Senja di suatu hari, saya bersama beberapa rekan Cordova, di undang pimpinan kami untuk meeting di sebuah mall di bilangan Kota Mandiri. Seperti biasa jika meeting diadakan di luar headquarter, pastinya akan bernuansa rileks namun penuh khidmah. Sembari menanti kedatangan beberapa team yang belum sampai, kami terlebih dulu memesan tempat dan makanan di sebuah resto bergaya tradisional, betawi. Rasanya tidak salah jika saya memesan terlebih dulu minuman hangat, karena –memang- kondisi saat itu sedang musim hujan. Minuman hangat akan selalu menjadi menu pilihan. Saya panggil waitress yang tertera nama Nanda di bajunya. Dengan penuh senyum, Nanda memberikan daftar menu, gerak tubuhnya menunjukan bahwa dia senior di resto itu. Menyapa, menawarkan dan berujar dengan penuh kharisma. Tidak berjarak, namun penuh santun dengan para tamu yang semakin ramai memadati resto itu. Langkahnya gesit, namun penuh perhitungan.

Nanda, waitress yang berpenampilan cukup apik itu, dibalut dresscode khas daerah Resto, hingga terlihat sangat sopan. Wanita yang berumur sekitar 28 tahun itu juga banyak memikat tamu di restonya, bukan karena ia seorang wanita yang menjadi buruan ‘mata lelaki’, namun karena pesona dan sikapnya sebagai pelayan para tamu-nya dengan penuh rasa. Setiap tamu yang datang, ia tempatkan sebagai ladang rizki untuknya, kawannya dan –tentunya- teruntuk restoran tempat ia bekerja. Dengan demikian, Nanda tampak sangat antusias dalam menyambut ‘rizkinya’ meski mereka hanya membeli segelas teh manis hangat sekalipun. Selain Nanda, ada juga temannya Bella dan Iwan. Hampir sama, mereka semua memperlakukan kami (konsumen) dengan sepenuh hati.

Di resto itu, tampak ada sekitar 6 orang, tiga waitress, dua koki dan seorang kasir. Meski banyak tamu yang harus dilayani, namun penyajiannya cukup cepat. Yang lebih membuat kami salut, mereka bekerja dengan saling mengisi job desk. Lazimnya seorang waitress, mereka hanya melayani dan mengatur lalu lintas hidangan sampai ke meja kunsumen, namun yang kami perhatikan di Resto itu mereka bekerja bukan sekedar pelayan. Mereka terlihat sigap dalam membersihkan property dan lingkungan tempat kerjanya.

Tanpa saling mengandalkan, ketika temannya sedang melayani tamu, maka salahsatu dari mereka membersihkan pintu kaca yang mengembun. Saat itu, hujan sangat besar, sedangkan di dalam ruangan ber-ac. Maka pintu kaca besar itu tampak seperti kena uap. Dengan sigap, Nanda, bella dan Iwan bergiliran mengelap kaca itu, dengan sesekali mengepel lantai yang terciprat air hujan. Begitulah seterusnya, mereka bahu membahu bekerja untuk kenyamanan para pelanggannya.

Tibalah waktu meeting, ternyata cukup lama kami memperhatikan cara mereka bekerja. Belajar dari ke-seriusan, ke-sigapan, ke-antusiasan, kemandirian dengan penuh tanggungjawab. Berjuang untuk tidak berada dalam zona nyaman bekerja, setelah itu maka timbulah rasa penuh amanah. Bekerja total untuk memberikan kepuasan semua pelanggan. Wal akhir, kita semua mendapat pelajaran yang penuh makna petang itu.

Road to Manasik

Nampaknya pembahasan mudik pra dan paska lebaran selalu menjadi menu utama untuk diperbincangkan, diberitakan dan dikisahkan setiap media di Indonesia. Karena bukan hanya aktivitas massif yang melibatkan jutaan manusia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, pada rentang waktu yang hampir bersamaan, tetapi juga pergerakan arus ekonomi yang melaju rata ke setiap pelosok desa. Sebagaimana filosopi ‘Mudik’ yang juga berarti hulu sungai, dimana semua aliran air (sumber kehidupan) berawal. Jadi –memang- adakalanya seseorang harus kembali ke daerah asal, sebagai tanda penghargaan dan rasa syukur atas tanah lahirnya. Mudik juga bisa dibilang merupakan sebuah gerakan nasional (kendati tidak secara resmi dinamakan gerakan nasional), semua orang urban untuk kembali ke kampung halamannya. Tradisi ini, bak warisan yang telah turun temurun dari generasi ke generasi. Mereka rela berdesak-desakan, berdiri selama perjalanan di kereta bahkan ada juga yang menempati WC kereta untuk duduk dan istirahat. Semua itu adalah hal yang secara nalar –mungkin- tidak pernah dilakukan selama hari-hari biasa (non mudik).

