Simbol ‘bulan bintang’ yang kerap terdapat pada menara masjid, selalu menjadi pertanyaan di antara kita. Bagaimana asal-muasalnya dan apakah itu sebagai simbol yang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Sehingga menjadi sebuah kelajiman di setiap menara-menara masjid atau simbol-simbol keislaman. Baiklah, kita runut bagaimana simbol ‘Bulan Bintang’ itu menjadi syiar Islam hingga kini dan seterusnya. Seperti halnya Kristen memiliki simbol salib, Yahudi mempunyai bintang Daud, dan Islam identik dengan bulan sabit dan bintang berdimensi lima. Rasanya tidak afdhol jika di puncak kubah atau menara masjid tidak ada bulan bintang. Tidak akan ada yang membantah bahwa keduanya diasosiasikan sebagai simbol Islam. Penggunaan simbol bulan bintang berhubungan dengan kekaisaran Ottoman di Turki, atau lebih dikenal dengan Turki Usmani. Dinasti Usman menjadi penguasa Islam dalam 36 generasi, lebih dari enam abad (1299-1922). Usman atau dikenal sebagai Usman I tak ada hubungannya dengan Khalifah Usman bin Affan RA. Usman adalah pendiri kekaisaran ini. Ayahnya, Urtugul, seorang kepala suku dan penguasa lokal, semacam demang di jawa. Sebagai suku yang berkelanan dari Asia Tengah selama berabad-abad, oleh kesultanan Saljuk di Anatolia ia diberi wilayah di perbatasan dengan Byzantium. Seiring melemahnya kesultanan Saljuk, Usman menyatakan kemerdekaan wilayahnya pada 1299.

Penggunanaan simbol bulan bintang terjadi setelah Sultan Mehmet (Muhammad) II, sultan ke-7, menaklukkan konstatinopel pada 1453, ibukota Romawi Timur atau lebih dikenal dengan kekaisaran Bizantium. Negara super power saat itu yang menetapkan Kristen sebagai agama resmi Negara. Lambang kota itu adalah bulan dan bintang. Mehmet II mengadopsi simbol Konstatinopel menjadi bendera Ottoman. Nama Konstatinopel pun diganti dengan Istanbul.

Sebelumnya bendera Ottoman hanya segitiga sama kaki yang rebah, yang garis sisi kedua kakinya melengkung. Benderanya berwarna merah. Setelah penaklukan konstatinopel, di tengah bendera itu ditambahi bulan dan bintang berwarna putih. Pada 1844. bentuk bendera Ottoman berubah segiempat. Bendera ini mengalami modifikasi lagi pada 1922, yang kemudian ditetapkan dalam konstitusi pada 1936, setelah Ottoman jatuh, menjadi bendera seperti sekarang ini yang dipakai oleh turki modern. Bintang dan bulan sabitnya menjadi lebih langsing. Sebelumnya tampak lebih gemuk namun warna dasarnya tetap merah, serta gambar bulan bintangnya tetap putih.

Catatan lain menyebutkan bahwa kedua simbol itu telah dipakai bangsa Turki Kuno. Hal ini dibuktikan oleh penemuan artefak yang menggambarkan bulan bintang. Bahkan disebutkan bahwa simbol itu juga digunakan di Sumeria. Simbol itu kemudia diserap bangsa Turki ketika mereka melewati lembah itu dalam perjalanannya dari Asia Tengah – wilayah yang diduga sebagai asal-usul bangsa Turki – menuju Anatolia.

Lalu, apakah simbol Islam yang asli (?) Rasulullah Muhammad SAW maupun Khulafaur Rasyidin (632-661) tak pernah membuat ketetapan soal itu. Al-Qur’an pun tak pernah membicarakan soal tersebut. Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa di zaman Rasulullah hanya ada bendera panji-panji perang yang sangat sederhana dengan satu warna: hitam, putih, atau hijau. Di ‘Negara Madinah’ di zaman para Khalifah memiliki simbol berupa bendera persegi empat berwara hitam.

Bendera segi empat warna hitam juga digunakan Dinasti Umayah di Damaskus (660-750) dan di Kordoba (929-1010), dan Dinasti Abbasiyah di Baghdad (750-1258) maupun di Kairo (1261-1517). Hanya Dinasti Fatimiyah di Kairo (909-1171) yang menggunakan bendera warna hijau.

Lalu, timbulah pertanyaan, apakah penggunaan simbol itu harus dihentikan karena bukan lahir dari tradisi Islam (?) Ternyata, hasil polling sebuah situs Islam terkenal menyatakan , bahwa 39% tetap ingin menggunakan simbol tersebut. Jauh meninggalkan urutan kedua dan ketiganya: kaligrafi (18%), dan Ka’bah (15%).

Selain itu, seperti kata cendikiawan muslim Prof. Dr. Azyumardi Azra, dalam tradisi Islam simbol simbol bulan bintang memang sangat dominan begitu pula di bidang astronomi Islam. Dalam kalender Hijriyah bulan dijadikan dasar perhitungan astronomis. Sehingga bulan sebagai simbol, bukan matahari. Hal-hal yang bersifat ibadah seperti shalat, penentuan awal puasa, maupun lebaran juga menggunakan bulan sebagai patokannya. Karena itu tahun Islam sebagai tahun Qomariyah, yang artinya bulan. Bukan Syamsiyah (matahari).
Sedangkan teori yang menyebutkan bahwa simbol bulan bintang lahir dari Yunani dan Romawi hanya spekulasi saja. Berbeda dengan tradisi Islam yang sangat kuat dengan bulan. Apalagi simbol bulan bintang sudah diterima secara universal.

