan tubuh cantik anak-anak Palestina. Balita cantik berkepang dua itu, kini telah di tandu kaku bersama puluhan bocah lainnya. Di rumah itu, rumah yang menjadi dunianya.

Rumah yang terus saja terbit setiap pagi menjatuhkan kabut itu tak menemukan tanahnya lagi. Hikayat-hikayat telah menerbangkannya dalam berlembar-lembar puisi yang tak pernah terbaca. Tangisan yang tak lagi ber-airmata, dan jeritan yang tak bersuara. Semuanya menyatu dengan rasa yang penuh duka. Wajar jika –saya- dan mungkin juga Anda masih bisa berjalan dengan tegak, karena masih dapat menyaksikan, memeluk dan menciumi buah hati tercinta di sebuah rumah yang nyaman. Rumah yang terhindar dari hiruk pikuk dan desingan suara rudal. Hallo (?) Ini Jakarta Bung, bukan Gaza! Hmm… yup, benar. Namun setidaknya simpati ini menjadi kepingan doa yang terbang bersama semangat mereka.

Mereka memasang sebuah rumah dalam lekukan aliran darah, di mana tangisan adalah juga ketakberdayaan. Pada kelokan di mana kehilangan bertemu dengan cahaya bulan yang penuh tumpahan darah itu rumah menjadi demikian jauh di pelupuk mata. Lalu mereka mungkin sedang berjalan ke pemakamannya sendiri. Menjadikannya kisah tertinggal disetiap jejak kematian antara luka dan dendam. Di sana, mereka mencari rumah. Senantiasa saling mencari di antara kabut dan peperangan. Diantara keserakahan dan kebuasan yang bernama manusia.

*Untuk (Syuhada) anak-anak Palestina, sambutlah rumah indah di Surga-Nya

Setiap akan tiba tahun baru, mindset kita sudah terfokus pada suasana yang meriah, aneka kembang api, pesta pora, dan sejumlah hiburan lainnya akan mengawali langkah di tahun baru. Yah, itulah fenomena pesta Tahun Baru Masehi, yang gebyar-nya selalu terasa bersamaan dengan hari natal sebelumnya. Berbeda dengan pergantian tahun baru Islam, -meski- gebyarnya dirasa kurang ‘merasuk’ pada setiap masyarakat muslim, namun –sesungguhnya- substansi hijrah itulah yang diharapkan mampu menjadikan kita memiliki harap yang lebih besar dibanding dengan perayaan Tahun baru Masehi. Harapan baru tentang bagaimana –sejatinya- seorang muslim melangkah, tentang bagaimana seorang Haji mempertahankan kemabrurannya. Dan tentang bangsa yang harus keluar dari jeratan sakit yang berkepanjangan. Harapan baru di awal berkahnya Hijriyyah.

Hampir disetiap peralihan tahun baru, setiap kita selalu memiliki harapan lebih baik dalam melangkah. Beralih dari hal tidak baik menuju yang lebih baik, dari kondisi menjenuhkan pada situasi yang penuh dengan inspiratif. Dan dari hal-hal yang berbau usang menuju kondisi serba anyar. Pola kerja, sistem kerja, dan hal-hal “kata kerja” inilah yang –sesungguhnya- terlampau usang untuk dibicarakan. Tetapi yang patut dijadikan inspirasi dalam mengawali tahun baru justru berada pada kata sifat ‘Semangat’ dan ‘Harapan’. Yah, bagaimana konteks semangat dan harapan itu dapat menguasai setiap jejak yang akan terpijaki.

Bukan hanya diawal tahun baru tentunya semangat dan harap itu harus tetap terjaga. Tetapi menjadikan tahun baru sebagai momentum Re-Charge Semangat Baru adalah sesuatu yang sejatinya berkobar di setiap mengawali tahun baru. Jika semangat telah terpatri, maka apapun yang dikerjakan akan sangat mudah dan penuh dedikasi. Itulah kenapa Umar bin Khattab mencetuskan ide pembuatan kalender Hijriyah, sepenuhnya karena dilandasi semangat keislaman yang sangat kuat.

Begitu pula dengan Sultan Shalahudin Al-Ayubi, ketika menjadi Panglima perang Islam saat menghadapi kaum salibis, ia membakar semangat umat Islam yang pada saat itu terkesan berada pada titik stagnan. Sultan Shalahudin menabuh perang dengan mencetuskan sebuah perayaan ‘Maulid Nabi’ yang tak pernah ada sebelumnya. Dengan perayaan itu, Sang Sultan berharap semangat Umat Islam kembali naik dengan mengenang sekaligus merefleksi bagaimana perjuangan Rasulullah dalam menegakkan agama Islam. Begitu juga dengan Panglima Thariq bin Ziyad yang mampu menguasai Spanyol dengan membakar satu-satunya kapal laut milik umat Islam setelah di kepung oleh tentara Nasrani di pesisir pantai. Ide pembakaran itu tiada lain mengobarkan semangat juang tentara Islam untuk menghadapi musuh yang sudah di depan mata. Walhasil Islam berhasil masuk dan menguasai Andalusia.