Kisah dan cerita pemudik memang kerap mengundang media untuk dijadikan ‘rasa’ mudik setiap tahunnya berbeda. Memiliki rasa yang nikmat untuk disuguhkan kepada jutaan pemirsa di Tanah Air. Namun kali ini, mari kita sedikit fokus pada hakikat mudik sesungguhnya, bukan hanya mudik biologis yang sudah pasti membuat raga letih, namun juga kita mengambil posisi mudik dari kacamata lain. Kacamata spiritual yang menegaskan makna mudik sesungguhnya.

Siklus mudik menggambarkan tentang kerinduan manusia akan keberadaan asal muasal penciptaan. Manusia menyadari bahwa dirinya memang berasal dari zat yang kekal (Rabbul Izzati), yang pastinya manusia juga akan kembali kepada-Nya. Mudik merupakan gambaran manusia yang merindukan spiritual di sela-sela kehidupan yang cenderung dibuai rayuan modernitas.

Mudik tak ubahnya laku ziarah atas ruang dan waktu, kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran tentang kesejatian diri manusia yang hakikatnya terbebas dari segala ‘kejahatan’ dan ‘kotoran’. Spritualitas mudik mengingatkan kita, bahwa keluhuran manusia dapat tergapai dengan mewujudkan nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Mudik ke kampung rohani merupakan perjalanan spiritual agar pemudik kembali menimba semangat religiusitasnya di arena social kultural, seperti kampung halaman kita.

Sejatinya yang harus mudik bukan semata bersifat jasad-biologis, tetapi juga memudikkan ruhani ke asal sifatnya yang segar, jernih dan manusiawi. Sebelum mudik yang sebenarnya tiba menyapa manusia, menuju panggilan-Nya melalui Malakul Maut. Kembali kepada dimana kita mengawali kehidupan.

So, let’s do the best for last!

Sebuah kontemplasi

Menjelang senja di hari libur, biasanya kami menghabiskan waktu di depan rumah yang ditumbuhi beragam tanaman di teras yang tak terlalu luas. Terlebih saat ramadhan, ritual ini menjadi semacam ngabuburit menunggu adzan maghrib. Selepas mencuci sepeda motor, selang air yang saya pegang, diminta anak sulung saya untuk menyiram beberapa tanaman yang sudah tumbuh beberapa bunganya. –Memang- anak kecil paling senang jika harus bermain air, apalagi jika mendapatkan ‘restu’ dari ibunya, sungguh akan semakin menjadi ia bermain dengan air. Sewaktu menyiram tanaman sansevieria, atau nama terkenalnya “Lidah mertua” setinggi kurang lebih setengah meter, dikiranya akan kuat, ternyata begitu di semprot 3-4 kali, tanaman ini tumbang. Padahal beberapa kawan-nya masih tampak kokoh, ternyata bukan hanya “Lidah mertua” yang melilit disamping pagar tadi saja yang tumbang, kembang Telang, tanaman yang secara khusus dirawat istri saya pun sangat mudah tumbang, bahkan hanya dengan satu kali semprot. Anak saya begitu bangga, karena seolah telah mudah menumbangkan tanaman-tanaman mungil orangtuanya. Namun –justru- ibunya heran kenapa tanaman-tanaman itu begitu mudah jatuh hanya karena semprotan air selang. Ternyata ohh ternyata masalahnya terletak pada akar, kenapa akar (?)

Baik, kita lupakan cerita senja diatas. Kini kita masuk pada inti permasalahan besar di setiap kita, di setiap rumah yang kita hidupi, di setiap tempat mencari nafkah kita. Sesungguhnya peristiwa kecil diatas bisa menjadi besar ketika hal itu terwujud dalam kehidupan kita yang lebih besar, terlebih ketika cita dan impian-impian kita mudah sekali tumbang, jatuh dan mati justru ketika bangunan cita dan impian itu tampak kokoh.

