Arafah adalah tempat di wilayah Makkah Al-Mukarramah yang menjadi berkumpulnya para jamaah haji dari seluruh dunia. Hadir Arafah merupakan salah satu rukun haji, sehingga tidak sah ibadah haji seseorang jika tidak hadir di Arafah. Abdurrahman bin Ya’mar meriwayatkan bahwasanya sekelompok manusia dari suku Najd mendatangi Rasulullah SAW pada saat beliau di Arafah. Kemudian mereka bertanya kepada beliau, sehingga Rasulullah SAW memerintah mereka seraya menyeru, “Haji adalah (hadir) di Arafah.” (HR. Tirmidzi). Arafah menjadi hari kesembilan di bulan Dzulhijjah. Arafah yang berarti mengetahui, memiliki pengertian bahwa mimpi yang terjadi pada Kholilullah Ibrahim AS adalah benar berasal dari ALLAH SWT. Sebelumnya, nabi Ibrahim mengalami fase keraguan (hari tarwiyah) apakah mimpinya berasal dari ALLAH atau tidak.

Setelah melalui proses verifikasi-kritisisme, Nabi Ibrahim mengetahui dan meyakini kebenaran mimpinya di hari Arafah. Tibalah keesokan harinya Yaum An-Nahr (hari penyembelihan) yang menjadi tonggak pelarangan pengorbanan manusia dalam mendekatkan diri kepada ALLAH SWT.

Arafah merupakan miniatur Alam Mahsyar, tempat seluruh manusia dibangkitkan dari alam kubur untuk dihitung amal kebaikan dan keburukannya (hisab). Maka pengertian Arafah memberikan kesadaran bagi manusia dalam hubungannya dengan Rabb-nya, sesamanya dan alam semesta, sehingga mereka mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk kehidupan abadinya di akhirat.

Peristiwa monumental yang terjadi di hari Arafah antara lain turunnya wahyu terakhir kepada Rasulullah SAW, penegasan tidak diperkenankannya kaum musyrikin melakukan ibadah di sekitar Ka’bah, dan penegasan deklarasi hak asasi manusia (HAM) pertama di dunia yang menjadi tonggak sejarah bagi berkembangnya penghormatan prinsip-prinsip HAM pada saat ini.

Latar belakang tersebut menjadikan hari Arafah memiliki keagungan dibandingkan dengan hari-hari lainnya, di antaranya: Pertama, menjadi hari pengampunan dosa dari ALLAH SWT karena banyaknya hamba yang beribadah semata-mata untuk diri-Nya.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika hari Arafah tiba, ALLAH SWT turun ke langit dunia dan berfirman kepada para malaikat, ‘Lihatkan kepada para hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dengan bersusah payah, mereka datang dari berbagai penjuru yang jauh. Saksikanlah! Bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka.’

Para Malaikat berkata, ‘Wahai RABB-ku, (diantara manusia itu) ada lelaki yang senantiasa mensucikan-Mu, mengagungkan-Mu dan lain sebagainya.’ ALLAH SWT berfirman, ‘Aku telah ampuni dosa-dosa mereka.’ Rasulullah SAW bersabda, “Maka sungguh tiada hari yang lebih besar pembebasannya dari api neraka dari pada hari Arafah.” (HR. Ibnu Huzaimah).

Kedua, dilipatgandakannya amal kebajikan yang dilakukan oleh para jamaah haji di Makkah dan disunahkannya bagi yang tidak haji untuk melakukan puasa Arafah. Dari Abu Qatadah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Puasa Arafah dapat menghapus dosa-dosa yang telah lalu dan dosa tahun depan.” (HR. Ibnu Huzaimah).

Ketiga, banyaknya rahmat yang dilimpahkan oleh ALLAH kepada manusia, sampai-sampai setan berkecil hati pada hari Arafah tersebut. Dari Talhah bin Abdullah bin Kariz RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setan tidak melihat bahwa suatu hari dirinya merasa kecil, hina, teraniaya dan teremehkan daripada hari Arafah. Hal itu tidak lain karena ia melihat banyaknya rahmat dan ampunan dosa besar yang diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana pada saat Perang Badar.”

Demikianlah keagungan hari Arafah, semoga ALLAH SWT memberikan keringanan kepada kita dalam mengagungkan hari mulia-Nya dengan memperbanyak kebajikan dan berpuasa, sehingga kita dijadikannya sebagai hamba agung nan mulia.