Sejarah dan pembelajaran di atas, tentunya mengandung hikmah yang sangat dalam di mata umat Islam. Betapa pentingnya mencipta dan memelihara semangat dan memiliki harap, karena tanpa semangat dan harapan, mustahil Islam akan berada di belahan bumi yang secara letak geografis sangat sulit tuk disinggahi.

Jika pada peralihan tahun baru hijriyyah ini, kita tidak memiliki harap dan semangat dalam melangkah, maka peristiwa besar dalam dunia Islam itu kita lewatkan seperti hari biasa saja, flat dan tak bergairah. Tidak menjadikan momentum Hijriyyah sebagai tolak ukur perubahan sikap. Setidaknya, -pada kesempatan itu- kita berharap bahwa tahun depan semua langkah kita masih tetap terjaga dan terberkahi.

Pahlawan adalah manusia misterius. Karya tanpa nama, keberadaanya tiada namun berasa. Terpuruk, terluka, demi bangsa dan agama –Cordova Founding Father-

Pagi itu, gerbang menuju pemakaman tua baru saja terbuka. Ratusan langkah mulai menapaki anak tangga di sebelah utara tempatku menginap. Ratusan bahkan ribuan pusara dan batu nisan berjejer rapi. Tidak ada yang unik, semuanya hampir sama bentuk dan panjang-nya makam-makam itu. Jarak antara satu makam ke makam lain hanya berapa kasta saja, antara blok satu dengan blok lain di batasi jalan untuk mereka yang berziarah. Meski tanpa pohon kemboja yang selalu menghiasi makam di Tanah Air, ratusan nisan itu tetap terlihat bersih dan terawat. Tidak pula berlapis semen, atau keramik mewah. apalagi berlapis emas atau replika helm diatas pusaranya. Nisan yang dijadikan sebagai petunjuk itupun hanya seponggah batu biasa. Hanya sebagai tanda, bahwa area itu adalah makam seseorang. Makam manusia mulia yang merupakan pahlawan sebenarnya.

Yah, di dalam sana jasad manusia-manusia mulia terkujur. Tanpa terukir sedikit pun nama dan jasa mereka. Tanpa hiruk pikuk pro dan kontra, layak atau tidak bergelar pahlawan. Kontribusinya sangat jelas dan terasa oleh jutaan manusia hingga kini. Saya tidak begitu paham tentang letak sahabat Rasul yang satu dengan yang lain, karena memang bentuknya sama rata. Tidak ada perbedaan antara raja dan budak, kaya dan miskin, semuanya sama bernisan batu. Hanya beberapa sahabat dekat Rasul saja yang –mungkin- di yakini letaknya dimana, itu pun kerap diakhiri oleh empu (penjaga) Makam Baqi itu dengan ungkapan Wallahu ‘alam.

Saya tidak akan memperpanjang tentang dimana letak makam sahabat Rasulullah SAW itu berada, saya hanya ingin mengkorelasikan makna pahlawan hakiki dengan pemahaman pahlawan yang banyak diperdebatkan di negara kita. Tentang bagaimana para pahlawan diberlakukan oleh kita sebagai penerima tongkat estafeta kehidupan beragama dan berbangsa. Siapa –sebenarnya- yang layak menerima gelar pahlawan (?)

Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan-nya. Tetapi apa cukup mereka hanya menjadi sebuah simbol yang akan ramai dikunjungi saat ritual penghormatan setiap 10 November (esok hari) di atas batu nisan (?) Hemat saya –justru- Bangsa ini akan besar ketika attitude dan action para pahlawan dapat menyemangati segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak lantas dengan segala ‘kepentingan’ berebut tuk mendapatkan empati sebagai pengusung ‘Sang Pahlawan’, tetapi sikap dan jasa sosok yang di usung melebur usai upacara ‘Penghormatan’ itu.

Menurut pandangan saya, siapapun memiliki kans sebagai Pahlawan, tidak terkecuali mereka yang melakukan perjalanan haji menuju Baitullah. Selain menyempurnakan bangunan keislamannya, rangkaian doa mustajabnya kerap memberikan sentuhan Ilahiyyah guna kemakmuran bangsa. Karena tanpa elemen itu, Indonesia tak kan pernah mampu bertahan menuju suatu kenikmatan berbangsa dan bernegara. Terlebih bagi mereka yang gugur dalam kesucian di tanah-Nya. Mereka bukan hanya sebagai haji yang mabrur, tetapi pahlawan dan duta Bangsa yang mengharumkan Bangsa di atas nisan yang penuh dengan keberkahan.