(Dari Berbagai Sumber)

Islam adalah agama langit (Samaa) semua manusia. Termasuk yang dibawa oleh para Nabi sebelum Rasulullah SAW. Keyakinan dan keimanan setiap kaum Nabi yang diberikan kitab dari ALLAH SWT –sejatinya- adalah Al-istislamu atau berserah diri hanya kepada ALLAH, tunduk dan patuh hanya kepada-NYA. Pengertian Islam inilah yang dimaksud oleh ALLAH dalam banyak ayat yang menunjukkan bahwa syariat yang dibawa oleh para Nabi terdahulu juga disebut Islam. Seperti Firman ALLAH yang menceritakan tentang Nabi Ibrahim; “Wahai RABB kami, jadikanlah kami berdua orang yang muslim kepada-MU dan juga anak keturunan kami sebagai umat yang muslim –berserah diri- kepada-MU” (Qs. Albaqarah: 128). Baiklah, kita sedikit keluar dari ‘pembahasan’ tauhid masa sebelum kerasulan Muhammad SAW. Kita beranjak dan menikmati bagaimana alur Islam dalam meng-influence– setiap jejak manusia abad ke-7 hingga zaman kita berada dibawah panji Islam. Menarik –sesungguhnya- jika kita telusuri bagaimana keutuhan tauhid Islam berkembang biak di planet Bumi.

Jika mengurai dari awal, kesenjangan Islam mulai tercabik oleh sebuah rasa keangkuhan diri manusia. Bagaimana kaum kafir Quraisy menolak mentah-mentah ajaran Nabi Muhammad SAW, hanya karena beliau membawa risalah ‘Hanief’ yang bertolak belakang dengan adat kebiasaan mereka yang berdoa melalui wasilah patung sebagai ‘kaki tangan’ Tuhan. Mereka percaya kepada ALLAH, namun peribadatannya melalui proses animisme maupun dinamisme yang mereka yakini. Secara tidak langsung, kita bisa mengatakan bahwa sebelum Islam datang atau Nabi Muhammad menjadi Nabi serta Rasul, maka mayoritas kehidupan orang Arab berada dalam kejahiliyahan, terkecuali bagi mereka yang masih mengikuti ajaran (millah) Nabi Ibrahim AS.

Setelah Rasulullah SAW membawa ajaran Islam yang menyempurnakan risalah-risalah Nabi sebelumnya, maka gugurlah semua ajaran yang berkembang saat itu, mereka harus mengikuti millah dan ketentuan agama yang dibawa Rasulullah SAW. Perlahan namun pasti, Rasulullah SAW mampu bertahan dan move on untuk meninggikan kalimat Tauhid, serta menyebarkan ke seluruh pelosok Arab. Jika kita saksikan sebuah film dari tema diatas; Islam Empire of Faith, maka –sungguh- ketakjuban kita akan perjuangan mereka yang bertahan teguh bak karang di tengah lautan akan membuat kita masih terasa ‘tidak ada apa-apanya’ dibanding kegigihan mereka memperjuangkan panji Islam.

Islam berkembang sangat cepat dan mengubah orang-orang nomaden menjadi penggerak utama peradaban dunia. Nabi Muhammad SAW lah arsitek dari transformasi itu. Namun setelah kewafatannya pada tahun 632 ternyata menghadapkan komunitas Islam kepada tantangan besar pertamanya. Dengan segala inovasi yang tidak keluar dari risalah nubuwah, kaum muslim menyambut tantangan itu dengan mendirikan institusi kekhalifahan dan menegaskan kelangsungan sejarah Islam. Negara Islam yang baru lahir, dengan ibukota di Madinah Al-Munawarah.

Secara perkasa dan atas pertolongan ALLAH SWT –tentunya-, mereka berhasil mempertahankan diri dari jangkauan predator Kekaisaran Bizantium dan para sekutunya. Kemenangan demi kemenangan selalu ada konsekwensinya, terutama dari sifat asli manusia yang lolos dari filter keimanan, yakni ketamakan, keserakahan dan kedengkian yang menjalar ke tubuh masyarakat Muslim saat terjadinya pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan RA.

Peradaban diuji dengan adanya krisis sebagaimana seorang individu diuji dengan kesulitan. Ini adalah saat-saat penting yang menunjukkan wujud asli karakter sebuah peradaban, seperti ujian terhadap individu yang memunculkan wujud asli dari karakter individu tersebut. Peradaban besar menghadapi tantangan dan mereka tumbuh lebih tangguh setiap kali melewati krisis, mengubah kesulitan menjadi peluang. Dalam banyak hal, kejadian ini persis sama dengan yang dialami oleh individu. Saat-saat kritis dalam sejarah menguji keberanian manusia. Orang-orang besar mengarahkan sejarah sesuai kemauan mereka, sedangkan yang lemah tertelan di masa yang keras.

Hal itu diyakini, karena keislaman sudah tidak seirama dengan keimanan yang seharusnya menjadi satu kesatuan. Jika Islam ditafsirkan melalui amalan-amalan anggota badan, atau jasad, maka iman ditafsirkan dengan amalan-amalan dalam jiwa. Karenanya, sebuah peradaban selalu muncul ketika konsep Islam melaju bersama dengan keimanan dalam jiwa.