(Dari Berbagai sumber)

Sang waktu terus berlalu. Tak terasa musim haji kembali tiba. Tiga juta muslim dari segala penjuru kini tumpah-ruah di bumi bersejarah Makkah. Mereka bersimpuh di hadapan Ka’bah, kiblat seluruh muslim dunia. Nabi Ibrahim AS telah tiada, namun kedalaman tauhid Khalilullah beserta keluarganya selalu dikenang hingga kini. Pengabdian yang tulus kepada Rabb-nya, tidak pernah membuat mereka menawar perintah Allah Ta’ala. Meski kadang perintah itu tak masuk nalar manusia. Kini, mata seluruh muslim dunia tertuju ke sana. Mereka yang beragam suku dan budaya disatukan dengan satu syi’ar: “Labbaik, Allahumma labbaik… Labbaik laa syarikalaka labbaik…” Ka’bah yang menjadi sentral, selalu memunculkan kedengkian dari dulu kala. Raja Abrahah, pernah membangun tempat ibadah begitu besar dan indah di Yaman untuk menandingi keagungannya. Tapi, seorang Arab badui justru membuang hajat di sana. Abrahah marah dibuatnya. Dengan tentara gajah, ia menuju ke Makkah untuk menghancurkan Ka’bah. Niat itu tidak terwujud, karena seperti kata Abdul Muthallib, “Ka’bah itu milik Allah, Dia yang akan menjaganya.” Burung Ababil pun berpesta pora.

Ka’bah juga memunculkan kecemburuan bangsa Yahudi. Saat di Madinah, mereka berdebat soal rumah ibadah pertama di dunia. Yahudi bersikeras bahwa di Baitul Maqdis rumah ibadah pertama dibangun. Sampailah hal ini ke telinga Nabi Saw. Allah kemudian menjawab melalui firman-Nya, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadat manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi …” (QS 3: 96).

Saat ditegaskan bahwa agama selain Islam tertolak, orang Yahudi berkata, ‘kalau begitu kami Islam’. Saat ditandaskan, ‘kalau kalian Islam, Allah mewajibkan haji untuk kaum muslimin ke Mekkah.’ Namun, gengsi yang begitu tinggi membuat mereka berujar, ‘yang demikian tidak pernah diwajibkan atas kami.’ Itu sebabnya, dalam ayat selanjutnya disebutkan, “Katakanlah, Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha menyaksikan apa yang kamu kerjakan?”. Demikian asbabun-nuzul menyebutkan.

Apa yang melatarbelakangi sikap Yahudi (?) Tak lain adalah klaim mereka sebagai ‘bangsa pilihan’ yang akan mendapat ‘tanah yang dijanjikan’. Meski pensifatan dalam kitab suci mereka mengarah bahwa hal itu sudah muncul; bahwa umat yang dipilih adalah Muhammad Saw; dan tanah yang dipilih adalah Makkah, namun mereka tak menerima kenyataan ini. Kedengkian membutakan mereka hingga selalu mencari dan mencari. Dan itu berlangsung hingga kini. Zionisme kemudian dibentuk untuk menyambut ilusi ‘jadwal Tuhan’.

Erzt Israel (negara Israel) kemudian menjadi missi yang ditetapkan. Yahudi bermimpi mendatangkan masa keemasan kerajaan Israel di era Nabi Daud dan Sulaiman dulu. Tiba-tiba, bangsa yang gemar membunuh Nabi utusan Allah ini, merasa sebagai ahli waris. Padahal sejarah mencatat, bagaimana ideologi paganisme Mesir kuno begitu mengakar dalam
bangsa ini dan bukan tauhid; ajaran para Nabi. Bukankah mereka pernah meminta dibuatkan patung sapi sesaat setelah diselamatkan Nabi Musa dari Fir’aun (?) Secara biologis mungkin mereka bisa mengklaim sebagai anak turun Nabi Israel, namun secara ideologis, terlalu jauh untuk menyebut mereka sebagai pewaris.

Negara Israel impian dideskripsikan lokasinya ‘dari sungai Nil sampai sungai Eufrat Tigris’. Dalam Konperensi Perdamaian di Versailles pada 1919, batas wilayah negara Israel selanjutnya ditetapkan: di Utara meliputi Shaida (Lebanon) dan Damsyiq (Suriah), di Timur mencakup Amman (Yordania) dan Aqaba, sedang di Barat sampai di El-Arish Mesir. Luas Erzt Israel dengan demikian sama dengan dua kali lipat luas wilyah Israel sekarang. Demikianlah, ekspansi perluasan wilayah Israel nampaknya tinggal soal waktu. Dan konflik di Timur Tengah, belum ada tanda-tanda akan padam.

Dan inilah sumber banyak konflik di dunia hari ini. Ambisi Israel yang didukung negara Barat memparadekan kedzhaliman secara kasat mata. Bangsa Barat seolah menafikan lolongan dan protes bangsa lain. Lembaga Internasional semacam PBB juga mandul, karena sejatinya merekalah yang menerbitkan akte notaris berdirinya Israel di Palestina. Dan inilah pemicu yang menggerakkan banyak pemuda untuk membela saudaranya… dengan segenap cara dan keyakinannya. Tak terkecuali, Usamah bin Laden. Ia harus meninggalkan kasur empuk, berpindah ke goa-goa Afghanistan demi membuat perhitungan.