Saya kembali pada gambaran dihadapan saya pada makam Baqi, dihadapan nisan yang tak bertuan, makam yang penuh berkah, makam pahlawan sesungguhnya, pahlawan yang tak ingin namanya terukir diatas ukiran apapun, pahlawan sejati yang membela kebenaran seutuhnya. Mereka terpuruk, terluka dan terkoyak hanya demi kemuliaan anak-cucu dan bangsanya. Pun demikian, semoga para Pahlawan bangsa ini selalu diberikan tempat yang terindah di sisi-NYA. Juga memberikan semangat kepahlawanan bagi kita semua, seperti kata Cordova Founding Father di atas; Mereka adalah manusia misterius, berkarya tanpa nama.

Jakarta, 25 Oktober 2012.

Wukuf Live adalah event tahunan Cordova yang telah berlangsung sejak smartHAJJ 2008/ 1429 H. Kegiatan lepas kangen antara jamaah smartHAJJ di Tanah Suci dengan keluarga di Tanah Air yang Cordova fasilitasi dengan video conference melalui satelit Inmarsat menggunakan teknologi BGAN ini membuat sensasi emosi smartHAJJ membumbung tinggi di Arafah.

Wukuf di Padang Arafah adalah peristiwa yang sangat besar di muka Bumi. Bagi umat manusia, -sesungguhnya- tidak ada peristiwa yang terdahsyat selain apa yang terjadi di hari ini, di hamparan Padang Arafah. Dimana ALLAH SWT, Pencipta, Pemilik dan Penguasa Alam Raya, turun langsung ke Langit Bumi, menembus relung jiwa manusia muslim di hamparan Arafah. Membangga-banggakan manusia muslim yang sedang wukuf kepada para Malaikat-Nya. Peristiwa Besar inilah (Wukuf) yang sepatutnya dikenal dan dipahami secara luas oleh masyarakat muslim di Indonesia, terutama bagi anak dan keluarga mereka yang berada di Arafah.

Arafah adalah tempat dipertemukan kembali Adam dengan Hawa dalam kasih sayang dan ampunan Allah, peristiwa monumental tersebut diabadikan dalam prosesi terpenting ibadah haji yaitu Wukuf Arafah. Sebagai rukun haji, Wukuf di Arafah menjadi indicator sah-tidaknya seseorang berhaji sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Haji itu (wukuf di) Arafah. Sudah menjadi tradisi setelah mengikuti wukuf Arafah dengan sholat berjamaah, mengikuti khutbah Arafah, berdoa dan dzikir bersama, para jamaah saling bermaafan dan mengucapkan selamat satu dengan lainnya.

Dengan berkembangnya teknologi, permohonan maaf juga dilakukan para jamaah kepada keluarga terdekatnya yang ada di Tanah Air. Suasana yang sarat emosi jiwa dalam rasa syukur yang kuat atas terselenggaranya prosesi terpenting ibadah haji, wukuf di Arafah. Keharuan paling dalam dirasakan antara orang-tua dengan anaknya yang terhalang jarak, kerinduan yang terpendam sepeninggal orang-orang terkasihnya melakukan perjalan haji akan tertumpah saat mereka “dipertemukan” melalui video conference di Aula Cordova di daerah Kemang.

Momentum sakral wukuf selalu menjadi ‘Primadona’ dalam setiap etape perjalanan haji. Untuk ke-5 kalinya pelaksanaan wukuf menjadi ajang ‘Klimaks’ dalam menyambungkan rasa antara mereka yang melaksanakan wukuf di Arafah dengan keluarga tercinta di Tanah Air. Selain itu, Cordova juga mencoba untuk mengkoneksikan kepedulian mereka dengan saudaranya yang tertimpa musibah. Menyapa, berdo’a dan mengumpulkan dana untuk sekedar memberikan motivasi, bahwa mereka yang tertimpa musibah di seantero negeri masih memiliki saudara yang selalu mendoakannya di Tanah Suci.

Seperti estafeta wukuf live tahun 2010, keluarga dan anak-anak jemaah haji yang berada di Arafah telah berhasil mengumpulkan dana kemanusiaan untuk korban Merapi. Tahun ini, dengan semangat Care & Share, semoga bisa memberikan yang terbaik pula bagi mereka yang terkena Musibah di manapun. Apapun bentuk bantuan itu, bisa materi ataupun doa-doa Arafah yang pasti di ijabah.