(to be continued)

“Walaupun aku adalah generasi yang datang paling ujung, aku akan melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh para pendahulu”. Ini adalah penggalan syair Arab yang menceritakan sosok khalifah muda yang menaklukan Konstantinopel. Ketika anak muda berusia 16 tahun itu diangkat menjadi seorang Khalifah, para senior dan ‘sesepuh’ di kerajaan itu meremehkan dan merendahkan, seolah tak percaya dengan kemampuan si anak muda. Maka dengan spirit yang kuat dan percaya diri, khalifah muda ini melakukan ‘loncatan’ yang membuat semua orang terdiam, yakni membebaskan Konstantinopel, wilayah yang tidak bisa dilakukan oleh para senior dan pendahulunya. Hal ini juga merupakan janji Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa suatu saat nanti Konstantinopel akan dikuasai tentara Islam. Meski peristiwa penaklukan itu jaraknya telah 700 tahun dari sabda Rasul. Namun terdapat value yang jelas dalam kisah itu, yakni; Bagaimana kita menulis cerita kita sendiri, menentukan langkah hidup atas dasar pilihan yang kita tentukan. Tidak pernah membiarkan orang lain menentukan masa depan kita, justru tangan dan langkah kita lah yang bertanggungjawab atas diri kita, untuk menulis jalan hidup kita sendiri, untuk menulis sejarah kita sendiri.

Sejarawan dapat menulis apapun tentang sejarah orang, tentang peristiwa yang pernah terjadi, bahkan dengan piawai –bisa saja- para penulis membuat karangan cerita sejarah palsu dari peristiwa sesungguhnya. Sesuai kepentingannya, alur cerita itu bisa ditulis kemana pun ia mau. Sebanding pesanan pula, ia bisa memutar balikkan sejarah yang terjadi. Sebelum sejarah kita digoreskan oleh orang, -rasanya- lebih baik kita menuliskan sejarah kita dengan kekuatan dan tangan kita sendiri. Tidak membiarkan orang lain yang menentukan sejarah dan masadepan kita. Kitalah yang bertanggung-jawab atas diri kita, untuk menulis jalan hidup kita sendiri, untuk merangkai alur sejarah kita sendiri.

Untuk menulis dan merangkai cerita hidup, Cordova Founding Father, kerap mengajarkan kami, untuk menulisnya dengan berimajinasi, menghayal semua cerita yang akan kita wariskan kepada anak-anak tercinta, kepada orang yang datang sesudah kita semua. Mungkin apa yang kita goreskan ini akan menjadi catatan sejarah yang dibaca oleh puluhan tahun generasi yang akan datang.

Sejarah hidup tak akan pernah berubah, jika apa yang kita goreskan benar-benar dinantikan oleh semua orang tercinta. Mereka akan menjaga dan mengabadikan keabsahan sejarah yang kita ukir. Menangkis setiap tangan jahil yang akan merubah alur cerita sesungguhnya, berbekal dari apa yang ia rasakan dari result yang kita ukir sendiri.

Intinya, disaat kita mengukir sejarah dengan tangan kita sendiri, maka biarkan pikiran menerawang tuk apa yang kita impikan itu terjadi. Menjadi sebuah ‘product’ yang dinantikan banyak orang.

Sejak pengujung abad yang lalu hingga kini, diskursus mengenai pemimpin atau kepemimpinan mencuat ke permukaan. Ada dua penyebabnya. Pertama, banyak pemimpin dalam berbagai bidang terlibat pelanggaran moral. Kedua, mungkin karena usianya yang makin menua, dunia kita sekarang tak kuasa lagi melahirkan pemimpin-pemimpin besar (great leader) seperti pada masa-masa terdahulu. Kenyataan ini dikeluhkan oleh Jeremie Kubicek (2011) dalam bukunya yang kontroversial, “Leadership is Dead: How Influence is Riviving it” (kepemimpinan telah mati: bagaimana pengaruh yang merupakan inti kepemimpinan bisa dihidupkan kembali). Dikatakan, pemimpin sekarang lebih banyak menuntut (getting), bukan memberi (giving), menikmati (senang-senang), bukan melayani (susah-payah), dan banyak mengumbar janji, bukan memberi bukti. Dalam fikih politik Islam, moral yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan pemimpin adalah kemaslahatan bangsa.

Dikatakan tasharruf al-imam `ala al-ra`iyyah manuthun bi al-mashlahah (tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh kepentingan atau kemaslahatan umum). Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan bangsa, bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata. Kaidah ini diturunkan dari moral kepemimpinan Nabi SAW seperti disebutkan dalam Alquran. Firman ALLAH, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS: At-Taubah : 128). Ada tiga sifat (moral) kepemimpinan Nabi SAW berdasarkaan ayat di atas.

Pertama, azizin alaihi ma anittum (berat dirasakan oleh Nabi penderitan orang lain). Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sense of crisis, yaitu kepekaan atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung. Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Empati dengan sendirinya mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun material, untuk mengurangi derita orang yang mengalami kesulitan.

Kedua, harishun `alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain aman dan sentosa). Dalam bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat yang mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa meraih kemajuan. Tugas pemimpin, antara lain, memang menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan politik menuju cita-cita dan harapan itu.