Awalnya, ketika kita sering melihat peristiwa pohon besar rubuh dan menghantam kendaraan bahkan banyak pula yang menjadi korban jiwa, kita tidak menyangka pohon sebesar itu bisa tumbang, padahal tampak sebelum diterpa angin, pohon itu sangat kokoh. Penyebabnya ada beberapa kemungkinan, bisa saja karena anginnya memang besar, atau karena akar dari pohon itu sudah tidak bisa menyambat dan mencengkram bumi dengan kuat lagi. Seperti layaknya pohon, ketika sebatang pohon sebelum tumbuh dan menjadi tunas, maka pohon itu akan menancapkan akarnya sedalam-dalamnya di bawah tanah. Akar itu tiada lain adalah untuk mencari dan mendapatkan air, vitamin, mineral dan zat-zat lain yang digunakan untuk mewujudkan sebatang pohon yang akan menghasilkan dahan dan daun, pun demikian, dahan yang dihasilkan batang itu akan menghasilkan bunga atau buah yang dapat dinikmati.

Begitupun dengan manusia, -dan- atau bangunan masadepan yang tercipta dari kebersamaan mimpi mewujudkannya. Masadepan bersama berupa tempat mencari nafkah pun bisa diibaratkan sebagai batang yang kokoh. –Meski- kesuksesan batang itu bisa tampak gemerlap dari luar dan dari kejauhan sudah tampak menjulangnya, namun jika kekokohan pohon itu tidak dikuatkan pula oleh akarnya, maka tidak mustahil kemewahan pohon itu tidak menunggu lama untuk jatuh, tumbang, dan mati. Padahal orang tak menyangka, pohon kuat itu bisa tumbang dan luput dari tanda-tanda ketumbangannya. Hanya cerita saja yang akan menjadi sejarah, bahwa pohon istimewa itu tumbang tiba-tiba, semuanya kaget tidak mengira, yang tahu hanyalah jalaran akar yang saling mengikat bumi itu.

Kitalah akar yang menguatkan bangunan kokoh itu, kitalah yang akan mengairi air, vitamin dan mineral terhadap pertumbuhan dan keberlangsungan pohon tersebut. Semakin kita lebih dalam menggali bumi, semakin menjalar dan semakin kuat menancap pada bumi dengan cengkraman-cengkraman baru, maka semakin istimewa pohon masadepan kita.

So, mari bersama mengokohkan cengkraman akar kita, demi masadepan yang lebih bermakna.

Sambel dadakan seh enak, kalo ustadz dadakan (?)

Rasanya tema diatas akan sedikit mengundang kontroversi bahkan polemik, jika saja pemahaman tentang makna ‘ustadz’ itu sendiri tidak kita kupas secara detail, ditambah jika kita saksikan bagaimana gamblangnya peran ustadz ini di ‘panggung’ dakwah, maka kita akan semakin yakin bahwa ustadz dadakan yang kini berjamur di negeri kita, bisa masuk dalam ‘Penghancur agama’ atau jika tidak ingin kita sebut sebagai ulama su’u (ulama jahat). Seperti atsar ulama yang menyebutkan “Tidak ada yang merusak agama ini, kecuali raja, dan para ulama su’u serta para rahibnya”. Oleh karenanya, mari kita perjelas apa sebenarnya makna ‘ustadz’ itu sesungguhnya, sehingga tidak terjadi penggelinciran makna sesungguhnya. Tetapi jika awalnya kita sudah apriori, karena mengganggap bahwa panggilan ustadz itu sudah menjadi kebiasaan dan budaya Indonesia, maka yakinlah akan banyak bermunculan ustadz-ustadz ‘dadakan’, yang –ekstrimnya- hanya menggunakan kopiah saja, sudah bisa menjadi sosok seorang ustadz. Lincah dan lihai dalam panggung dakwah yang tentunya bertarif mahal jika ingin mengundangnya. “biaya sebesar itu bukan untuk saya, itu untuk yayasan sosial dan orang-orang yang mencari nafkah didalamnya,” alasannya terkesan logis.