Wukuf Live yang mengusung konsep ‘Care & Share’ ini sekaligus ikhtiar dari pengejawantahan makna Mabrur yang berimplikasi pada kebaikan dan rasa peduli terhadap sesama.

Arafah adalah tempat di wilayah Makkah Al-Mukarramah yang menjadi berkumpulnya para jamaah haji dari seluruh dunia. Hadir Arafah merupakan salah satu rukun haji, sehingga tidak sah ibadah haji seseorang jika tidak hadir di Arafah. Abdurrahman bin Ya’mar meriwayatkan bahwasanya sekelompok manusia dari suku Najd mendatangi Rasulullah SAW pada saat beliau di Arafah. Kemudian mereka bertanya kepada beliau, sehingga Rasulullah SAW memerintah mereka seraya menyeru, “Haji adalah (hadir) di Arafah.” (HR. Tirmidzi). Arafah menjadi hari kesembilan di bulan Dzulhijjah. Arafah yang berarti mengetahui, memiliki pengertian bahwa mimpi yang terjadi pada Kholilullah Ibrahim AS adalah benar berasal dari ALLAH SWT. Sebelumnya, nabi Ibrahim mengalami fase keraguan (hari tarwiyah) apakah mimpinya berasal dari ALLAH atau tidak.

Setelah melalui proses verifikasi-kritisisme, Nabi Ibrahim mengetahui dan meyakini kebenaran mimpinya di hari Arafah. Tibalah keesokan harinya Yaum An-Nahr (hari penyembelihan) yang menjadi tonggak pelarangan pengorbanan manusia dalam mendekatkan diri kepada ALLAH SWT.

Arafah merupakan miniatur Alam Mahsyar, tempat seluruh manusia dibangkitkan dari alam kubur untuk dihitung amal kebaikan dan keburukannya (hisab). Maka pengertian Arafah memberikan kesadaran bagi manusia dalam hubungannya dengan Rabb-nya, sesamanya dan alam semesta, sehingga mereka mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk kehidupan abadinya di akhirat.

Peristiwa monumental yang terjadi di hari Arafah antara lain turunnya wahyu terakhir kepada Rasulullah SAW, penegasan tidak diperkenankannya kaum musyrikin melakukan ibadah di sekitar Ka’bah, dan penegasan deklarasi hak asasi manusia (HAM) pertama di dunia yang menjadi tonggak sejarah bagi berkembangnya penghormatan prinsip-prinsip HAM pada saat ini.

Latar belakang tersebut menjadikan hari Arafah memiliki keagungan dibandingkan dengan hari-hari lainnya, di antaranya: Pertama, menjadi hari pengampunan dosa dari ALLAH SWT karena banyaknya hamba yang beribadah semata-mata untuk diri-Nya.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika hari Arafah tiba, ALLAH SWT turun ke langit dunia dan berfirman kepada para malaikat, ‘Lihatkan kepada para hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dengan bersusah payah, mereka datang dari berbagai penjuru yang jauh. Saksikanlah! Bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka.’

Para Malaikat berkata, ‘Wahai RABB-ku, (diantara manusia itu) ada lelaki yang senantiasa mensucikan-Mu, mengagungkan-Mu dan lain sebagainya.’ ALLAH SWT berfirman, ‘Aku telah ampuni dosa-dosa mereka.’ Rasulullah SAW bersabda, “Maka sungguh tiada hari yang lebih besar pembebasannya dari api neraka dari pada hari Arafah.” (HR. Ibnu Huzaimah).

Kedua, dilipatgandakannya amal kebajikan yang dilakukan oleh para jamaah haji di Makkah dan disunahkannya bagi yang tidak haji untuk melakukan puasa Arafah. Dari Abu Qatadah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Puasa Arafah dapat menghapus dosa-dosa yang telah lalu dan dosa tahun depan.” (HR. Ibnu Huzaimah).

Ketiga, banyaknya rahmat yang dilimpahkan oleh ALLAH kepada manusia, sampai-sampai setan berkecil hati pada hari Arafah tersebut. Dari Talhah bin Abdullah bin Kariz RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setan tidak melihat bahwa suatu hari dirinya merasa kecil, hina, teraniaya dan teremehkan daripada hari Arafah. Hal itu tidak lain karena ia melihat banyaknya rahmat dan ampunan dosa besar yang diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana pada saat Perang Badar.”

Demikianlah keagungan hari Arafah, semoga ALLAH SWT memberikan keringanan kepada kita dalam mengagungkan hari mulia-Nya dengan memperbanyak kebajikan dan berpuasa, sehingga kita dijadikannya sebagai hamba agung nan mulia.

(Dari Berbagai sumber)