Ketiga, raufun rahim (pengasih dan penyayang). ALLAH SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nabi Muhammad SAW adalah juga pengasih dan penyayang. Orang-orang beriman wajib meneruskan kasih sayang ALLAH dan Rasul itu dengan mencintai dan mengasihi umat manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik. Kata Nabi, “Orang yang tak memiliki kasih sayang, tak bisa diharap kebaikan darinya.” Bagi ulama besar dunia, Rasyid Ridha, tiga moral ini wajib hukumnya bagi pemimpin. Karena, tanpa ketiga moral ini, seorang pemimpin, demikian Ridha, bisa dipastikan ia tidak bekerja untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya saja. Maka, betapa pentingnya moral pemimpin.

(Sumber: Republika)

Awalnya, -saya- ragu mengangkat kondisi politik Timur Tengah yang meluas menuju Jalur Sutra di smartBLOG ini, namun karena angle yang akan dikemukakan adalah peran media yang mampu merubah kondisi apapun, maka –setidaknya- terdapat korelasi dengan konten website Cordova, yang juga tak pernah luput untuk memperhatikan konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah. Baiklah, embrio tulisan ini, -sesungguhnya- berawal dari banyak perbincangan diantara jemaah maupun team Cordova di sudut-sudut diskusi ringan. Mengenai konflik yang terus melanda Timur Tengah, negeri-negeri yang secara langsung atau tidak memiliki pengaruh dengan dunia yang kami geluti. Mencermati pergolakan politik di Maroko, Tunisia, Al-Jazair, Mesir, Jordania, Yaman, Syiria dan seterusnya, menarik untuk dikaji. Gencarnya media seringkali hanya memblow up ‘Apa yang terjadi’ yang terkadang juga hanya menjadi komoditi bos media untuk sebuah kepentingan besar dari hal yang terjadi.

Tulisan yang mungkin –kurang- ilmiah ini, mencoba menguraikan bukan dari aspek ‘apa yang terjadi’ namun mencoba untuk sedikit menguak persoalan dari sisi ‘Mengapa ia terjadi’, baik dari aspek internal maupun eksternal. Berangkat dari asumsi bahwa konflik lokal merupakan bagian dari konflik global. Itu mutlak, karena memantau gejolak dan gerakan massa di Timur Tengah (Timteng) harus totalitas dan bulat.

Pada akhir 2010 hingga awal tahun 2013 ini terjadi gelombang protes dan demonstrasi di sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Percikan pertama dari rangkaian perubahan ini terjadi pada 17 Desember 2010 saat seorang pemuda Tunisia bernama Muhammad Buazizi (26) ia juga adalah simbol pemuda tertindas di kota itu. Buazizi, selama tujuh tahun berjibaku menjadi tukang sayur, hingga polisi menyita gerobak sayurnya. Ia dituduh berjualan tanpa izin. Ia pun sudah mencoba membayar 10 dinar Tunisia dan membayar lagi sekitar 7 USD, namun ia malah ditampar, diludahi dan ayahnya (yang sudah meninggal) dihina serta dicaci maki. Lalu ia pun menuangkan bahan bakar ke tubuhnya dan membakar dirinya sendiri. bak sebuah akumulasi amarah, ternyata ia tidak hanya membakar dirinya, tetapi juga membakar amarah seluruh rakyat Tunisia atas kediktatoran rezim yang berkuasa. Keesokan harinya, kota Sidi Bouzid menyaksikan demonstrasi besar-besaran. Aparat melawan para demonstran, hingga berakibat pada kerusuhan yang meluas.

Daerah-daerah lain di Tunisia pun kemudian ikut bangkit dan menyatakan solidaritas. Tak lama berlalu, seluruh Tunisia bergolak dan pada 14 Januari 2011, Presiden Zainal Abidin Ben Ali yang telah berkuasa hampir 25 tahun pun melarikan diri ke Arab Saudi. Pergolakan Tunisia ini lantas mewabah ke daerah sekitarnya, yakni Mesir dan Libya, dan ke seluruh penjuru Timur Tengah. Gelombang pergolakan inilah yang disebut dengan Arab Spring (Musim Semi Arab) atau Revolusi Arab.

Kisruh politik di kelompok negeri seputaran Jalur Sutra memang tidak sporadis atau berdiri sendiri-sendiri. Seperti ada skenario besar yang tengah dijalankan. Ada wayang, dalang dan juga terdapat kelompok hajatan atau yang punya hajat.

Pergolakan yang membentang dalam wilayah geografis sangat luas ini tentu saja memiliki latarbelakang, pemicu, pola, karakter, dampak, dan kerangka yang berbeda-beda. Sejumlah analisis memilah antara pergolakan yang autentik, lahir dari aspirasi rakyat domestik dan pergolakan yang disponsori dan dipicu oleh kepentingan asing. Sejauh ini kita juga dapat menemukan tiga kelompok pengamat yang meletakkan rangkaian pergolakan ini dalam tiga tema besar, pergolakan demi ‘sekerat roti’; tuntutan pada kebebasan, penegakan HAM dan demokrasi; dan terakhir, kebangkitan Islam (Islamic Awakening). Tentu tiga tema ini tidak selalu berarti saling berhadap-hadapan, melainkan justru kerap saling mendukung dan melengkapi.