Asal kata dari ustadz adalah ustad (tanpa huruf “Z” atau tanpa huruf “Dzal”). Dalam kamus Arab, Al-Mu’jamul Wasith, kata ustadz memiliki beberapa makna sebagai berikut: Pengajar, Orang yang ahli dalam suatu bidang industry dan mengajarkan pada yang lain, serta julukan akademis level tinggi di universitas. Kata jamaknya adalah Asatiidz dan Asatidzah. Demikian menurut pengertian bahasa. Sedangkan pengertian pokok ustadz adalah “seorang pakar spesialis tingkat tinggi”, atau orang yang sangat ahli dalam suatu bidang. Menurut pengertian ini, maka seseorang tidak pantas disebut ustadz kecuali, jika ia memiliki keahlian dari 18 atau 12 ilmu (bidang studi) dalam sastra Arab, seperti ilmu nahwu, Shorof, bayan, badi’ ma’ani, adab, mantiq, kalam, perilaku, ushul fikih, tafsir, hadist.

Sedang di Indonesia, (entah sejak kapan, dan siapa yang memulai) seolah pemanggilan atau penamaan ustadz begitu lumrah dan mudah, seakan tiada beban, yang penting orang tersebut memiliki kemampuan agama (meski hanya sekadar bisa baca Al-qur’an) dan bersikap serta berpakaian layaknya orang alim, maka dengan mudah ia sudah ‘lulus’ mendapat julukan Ustadz. Walaupun kemampuan riil yang dimilikinya sangat minim dan jauh dari definisi Ustadz sesungguhnya. Sehingga dengan demikian (mudahnya mendapat gelar ustadz), ia memiliki potensi besar dalam menguasai ‘panggung’ dakwah yang sarat dengan kenyamanan duniawi (materialistik).

Wajar jika output yang instant dalam penggodokan ustadz itu menghasilkan sosok-sosok ustadz yang lebih ‘nyaman’ bersenda gurau di depan layar kaca, terlebih jika masuk infotainment, merasa figur ustadz seperti predikat yang dikenakan dalam berdakwah. Ada juga yang mengatasnamakan metode dakwah, atau apalah sebutannya, memproklamirkan ceramah di bulan ramadhan di sebuah Resto Wine, yang jelas-jelas (setelah usai ceramah) Restoran itu tidak akan berubah menjadi Resto Zam-zam misalnya. Apalagi hal demikian itu, jika tidak disebut dengan penghinaan metode dakwah. Dimana kehormatan dan harga diri seorang ustadz yang ‘manut’ saja dipanggil hanya karena bayarannya kencang (?)

Dimanakah sosok ulama yang benar-benar menjadi Pewaris para nabi itu (?)

Rasanya hanya dibulan Ramadhan saja, waktu menjelang Subuh jalanan masih ramai, denyut aktivitas masih hidup dan menghidupi banyak manusia. Kemungkinan juga, bulan Ramadhan saja yang bisa menciptakan kekuatan besar pemicu pergerakan ekonomi yang pesat. Karena pada ramadhan semua manusia muslim meyakini bahwa turunnya keberkahan dimulai dari spirit berbagi pada bulan ini. Sesungguhnya terdapat potensi besar dibalik konsumtifisme yang terjadi saat ramadhan. Ketika permintaan meningkat pesat, demikian pula dengan penawaran yang tak kalah tingginya. Maka saat itu terjadilah situasi dimana pada tingkat harga yang terbentuk, konsumen dapat membeli semua produk yang diinginkannya, dan menurut Vincent Gasperz, Ekonomi Manajerial, produsen pun dapat menjual semua produk yang diinginkannya. Istilah simple-nya, semua berputar merata dengan simpul-simpul penggerak ekonominya di masing-masing daerah.

Di bulan ini, ada semacam spirit berwirausaha yang menjamur. Masyarakat yang sehari-harinya bukan pedagang pun, saat ramadhan, tiba-tiba menjadi pedagang ‘dadakan’. Hingga muncul pasar-pasar rakyat atau bazar saat sore hari, mereka berlomba menjual aneka menu berbuka. Dan harus diakui ini menjadi pertanda bahwa ramadhan turut andil dalam kebangkitan ekonomi umat (atas keberkahannya), karena tanpa disadari, mereka telah menjadi pelaku langsung dalam berwirausaha, meskipun setelah ramadhan semuanya akan kembali seperti semula.