Popularitas Israel sebagai bangsa cerdas, tidaklah diragukan. Ragam kekuatan yang mereka miliki dari ekonomi, militer dan lobi membuat seolah mereka bisa berbuat apa saja. Yahudi sadar, bahwa potensi ancaman atas missi Israel Raya adalah Islam. Karena selain lokasinya di negeri muslim, Islam juga memiliki ideologi jihad. Dan ideologi jihad disemai di pesantren-pesantren juga di komunitas-komunitas pengajian. Terbitlah sandi ‘war on terror’ yang membidik pusat persemaian ideologi jihad. Dan penguasa-penguasa negeri muslim, turut menari dalam gendangan itu. Banyak program digelar dan direncanakan, dari yang soft hingga yang hard. Dolar Amrik mengalir ke kantong-kantong para Kyai juga Polisi.

Coba kita perhatikan diskusi-diskusi akhir-akhir ini. Orang muslim sendiri sibuk mencari akar persoalan terorisme. Dan akar itu, selalu diarahkan ke Islam dan jihad tanpa berusaha kritis terhadap kedzhaliman Yahudi di Timur Tengah. Juga tanpa ada sedikit ‘empati’ bahwa perlawanan pemuda muslim hari ini di dunia, hanyalah reaksi dari sebuah aksi. Para pemuda itu hanyalah terpanggil secara aqidah, meski kadang ada sikap ghuluw (berlebihan) dari mereka yang memiliki semangat over dosis. Begitulah, tak ada yang memiliki kemauan politik serius dalam menangani akar terorisme.

Tapi itulah dinamika hidup; sunnatullah yang terus berjalan. Front-front begitu jelas. Kubu-kubu juga begitu tegas. Banyak pihak berharap konflik bisa diredam. Dan itu adalah kemauan siapapun yang memiliki akal sehat. Hanya, seiring tidak ada kemauan positif dari Yahudi dan Barat, nampaknya konflik belum akan berhenti. Disini kita melatakkan nubuat Rasulullah, bahwa pernah beliau meramalkan akan eksistensi thaifah manshurah (kelompok yang mendapat kemenangan). Kelompok yang menjadikan jihad sebagai jalan perjuangannya. Kelompok yang selalu melawan kedzhaliman. Secara khusus, hadits-hadits yang memuat thaifah manshurah bahkan ada yang menyebut daerah Syam sebagai maqor (benteng). Penyebutan ini menunjukkan betapa penting daerah Syam sebagai pusat wilayah konflik. Dan Syam dalam peta lama, adalah Palestina, Yordania, Libanon, Suriah; dalam peta sekarang.

Dalam nubuat juga, kelak peperangan akan dimenangkan oleh kaum muslimin. Bukhari dan Muslim meriwayatkan, “Tidak akan terjadi kiamat hingga kaum muslimin memerangi kaum Yahudi, lalu membunuh mereka, sehingga seorang Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon, lalu batu dan pohon berkata: Hai Muslim! Hai hamba Allah! Ini Yahudi di belakangku, kemarilah, bunuhlah dia! Kecuali pohon ghorqod, maka itu adalah dari pohon-pohonnya orang Yahudi. ”

Begitulah babak akhir itu nantinya. Yahudi sendiri mengimani hasil akhir dari perseteruan ini. Sampai-sampai Jewish National Fund (www.jnf.org) melakukan gerakan penanaman pohon ghorqod. Melalui situs, kaum Zionis ini melakukan penjualan ghorqod secara online dengan US $ 18. Barangsiapa membeli 3 batang bonus 1 batang. Pohon tersebut akan disumbangkan untuk Israel dan ditanam disana. Disebutkan, bahwa sebanyak 220 juta batang ghorqod kini telah ditanam di Palestina. Begitulah mereka meyakini. Tapi sayang seribu sayang, tidak sedikit umat Islam yang kurang meyakini babak akhir ini. Hingga mereka lebih memilih bersekutu dengan Yahudi dalam amal ketimbang berpihak kepada muslim sendiri.

Momentum haji seharusnya menyadarkan umat Islam akan banyak hal. Tentang tauhid, tentang kedengkian Yahudi, dan tentang keharusan persatuan ummat. Selamat menunaikan ibadah haji. Get Mabrur for Indonesia Makmur!

(Sumber; eramuslim.com)

Menjadi haji mabrur adalah idaman setiap insan yang pergi ke tanah suci. Puluhan hingga ratusan juta rupiah, rela dihabiskan untuk ongkos haji. Berpisah dengan sanak saudara, tak menyurutkan semangat untuk menjadi tamu-Nya. Tak akan ada yang dapat menghentikan langkah calon jemaah haji kecuali atas kehendak Allah SWT. Meski raga rapuh, sakit tak kunjung sembuh, hingga usia yang tak lagi muda, tak kan memadamkan semangat untuk menyempurnakan rukun Islam. Jutaan do’a dan harapan dipanjatkan di tanah suci. Terukir janji untuk menjadi muslim sejati disertai Itikad agar dosa tak terulangi. Kala kaki tersandung, atau badan terjatuh bahkan roboh karena tersenggol orang, hanya istighfar yang terucap dari lisan sang jemaah. Sebuah sikap yang sulit ditemukan di luar tanah Haram.