Hal yang menarik adalah peran media yang justru menyatukan people power yang teramat dahsyat. Tak mampu dibendung oleh kepemimpinan diktator dan kekuatan militer loyalis. Padahal Bangsa Arab –sesungguhnya- sudah sejak lama terkenal dengan ‘silent people’, masyarakat yang hanya bisa diam dan menyaksikan ketidak adilan didepan matanya. Tiada kuasa dalam melawan kekuatan rezim. Artinya apapun gejolak di Timteng dan sekitarnya, terutama negeri seputaran Jalur Sutra — apabila ia menyangkut politik dan kekuasaan, sesungguhnya tak lepas dari “remot” Amerika Serikat (AS) dari kejauhan. Indikasi itu terlihat di Mesir. Adanya statement beberapa pakar dan tokoh Mesir sendiri menyebut, bahwa siapa memegang tampuk kekuasaan di negeri piramida harus melalui “restu” dari Paman Sam. Meski kebenaran pendapat tersebut sempat kabur dengan turunnya 1500 tentara Israel membantu pemerintah Mesir, ditambah bertolak-belakangnya statement antara Tel Aviv dan Washington.

Namun akhirnya terkuak bahwa ternyata hanya soal ketakutan berlebihan (phobia) Israel ditinggal sendirian jika Mubarak jatuh. Bagi Israel, kejatuhan Mubarak, selain akan menghilangkan sekutu dekatnya – juga bisa berimbas putusnya pasokan 40 % gas dari Mesir jika kelak rezim penggantinya sosok anti-Israel. Dan phobia Israel terbukti dengan meledaknya pipa yang mentransfer gas ke negaranya. Disinyalir pergolakan di Mesir akan menciptakan kekacauan ekonomi Israel. Tel Aviv khawatir perubahan rezim di Mesir kemungkinan akan merugikan impor gas, sebab cadangan gas Israel hanya bertahan hingga akhir tahun ini.

Media-media sosial yang kerap digunakan oleh masyarakat luas sebagai motor pergerakan adalah kanal Youtube, Facebook, foto album Flickr, serta akun Tumblr. Juga melalui e-mail, BBM dan teknologi komunikasi lainnya.

Dengan aktif di media sosial, hal itu menandakan bahwa selain dari isu ‘seksi’ mengenai revolusi, terdapat alat yang juga sangat mempengaruhi perjuangan mereka. Alat yang ketika dikendalikan sesuai dengan misi perjuangan, maka ia akan menjadi kekuatan dahsyat yang sulit dibendung oleh kekuatan militer sekalipun.

Membela Al-Aqsha selalu menjadi isu bersama umat Islam, meski aliran dan madzhab berbeda. Semuanya merapatkan jari dan menyatukan hati. Menekan Aqsha berarti menekan syaraf paling sensitif di tubuh umat yang bisa menyulut emosi dan harga diri. Bukan hanya sebagai kiblat pertama umat Islam, Masjidil Aqsha juga adalah sebuah identitas kemusliman yang sempurna. Situs islam yang kental dengan sejarah perlawanan ini berada disetiap jiwa manusia muslim. Mengawal dan mempertahankan dari ancaman yahudi yang kerap bercita meratakannya guna mencari kuil Solomon. Karenanya, konspirasi kerap dilakukan oleh mereka untuk membiaskan muslim dunia mengenai keberadaan komplek masjid Aqsha. Menyebarkan dua gambar masjid berkubah kuning (Dome of the rock / Masjid Umar), dan masjid berkubah hijau. Tujuannya satu, agar umat Islam di dunia senantiasa beranggap bahwa masjid Aqsha adalah salahsatu diantaranya. Padahal sesungguhnya, letak Aqsha adalah satu komplek yang meliputi dua masjid itu, tak terpisahkan!.

Setelah tujuannya tercapai, atau mereka berhasil menggiring opini publik bahwa masjid Aqsha adalah salahsatu masjid diantara dua kubah itu, maka mereka dengan leluasa mudah untuk menghancurkan (meratakan) bangunan masjid disebelahnya, yang dianggap umat Islam bukan masjid Aqsha. Konspirasi yang sangat halus guna meluaskan pencarian kuil solomon di area suci Aqsha.

Pasca revolusi Al-Barraq, perwakilan kaum muslimin dari 22 negara berkumpul di konferensi umum Islam di Al-Quds tahun 1931 untuk membahas cara menjaga dan mempertahankan Al-Aqsha dan Palestina. Mereka bertukar pikir bagaimana Al-Aqsha ini senantiasa menjadi masjid ke-3 yang aman untuk dikunjungi umat Islam di dunia, laiknya Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Demikian pula setelah pembakaran masjid Al-Aqsha pada tahun-tahun berikutnya, mengundang perwakilan negara-negara Islam berkumpul dan membentuk OKI yang hingga kini kurang lebih telah beranggotakan 56 negara.

Ketika Sharon menggelar kunjungan pelecehan ke Masjid Al-Aqsha 28 September 2000, lalu meletusnya api Intifada Al-Aqsha yang berlangsung selama sekitar 5 tahun dan diikuti oleh dukungan dunia Islam serta Arab secara menggemparkan. Semua bersama membela Aqsha tercinta.

Namun kini, konferensi umum Islam meredup dan Organisasi Konferensi Islam berubah hanya menjadi perayaan seremonial yang hanya mengeluarkan sikap kecaman dan pernyataan semata. Intifada pun terhenti. Arab seolah tuli dan tak bernyali. Sikapnya cenderung basi. Di lain pihak, penjajah Israel tetap bercokol. Aksi yahudisasi, ekspansi pemukiman, dan aksi perampasan wilayah Palestina terus berlanjut. Warga Al-Quds sendirian memegang bara api. Teriakan-teriakan Al-Quds dan rintihan Al-Aqsha pun semakin mendidih. Namun teriakan dan rintihan itu menjadi tertahan yang tidak didengar oleh siapa pun. Seakan orang terbiasa dengan rintihan dan tidak menjadi berita penting, penyulut emosi, atau pendorong.