Di sisi lain, percaya atau tidak, setiap datang ramadhan uang belanja harian, atau bulanan akan mengalami lonjakan yang signifikan. Bahkan bisa jadi pendapatan bulanan bisa langsung ‘amblas’ dalam dua-tiga hari. Namun percayakah Anda, meski banyak pengeluaran yang tak terduga, namun rezeki pun selalu muncul tanpa duga dengan kenikmatan yang luar biasa. Mari kita perhatikan sedikit contoh bagaimana tidak melonjaknya pengeluaran saat berbuka saja; ada kolak, es buah, cendol ‘Elizabeth’, goreng-gorengan, kue basah dan beragam minuman lainnya. Ini hanya dessert lho’ belum makan beratnya sehabis sholat Maghrib. Biasanya selalu ingin makanan yang berbeda saat berbuka puasa, dilanjutkan setelah sholat tarawih, bisa berupa bakso, mie kocok, atau pun siomay dan batagor.

Tidak masalah sebenarnya, jika semua makanan itu bisa habis termakan dan sesuai dengan ruang kapasitas perut kita, karena tokh bulan ini, kita belajar untuk share kepada mereka yang sibuk berjualan mencari nafkah. Dimakan atau tidak oleh kita, pada saat itu, kita telah menjadi bagian perekat dalam pembangunan ekonomi umat, meski dalam skala kecil dan luput dirasakan.

So’ Ramadhan adalah waktu yang sangat baik untuk sharing –dan- akan lebih bermakna lagi jika terus berlanjut ‘sharing’ ini ke bulan-bulan selanjutnya. Karenanya, bahagia berbagi dalam ramadhan ini menjadi salahsatu fenomena sosial yang marak terjadi dikalangan masyarakat muslim kita.

Sinkronisasi ruh & jasad

Setiap tahun dalam satu bulan, sesungguhnya ada sebuah peristiwa besar yang luput menjadi perhatian manusia di Alam raya. Disebut perhatian manusia, karena –manusia- memiliki ruh dan jasad. Jika tidak memiliki salah-satunya, maka makhluk itu tidak bisa dikatakan sebagai manusia. Tanpa ruh, jasad itu hanya berupa mayat yang tak berdaya. Pun sebaliknya, tanpa jasad, ruh hanya bagian abstrak yang hidup diluar dunia materi. Peristiwa besar yang terus berulang, memutar dan bersinergi dari satu tempat menuju tempat lainnya di Bumi ini. Selama satu bulan itu, letupan dahsyat sesungguhnya telah terjadi ditengah-tengah kita, bahkan dalam diri kita sendiri. Ketika ruh dan jasad melakukan balutan rasa yang mencengkram satu sama lain, bersatu padu bak gelombang yang sulit dipisahkan. Menyatu erat selama satu bulan di waktu yang terus menerus berputar. Hari ini di Jakarta, peristiwa itu akan kembali terjadi pada pukul 17.57. dan akan terus diikuti dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu individu manusia, ke individu manusia lainnya. Yah, ketika dua tujuan antara ruh dan jasad itu bersatu untuk melepaskan dahaga usai puasa seharian. Jasad membutuhkan makan, secara otomatis ruh mengamini apa yang digerakkan jasad.

Hampir dipastikan menjelang waktu berbuka, setiap muslim yang berpuasa menanti dengan penuh kesenangan, dengan segenap rasa, sehingga dimana dan bagaimana pun, preparing penyambutan beduk maghrib menjadi yang paling dinanti oleh umat Islam di manapun berada. Yang dijalan, segera mencari gelombang radio didalam kendaraan, jika bisa ingin segera me-request tembang hits lagunya diganti adzan maghrib, atau yang di rumah, segera mencari chanel televisi yang mengumandangkan adzan, -untuk didaerah- terpaksa harus mencari saluran televisi lokal yang –tentunya- tidak sama waktu kumandang adzannya. Bahkan di berbagai desa, peristiwa besar itu ditandai dengan dentuman bom bamboo atau meriam pertanda telah tiba waktunya berbuka puasa, telah sinkron-nya needed ruh dan jasad.

Seperti jasad, ruh pun memerlukan makanan. Setiap yang hidup perlu makan, dan makanan ruh yang baik adalah cahaya-cahaya Ilahiyah dan ilmu-ilmu Rabbaniyah yang tercermin dalam setiap kemuliaan syariat. Termasuk cahaya Ilahiyah dalam bentuk doa, dzikir, shalat, puasa, zakat, haji dll. Di bulan Ramadhan ini, manusia muslim berusaha menerangi ruh dengan beragam makanan ruhani. Memandikannya dengan proses pencucian batin, seperti istigfar, mengendalikan hawa nafsu dan semua aktifitas mulia di bulan yang juga penuh dengan kemuliaan.