Sang Direktur yang selama ini dikenal otoriter, Sang majikan yang dahulu dikenal judes, sekejap berubah menjadi sosok penuh senyum, penebar salam kepada siapa saja dan dimana saja. Kiranya sapaan “Assalamualaikum, how are you, brother !” dari seorang berkulit hitam legam yang ramah menjadi sebabnya yang tak terlupakan.

Semua terbawa atmosfer peradaban yang telah dibina Rasulullah SAW sebagaimana sabdanya,

“(Hendaklah) orang yang muda memberi salam kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang banyak”. (HR. Bukhari)

“(Hendaklah) orang yang naik kendaraan memberi salam kepada orang yang berjalan kaki, (sedangkan) orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk, dan kelompok yang sedikit memberi salam kepada yang banyak”. [HR. Bukhari)

Seandainya suasana ini terbawa hingga tanah air. Jemaah haji yang menjadi layaknya cahaya yang menyinari sekitarnya. Di rumah, di masyarakat, dan di kantor. Menyinari masyarakat yang sudah kental dengan anarkisme. Masyarakat yang marak dengan perkelahian antar kampung, antar pelajar, dan antar mahasiswa. Sedemikian parah hingga membunuh manusia bahkan saudaranya sesama muslim. Padahal nyawa manusia terlebih seorang muslim sangatlah dilindungi dalam Islam.

Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim (HR. An-Nasa’i)

Jika terjadi saling membunuh antara dua orang muslim maka yang membunuh dan yang terbunuh keduanya masuk neraka. Para sahabat bertanya, “Itu untuk si pembunuh, lalu bagaimana tentang yang terbunuh?” Nabi Saw menjawab, “Yang terbunuh juga berusaha membunuh kawannya.” (HR. Bukhari)

Tanpa bermaksud membuat jemaah haji menjadi sulit tidur karena memikirkan sedemikan berat beban yang dipikul, tapi selayaknya ada aksi yang bisa dilakukan. Memulai dari diri sendiri (ibda binafsika), memulainya sekarang. Serta mendo’akan kedamaian dan kesejahteraan bagi Bangsa Indonesia dalam kekhusyu’an ibadah haji kita.

Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula. Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku. Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu, ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu. Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah bosan kau dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku. Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu kali kuceritakan agar kau tidur. Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku. Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu mandi ? Ketika aku tak paham sedikitpun tentang teknologi dan hal-hal baru, jangan mengejekku. Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap “mengapa” darimu. Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk memapahku. Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil.

Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk mengingat. Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau disamping mendengarkan, aku sudah sangat puas. Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka. Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai belajar menjalani kehidupan. Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini, sekarang temani aku menjalankan sisa hidupku. Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa syukur. Dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga untukmu.

Ketika aku sudah sulit memandangmu, terkadang –juga- lupa siapa kamu, bukan karena aku tak mencintai dan menyayangimu. Justru kecintaan yang tulus itu telah menutupi rasa dalam penglihatan ini. Maafkan aku, bila tiba-tiba aku menangis dan hati ini hancur, meski menurutmu, kamu tak berkata keras, tapi bagiku teramat keras. Mungkin karena kau lupa, bahwa aku sangat tidak senang jika ada orang yang berkata keras atau kasar kepadamu sewaktu kecil. Jangan heran jika aku nanti memiliki banyak permintaan, janganlah semua kau turuti permintaanku, karena –memang- aku hanya ingin diperhatikan.

Ketika nanti aku telah menguban dan menjadi pikun, jika tidak keberatan, janganlah kau pisahkan jasad ini dengan darah yang mengalir pada dirimu. Jangan pula kau jarakkan aku dengan anak-anakmu, karena mereka lah yang membuatku mampu bertahan sampai sekarang. Kalau boleh aku meminta, jangan pula kau berikan padaku sebuah tempat mewah dengan fasilitas wah di rumah jompo, karena aku ingin disaat terakhir hayatku, mata ini dapat terlebih dulu melihatmu bersama anak-anak tercinta.

Ketika aku tua, maukah kau memanjakan ku (?)

Estafeta perjuangan dalam menaburi kemabruran haji sedang dilakoni serius oleh team Cordova. Bahu-membahu antara trisula pucuk pimpinan bersama staff dan hajjguard Cordova dalam memberikan pelayanan yang tidak setengah-setengah bagi para jemaahnya. Jemaah yang sudah dirindukan oleh ka’bah dan makhluk suci lainnya itu, menjadi motivasi yang sangat ampuh tuk melakukan segala explorasi guna meraih impian terbesarnya sebagai haji yang mabrur. Untuk itu, segala perangkat menuju common holy purpose adalah suatu bentuk ikhtiar dalam mewujudkan pelayanan suci. Grand Manasik yang diselenggarakan di sebuah manasik park, Sabtu dan Ahad kemarin menyisakkan kerinduan yang sangat pada Baitullah. smartHAJJ Cordova melakoni setiap etape dengan penuh antusias, mereka melakukan dengan penuh khusyuk laiknya sedang melakukan ibadah haji dengan beragam kondisi seperti di tanah suci. Bagaimana setiap bangunan suci terpampang di setiap sudut arena manasik. Begitu juga figuran-figuran askar (polisi) di tanah Suci, orang-orang Arab, infrastruktur, berikut perlengkapan dan peralatan yang nyaris sama dengan kondisi riil disana.