Mungkin setelah lebih dari 63 tahun penjajahan Al-Quds dan 44 tahun penjajahan Al-Quds timur, bangsa Arab dan umat Islam tertimpa pesimistis. Banyak orang mungkin terbiasa dengan berita-berita yang sama yang mengenaskan tentang Al-Quds untuk jangka panjang.

Barangkali -juga- sebagian kita lainnya disibukkan oleh masalah-masalah lokal dan regional. Mungkin sebagian lagi mengecam perpecahan di Palestina. Atau sebagian besar orang kini disibukkan dengan revolusi Arab dan segala implikasinya.

Barangkali faktor ini atau sebagiannya yang menjadikan jeritan Al-Quds tertahan. Namun yang terpenting bahwa semua pihak harus menyadari bahwa proyek zionis untuk yahudisasi Al-Quds terus berjalan dengan sangat intens dan terorganisir. Mereka akan menciptakan status quostatus quo baru di lapangan dan berusaha membuat gambaran manipulatif baru terhadap Al-Quds yang bertentangan dengan identitas Al-Quds sebagai milik Arab dan Islam. Jeritan Al-Quds sesunguhnya sangat keras namun telinga umat Islam tertutup oleh tanah lumpur dan adonan.

“Ahh, untuk apa mengurusi politik negeri orang, yang jelas-jelas akan terus terjadi hingga akhir zaman” Begitu pesimistis orang memandang permasalahan bangsa Palestina dan Al-Aqsha, yang jelas-jelas sebagai urat nadi perjuangan Islam sesungguhnya. So’ jika berkenan, -paling tidak- mari bersama untuk tidak melupakan sisipan doa untuk perjuangan mereka. Sehingga mereka tidak merasa sendiri.

Kemungkinan tema diatas akan mengundang pro dan kontra dari setiap orang yang membacanya. Yah, bukan tanpa sengaja hal ini diangkat. Karena memang hal demikian (mengenai bekal haji) telah terlebih dulu diangkat oleh ALLAH dan rasul-Nya. Tidak serta merta bahwa saat melaksanakan haji, hanya cukup dengan modal ikhlas, tawakal dan sabar. Ada komponen yang secara lugas mengiringi perintah dalam pelaksanaan ibadah haji. Oleh karenanya, Haji menjadi rukun terakhir dari tahapan seorang muslim paripurna, sebab dalam haji terdapat cakupan ibadah yang lebih luas dan detail. Perspektif haji mahal, rasanya akan bijak ketika dilihat dari sisi value ibadah haji itu sendiri, -tentunya- tanpa mengatakan ada semacam ketidakseimbangan antara (dana) yang dikeluarkan dengan (thing) yang diberikan.

Baiklah, kerangka awal tulisan ini –sesungguhnya- terdapat dari pemahaman mengenai ibadah mahdoh seorang muslim dalam membangun konstruksi muslim sejati. Diantara 5 rukun Islam, adakah perintah untuk mengeluarkan bekal (materi ataupun imateri) selain ibadah haji (?). Berbeda dengan zakat, yang –sejatinya- memang untuk membersihkan harta dan jumlah (batasan) pengeluarannya sudah ditentukan dengan jelas. Rasanya hanya perjalanan haji yang ALLAH perintahkan untuk memiliki ‘bekal’ dalam mengarunginya. Ditambah dengan keharusan pelaksanaannya cukup hanya bagi mereka yang mampu. Meski ‘mampu’ disini masih umum (bisa mampu secara fisik ataupun harta), tetapi mayoritas penekanan adalah mampu dalam finansial. Sebab dengan bekal finansial, ia telah menginjak 80 persen pada status hukum wajib melaksanakan haji.

Jika saja Haji tidak perlu ada biaya yang dikeluarkan, semacam sahadat, sholat, dan puasa, maka tidak akan ada perintah yang mengarahkan untuk memiliki bekal dalam pelaksanaanya. Meski bekal yang paling baik adalah takwa, namun bangunan takwa itu –tidak dipungkiri- selalu diawali dari perbekalan haji yang (umumnya) harus mengeluarkan materi. Besar dan kecil, mahal dan murah tentang ONH (ongkos naik haji) sesungguhnya adalah relatif. Semuanya kembali pada orang yang telah meraih gelar ‘Mampu’ melaksanakan haji.

Juga tidak lantas mengatakan, agar perjalanan haji itu lebih terasa ‘pengorbanan’nya, maka kelayakan hidup selama di tanah suci, tidak ‘perlu’ terlalu diperhatikan. Yang penting ibadah kepada ALLAH dengan tulus dan ikhlas. Lalu muncul pertanyaan; Lantas mengapa kerap muncul permasalahan melanda para jemaah yang terlantar, kelaparan, penipuan, kekecewaan dan seterusnya, apakah ini bagian dari pengorbanan (?).

Dalam hukum ‘dagang’ sering kita dengar ungkapan pasar, bahwa ‘barang’ dan kualitas tergantung harga. Karena rate sebuah value perbekalan haji, maka wajar jika banyak calon jemaah haji memilih bekal yang lebih mahal. Meski ALLAH meneruskan perintah bekal itu dengan; Sebaik-baiknya bekal adalah takwa. Sebab menuju ketakwaan adalah sesuatu yang teramat ‘Mahal’.