Seperti tubuh, ruh pun memiliki rupa yang bermacam-macam; buruk atau indah, juga mempunyai bau yang berbeda; busuk atau harum. Rupa ruh lebih beragam dari rupa tubuh yang tampak secara kasat mata. Berkenaan dengan rupa atau wajah secara jasadiyah (atau lahiriah), kita dapat saja menyebut wajahnya mirip binatang, tapi –pastinya- ia bukan seekor binatang. Namun ruh, dapat benar-benar berupa binatang jika ia memiliki sifat binatang. (QS: Al-Maidah: 60). Lalu dapatkah kita bayangkan bagaimana indahnya rupa ruh kita saat berada dalam dekapan jasad yang bersamaan di saat berbuka nanti (?) Subhanallah, mungkin saja lebih indah dari rupa jasad sesungguhnya.

So, 17.57 waktu Jakarta sore ini adalah waktu dimana rasul memberikan salahsatu janji kesenangan bagi mereka yang berpuasa, yakni indahnya berbuka. Dan –tentunya- waktu dimana merekahnya keindahan rupa ruh dalam jasad manusia.

Syukur Tiada Akhir

Kali keempat perjalanan suci ini kan bergerak. Menuju kesamaan cita, dan mendulang kebersihan jiwa. Meraih sebuah perjalanan berkualitas untuk tetap survive dalam merangkai tapak surga menuju Baitullah. Keberkahan yang terus hinggap pada perusahaan K-Link, tidak hanya terlihat dari megahnya gedung K-Link Tower yang menjulang tinggi di pusat kota, juga tidak hanya terlihat dari ratusan product kesehatan yang tersebar di seantero negeri, namun juga tampak pada ratusan karyawannya yang konsisten dalam mengimbangi bisnis dunia dan akhirat. Yakni meluasnya keberkahan dengan perjalan mereka ke tanah suci. Ratusan langkah manusia suci pilihan Robbi itu, secara tidak langsung adalah perekat perkembangan K-Link yang teramat dahsyat. Perjalanan yang tiada akhir (menuju kesucian Tanah haram) adalah konsekwensi syukur tiada akhir yang mereka tanamkan dalam setiap raihan point untuk meniatkan diri menuju Tanah Suci.

Ini adalah tahun keempat Cordova bersama K-Link merangkai ‘Perjalanan tiada akhir’, waktu yang cukup untuk saling mengenal apa dan bagaimana perjalanan ini terkonsep. Menyusun dan merangkai jalan yang telah terlalui tentunya lebih terasa nikmat dari saat pertama jumpa. Berbeda jika memiliki seorang kekasih baru, maka untuk mengenalnya harus lebih dalam memahami jiwanya, beradaptasi kembali, dan membutuhkan waktu untuk mengikat sebuah tali duriat (hubungan batin). Namun Alhamdulillah, Cordova dengan K-Link sudah seperti kekasih lama yang saling memahami dan menghargai ikatan rasa. Simbiosis mutualisme lebih terasa dengan melangkah dan berjalan bersama, baik dalam ikatan bisnis maupun rasa hangat kekeluargaan. Tidak mudah –memang- untuk bertemu seorang kawan perjalanan yang paham betul dengan sifat dan watak. Perjalanan edisi ke-4 inilah sebagai momentum raihan perjalanan yang lebih berkualitas. Merekat dengan langkah kebersamaan.

Terimakasih telah kembali memilih Cordova sebagai pelayan tamu-tamu pilihan ALLAH SWT. Semoga kami bisa menjawab amanah ini dengan penuh rasa, penuh tanggungjawab dan penuh dengan rasa cinta. Karena tiada yang paling indah dalam sebuah perjalanan selain merangkai tangan dengan penuh kebersamaan.

Kebersamaan bukan kata tapi jiwa, terasa dalam dada seindah purnama.
Kebersamaan bukan curahan tapi jawaban, syarat makna akan keajaiban dan kekuatan.
Kebersamaan bukan sandaran tapi asupan, memberi semangat tanpa batasan.
Kebersamaan bukan mata tapi telinga, siap mendengar kadang tak seksama
Kebersamaan bukan kaki tapi tangan, selalu merangkul dalam kehangatan.
Kebersamaan bukan langit tapi bumi, menjadi pijakan dalam kehidupan.
Kebersamaan bukan hujan tapi pelangi, mengindahkan pribadi ketika turunnya air mata.
Semoga kebersamaan ini tiada akhir seperti perjalanan yang tiada akhir…

Segera Daftarkan nama Anda sebelum esok tiba!