Tema ‘Best for Last’ dari Grand Manasik ini juga membawa relung jiwa setiap orang yang berada di arena itu, terbawa dengan goal setting yang terbangun. Melakukan ibadah sebaik mungkin, sebelum kematian tiba menghadang. Atau kita jadikan peribadahan haji ini dengan sangat baik, seolah inilah persembahan terakhir kita dalam mengarungi samudra hidup. Terlebih kehadiran Pepeng, Ferrasta Soebardi bersama keluarga. Menceritakan bagaimana penderitaannya selama mengalami sakit Multiple Sclerosis (MS), salah satu penyakit langka di dunia yang menyerang sistem daya tahan tubuh Pepeng. Penyakit ini dapat menimbulkan kelumpuhan di beberapa bagian tubuh penderita. Pepeng sendiri pertama kali mengetahui ia menderita penyakit MS pada tahun 2005, ketika terjatuh dan tidak bisa bangun dari jatuhnya.

Ia menceritakan semua peristiwa yang menimpa dirinya dan keluarga, namun dengan keyakinan yang kuat dan khusnudzon akan karunia ALLAH SWT, maka ia bersama, istri dan keluarganya tegar menjalani semua yang terjadi. Menjadikan segalanya menjadi ladang amal yang harus dikerjakan sebaik mungkin, melakukan yang terbaik sebelum ajal tiba.

The Grand Manasik kemarin, bukan hanya sebagai pengetahuan yang wajib di ketahui jemaah haji, manasik itu juga sebagai momentum ‘pendeklarasian’ ratusan hati yang terikat dalam satu rasa. Yah, satu rasa tuk perjalanan cinta.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Cordova selalu menjadikan manasik sebagai gambaran riil dalam menyesuaikan semua aspek yang terjadi di tanah suci. Meski –tentunya- tidak akan sama persis, namun pendekatan dalam beragam sektor menjadi gambaran smartHAJJ dengan sangat detail. Sebagaimana gaya Cordova, penyampaian materi pun bukan hanya melalui metode tradisional yang acap menegangkan otot, dan mengkatupkan mata, kondisi menyenangkan dalam manasik itu menjadi bekal dalam perjalanan riil-nya nanti.

Selangkah lagi jemaah haji akan menginjakkan kakinya ke Tanah suci. Islam kan kembali melihatkan keindahannya. Bersatu dalam satu ritme di lembah suci. Tiada rafast, fusuk terlebih jidal, bersatu dalam kebersamaan rasa, tunduk pada titah Maha Kuasa. Melangkah bersama menggapai surga, mencipta kemabruran jiwa. Semua manusia muslim –tentunya- mendamba perjalanan itu, karena haji adalah muara peribadatan manusia di muka bumi.

Namun apa daya jika perjalanan haji itu, kini menjadi sangat rumit, kompleks, dan serba tidak pasti untuk berangkat atau tidak, bahkan bagi mereka yang termasuk golongan masyarakat ‘super mampu’ pun harus sama mengantre di nomor waitinglist hingga beberapa tahun kebelakang. Mungkin, hanya sebagian kecil penguasa atau yang ‘dekat’ dengan penguasa, atau yang memiliki akses ke penguasa lah yang mudah untuk merealisasikan niatannya menjadi kenyataan. Malam ini merilis nama Jemaah haji, besoknya sudah mendapat kuota haji tahun ini juga. Ajaib, demikianlah yang terjadi, haji sudah menjadi industri yang sangat menggiurkan, bahkan bisa menjadi alat kepentingan segelintir orang dalam mengokohkan legitimasi sebagai orang ‘penting’ di republik ini.

Dalam industri haji, kawan bisa menjadi lawan. Kamuflase menjadi identitas keseharian yang sulit terprediksi, sekalipun oleh psikolog ternama. Yang ada adalah kepentingan dan kenyamanan parsial, semuanya telah menjadi air yang mengalir, demikianlah permainan ini, “biasalah seperti bukan pemain lama saja kau”, demikian ucap sahabat dengan logat khas daerahnya yang menyinggung tentang ‘kuota jatah’ bagi segelintir orang.

Terlepas dari semua itu, yang jelas kondisi ketidakpastian -jika tidak dikatakan kesemrawutan- bisnis plan haji tahun-tahun selanjutnya akan terus menggurita dan mengguliti industri travel haji. Semuanya akan serba tidak pasti. Karena –memang- ini terjadi bukan hanya di negeri kita. Di semua Negara, kuota dan kepastian berangkat haji menjadi serba tak terprediksi. Terlebih dengan adanya perluasan Masjidil haram yang konon ‘memangkas’ lebih dari 1000 hotel di sekitar area haram menjadi alasan lain tentang keterbatasan akomodasi.