Manusia adalah makhluk paling istimewa yang diciptakan ALLAH SWT. Betapa hebatnya keistimewaan itu, hingga para Malaikat dan iblis diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam AS. Sebagai manusia pertama ciptaan ALLAH SWT. Tingkat keimanan paling tinggi yang dimiliki Malaikat dapat diraih oleh manusia, bahkan tingkat pembangkangan iblis sekali pun dapat dijumpai pada diri manusia. Manusia bukanlah Malaikat dengan keimanan yang konstan dan juga bukan iblis yang selalu membangkang selamanya. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki manusia, rasa syukur –tentunya- wajib untuk selalu dipanjatkan. Selain tercipta dalam sebaik-baiknya bentuk, sempurna tak tertandingi dengan ciptaan makhluk lainnya di muka bumi. Sebagai khalifah dan makhluk ‘pilihan’.

Manusia juga memiliki suatu ‘ruang’ yang akan dibangga-banggakan ALLAH dihadapan semua makhluk langit. Di dengar dan di perhatikan setiap tetesan tangis dan butiran pasir yang melekat dalam langkah suci. Menjadi manusia yang ‘sempurna’ adalah saat ALLAH benar-benar bangga dihadapan hambanya. Amazing!

Namun perlu disadari, sebagian orang –bahkan- yang sudah mampu secara materi, tetapi masih berdalih ‘belum terpanggil’, sehingga belum juga melaksanakan Umrah maupun Haji ke tanah suci. Padahal –sesungguhnya- yang ikut andil dalam ‘menentukan’ terpanggil atau tidaknya oleh ALLAH SWT ke tanah suci-NYA adalah manusia itu sendiri.

Ibaratnya, untuk dapat berkunjung ke Istana Negara dan bertemu dengan Presiden saja, tentu hanya orang-orang tertentu, atau pilihan, atau yang mempunyai prestasi tertentu saja, yang mana akan mendapatkan undangan khusus bisa masuk ke Istana dan berjumpa langsung dengan Presiden.

Terlebih untuk dapat berkunjung ke Baitullah, tentunya kita juga harus ‘berprestasi’, dan menjadi pribadi-pribadi muslim pilihan dalam pandangan ALLAH. Sudah banyak mungkin cerita yang kita dengar dari orang-orang biasa tetapi ‘luar biasa’, yang pada akhirnya di ‘mampukan’ oleh ALLAH SWT dari jalan yang tak disangka-sangka, hingga dapat berkunjung ke tanah suci-Nya.

The priority adalah gelar yang disematkan ILAHI RABBI, menjadi tamu khusus dari Dzat Maha Segalanya. Menjadi sosok yang teramat dibanggakan, menjadi manusia yang terbebas dari segala kelusuhan dosa, kesemrawutan jiwa, dan keangkuhan raga. Karena the priority adalah celah meraih pintu mabrur!

Rasanya untuk saat ini, saya harus keluar terlebih dulu dari lingkaran fikih mengenai hukum merayakan Maulid Nabi. Satu hal yang –mungkin- selalu menjadi diskusi alot antara yang boleh dan tidak. Saya hanya ingin membangunkan rasa cinta pada idol sesungguhnya, kekasih –yang seharusnya- menjadi paling sejati diantara cinta dan kasih terhadap manusia lainnya. Rasulullah SAW, Muhammad bin Abdullah. Yah, keagungan cintanya kepada kita, tidak akan pernah tersaingi oleh makhluk yang pernah ada dalam jagad ini. Sejujurnya, jika bukan karena tanggal merah, atau tulisan-tulisan besar pada baliho di jalanan mengenai Maulid Nabi, Saya –mungkin- akan semakin melupakan-mu duhai Rasul. Mungkin juga, ungkapan shalawat yang setiap hari terlontar hanya sebuah kelayakan dzikir usai ibadah shalat, tanpa mendalami betapa hidupmu penuh dengan rasa cinta kepada kami. Maafkan kami yang meninggalkanmu dalam buku-buku sejarah yang entah sudah chapter keberapa, karena luput dari ingatan. Serta merasa cukup dengan memajang namamu pada hiasan dinding rumah dan masjid yang begitu indah. Maafkan kami ya Rasulallah yang ternyata masih saja ingat kepadamu karena sebuah momentum, karena sebuah baliho dan tanggal merah, masih teramat jauh dengan cinta kasihmu yang teramat besar.

Semua orang –mungkin- pernah merasakan bagaimana rasanya ketika dihinggap perasaan rindu, asa yang menggebu. Jiwa yang meronta karena ingin segera berjumpa. Siang malam gelisah, pasrah menunggu saat yang begitu dinanti. Terlebih jika penantian itu terhadap sosok mulia pembawa risalah, jangankan menatap dan menyentuh makamnya, mendengar nama mulia-nya saja, hati terasa bergetar, shalawat menggema dalam jiwa. Dan rasa melebur dalam raga. Semua partikel mengalir dalam tubuh. Tak akan pernah ada seorang muslim –sejati- luntur dari rasa cinta dan rindu kepada Rasulullah SAW. Meski tak pernah jumpa dan menatapnya, hati kan selalu merindu.