Bila Islam tidak melarang menambahkan syarat haji, bisa saja no porsi menjadi salahsatu syarat haji. Dalam birokrasi –mungkin- bisa benar jika kuota, atau no porsi yang diperoleh menjadi syarat yang sangat urgent untuk berangkat haji. Atau (kuota) bisa disandingkan dengan syarat ‘Mampu’ dalam berhaji. Bagaimana tidak, untuk haji plus saja, yang ingin berangkat tahun depan (2012) sudah tidak mungkin. Bahkan untuk keberangkatan tahun 2013 pun hanya tersisa kurang lebih 2000 orang saja, yang lamanya bisa diperkirakan hanya beberapa pekan, tidak mustahil beberapa hari saja sudah penuh. Karenanya jika memiliki niatan kuat untuk berangkat haji tahun 2013, maka segeralah untuk mendaftarkan diri, ke travel manapun. Sebagai syarat berangkat haji khusus (haji plus). Karenanya, atas nama Management Cordova –sekali lagi- bagi umat Islam yang memiliki niatan kuat berangkat haji tahun 2013 untuk segera Mendaftarkan diri ke travel haji manapun, once again, ke travel haji manapun. Hal itu untuk mengamankan kuota yang nyaris habis detik-detik ini. Setelah no porsi didapat untuk keberangkatan tahun 2013, maka pilihan selanjutnya ada ditangan Anda untuk berangkat haji bersama travel yang Anda inginkan.

Antusiasme berangkat haji di Indonesia -memang- dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Bahkan banyak pula calon jemaah haji yang awalnya tercantum sebagai waitinglist haji regular untuk keberangkatan beberapa tahun ke depan, mulai banyak beralih untuk daftar haji khusus.

So’ ketika niatan haji itu telah kuat, jalan selanjutnya adalah Do It! Mendaftar ke travel-travel haji. Siapapun yang membaca artikel ini, jika tidak untuk sendiri, alangkah bijaknya jika memberikan kabar kepada sanak saudara, kerabat atau siapapun yang ingin berangkat haji tahun 2013, agar segera mendaftarkan diri. Cordova tidak memiliki kepentingan dalam artikel himbuan ini agar segera mendaftar ke Cordova, tetapi sebagai bentuk together dalam meraih kemakmuran melalui bangsa yang Mabrur dalam berhaji. Amankan kuota haji Anda sekarang juga! Ke travel haji manapun!

Tahukah Anda, hari ini 24 Agustus, tepat 50 tahun yang silam adalah momen diawalinya pendirian Masjid Istiqlal yang kini menjadi kebanggan Jakarta dan Indonesia. Ide awal pendirian Masjid Istiqlal bermula pada tahun 1953 dari beberapa tokoh antara lain KH. Wahid Hasyim (Menag RI pertama), H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto dan Ir. Sofwan serta beberapa ulama lainnya yang ingin mendirikan sebuah masjid megah yang akan menjadi kebanggan warga Jakarta khususnya sebagai Ibukota dan juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Maka kemudian dibentuklah Yayasan Masjid Istiqlal pada 7 Desember 1954. Nama Istiqlal sendiri diambil dari bahasa Arab yang artinya Merdeka, dipilih sebagai simbol dari rasa syukur bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang diberikan oleh Allah SWT. Presiden Soekarno menyambut baik ide tersebut dan mendukung berdirinya Yayasan Masjid Istiqlal dan selanjutnya membentuk Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal.