Kreativitas dan inovasi dalam menjaring konsumen haji lah yang –sejatinya- akan membantu mengisi seat program haji setiap tahunnya, karena –memang- sudah dapat terpetakan dari sekarang.

Jika pesan Rasul untuk tidak rafast, fusuq dan Jidal saat berhaji, -tentunya- tidak melegitimasi untuk bisa berbuat semua larangan haji itu saat mengelola calon Jemaah haji. Semua pihak menjadi perekat untuk bersama meraih cita-cita tertinggi dalam pelaksanaan haji. Bukan hanya menciptakan kemabruran pribadi seorang Jemaah, namun lebih luas berharap kemakmuran negeri tercinta dari sekian banyak para hujaj Indonesia.

So’ let’s get Mabrur for Indonesia Makmur!

Cordova Travel Haji Jakarta

Road to Manasik

Nampaknya pembahasan mudik pra dan paska lebaran selalu menjadi menu utama untuk diperbincangkan, diberitakan dan dikisahkan setiap media di Indonesia. Karena bukan hanya aktivitas massif yang melibatkan jutaan manusia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, pada rentang waktu yang hampir bersamaan, tetapi juga pergerakan arus ekonomi yang melaju rata ke setiap pelosok desa. Sebagaimana filosopi ‘Mudik’ yang juga berarti hulu sungai, dimana semua aliran air (sumber kehidupan) berawal. Jadi –memang- adakalanya seseorang harus kembali ke daerah asal, sebagai tanda penghargaan dan rasa syukur atas tanah lahirnya. Mudik juga bisa dibilang merupakan sebuah gerakan nasional (kendati tidak secara resmi dinamakan gerakan nasional), semua orang urban untuk kembali ke kampung halamannya. Tradisi ini, bak warisan yang telah turun temurun dari generasi ke generasi. Mereka rela berdesak-desakan, berdiri selama perjalanan di kereta bahkan ada juga yang menempati WC kereta untuk duduk dan istirahat. Semua itu adalah hal yang secara nalar –mungkin- tidak pernah dilakukan selama hari-hari biasa (non mudik).

Kisah dan cerita pemudik memang kerap mengundang media untuk dijadikan ‘rasa’ mudik setiap tahunnya berbeda. Memiliki rasa yang nikmat untuk disuguhkan kepada jutaan pemirsa di Tanah Air. Namun kali ini, mari kita sedikit fokus pada hakikat mudik sesungguhnya, bukan hanya mudik biologis yang sudah pasti membuat raga letih, namun juga kita mengambil posisi mudik dari kacamata lain. Kacamata spiritual yang menegaskan makna mudik sesungguhnya.

Siklus mudik menggambarkan tentang kerinduan manusia akan keberadaan asal muasal penciptaan. Manusia menyadari bahwa dirinya memang berasal dari zat yang kekal (Rabbul Izzati), yang pastinya manusia juga akan kembali kepada-Nya. Mudik merupakan gambaran manusia yang merindukan spiritual di sela-sela kehidupan yang cenderung dibuai rayuan modernitas.

Mudik tak ubahnya laku ziarah atas ruang dan waktu, kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran tentang kesejatian diri manusia yang hakikatnya terbebas dari segala ‘kejahatan’ dan ‘kotoran’. Spritualitas mudik mengingatkan kita, bahwa keluhuran manusia dapat tergapai dengan mewujudkan nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Mudik ke kampung rohani merupakan perjalanan spiritual agar pemudik kembali menimba semangat religiusitasnya di arena social kultural, seperti kampung halaman kita.

Sejatinya yang harus mudik bukan semata bersifat jasad-biologis, tetapi juga memudikkan ruhani ke asal sifatnya yang segar, jernih dan manusiawi. Sebelum mudik yang sebenarnya tiba menyapa manusia, menuju panggilan-Nya melalui Malakul Maut. Kembali kepada dimana kita mengawali kehidupan.

So, let’s do the best for last!

Dalam tataran teori, makna ikhlas sangat mudah untuk dipresentasikan, terlebih dijadikan semacam buah bibir. Lalu apa dalam konteks praktis, rasa ikhlas mudah pula diaplikasikan (?) Hanya kita tentunya yang mampu menjawab semua itu. karena ikhlas adalah sesuatu yang hanya bisa dikerjakan oleh kekuatan hati. Sehebat apapun nilai postif dari pekerjaan, jika pesona ikhlas tak bersemi dalam jiwa, maka yakinlah segala sesuatunya akan terasa berat. Jangankan untuk melakukan hal-hal besar, untuk tersenyum saja, jika keikhlasan tak pernah ada, maka mulut ini akan sulit digerakkan. Padahal tersenyum adalah hal yang paling ringan dalam beribadah.