Dalam sebuah syair Arab disebutkan; Bagaimana mungkin dapat diimbangi seorang insan terbaik yang hadir di muka Bumi. Semua orang yang terpandang tidak akan mampu mencapai ketinggian derajatnya. Semua orang yang mulia tunduk dihadapannya. Para penguasa Timur dan Barat rendah disisi-nya. Abdullah bin Mas’ud (sahabat Rasul), mengungkapkan; Sampai sekarang masih terlintas dalam ingatanku saat Rasulullah SAW mengisahkan seorang Nabi yang dipukul kaumnya hingga berdarah-darah. Nabi tersebut mengusap darah pada wajahnya seraya berdo’a “Ya ALLAH, ampunilah kaumku, karena mereka kaum yang jahil.

Shalawat dan salam bagimu duhai Rasulullah, kekasih ALLAH yang sangat kami rindu. Izinkan kami tuk selalu berada di samping pusaran Rasul-MU, sebelum jiwa meregang kehadirat-MU Yaa Rabb. Mudahkan dan berikan limpahan rezeki umat Islam yang tak kuasa membendung luapan rindu dalam diri. Kami mohon jangan ENGKAU matikan hati dan jasad terlebih dulu sebelum berada di tanah suci-MU dan dekat dengan kekasih-MU

Atas nama seni, teman saya membiarkan rambutnya gondrong dan berantakan (baca; acak-acakan), atas nama seni juga teman saya menggambar tubuhnya dengan tato, semua perihal kebebasan selalu di sandarkan dengan aktivitas seni. Seni tak terbatas oleh norma, komentarnya. Namun, tahukah dia bahwa seni memiliki kekuatan yang terbesar dalam mengubah semua pola pikir kita (?) watak dan aktivitas hidupnya kan terpengaruhi oleh kekuatan seni yang mengalir dalam darahnya. Bahkan dengan seni tingkat Tinggi, ALLAH menciptakan bumi ini untuk dinikmati semua makhluk yang juga tak luput dari bentuk seni yang menawan. Para ahli seni, sering dibilang seniman, dan saya meyakini, bahwa setiap manusia, termasuk saya dan Anda bisa dikategorikan sebagai seniman. Sebab kita bisa merasakan suatu keindahan dan merangkainya dalam bentuk sebuah karya di dalam kehidupan. Yang berbeda –tentunya- hanya kadar dari kepiawaian jiwa seninya itu sendiri. Sehingga melahirkan penamaan seniman asli atau aspal. Dalam beberapa waktu lalu, di smartBLOG ini, saya sempat menulis, bagaimana kekuatan seni dalam perkembangan Islam. Bahkan hampir 100 persen, Islam dapat dirasakan di seluruh dunia melalui seni. Baik seni arsitektur, ataupun seni dalam menerapkan strategi dakwah.

Semuanya selalu berawal dari seni, mengkolaborasikan ide dan tindakan sekalipun tetap membutuhkan insting seni yang mendalam. Seni itu indah, keindahan dan sesuatu yang menjadikan orang yang merasanya menjadi indah. Dan naluri manusia itu sangat suka pada sesuatu yang indah dan mengindahkan. Seperti hal-nya ALLAH Ajja wa Zalla, Dzat yang indah dan mencintai orang yang indah. Bukan malah karena mengaku, atau mengatasnamakan seni, ia malah bebas membiarkan rambut atau anggota tubuhnya berantakan.

Contoh sederhana seni yang membuat orang terhanyut adalah sebuah film Perancis, bertajuk Les Choristes. Meski kurang paham dalam bahasanya, tapi sangat jelas adegan setiap scene-nya menggambarkan suatu prilaku ‘seni’ yang teramat dahsyat. Film jadul ini, banyak menggunakan adegannya di sebuah asrama sekolah. Film ini secara tegas menggambarkan bahwa penegakkan disiplin tidak harus melalui hukuman fisik, jewer kuping, memukul meja, dan efek suara lainnya. Namun si guru cukup menggunakan strategi nyanyi –yang tentunya- kental dengan nuansa seni yang berkembang. Setelah menerapkan strategi itu, maka luluh lah ‘kebrutalan’ anak-anak sekolah dasar di sebuah asrama sekolah itu. Strategi itu pun diterima, maka terbentuklah paduan suara satu kelas yang awalnya dikenal sebagai ‘kelas brutal’ menjadi anak-anak yang patuh dan memiliki rasa satu dengan yang lainnya.

Bukan hanya itu, rasanya dalam berbisnis pun diperlukan insting seni yang memadai. Sehingga dalam melakukan suatu karya, kita bisa maksimal dalam mengolahnya. Terlebih jika ingin menciptakan karya-karya inovasi dalam segala aspek dan bidang bisnis. Jelas akan tampak bagaimana kekuatan seni yang terbangun dari karya-karya itu. Seperti halnya kita bisa membedakan mana inovator, mana follower. Disanalah letak perbedaan antara seni yang dijiwai dengan seni plagiat tokh.

Saya sedikit memahami, bahwa bisnis yang mapan adalah bisnis yang mampu mempelajari selak beluk serta turun naiknya volume bisnis. Jika boleh saya mengibaratkan seni bagai sebuah melodi. Dimana tempo yang dimainkan sangat dinamis sekali, terkadang kita harus memainkan tempo dengan sangat cepat, namun terkadang kita harus memperlambat tempo permainan. Jika kita merasakan tempo bisnis berjalan lambat, bagaimana seni kita untuk mempercepat permainan kita, sehingga kita dapat mengatur ritme dan alur sebuah bisnis.

Ahh… khawatir menjadi sotoy yang berlebihan, intinya seni adalah kekuatan yang teramat dahsyat dalam semua aspek kehidupan kita. Orang yang ‘ber-seni’ selalu berhati nurani. Benarkah (?)