Saat penentuan lokasi masjid, sempat timbul perdebatan antara Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Karno mengusulkan lokasi di atas bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dengan Taman Wilhelmina yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1834 yang terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral dan Jalan Veteran. Sementara Bung Hatta mengusulkan lokasi pembangunan masjid terletak di tengah-tengah umatnya yaitu di Jalan Thamrin yang pada saat itu disekitarnya banyak dikelilingi kampung, selain itu ia juga menganggap pembongkaran benteng Belanda tersebut akan memakan dana yang tidak sedikit. Namun akhirnya Bung Karno memutuskan untuk membangun masjid di lahan bekas benteng Belanda, karena di seberangnya telah berdiri gereja Kathedral dengan tujuan untuk memperlihatkan kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1955 Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal mengadakan sayembara rancangan gambar arsitektur masjid Istiqlal. Dewan Juri diketuai oleh Presiden Soekarno. Bagi pemenang disediakan hadiah berupa uang sebesar Rp. 75.000; serta emas murni seberat 75 gram. Sebanyak 27 peserta mengikuti sayembara mengirimkan rancangannya, namun akhirnya dipilih 5 peserta yang memenuhi syarat : 1. F. Silaban dengan rancangannya “Ketuhanan”, 2. R. Oetoyo dengan rancangannya “Istighfar”, 3. Hans Groenewegen dengan rancangannya “Salam”, 4. Mahasiswa ITB (5 orang) rancangannya “Ilham 5”, 5. Mahasiswa ITB (3 orang) rancangannya “Chatulistiwa”.

Setelah proses penjurian yang panjang dengan mempelajari rancangan arsitektur beserta makna yang terkandung didalamnya berdasarkan gagasan para peserta maka pada 5 Juli 1955, Dewan Juri memutuskan desain rancangan dengan judul “Ketuhanan” karya Frederich Silaban dipilih sebagai pemenang model dari Masjid Istiqlal. Frederich Silaban adalah seorang arsitek beragama Kristen kelahiran Bonandolok Sumatera, 16 Desember 1912, anak dari pasangan suami istri Jonas Silaban Nariaboru. Ia adalah salah satu lulusan terbaik dari Academie van Bouwkunst Amsterdam tahun 1950. Selain membuat desain masjid Istiqlal ia juga merancang kompleks Gelanggang Olahraga Senayan. Untuk menyempurnakan rancangan Masjid Istiqlal, F. Silaban mempelajari tata cara dan aturan kaum muslim melaksanakan shalat dan berdoa selama kurang lebih 3 bulan. Selain itu ia juga mempelajari banyak pustaka mengenai masjid-masjid di dunia.

Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng saat itu dikenal sepi, gelap, kotor dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederik Hendrik dipenuhi lumut dan rumput ilalang dimana-mana. Pada tahun 1960, dikerahkanlah ribuan orang yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat, pegawai negeri, swasta, alim ulama dan ABRI bekerja bakti membersihkan taman tak terurus di bekas benteng itu.

Dan tepat dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, pada 24 Agustus 1961 dan masih dalam suasana perayaan kemerdekaan RI, dilaksanakanlah pemancangan tiang pertama Masjid Istiqlal oleh Presiden Soekarno.

Proses Panjang Pembangunan Masjid Istiqlal

Seiring dengan iklim politik dalam negeri yang cukup memanas pada waktu itu, proyek ambisius ini tersendat-sendat pembangunannya, karena berbarengan dengan pembangunan monumen lain seperti Gelora Senayan, Monumen Nasional, dan berbagai proyek mercusuar lainnya. Hingga pertengahan tahun ’60-an proyek Masjid Istiqlal terganggu penyelesaiannya. Puncaknya ketika meletus peristiwa G 30 S/PKI tahun ’65-’66, pembangunan Masjid Istiqlal bahkan terhenti sama sekali.

Barulah ketika Himpunan Seniman Budayawan Islam memperingati miladnya yang ke-20, sejumlah tokoh, ulama dan pejabat negara tergugah untuk melanjutkan pembangunan Masjid Istiqlal. Dipelopori oleh Menteri Agama KH. M. Dahlan upaya penggalangan dana mewujudkan fisik masjid digencarkan kembali. Semula pembangunan masjid direncanakan memakan waktu selama 45 tahun namun dalam pelaksanaannya ternyata jauh lebih cepat. Bangunan utama dapat selesai dalam waktu 6 tahun tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1967 sudah dapat digunakan yang ditandai dengan berkumandangnya adzan Maghrib yang pertama.

Secara keseluruhan pembangunan masjid Istiqlal diselesaikan dalam kurun waktu 17 tahun. Peresmiannya dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 22 Februari 1978. Kurun waktu pembangunannya telah melewati dua periode masa kepemimpinan yaitu Orde Lama dan Orde Baru

Semoga Masjid Istiqlal terus menjadi kebanggaan umat, seiring dengan semakin semaraknya kegiatan ke-Islam-an di dalamya. Amiin.

(Dari Berbagai Sumber)