Terlebih jika konsep ikhlas ini kita tarik ke ruang lingkup pelaksanaan haji yang benar-benar membutuhkan keikhlasan super hebat. Bayangkan saja, mulai dari niatan haji, pengeluaran biaya yang tak sedikit, menghadapi prihal crowded di tanah suci, meninggalkan keluarga, dan 1001 masalah teknis maupun non-teknis lainnya. Ikhlas adalah satu-satunya kunci yang akan menjadikan setiap perjalanan haji menjadi lebih mudah dan bermakna. Sahabat dekat ikhlas adalah sabar, berbeda dengan sabar, terkadang tidak selamanya orang sabar akan mengikhlaskan segala sesuatu, namun dengan keikhlasan, ia akan meliputi rasa sabar yang tak terhingga.

Ikhlas adalah sesuatu yang sangat berharga menjadi bekal perjalanan haji. Tanpa jiwa ikhlas, semuanya benar-benar akan menjadi ancaman pelebur pahala mabrur. Setiap orang meyakini bahwa pelaksanaan haji selalu saja memberikan cerita yang tidak selamanya indah tuk dirasa. Seorang teman yang juga pakar bahasa Arab, memberikan plesetan mengenai kata ikhlas. Ikhlas hampir sama dengan makna kholas, yakni “sudahlah”. Menyudahi segala perkara yang terjadi dengan perasaan ikhlas terhadap segala sesuatu yang telah terjadi. Selain itu penyerahan diri yang total menjadikan jiwa semakin mantap adalah bagian makna ikhlas.

Menjelang bulan-bulan haji, rasa ikhlas harus benar-benar diolah kembali. Menjadi sesuatu yang berharga laiknya sebuah senjata kala maju ke medan perang. Tanpa senjata di laga pertempuran, kita akan sulit menembus panji kemenangan, tidak mustahil tanpa senjata kita juga akan mati konyol di medan laga. Ikhlas adalah senjata dan bekal perang di medan haji yang sangat “buas”. Ia akan meng-cover segala kemungkinan serangan hati saat berada di tanah suci. Karena dari sanalah, segala point haji kita ditentukan. Ikhlas memang segalanya.

Ikhlas tak perlu belajar namun perlu dibiasakan. Ikhlas adalah komandan hati dalam merangkai ibadah lainnya. Dengan ikhlas pula manusia akan mudah mendapatkan apa yang diinginkan. Karena klunya satu, Allah SWT hanya menerima peribadatan hamba-Nya atas dasar keikhlasan jiwa.

Sambel dadakan seh enak, kalo ustadz dadakan (?)

Rasanya tema diatas akan sedikit mengundang kontroversi bahkan polemik, jika saja pemahaman tentang makna ‘ustadz’ itu sendiri tidak kita kupas secara detail, ditambah jika kita saksikan bagaimana gamblangnya peran ustadz ini di ‘panggung’ dakwah, maka kita akan semakin yakin bahwa ustadz dadakan yang kini berjamur di negeri kita, bisa masuk dalam ‘Penghancur agama’ atau jika tidak ingin kita sebut sebagai ulama su’u (ulama jahat). Seperti atsar ulama yang menyebutkan “Tidak ada yang merusak agama ini, kecuali raja, dan para ulama su’u serta para rahibnya”. Oleh karenanya, mari kita perjelas apa sebenarnya makna ‘ustadz’ itu sesungguhnya, sehingga tidak terjadi penggelinciran makna sesungguhnya. Tetapi jika awalnya kita sudah apriori, karena mengganggap bahwa panggilan ustadz itu sudah menjadi kebiasaan dan budaya Indonesia, maka yakinlah akan banyak bermunculan ustadz-ustadz ‘dadakan’, yang –ekstrimnya- hanya menggunakan kopiah saja, sudah bisa menjadi sosok seorang ustadz. Lincah dan lihai dalam panggung dakwah yang tentunya bertarif mahal jika ingin mengundangnya. “biaya sebesar itu bukan untuk saya, itu untuk yayasan sosial dan orang-orang yang mencari nafkah didalamnya,” alasannya terkesan logis.

Asal kata dari ustadz adalah ustad (tanpa huruf “Z” atau tanpa huruf “Dzal”). Dalam kamus Arab, Al-Mu’jamul Wasith, kata ustadz memiliki beberapa makna sebagai berikut: Pengajar, Orang yang ahli dalam suatu bidang industry dan mengajarkan pada yang lain, serta julukan akademis level tinggi di universitas. Kata jamaknya adalah Asatiidz dan Asatidzah. Demikian menurut pengertian bahasa. Sedangkan pengertian pokok ustadz adalah “seorang pakar spesialis tingkat tinggi”, atau orang yang sangat ahli dalam suatu bidang. Menurut pengertian ini, maka seseorang tidak pantas disebut ustadz kecuali, jika ia memiliki keahlian dari 18 atau 12 ilmu (bidang studi) dalam sastra Arab, seperti ilmu nahwu, Shorof, bayan, badi’ ma’ani, adab, mantiq, kalam, perilaku, ushul fikih, tafsir, hadist.

Sedang di Indonesia, (entah sejak kapan, dan siapa yang memulai) seolah pemanggilan atau penamaan ustadz begitu lumrah dan mudah, seakan tiada beban, yang penting orang tersebut memiliki kemampuan agama (meski hanya sekadar bisa baca Al-qur’an) dan bersikap serta berpakaian layaknya orang alim, maka dengan mudah ia sudah ‘lulus’ mendapat julukan Ustadz. Walaupun kemampuan riil yang dimilikinya sangat minim dan jauh dari definisi Ustadz sesungguhnya. Sehingga dengan demikian (mudahnya mendapat gelar ustadz), ia memiliki potensi besar dalam menguasai ‘panggung’ dakwah yang sarat dengan kenyamanan duniawi (materialistik).

Wajar jika output yang instant dalam penggodokan ustadz itu menghasilkan sosok-sosok ustadz yang lebih ‘nyaman’ bersenda gurau di depan layar kaca, terlebih jika masuk infotainment, merasa figur ustadz seperti predikat yang dikenakan dalam berdakwah. Ada juga yang mengatasnamakan metode dakwah, atau apalah sebutannya, memproklamirkan ceramah di bulan ramadhan di sebuah Resto Wine, yang jelas-jelas (setelah usai ceramah) Restoran itu tidak akan berubah menjadi Resto Zam-zam misalnya. Apalagi hal demikian itu, jika tidak disebut dengan penghinaan metode dakwah. Dimana kehormatan dan harga diri seorang ustadz yang ‘manut’ saja dipanggil hanya karena bayarannya kencang (?)

Dimanakah sosok ulama yang benar-benar menjadi Pewaris para nabi itu (?)

Rasanya hanya dibulan Ramadhan saja, waktu menjelang Subuh jalanan masih ramai, denyut aktivitas masih hidup dan menghidupi banyak manusia. Kemungkinan juga, bulan Ramadhan saja yang bisa menciptakan kekuatan besar pemicu pergerakan ekonomi yang pesat. Karena pada ramadhan semua manusia muslim meyakini bahwa turunnya keberkahan dimulai dari spirit berbagi pada bulan ini. Sesungguhnya terdapat potensi besar dibalik konsumtifisme yang terjadi saat ramadhan. Ketika permintaan meningkat pesat, demikian pula dengan penawaran yang tak kalah tingginya. Maka saat itu terjadilah situasi dimana pada tingkat harga yang terbentuk, konsumen dapat membeli semua produk yang diinginkannya, dan menurut Vincent Gasperz, Ekonomi Manajerial, produsen pun dapat menjual semua produk yang diinginkannya. Istilah simple-nya, semua berputar merata dengan simpul-simpul penggerak ekonominya di masing-masing daerah.

Di bulan ini, ada semacam spirit berwirausaha yang menjamur. Masyarakat yang sehari-harinya bukan pedagang pun, saat ramadhan, tiba-tiba menjadi pedagang ‘dadakan’. Hingga muncul pasar-pasar rakyat atau bazar saat sore hari, mereka berlomba menjual aneka menu berbuka. Dan harus diakui ini menjadi pertanda bahwa ramadhan turut andil dalam kebangkitan ekonomi umat (atas keberkahannya), karena tanpa disadari, mereka telah menjadi pelaku langsung dalam berwirausaha, meskipun setelah ramadhan semuanya akan kembali seperti semula.

Di sisi lain, percaya atau tidak, setiap datang ramadhan uang belanja harian, atau bulanan akan mengalami lonjakan yang signifikan. Bahkan bisa jadi pendapatan bulanan bisa langsung ‘amblas’ dalam dua-tiga hari. Namun percayakah Anda, meski banyak pengeluaran yang tak terduga, namun rezeki pun selalu muncul tanpa duga dengan kenikmatan yang luar biasa. Mari kita perhatikan sedikit contoh bagaimana tidak melonjaknya pengeluaran saat berbuka saja; ada kolak, es buah, cendol ‘Elizabeth’, goreng-gorengan, kue basah dan beragam minuman lainnya. Ini hanya dessert lho’ belum makan beratnya sehabis sholat Maghrib. Biasanya selalu ingin makanan yang berbeda saat berbuka puasa, dilanjutkan setelah sholat tarawih, bisa berupa bakso, mie kocok, atau pun siomay dan batagor.

Tidak masalah sebenarnya, jika semua makanan itu bisa habis termakan dan sesuai dengan ruang kapasitas perut kita, karena tokh bulan ini, kita belajar untuk share kepada mereka yang sibuk berjualan mencari nafkah. Dimakan atau tidak oleh kita, pada saat itu, kita telah menjadi bagian perekat dalam pembangunan ekonomi umat, meski dalam skala kecil dan luput dirasakan.

So’ Ramadhan adalah waktu yang sangat baik untuk sharing –dan- akan lebih bermakna lagi jika terus berlanjut ‘sharing’ ini ke bulan-bulan selanjutnya. Karenanya, bahagia berbagi dalam ramadhan ini menjadi salahsatu fenomena sosial yang marak terjadi dikalangan masyarakat muslim kita.